Friday, April 13, 2018

Represantasi Gerakan Perempuan dalam Perjuangan Lahan Menolak Tambang Semen Di Rembang


 
Perempuan dan pertambangan adalah dua hal yang sangat berbeda. Apalagi ketika kita melihat dengan kacamata budaya patriarki, ketika perempuan disubordinasi sehingga hanya bekerja sebagai pelayan domestik dari laki-laki dan laki-laki menjadi pekerja untuk mendapatkan upah sehari-hari mereka. Tetapi perempuan dan pertambangan menjadi menarik ketika keduanya menjadi saling terkait sehingga kita tidak bisa lagi melihat keduanya dengan kacamata budaya patriarki, namun kita melihatnya sebagai kacamata perjuangan melawan penindasan. Berbicara tentang perjuangan melawan penindasan, berarti tidak lagi perjuangan milik laki-laki atau perempuan, tetapi menjadi perjuangan milik manusia tertindas melawan mesin penindas.

Mengapa kita berbicara soal penindasan?
Hal tersebut terkait dengan kritik terhadap beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pertambangan adalah pembawa kesejahteraan bagi masyarakat. Ekonom Neoliberalis – seperti Davis dan Tilton – sepakat bahwa pertambangan mampu membangkitkan ekonomi di kawasan sekitarnya. Singkat cerita, pertambangan tidak hanya memberikan kesejahteraan nasional dengan asupan-asupan pajak, tetapi juga dapat mensejahterahkan masyarakat lokal sekitar tambang dengan argumentasi adanya ekuivalensi antara pertambangan dengan kesejahteraan. Tetapi pada kenyataannya, kita dapat melihat sebaliknya di Rembang pada hari ini. Bagaimana pertambangan yang diharapkan dapat membawa kesejahteraan masyarakat malah memicu aksi-aksi yang bahkan kali ini dipelopori untuk perempuan.
Situs Api Kartini menerangkan bahwa pertambangan-pertambangan tersebut ditolak keberadaannya di Rembang karena beberapa alasannya, seperti:

1.             Penggunaan kawasan cekungan air Tanah Watuputih sebagai area batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah No.6 Tahun 2010 Pasal 63 yang menetapkan kawasan ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 Pasal 19 yang menetapkan wilayah ini sebagai kawasan lindung geologi,

2.             Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwano Kecamatan Bulu seluas lebih dari 21,13 hektar untuk tapak pabrik yang bertentangan dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan No. S.279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013,

3.             Perda No. 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang, Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan untuk kawasan industri besar,

4.             Ditemukannya 109 mata air, 49 gua, dan 4 sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua menguatkan bahwa Kawasan Watuputih harus dilindungi,

5.             Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan mengambil air dari Gunung Watuputih,

6.             Kebutuhan lahan yang luas untuk perusahaan dan pabrik semen juga akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian yang mengakibatkan hilangnya pekerjaan petani dan buruh tani serta menurunkan produktivitas sektor pertanian di wilayah sekitar karena matinya sumber mata air, polusi debu, dan rusaknya keseimbangan ekosistem.
Keenam alasan itulah yang membuat para petani Rembang bersama anasir lainnya menolak pertambangan semen di Rembang. Menariknya, aksi penolakan tersebut dimotori oleh para Kartini Rembang. Diantara para Kartini Rembang, yang mencolok ialah Sembilan orang Kartini Rembang – yang sebelumnya – Agustus 2014 membuat tenda perjuangan di Watuputih dan bahkan beberapa waktu kemarin (sekitar 12 April 2016 lalu) mereka datang ke istana dan mengecor kaki mereka dengan semen. Seperti yang sempat dilangsir Kompas 12 April lalu, mereka ingin sekali berdialog dengan Jokowi terkait kasus Rembang. Sebelumnya, 6 April 2015, mereka sempat datang ke istana untuk mendatangi Jokowi terkait janjinya yaitu menciptakan kedaulatan pangan. Bahkan seperti yang dilangsir pula oleh Api Kartini, Jokowi berjanji untuk mengunjungi Rembang karena beliau telah mengikuti kasusnya sejak ia masih menjabat sebagai walikota Solo.
Menurut Jurnal Perempuan, pergerakan petani Rembang yang menolak keberadaan pabrik semen sangat menarik untuk diperhatikan. Mengingat, para petani Rembang membentuk Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JM-PPK Rembang) dan koordinatornya merupakan seorang perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan membantu suaminya sebagai petani. Mereka rupanya sadar betul akan bahaya tambang semen yang mengancam kelestarian lingkungan bagi anak cucu mereka nantinya.
Terakhir, kita melihat rupanya perjuangan tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Selama ini, Rembang yang menjadi pusat kegiatan Kartini pada kala itu melahirkan Kartini-kartini baru yang lebih progresif lagi. Faktor yang mendorong bangkitnya gerakan perempuan di Rembang ialah keprihatinan dan keresahan terhadap hadirnya pertambangan semen yang menimbulkan banyak masalah (permasalahan karst, penyakit akibat debu, dan perusakan kawasan lindung) yang – menurut mereka – dapat membawa dampak buruk bagi anak cucu mereka.
Gerakan perempuan di Rembang menjadi contoh menarik tentang bagaimana Feminisme menjadi gerakan perjuangan yang nyata di Indonesia secara massif. Gerakan perempuan tersebut juga pada akhirnya mengindikasikan perjuangan kesetaraan gender yang pada kali ini merupakan perjuangan kesetaraan hak dalam berjuang melawan keadilan. Menurut saya, kita perlu apresiasi betul terhadap apa yang telah dilakukan oleh Kartini kita, bahkan kita harus mendukungnya. Itu karena satu hal, apa yang dilakukan perempuan Rembang sejatinya adalah apa yang dilakukan ibu biasa untuk melindungi anaknya dari ancaman bahaya masa depan.
Setidaknya juga kita mendapatkan banyak poin penting dari perjuangan perempuan Rembang, diantaranya ialah adanya perjuangan kesetaraan hak berjuang menuntut keadilan, berkembangnya progresivitas perempuan dalam menolak pembangunan yang cenderung merusak lingkungan, adanya gerakan Feminisme massif pertama di Indonesia dalam skala besar, dan adanya niat suci untuk melindungi generasi baru dari jahatnya akibat yang ditimbulkan pertambangan semen jika itu diteruskan. LBH mencatat, bahwa 25% cadangan air Jawa bahkan berasal dari kawasan cekungan air Watuputih. Jurnal Perempuan juga mencatat adanya peningkatan penyakit HIV di kawasan Sale, Rembang, serta terancamnya kawasan karst yang mengandung formasi geologi yang berharga. Setidaknya, inilah yang sampai hari ini kita lihat sebagai alasan mengapa gerakan perempuan di Rembang menolak hadirnya tambang semen berdiri di kawasan Pegunungan Kendeng. 

0 comments:

Post a Comment

 
;