Perempuan dan
pertambangan adalah dua hal yang sangat berbeda. Apalagi ketika kita melihat
dengan kacamata budaya patriarki, ketika perempuan disubordinasi sehingga hanya
bekerja sebagai pelayan domestik dari laki-laki dan laki-laki menjadi pekerja
untuk mendapatkan upah sehari-hari mereka. Tetapi perempuan dan pertambangan
menjadi menarik ketika keduanya menjadi saling terkait sehingga kita tidak bisa
lagi melihat keduanya dengan kacamata budaya patriarki, namun kita melihatnya
sebagai kacamata perjuangan melawan penindasan. Berbicara tentang perjuangan
melawan penindasan, berarti tidak lagi perjuangan milik laki-laki atau
perempuan, tetapi menjadi perjuangan milik manusia tertindas melawan mesin
penindas.
Mengapa
kita berbicara soal penindasan?
Hal tersebut terkait
dengan kritik terhadap beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pertambangan
adalah pembawa kesejahteraan bagi masyarakat. Ekonom Neoliberalis – seperti
Davis dan Tilton – sepakat bahwa pertambangan mampu membangkitkan ekonomi di
kawasan sekitarnya. Singkat cerita, pertambangan tidak hanya memberikan
kesejahteraan nasional dengan asupan-asupan pajak, tetapi juga dapat
mensejahterahkan masyarakat lokal sekitar tambang dengan argumentasi adanya
ekuivalensi antara pertambangan dengan kesejahteraan. Tetapi pada kenyataannya,
kita dapat melihat sebaliknya di Rembang pada hari ini. Bagaimana pertambangan
yang diharapkan dapat membawa kesejahteraan masyarakat malah memicu aksi-aksi
yang bahkan kali ini dipelopori untuk perempuan.
Situs Api Kartini
menerangkan bahwa pertambangan-pertambangan tersebut ditolak keberadaannya di
Rembang karena beberapa alasannya, seperti:
1.
Penggunaan kawasan cekungan air Tanah
Watuputih sebagai area batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah No.6 Tahun 2010
Pasal 63 yang menetapkan kawasan ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan
Perda RTRW Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 Pasal 19 yang menetapkan wilayah
ini sebagai kawasan lindung geologi,
2.
Semen Indonesia menebang kawasan hutan
Kadiwano Kecamatan Bulu seluas lebih dari 21,13 hektar untuk tapak pabrik yang
bertentangan dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh
Menteri Kehutanan No. S.279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013,
3.
Perda No. 14 Tahun 2011 tentang RTRW
Kabupaten Rembang, Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan untuk kawasan industri
besar,
4.
Ditemukannya 109 mata air, 49 gua, dan
4 sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta
fosil-fosil yang menempel pada dinding gua menguatkan bahwa Kawasan Watuputih
harus dilindungi,
5.
Proses produksi semen berpotensi
merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga
sekitar Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) dengan mengambil air dari Gunung Watuputih,
6.
Kebutuhan lahan yang luas untuk
perusahaan dan pabrik semen juga akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian
yang mengakibatkan hilangnya pekerjaan petani dan buruh tani serta menurunkan
produktivitas sektor pertanian di wilayah sekitar karena matinya sumber mata
air, polusi debu, dan rusaknya keseimbangan ekosistem.
Keenam alasan itulah
yang membuat para petani Rembang bersama anasir lainnya menolak pertambangan
semen di Rembang. Menariknya, aksi penolakan tersebut dimotori oleh para
Kartini Rembang. Diantara para Kartini Rembang, yang mencolok ialah Sembilan
orang Kartini Rembang – yang sebelumnya – Agustus 2014 membuat tenda perjuangan
di Watuputih dan bahkan beberapa waktu kemarin (sekitar 12 April 2016 lalu)
mereka datang ke istana dan mengecor kaki mereka dengan semen. Seperti yang
sempat dilangsir Kompas 12 April lalu, mereka ingin sekali berdialog dengan
Jokowi terkait kasus Rembang. Sebelumnya, 6 April 2015, mereka sempat datang ke
istana untuk mendatangi Jokowi terkait janjinya yaitu menciptakan kedaulatan
pangan. Bahkan seperti yang dilangsir pula oleh Api Kartini, Jokowi berjanji
untuk mengunjungi Rembang karena beliau telah mengikuti kasusnya sejak ia masih
menjabat sebagai walikota Solo.
Menurut Jurnal
Perempuan, pergerakan petani Rembang yang menolak keberadaan pabrik semen
sangat menarik untuk diperhatikan. Mengingat, para petani Rembang membentuk
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JM-PPK Rembang) dan
koordinatornya merupakan seorang perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai
ibu rumah tangga dan membantu suaminya sebagai petani. Mereka rupanya sadar
betul akan bahaya tambang semen yang mengancam kelestarian lingkungan bagi anak
cucu mereka nantinya.
Terakhir, kita
melihat rupanya perjuangan tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Selama
ini, Rembang yang menjadi pusat kegiatan Kartini pada kala itu melahirkan
Kartini-kartini baru yang lebih progresif lagi. Faktor yang mendorong
bangkitnya gerakan perempuan di Rembang ialah keprihatinan dan keresahan
terhadap hadirnya pertambangan semen yang menimbulkan banyak masalah
(permasalahan karst, penyakit akibat debu, dan perusakan kawasan lindung) yang
– menurut mereka – dapat membawa dampak buruk bagi anak cucu mereka.
Gerakan perempuan di
Rembang menjadi contoh menarik tentang bagaimana Feminisme menjadi gerakan
perjuangan yang nyata di Indonesia secara massif. Gerakan perempuan tersebut
juga pada akhirnya mengindikasikan perjuangan kesetaraan gender yang pada kali
ini merupakan perjuangan kesetaraan hak dalam berjuang melawan keadilan.
Menurut saya, kita perlu apresiasi betul terhadap apa yang telah dilakukan oleh
Kartini kita, bahkan kita harus mendukungnya. Itu karena satu hal, apa yang
dilakukan perempuan Rembang sejatinya adalah apa yang dilakukan ibu biasa untuk
melindungi anaknya dari ancaman bahaya masa depan.
Setidaknya juga kita
mendapatkan banyak poin penting dari perjuangan perempuan Rembang, diantaranya
ialah adanya perjuangan kesetaraan hak berjuang menuntut keadilan,
berkembangnya progresivitas perempuan dalam menolak pembangunan yang cenderung
merusak lingkungan, adanya gerakan Feminisme massif pertama di Indonesia dalam
skala besar, dan adanya niat suci untuk melindungi generasi baru dari jahatnya
akibat yang ditimbulkan pertambangan semen jika itu diteruskan. LBH mencatat,
bahwa 25% cadangan air Jawa bahkan berasal dari kawasan cekungan air Watuputih.
Jurnal Perempuan juga mencatat adanya peningkatan penyakit HIV di kawasan Sale,
Rembang, serta terancamnya kawasan karst yang mengandung formasi geologi yang
berharga. Setidaknya, inilah yang sampai hari ini kita lihat sebagai alasan mengapa
gerakan perempuan di Rembang menolak hadirnya tambang semen berdiri di kawasan
Pegunungan Kendeng.
0 comments:
Post a Comment