Karl
Marx dan sahabat karib dan intelektualnya Friedrich Engels adalah dua tokoh
yang namanya paling terkenal dalam sejarah modern. Gagasan yang mereka telurkan
telah mengubah sejarah dunia dan akan terus mengubahnya. Film “Le jeune Karl
Marx” atau Karl Marx Muda, karya sutradara Raoul Peck dari Haiti, yang dirilis
pada awal 2017 menceritakan masa muda kedua figur penting ini, bagaimana mereka
bertemu dan lalu berkolaborasi untuk melawan kapitalisme. Walau judul
filmnya hanya mengandung nama Marx, tetapi film ini sesungguhnya juga bercerita
mengenai Engels. Ini seperti banyak tulisan Marx, yang juga adalah hasil
kolaborasi intelektual dengan Engels. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada Marx
tanpa Engels, dan tidak ada Engels tanpa Marx.
Film
ini mengambil setting pada tahun 1843, ketika negeri-negeri di Eropa diguncang
gejolak sosialpolitik dan bertabur letupan-letupan revolusi yang lahir dari
resesi, krisis ekonomi, dan kelaparan. Monarki absolut sedang diambang
perubahan besar, terutama di Jerman. Sedang di Inggris perkembangan kapitalisme
memuncak dalam Revolusi Industri, yang niscaya melahirkan kelas baru, yakni
proletariat. Banyak organisasi-organisasi buruh didirikan sebagai respons atas
penghisapan yang dialami kelas pekerja, tetapi mereka masih memiliki cita-cita
sosialisme utopis, seperti yang termaktub dalam slogan “All men are brothers”
atau “semua orang adalah saudara.”Di latar belakang ini hadir dua pemuda, Marx
yang baru berumur 25 tahun, dan Engels 23 tahun.
Film
ini diawali dengan digerebeknya kantor penerbitan RheinischeZeitung,
sebuah koran yang kritis terhadap rejim. Alih-alih ketakutan ditangkap seperti
kolega-koleganya, Marx malah menilai bahwa konten koran kurang kritis dan
radikal dalam mengkritik rejim despotik Prusia. Di sini kita sudah bisa
melihat bagaimana Marx menilai pentingnya peran koran sebagai alat
propaganda untuk menghantam penguasa. Marx yang ditampilkan dalam film ini
sebagai pemuda congkak dan keras kepala sebenarnya hanya mengekspresikan
keberaniannya dalam mengkritik yang berkuasa, secara prinsipil dan tanpa
kompromi.
ementara,
di seberang selat Inggris, tepatnya di kota industri Manchester, sebuah pabrik
milik Ermen and Engels dilanda protes buruh. Kecilnya nilai
upah, tidak adanya jaminan keselamatan kerja dan dipekerjakannya buruh
anak-anak membuat buruh geram dan mereka melawan dengan menyabotase mesin tenun
tekstil. Tampillah Mary Burns, yang menjadi pusat perhatian para buruh
dan tuan-tuan kapitalis, dengan spontanitasnya tampil di depan mewakili
tuntutan kawan-kawannya. Untuk “ulahnya” ini, Mary dipecat oleh tuan pemilik
pabrik, yang menyentak perhatian Friedrich Engels, putra sang pemilik
pabrik.
Tanpa
adanya serikat buruh, kita lihat bagaimana para buruh di film ini tidak punya
wadah untuk mengorganisir perlawanan bersama yang efektif. Yang bisa mereka
lakukan hanya menyabotase mesin sebagai bentuk protes, sebuah bentuk primitif
perlawanan buruh yang bersifat individual. Ketika Mary Burns yang heroik
menantang sang pemilik pabrik seorang diri, dia diPHK sementara buruh lainnya
hanya bisa menunduk muram. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama. Buruh
belajar kalau persatuan dan organisasi membuat mereka lebih kuat untuk
memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik.
Friedrich
Engels berniat menulis buku mengenai kehidupan buruh dengan masuk ke
gubuk-gubuk buruh, berinteraksi dan tinggal bersama mereka untuk observasi dan
wawancara. Dengan pendampingan Mary Burns yang akhirnya menjadi kekasihnya,
Engels berhasil menguak kondisi kerja dan kehidupan buruh yang sebenarnya.
Bukunya Kondisi Kelas Pekerja di Inggris merupakan karya pertama yang
memakai perspektif kelas dan embrio dari sosialisme ilmiah.
Dalam
film ini kita juga temui dua tokoh yang nantinya jadi lawan polemik utama Marx
dan Engels, yakni Proudhon dan Bakunin yang dikenal sebagai teoretikus
anarkisme terutama. Slogan dan gagasan Proudhon “Hak milik adalah pencurian”
langsung disentil oleh Marx “Hak milik adalah pencurian? Jika aku mencuri milik
orang lain, aku mencuri dari apa, dari pencurian?” tanya Marx mengkritik tesis
utamanya. Benih pertentangan antara Marxisme dan Anarkisme segera tertanam.
Ada
satu adegan yang memberi kita gambaran bagaimana pendekatan Marx terhadap
perjuangan buruh. Di sebuah aula, di Freiburg St. Antoine, Marx berbicara
di depan puluhan buruh dan menjelaskan kepada mereka teori ekonomi yang
melandasi penindasan mereka. Ini kontras sekali dengan pembicara
selanjutnya,Weitling, seorang pemimpin buruh yang berorasi dengan agitasi dan
slogan sederhana. Buruh menanggapi pidato Marx yang tampaknya rumit itu dengan
dingin, dan menyambut pidato Weitling yang sederhana dengan riuh tepuk tangan
dan pekik semangat. Tetapi teori Marx di kemudian harilah yang mengilhami
gerakan buruh dan memenangkan revolusi. Marx paham kalau buruh tidak butuh
agitasi dan slogan sederhana semata, tetapi di atas segalanya teori yang utuh
dan komprehensif mengenai masyarakat.
Kontras
antara Marx dan Weitling diulang lagi di sebuah adegan di mana keduanya
berdebat sengit.Weitling mengatakan ia tak berniat menciptakan teori baru, baik
teori ekonomi maupun lainnya. Baginya gerakan tidak memerlukan panduan
teoritik. “Cukup seratus ribu proletar bersenjata yang didukung empat puluh
ribu kriminal, kita bisa menggulingkan tirani borjuasi!” ujarnya bersemangat.
“Ketidaktahuan tidak pernah menolong siapapun!” jawab Marx dengan geram. Sampai
hari ini debat ini masihlah relevan, ketika masih banyak aktivis yang
menganggap remeh pentingnya penempaan teori dalam gerakan. Weitling adalah
gambaran tipikal aktivis yang hanya ingin turun aksi saja, yang mengira buruh
hanya perlu diberi slogan sederhana.
Marx
dan Engels lalu bergabung dengan Liga Keadilan. Setelah diamanatkan oleh Liga
untuk mengorganisir ulang dan merumuskan program baru, mereka datang sebagai
delegasi ke Kongres Liga Keadilan di London, November 1847. Di kongres ini,
Marx dan Engels memaparkan gagasan perjuangan kelas mereka. “Borjuasi tidak
menunjukkan kelembutan pada kita (kelas pekerja), dan kalian tidak bisa
mengalahkannya dengan kebaikan”, ungkap Engels. “Semua Orang Bersaudara?”
tanyanya sambil menunjuk ke slogan Liga Keadilan yang terpampang di aula
Kongres. “Kau dan aku bersaudara karena sama-sama kelas pekerja, tetapi dengan
borjuasi tidak! Mereka musuh kita! Antagonisme antara proletariat dan
borjuasi…hanya bisa berujung pada revolusi sepenuhnya,” lanjut Engels
mengutip Kemiskinan Filsafat Marx.
“Revolusi
Industri hari ini telah melahirkan budak modern, kaum proletariat. Dengan
membebaskan dirinya sendiri sebagai sebuah kelas, ia akan membebaskan umat
manusia. Dan kebebasan itu bernama Komunisme,” lanjut Engels. Marx dan
Engels kemudian mengusulkan agar slogan “Semua Manusia adalah Saudara”
digantikan dengan “Kaum Buruh Sedunia, bersatulah!” Ini adalah slogan yang lebih
mencerminkan tatanan masyarakat kelas yang ada. Tidak mungkin buruh dan
kapitalis menjadi saudara. Liga Keadilan namanya pun berubah menjadi Liga
Komunis.
Film
ini diakhiri dengan kedua pemuda Jerman ini menulis Manifesto Partai
Komunis dengan pendiskusian bersama dua perempuan luarbiasa yang sampai
akhir hayatnya menemani mereka: Mary Burns dan Jenny von Westphalen. Karya ini
mengguncang dunia dan masih relevan sampai hari ini. Manifesto Partai Komunis
sangatlah ringkas namun mendalam dan brilian dalam menganalisa fenomena yang
paling fundamental dalam perkembangan kapitalisme dan bagaimana menyelesaikan
kontradiksi-kontradiksinya.
Kisah
muda Marx dan Engels dalam film “Karl Marx Muda” harus jadi inspirasi kaum muda
hari ini untuk melawan kapitalisme. Ia tidak hanya bercerita mengenai gelora
dan semangat pengorbanan kaum muda dalam melawan rejim penindasan, tetapi juga
apa yang dibutuhkan untuk menang: keseriusan dalam mempelajari teori.
0 comments:
Post a Comment