Saturday, March 30, 2019

Resensi film “Young Karl Marx”



Karl Marx dan sahabat karib dan intelektualnya Friedrich Engels adalah dua tokoh yang namanya paling terkenal dalam sejarah modern. Gagasan yang mereka telurkan telah mengubah sejarah dunia dan akan terus mengubahnya. Film “Le jeune Karl Marx” atau Karl Marx Muda, karya sutradara Raoul Peck dari Haiti, yang dirilis pada awal 2017 menceritakan masa muda kedua figur penting ini, bagaimana mereka bertemu dan lalu berkolaborasi untuk melawan kapitalisme.  Walau judul filmnya hanya mengandung nama Marx, tetapi film ini sesungguhnya juga bercerita mengenai Engels. Ini seperti banyak tulisan Marx, yang juga adalah hasil kolaborasi intelektual dengan Engels. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada Marx tanpa Engels, dan tidak ada Engels tanpa Marx.
Film ini mengambil setting pada tahun 1843, ketika negeri-negeri di Eropa diguncang gejolak sosialpolitik dan bertabur letupan-letupan revolusi yang lahir dari resesi, krisis ekonomi, dan kelaparan. Monarki absolut sedang diambang perubahan besar, terutama di Jerman. Sedang di Inggris perkembangan kapitalisme memuncak dalam Revolusi Industri, yang niscaya melahirkan kelas baru, yakni proletariat. Banyak organisasi-organisasi buruh didirikan sebagai respons atas penghisapan yang dialami kelas pekerja, tetapi mereka masih memiliki cita-cita sosialisme utopis, seperti yang termaktub dalam slogan “All men are brothers” atau “semua orang adalah saudara.”Di latar belakang ini hadir dua pemuda, Marx yang baru berumur 25 tahun, dan Engels 23 tahun.

Film ini diawali dengan digerebeknya kantor penerbitan RheinischeZeitung, sebuah koran yang kritis terhadap rejim. Alih-alih ketakutan ditangkap seperti kolega-koleganya, Marx malah menilai bahwa konten koran kurang kritis dan radikal dalam mengkritik rejim despotik Prusia. Di sini kita sudah bisa  melihat bagaimana Marx menilai pentingnya peran koran sebagai alat propaganda untuk menghantam penguasa. Marx yang ditampilkan dalam film ini sebagai pemuda congkak dan keras kepala sebenarnya hanya mengekspresikan keberaniannya dalam mengkritik yang berkuasa, secara prinsipil dan tanpa kompromi.
ementara, di seberang selat Inggris, tepatnya di kota industri Manchester, sebuah pabrik milik Ermen and Engels dilanda protes buruh. Kecilnya nilai upah, tidak adanya jaminan keselamatan kerja dan dipekerjakannya buruh anak-anak membuat buruh geram dan mereka melawan dengan menyabotase mesin tenun tekstil. Tampillah Mary Burns, yang menjadi  pusat perhatian para buruh dan tuan-tuan kapitalis, dengan spontanitasnya tampil di depan mewakili tuntutan kawan-kawannya. Untuk “ulahnya” ini, Mary dipecat oleh tuan pemilik pabrik, yang  menyentak perhatian Friedrich Engels, putra sang pemilik pabrik.
Tanpa adanya serikat buruh, kita lihat bagaimana para buruh di film ini tidak punya wadah untuk mengorganisir perlawanan bersama yang efektif. Yang bisa mereka lakukan hanya menyabotase mesin sebagai bentuk protes, sebuah bentuk primitif perlawanan buruh yang bersifat individual. Ketika Mary Burns yang heroik menantang sang pemilik pabrik seorang diri, dia diPHK sementara buruh lainnya hanya bisa menunduk muram. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama. Buruh belajar kalau persatuan dan organisasi membuat mereka lebih kuat untuk memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik.
Friedrich Engels berniat menulis buku mengenai kehidupan buruh dengan masuk ke gubuk-gubuk buruh, berinteraksi dan tinggal bersama mereka untuk observasi dan wawancara. Dengan pendampingan Mary Burns yang akhirnya menjadi kekasihnya, Engels berhasil menguak kondisi kerja dan kehidupan buruh yang sebenarnya. Bukunya Kondisi Kelas Pekerja di Inggris merupakan karya pertama yang memakai perspektif kelas dan embrio dari sosialisme ilmiah.
Dalam film ini kita juga temui dua tokoh yang nantinya jadi lawan polemik utama Marx dan Engels, yakni Proudhon dan Bakunin yang dikenal sebagai teoretikus anarkisme terutama. Slogan dan gagasan Proudhon “Hak milik adalah pencurian” langsung disentil oleh Marx “Hak milik adalah pencurian? Jika aku mencuri milik orang lain, aku mencuri dari apa, dari pencurian?” tanya Marx mengkritik tesis utamanya. Benih pertentangan antara Marxisme dan Anarkisme segera tertanam.
Ada satu adegan yang memberi kita gambaran bagaimana pendekatan Marx terhadap perjuangan buruh.  Di sebuah aula, di Freiburg St. Antoine, Marx berbicara di depan puluhan buruh dan menjelaskan kepada mereka teori ekonomi yang melandasi penindasan mereka. Ini  kontras sekali dengan pembicara selanjutnya,Weitling, seorang pemimpin buruh yang berorasi dengan agitasi dan slogan sederhana. Buruh menanggapi pidato Marx yang tampaknya rumit itu dengan dingin, dan menyambut pidato Weitling yang sederhana dengan riuh tepuk tangan dan pekik semangat. Tetapi teori Marx di kemudian harilah yang mengilhami gerakan buruh dan memenangkan revolusi. Marx paham kalau buruh tidak butuh agitasi dan slogan sederhana semata, tetapi di atas segalanya teori yang utuh dan komprehensif mengenai masyarakat.
Kontras antara Marx dan Weitling diulang lagi di sebuah adegan di mana keduanya berdebat sengit.Weitling mengatakan ia tak berniat menciptakan teori baru, baik teori ekonomi maupun lainnya. Baginya gerakan tidak memerlukan panduan teoritik. “Cukup seratus ribu proletar bersenjata yang didukung empat puluh ribu kriminal, kita bisa menggulingkan tirani borjuasi!” ujarnya bersemangat. “Ketidaktahuan tidak pernah menolong siapapun!” jawab Marx dengan geram. Sampai hari ini debat ini masihlah relevan, ketika masih banyak aktivis yang menganggap remeh pentingnya penempaan teori dalam gerakan. Weitling adalah gambaran tipikal aktivis yang hanya ingin turun aksi saja, yang mengira buruh hanya perlu diberi slogan sederhana.
Marx dan Engels lalu bergabung dengan Liga Keadilan. Setelah diamanatkan oleh Liga untuk mengorganisir ulang dan merumuskan program baru, mereka datang sebagai delegasi ke Kongres Liga Keadilan di London, November 1847. Di kongres ini, Marx dan Engels memaparkan gagasan perjuangan kelas mereka. “Borjuasi tidak menunjukkan kelembutan pada kita (kelas pekerja), dan kalian tidak bisa mengalahkannya dengan kebaikan”, ungkap Engels. “Semua Orang Bersaudara?” tanyanya sambil menunjuk ke slogan Liga Keadilan yang terpampang di aula Kongres. “Kau dan aku bersaudara karena sama-sama kelas pekerja, tetapi dengan borjuasi tidak! Mereka musuh kita! Antagonisme antara proletariat dan borjuasi…hanya bisa berujung pada revolusi sepenuhnya,” lanjut Engels mengutip Kemiskinan Filsafat Marx.
“Revolusi Industri hari ini telah melahirkan budak modern, kaum proletariat. Dengan membebaskan dirinya sendiri sebagai sebuah kelas, ia akan membebaskan umat manusia. Dan kebebasan itu bernama Komunisme,” lanjut Engels.  Marx dan Engels kemudian mengusulkan agar slogan “Semua Manusia adalah Saudara” digantikan dengan “Kaum Buruh Sedunia, bersatulah!” Ini adalah slogan yang lebih mencerminkan tatanan masyarakat kelas yang ada. Tidak mungkin buruh dan kapitalis menjadi saudara. Liga Keadilan namanya pun berubah menjadi Liga Komunis.
Film ini diakhiri dengan kedua pemuda Jerman ini menulis Manifesto Partai Komunis dengan pendiskusian bersama dua perempuan luarbiasa yang sampai akhir hayatnya menemani mereka: Mary Burns dan Jenny von Westphalen. Karya ini mengguncang dunia dan masih relevan sampai hari ini. Manifesto Partai Komunis sangatlah ringkas namun mendalam dan brilian dalam menganalisa fenomena yang paling fundamental dalam perkembangan kapitalisme dan bagaimana menyelesaikan kontradiksi-kontradiksinya.
Kisah muda Marx dan Engels dalam film “Karl Marx Muda” harus jadi inspirasi kaum muda hari ini untuk melawan kapitalisme. Ia tidak hanya bercerita mengenai gelora dan semangat pengorbanan kaum muda dalam melawan rejim penindasan, tetapi juga apa yang dibutuhkan untuk menang: keseriusan dalam mempelajari teori.

0 comments:

Post a Comment

 
;