Surat Perintah Sebelas Maret atau biasa disingkat
Supersemar adalah sebuah surat yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 oleh
Soekarno sebagai perintah dasar untuk mengamankan situasi dan kondisi Republik
Indonesia di saat Gerakan 30 September menjadi sebuah gerakan terror.
Supersemar yang merupakan surat sakti akhirnya menjadi penyebab dari hilangnya
nyawa dari 500.000 orang yang telah dianggap sebagai simpatisan PKI, bahkan
menurut Kol. Sarwo Edhi Wibowo, jumlah korban hingga mencapai 3 juta orang.
Benar lah perkataan Blaise Pascal dalam bukunya Pensees :
“Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh
dibikin jelas; pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi kemudian menjadi masuk
akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan abadi; adapun
asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika tidak ingin kebenaran itu
cepat berakhir.”
Di dalam kutipan tersebut jelas tergambar bahwa ketika
seseorang melakukan coup d’etat terhadap pemerintahan yang berdaulat,
maka rezim yang menggantikannya akan menyembunyikan kebenaran tersebut dengan
sebuah kebenaran yang palsu hingga kebenaran yang palsu itu sendiri terbongkar
dan akhirnya menumbangkan rezim tersebut. Mungkin hal inilah yang terjadi pada
rezim Orde Baru, ketika scenario supersemar dan G 30 S dengan fitnah yang di
juruskan kepada PKI berhasil menciptakan coup d’etat terhadap rezim
Orde Lama, Soeharto berkuasa hingga 32 tahun dan tumbang akhirnya pada tahun
1998. Setelah tumbangnya Orde Baru, semakin jelas lah bahwa apa yang di
skenariokan pada tahun 1965-1966 mengandung pengkhianatan yang sangat
tersistematis.
Sudah banyak buku dan catatan yang menerangkan soal
kepalsuan Supersemar yang beredar selama ini di masyarakat. Salah satu yang
paling kontroversial yaitu sebuah buku yang berjudul Mereka Menodong
Soekarno yang dibuat oleh mantan ajudan Soekarno. Menurut buku tersebut,
Soekarno di datangi ketiga jenderal suruhan Soeharto (Amir Machmud, Basuki
Rachmat, dan M. Jusuf) dan dipaksa untuk menandatangani sebuah surat dengan kop
Angkatan Darat. Yang menjadi sebuah perdebatan dalam buku ini adalah adanya
jenderal keempat dalam pertemuan tersebut yaitu Jenderal M. Panggabean. Sampai
sekarang buku tersebut belum bisa di pertanggungjawabkan secara ilmiah,
terutama karena belum terungkapnya kesaksian dari Jenderal M. Jusuf soal
Supersemar.
Ali Ebram, seorang yang merupakan pengetik dari
Supersemar sempat di wawancara oleh Eros Djarot. Dalam bukunya yang
berjudul Misteri Supersemar, Eros Djarot dan Ali Ebram memaparkan bahwa
surat perintah tersebut diketik pada saat keadaan genting. Ketiga jenderal
yaitu Amir Machmud, M. Jusuf, dan Basuki Rachmat memaksa Soekarno untuk menulis
surat tersebut. Amir Machmud bahkan sempat membentak Soekarno, kejadian tersebut
menyulut emosi dari Ali Ebram dan ajudan Soekarno yaitu Brigjen. Sabur,
komandan Cakrabirawa.
Menurut Ali Ebram, surat tersebut diketik dengan spasi
2 dan terdiri atas 2 halaman. Isinya mengenai perintah mengamankan negara,
bukan perintah penyerahan kekuasaan. Hal ini merupakan suatu kontradiksi, kita
sama-sama mengetahui bahwa Supersemar yang beredar pada saat ini berisi
perintah untuk pengalihan atau penyerahan kekuasaan kepada Soeharto. Di halaman
dua alinea terakhir dalam surat tersebut bahkan tertulis kalimat “Setelah
keadaan terkendali Supersemar di serahkan kembali kepada Presiden Soekarno”.
Keterangan tentang kalimat tersebut di benarkan oleh Dr. Soebandrio yang pada
saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri I.
Agaknya Soeharto yang mendapatkan Supersemar tersebut
benar-benar menggunakannya untuk melakukan coup d’etat atau kudeta.
Dengan fitnah yang di gulirkan pada PKI, Soeharto benar-benar berhasil
menerapkan strategi liciknya untuk meraih kekuasaan. Berikut merupakan kutipan
dari Eros Djarot dalam bukunya Misteri Supersemar.
“Dalam perkembangannya, ternyata bukan hanya terjadi
penggelapan fakta sejarah. Yang lebih parah lagi, Soeharto, yang menerima
perintah tersebut, ternyata telah melakukan penyimpangan-penyimpangan. Pertama,
kekuasaan yang diberikan kepada Bung Karno itu tidak pernah di kembalikan lagi.
Bahkan melapor pun tidak. Padahal klausul “untuk melaporkan” ini terdapat dalam
naskah Supersemar. Kedua, Soeharto bahkan melangkahi wewenang Bung Kano untuk
membubarkan PKI, meski saat itu PKI memang menjadi semacam “common enemy”.
Ketiga, naskah yang merupakan eksekutif order itu disulap menjadi Tap MPRS
untuk memuluskan jalan Soeharto ke kursi presiden.”
Jelas dalam pernyataan tersebut menyebutkan bahwa
ketiga fungsi licik surat tersebut di manfaatkan Soeharto untuk menggulingkan
Soekarno dan membubarkan PKI yang di fitnahnya. Nyoto sendiri sebagai salah
satu Comite Central PKI menyebutkan bahwa ketika peristiwa G 30 S belum
terjadi, beliau tidak pernah sama sekali mengetahui bahwa ada resolusi dewan
jenderal yang mendahului konsep dirinya mengenai penggulingan kekuasaan. Hal
ini merupakan kesialan bagi PKI sendiri yang pada saat itu merupakan salah satu
partai mayoritas di Indonesia.
Sekarang, setelah 49 tahun Supersemar asli menghilang,
kontroversi soal itu terus bergulir ke permukaan, tidak ada lagi larangan hukum
yang menyebutkan bahwa ketika ada seseorang berbicara soal Supersemar akan di
hukum. Semua orang bebas bersaksi atas kejadian Supersemar tersebut. kesaksian
terakhir datang dari Jenderal M. Jusuf sebagai salah satu jenderal yang
mengawal supersemar. Jenderal M. Jusuf terkenal sebagai seorang yang jujur dan
kesaksiannya di percaya sebagai salah satu kesaksian yang benar soal
Supersemar. Sayangnya, kesaksian tersebut bisa kita nikmati karena masih
dianggap sebagai dokumen rahasia yang disimpan dalam Arsip Nasional.
Sejak saat itu, muncul lah Tap MPRS No. 25/1966, yaitu
sebuah peraturan mengenai adanya larangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme
di Indonesia yang notabene merupakan bagian dari konstitusi Indonesia itu
sendiri. Hal ini membuat ideologi tersebut dilarang perederannya secara resmi
hingga kini. Hal ini merupakan suatu polemik di negeri demokrasi. Ketika kita
berbicara soal PKI, maka hal yang muncul dalam pikiran kita adalah sebuah
ketakutan akan serangan massa yang sangat anti Komunisme. Hal ini merupakan
bagian dari propaganda Orde Baru itu sendiri.
Seberapa besar pun kontroversi soal Supersemar,
agaknya pendapat saya demikian soal Supersemar dan beberapa menyetujuinya. Kita
hanya bisa berharap bahwa kebenaran sejarah akan terungkap sehingga tidak makin
banyak anak cucu kita yang di bohongi oleh sejarah yang di buat oleh para
pemenang, dalam hal ini adalah pemenang coup d’etat yang sangat licik
merebut kekuasaan. 49 tahun bergulirnya Supersemar kemudian perlahan membawa
angin segar soal isi Supersemar yang asli yang di ungkap oleh para saksi
sejarah pembuatan Supersemar tersebut.
0 comments:
Post a Comment