Saturday, March 9, 2019

Kontroversi SUPERSEMAR Kini


Surat Perintah Sebelas Maret atau biasa disingkat Supersemar adalah sebuah surat yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 oleh Soekarno sebagai perintah dasar untuk mengamankan situasi dan kondisi Republik Indonesia di saat Gerakan 30 September menjadi sebuah gerakan terror. Supersemar yang merupakan surat sakti akhirnya menjadi penyebab dari hilangnya nyawa dari 500.000 orang yang telah dianggap sebagai simpatisan PKI, bahkan menurut Kol. Sarwo Edhi Wibowo, jumlah korban hingga mencapai 3 juta orang. Benar lah perkataan Blaise Pascal dalam bukunya Pensees :
“Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas; pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi kemudian menjadi masuk akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir.”
Di dalam kutipan tersebut jelas tergambar bahwa ketika seseorang melakukan coup d’etat terhadap pemerintahan yang berdaulat, maka rezim yang menggantikannya akan menyembunyikan kebenaran tersebut dengan sebuah kebenaran yang palsu hingga kebenaran yang palsu itu sendiri terbongkar dan akhirnya menumbangkan rezim tersebut. Mungkin hal inilah yang terjadi pada rezim Orde Baru, ketika scenario supersemar dan G 30 S dengan fitnah yang di juruskan kepada PKI berhasil menciptakan coup d’etat terhadap rezim Orde Lama, Soeharto berkuasa hingga 32 tahun dan tumbang akhirnya pada tahun 1998. Setelah tumbangnya Orde Baru, semakin jelas lah bahwa apa yang di skenariokan pada tahun 1965-1966 mengandung pengkhianatan yang sangat tersistematis.

Sudah banyak buku dan catatan yang menerangkan soal kepalsuan Supersemar yang beredar selama ini di masyarakat. Salah satu yang paling kontroversial yaitu sebuah buku yang berjudul Mereka Menodong Soekarno yang dibuat oleh mantan ajudan Soekarno. Menurut buku tersebut, Soekarno di datangi ketiga jenderal suruhan Soeharto (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M. Jusuf) dan dipaksa untuk menandatangani sebuah surat dengan kop Angkatan Darat. Yang menjadi sebuah perdebatan dalam buku ini adalah adanya jenderal keempat dalam pertemuan tersebut yaitu Jenderal M. Panggabean. Sampai sekarang buku tersebut belum bisa di pertanggungjawabkan secara ilmiah, terutama karena belum terungkapnya kesaksian dari Jenderal M. Jusuf soal Supersemar.
Ali Ebram, seorang yang merupakan pengetik dari Supersemar sempat di wawancara oleh Eros Djarot. Dalam bukunya yang berjudul Misteri Supersemar, Eros Djarot dan Ali Ebram memaparkan bahwa surat perintah tersebut diketik pada saat keadaan genting. Ketiga jenderal yaitu Amir Machmud, M. Jusuf, dan Basuki Rachmat memaksa Soekarno untuk menulis surat tersebut. Amir Machmud bahkan sempat membentak Soekarno, kejadian tersebut menyulut emosi dari Ali Ebram dan ajudan Soekarno yaitu Brigjen. Sabur, komandan Cakrabirawa.
Menurut Ali Ebram, surat tersebut diketik dengan spasi 2 dan terdiri atas 2 halaman. Isinya mengenai perintah mengamankan negara, bukan perintah penyerahan kekuasaan. Hal ini merupakan suatu kontradiksi, kita sama-sama mengetahui bahwa Supersemar yang beredar pada saat ini berisi perintah untuk pengalihan atau penyerahan kekuasaan kepada Soeharto. Di halaman dua alinea terakhir dalam surat tersebut bahkan tertulis kalimat “Setelah keadaan terkendali Supersemar di serahkan kembali kepada Presiden Soekarno”. Keterangan tentang kalimat tersebut di benarkan oleh Dr. Soebandrio yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri I.
Agaknya Soeharto yang mendapatkan Supersemar tersebut benar-benar menggunakannya untuk melakukan coup d’etat atau kudeta. Dengan fitnah yang di gulirkan pada PKI, Soeharto benar-benar berhasil menerapkan strategi liciknya untuk meraih kekuasaan. Berikut merupakan kutipan dari Eros Djarot dalam bukunya Misteri Supersemar.
“Dalam perkembangannya, ternyata bukan hanya terjadi penggelapan fakta sejarah. Yang lebih parah lagi, Soeharto, yang menerima perintah tersebut, ternyata telah melakukan penyimpangan-penyimpangan. Pertama, kekuasaan yang diberikan kepada Bung Karno itu tidak pernah di kembalikan lagi. Bahkan melapor pun tidak. Padahal klausul “untuk melaporkan” ini terdapat dalam naskah Supersemar. Kedua, Soeharto bahkan melangkahi wewenang Bung Kano untuk membubarkan PKI, meski saat itu PKI memang menjadi semacam “common enemy”. Ketiga, naskah yang merupakan eksekutif order itu disulap menjadi Tap MPRS untuk memuluskan jalan Soeharto ke kursi presiden.”

Jelas dalam pernyataan tersebut menyebutkan bahwa ketiga fungsi licik surat tersebut di manfaatkan Soeharto untuk menggulingkan Soekarno dan membubarkan PKI yang di fitnahnya. Nyoto sendiri sebagai salah satu Comite Central PKI menyebutkan bahwa ketika peristiwa G 30 S belum terjadi, beliau tidak pernah sama sekali mengetahui bahwa ada resolusi dewan jenderal yang mendahului konsep dirinya mengenai penggulingan kekuasaan. Hal ini merupakan kesialan bagi PKI sendiri yang pada saat itu merupakan salah satu partai mayoritas di Indonesia.
Sekarang, setelah 49 tahun Supersemar asli menghilang, kontroversi soal itu terus bergulir ke permukaan, tidak ada lagi larangan hukum yang menyebutkan bahwa ketika ada seseorang berbicara soal Supersemar akan di hukum. Semua orang bebas bersaksi atas kejadian Supersemar tersebut. kesaksian terakhir datang dari Jenderal M. Jusuf sebagai salah satu jenderal yang mengawal supersemar. Jenderal M. Jusuf terkenal sebagai seorang yang jujur dan kesaksiannya di percaya sebagai salah satu kesaksian yang benar soal Supersemar. Sayangnya, kesaksian tersebut bisa kita nikmati karena masih dianggap sebagai dokumen rahasia yang disimpan dalam Arsip Nasional. 
Sejak saat itu, muncul lah Tap MPRS No. 25/1966, yaitu sebuah peraturan mengenai adanya larangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme di Indonesia yang notabene merupakan bagian dari konstitusi Indonesia itu sendiri. Hal ini membuat ideologi tersebut dilarang perederannya secara resmi hingga kini. Hal ini merupakan suatu polemik di negeri demokrasi. Ketika kita berbicara soal PKI, maka hal yang muncul dalam pikiran kita adalah sebuah ketakutan akan serangan massa yang sangat anti Komunisme. Hal ini merupakan bagian dari propaganda Orde Baru itu sendiri.
Seberapa besar pun kontroversi soal Supersemar, agaknya pendapat saya demikian soal Supersemar dan beberapa menyetujuinya. Kita hanya bisa berharap bahwa kebenaran sejarah akan terungkap sehingga tidak makin banyak anak cucu kita yang di bohongi oleh sejarah yang di buat oleh para pemenang, dalam hal ini adalah pemenang coup d’etat yang sangat licik merebut kekuasaan. 49 tahun bergulirnya Supersemar kemudian perlahan membawa angin segar soal isi Supersemar yang asli yang di ungkap oleh para saksi sejarah pembuatan Supersemar tersebut.

0 comments:

Post a Comment

 
;