"Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis kepemimpinan proletariat di dalam sejarah." -- Leon Trotsky.
Tulisan ini merupakan hasil dari diskusi
intensif saya dengan kawan-kawan dari Lingkar Sosialis Indonesia mengenai
kondisi kapitalisme dunia dan kualitas perjuangan buruh Indonesia hari ini.
Jesus menjelaskan bahwa kerusakan akut dari ekonomi kapitalis hari ini, dengan
menggunakan perspektif Trotsky, telah menunjukkan syarat-syarat objektif untuk
revolusi proletariat. Syarat-syarat ini bukan hanya sudah matang, tetapi sudah
mulai membusuk. Dan krisis kapitalisme hari ini, yang termanifestasi secara
dramatis dengan keruntuhan finansial, yang segera diikuti oleh suatu
kemerosotan perekonomian dunia dalam skala yang belum pernah terjadi sejak
Perang Dunia Kedua, merupakan momentum kritis yang tak terbantahkan.
Pada tahun 1938,
dalam Program Transisional kawan-kawan serikat buruh, Trotsky telah menggambarkan mengenai kematian
kapitalisme dengan cara yang sangat mengerikan. Dan perspektif Trotsky ini
sangat tepat untuk mendiskripsikan situasi yang tengah terjadi saat ini.
Fenomena kerusakan
karena gerak anarkis kapitalisme tengah terjadi di mana-mana. Bencana politik,
ekonomi, dan ekologi terus dipertunjukkan oleh kapitalisme. Keterlibatan AS
dalam perang di Afghanistan selama hampir 10 tahun telah menimbulkan kerusakan
politik dan tata sosial. Dan juga keterlibatannya dalam perang saudara di Irak,
tentu, akan menimbulkan perang sektarian yang lebih besar lagi. Kerusakan yang
lebih parah di planet ini akan terus terjadi. Bencana BP di Teluk Meksiko
adalah pertunjukan terbaru yang spektakuler.
Sesuatu yang tak
terpikirkan oleh kita kini juga terjadi. Setelah perang minyak, yang memang telah
lama dimulai, sekarang mulai ribut soal air. PBB menyatakan bahwa sepertiga
dari populasi dunia akan tinggal di negara-negara yang terkena dampak
kekurangan air. Dan Kopenhagen Summit digelar
untuk membicarakan mengenai perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang
cukup membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.
Yang terpenting dari semua fakta kritis
yang telah ditunjukkan, kapitalisme terbukti tidak mampu menjalankan
gerak perekonomian dunia, yang akhirnya membentuk berbagai sumber masalah yang
akan berdampak berat. Baru beberapa bulan yang lalu kaum
kapitalis internasional mempertahankan rencana stimulus fiskal mereka. Tetapi
dalam debat sengit pada pertemmuan G20 di Toronto, mayoritas para pemimpin
kapitalis berayun ke program penghematan.
Hal yang sama juga
ditunjukkan oleh kapitalisme Eropa. Kaum Konservatif Inggris dan Kanselir
Jerman, Merkel Angela, juga menabuh genderang mendukung program penghematan.
Tapi jalan penghematan ternyata malah semakin memperparah krisis ekonomi.
Bahkan yang terjadi adalah krisis utang pemerintah akibat kebijakan bail out terhadap bank-bank dan pengucuran
berbagai dana kesejahteraan.
Tidak ada yang mampu memecahkan persoalan
ini. Di Inggris, sekitar 750.000 lapangan kerja di sektor publik akan
menghilang, dan sebagai konsekuensinya, sekitar 600.000 lapangan kerja di
sektor swasta juga akan lenyap, meskipun sektor swasta diperkirakan mampu
menciptakan dua juta lapangan kerja baru. Kelemahan basis industri di Inggris
ini akan menghancurkan ilusi bahwa kemampuan dalam ekspor merupakan jalan
keluar dari krisis. Jerman juga mengalami hal yang sama. Meskipun memiliki
banyak peningkatan dalam bidang ekspor, tetapi karena seluruh dunia mengalami
deindustri, khususnya seluruh Eropa, maka tidak akan memperoleh keuntungan. Dan
Cina, saat ini, masih berjalan lamban akibat terlalu panas dan runtuhnya sektor
properti. Terjadi over-investasi dan kapasitas surplus yang masif. Keputusan
Cina untuk merevaluasi mata uangnya ternyata hanya 0,77%, terlalu jauh dari
yang diperkirakan.
Kalaupun terjadi kebangkitan ekonomi di
Jerman, ini tidak akan terlihat karena sebanding dengan melonjaknya jumlah
pengangguran, akumulasi kerugian dalam pendapatan dan penurunan standar
kehidupan. Dengan menegakkan kebijakan neo-liberal, jutaan buruh di Eropa saat
ini berada dalam kondisi yang lebih buruk dibanding sebelum krisis. Para
pemilik modal akan mendorong banyak buruh ke sektor informal dan tidak aman,
sehingga mereka lebih mudah untuk memecat buruh.
Pemerintah koalisi
baru Inggris mencari jalan dengan menyerang kondisi kelas buruh. Rencana
pemotongan brutal akan memotong pembayaran redundansi bagi seluruh sektor
publik dan pegawai negeri sipil menghadapi pengurangan hak pensiun. Ada
serangan di seluruh Eropa atas dana pensiun. Di Perancis, Presiden Sarkozy
ingin menaikkan usia pensiun menjadi 62 hingga tahun 2018. Anatole Kaletsky,
dalam majalah Times (London), meratapi fakta
bahwa masyarakat hidup terlalu lama setelah pensiun. Dia menyarankan agar dana
pensiun hanya dibayar selama 10 tahun setelah pensiun dan orang-orang yang
hidup lebih lama harus kehilangan hak mereka.
Mengenai situasi di
Yunani, Jesus mengatakan bahwa Yunani merupakan mata rantai terlemah dari
kapitalisme Eropa. Kaum kapitalis Eropa melihat Yunani sebagai sebuah stress test dari kemampuan perlawanan kelas buruh.
Terdapat serentetan propaganda bohong yang tak terduga. Kaum buruh meresponnya
dengan enam pemogokan umum. Kelas buruh di Yunani sekarang sedang mencerna
pengalamannya dan akan "menunggu hingga musim gugur", saat suhu
politik benar-benar memanas.
Pemogokan umum atau
kemungkinan akan meledaknya pemogokan umum tengah berakar di banyak negara di
Eropa, kata Jesus. Di Perancis sudah terjadi dua pemogokan pada bulan lalu
mengenai dana pensiun. Hal ini merupakan tindakan yang paling menentukan sejak
pemogokan menentang rencana Juppé pada tahun 1995. Kita juga telah melihat aksi
mogok serupa di Italia, Spanyol dan Portugal, dengan sebuah pergeseran tegas ke
arah kiri di Spanyol, juga dalam beberapa organisasi buruh di Portugal.
Pemogokan umum secara
umum hampir selalu berhubungan dengan masalah kekuasaan. Kelas buruh membawa
seluruh masyarakat untuk mogok. Namun, pemogokan umum baru-baru ini lebih
bersifat protes. Di Yunani telah terjadi pemogokan selama 24 hingga 48 jam.
Namun kelas buruh Yunani masih harus bergerak lebih jauh lagi, jika masih ingin
memaksa pemerintah untuk mundur.
Seluruh situasi hari
ini di mana pemogokan umum yang nampak lentur adalah karena tidak adanya
organisasi yang kuat yang dapat membentuk perjuangan. Hal ini berbeda dengan
tahun 1980-an ketika terjadi kesadaran sosialis dan menyatu dengan partai buruh
dalam memainkan peran. Tidak adanya organisasi sosialis hari ini telah menahan
gerak kelas buruh, bahkan ketika kapitalisme sedang menunjukkan
ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Tidak setiap negara
memiliki tahapan yang sama dalam perjuangan. Di Irlandia, skala pemotongan yang
terjadi secara kolosal telah mengejutkan kelas buruh, khususnya setelah selama
sekitar dua dekade mengalami standar hidup yang tinggi dalam sejarah Irlandia.
Terdapat juga unsur-unsur yang sama di Inggris. Tapi kesadaran massa dapat
berubah dengan sangat cepat terutama jika kontradiksi kelas terjadi. Kemarahan
buruh lebih banyak diarahkan kepada bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan
besar. Tetapi tanpa mengajukan ide-ide sosialis, tentunya, tidak akan
mendapati kemenangan.
Jesus mengingatkan
agar mewaspadai tumbuhnya nasionalisme, rasisme, dan kelompok-kelompok sayap
kanan seperti terlihat di Austria, Italia dan di beberapa tempat lain. Kelompok
sayap kanan akan berada di garis terdepan pada tahap pertama krisis jika tidak
ada massa progresif yang bergerak. Faktor lain juga bisa menjadi penyebab
meningkatnya permasalahan nasional. Kita harus menempatkan posisi sosialis
dalam situasi seperti ini. Aksi massa baru-baru ini di Barcelona yang mendukung
nasionalisme Katalan merupakan indikasi dari apa yang tengah berkembang.
Mengenai krisis di
Timur Tengah, menurut Jesus, tidak ada hal yang memungkinkan untuk terjadi
kesepakatan antara Israel dan Palestina. Seluruh Timur Tengah dipengaruhi oleh
krisis ekonomi; Mesir tengah berada dalam posisi kritis dan berada di ambang
gejolak sosial besar. Obama tidak akan bertindak apa-apa karena kedekatan AS
dengan kapitalisme Israel.
Apa yang kita lihat
di Cina, dengan pemogokan dan protes untuk gaji yang lebih baik, dengan
perlawanan menentang kondisi sosial dan buruh yang sangat buruk, merupakan gema
dari perjuangan buruh di Rusia pada tahun 1896. Kaum buruh di Cina hari ini
sedang membangun serikat-serikat buruh independen.
Di bawah kapitalisme,
prospek perlawanan yang maha dahsyat tengah dibangkitkan. Hal ini, secara
grafis, dapat diilustrasikan dengan pengalaman buruk Meksiko dan perang obat
bius yang pernah menyelebungi sebagian masyarakat. Semua kerusakan ini akan
terhindar jika kelas buruh melakukan tugas-tugas sejarahnya, yakni mengambil
kepemimpinan dan membawanya menuju sosialisme.
Serangkaian
ledakan-ledakan peristiwa, cepat atau lambat, akan menaikkan radikalisasi
massa, itulah mekanisme dasar revolusi. Pada tahun 2008 lalu, sebuah krisis
finansial global telah menyeruak, dan krisis ini merupakan peristiwa yang
paling berat sejak Perang Dunia Kedua. Hari ini, di Eropa, kita juga tengah
menyaksikan krisis yang cukup memukul. Dan ini cukup berdampak juga bagi banyak
negara, termasuk Indonesia.
Momentum kritis dari sebuah periode yang
seharusnya mampu memunculkan radikalisasi massa, namun, di Indonesia, faktanya,
tak memperlihatkan hal tersebut. Munculnya kepemimpinan revolusioner dari kelas
buruh, yang merupakan bagian integral dari kondisi obyektif ini juga tidak
terjadi. Kelas buruh masih terpaku di tempatnya. Masih asyik meratapi nasibnya
dengan nyanyian sendu yang melankolik. Serikat-serikat buruh masih berfungsi
sekedar sebagai lembaga bantuan hukum bagi buruh. Lompatan progresifnya belum
nampak. Kepemimpinan revolusionernya belum terbentuk.
Fenomena ini juga terlihat secara umum di
dunia. Walaupun sudah terjadi pemogokan-pemogokan besar di Eropa dalam
menanggapi krisis ekonomi baru-baru ini, secara umum tingkat perlawanan kaum
buruh masihlah tertinggal dari kondisi objektif yang ada. Ini karena hubungan antara krisis ekonomi dan kesadaran buruh bukanlah satu
hal yang otomatis. Krisis ekonomi yang besar justru dapat mengejutkan kaum
buruh sehingga mereka justru menundukkan kepala mereka, menunggu lewatnya topan
badai.
Depresi Hebat 1929 tidak mendorong rakyat
buruh bergerak hingga tahun 1934. Ketertinggalan kesadaran ini justru akan
menjadi sebuah ledakan ketika buruh mulai bergerak, seperti sebuah dam yang
dibelakangnya penuh dengan air bah yang tertahan untuk sementara waktu tetapi
niscaya akan menyeruak.
Mengenai kualitas perjuangan buruh di
Indonesia, Jesus mengatakan bahwa superaktivisme masih menjadi tradisi yang
mengakar dalam organisasi-organisasi buruh di Indonesia. Superaktivisme adalah kecenderungan untuk selalu ingin aktif di lapangan
dan mengabaikan pendidikan politik yang sistematis. Mereka, para pemimpin
serikat buruh, seringkali mengatakan bahwa kaum buruh hanya mampu sampai pada
tuntutan-tuntutan ekonomi saja. Pemahaman ke arah politik masih terlalu rumit
bagi kaum buruh, begitu ujar mereka. Tendensi ini, yakni tendensi ekonomisme,
justru membodohi dan menjerumuskan kaum buruh.
Reformisme Eduard
Bernstein, menurut Jesus, juga mulai mewarnai pemikiran dan sebagai basis
orientasi dalam serikat-serikat buruh hari ini di Indonesia. Rosa Luxemburg,
dalam bukunya Reformasi atau Revolusi, cukup
membantu kita untuk bisa mengurai konsepsi reformis Eduard Bernstein. Dalam
periode kebingungan seperti saat ini, gagasan-gagasan reformis terlihat cukup
mekar bersemi dalam organisasi-organisasi buruh.
Gagasan-gagasan baru
”kreatif”, yang menawarkan Sosial Demokrasi (Sosdem) untuk mengatasi kelumpuhan
ideologis dan politik gerakan selama buruh selama ini, dengan metode
parlementer dan kolaborasi kelas, yang menganggap bahwa perjuangan buruh
melalui mekanisme parlementer merupakan suatu cara yang diperlukan untuk
mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme, mulai menjadi pilihan pijak
bagi organisasi-organisasi buruh. Gagasan AE Priyono misalnya, yang tertuang
dalam artikelnya “Reaktualisasi
Sosial Demokrasi Relevansi dan Konteksnya di Indonesia Dewasa ini,” merupakan provokasi teoritik yang bisa membelokkan aktivis-aktivis buruh
menuju jalan buntu.
Bagi perjuangan buruh
yang mengunakan sosialisme sebagai basis pijak, revolusi bukanlah hal yang
bersifat taktis, melainkan prinsipil. Tetapi reformisme, yang kini banyak
menghinggapi organisasi-organisasi buruh, tetap yakin bahwa kapitalisme bisa
diubah menjadi sosialisme dengan jalan reformasi. Analisa Bernstein, yang
menjadi rujukan kaum reformis, didasarkan pada satu premis utama bahwa
kapitalisme mampu beradaptasi terhadap krisis, adaptif terhadap kontrol sosial,
dan mampu memberikan reformasi bagi kepentingan kelas buruh.
Melihat kondisi
obyektif dari tidak adanya kepemimpinan revolusioner dalam menyambut gegap
gempita kebangkrutan kapitalisme global, pembangunan organisasi-organisasi
buruh yang berbasis ideologi sosialis di Indonesia menjadi hal yang tidak bisa
ditawar lagi.
Situasi ekonomi dan
politik dunia sekarang ini sebenarnya telah membuka kesempatan baru untuk
membangun gerakan buruh yang progresif dan revolusioner. Dan kesempatan ini
harus segera diambil sehingga tidak berlalu begitu saja. Karena, bila kita
tidak mampu membawa krisis kapitalisme ini menuju jalan sosialis, maka jalan
yang lainnya adalah barbarisme.
0 comments:
Post a Comment