Emansipasi.
Kita sering mendengar istilah tersebut. Tak jarang pula istilah tersebut
dihubungkan dengan perempuan. Ya. Emansipasi perempuan. Lantas, apakah artinya?
Emansipasi berarti pembebasan atau pemerdekaan. Karena itu, emansipasi
perempuan berarti pembebasan atau pemerdekaan kaum perempuan. Ya, pembebasan
dari penjara-penjara yang membuat perempuan menjadi manusia klas dua, dengan
kedudukan serta harkat dan martabat yang lebih rendah daripada laki-laki. Ya,
pembebasan dari belenggu-belenggu yang membuat perempuan tidak dapat
beraktualisasi atau mewujudkan dirinya sendiri.
Feminisme
dan Sosialisme
Sejak
Marx dan Engels, Sosialisme selalu berkomitmen terhadap pembebasan perempuan.
Dalam hal ini, Sosialisme sejalan dengan gerakan-gerakan perempuan yang lazim
dinamakan Feminisme. Tapi Sosialisme dan Feminisme memiliki pendekatan dan visi
yang sangat berbeda. Bagi kaum Feminis, terutama kaum Feminis Liberal,
perempuan hidup dalam suatu masyarakat di mana laki-laki menindas perempuan.
Penindasan itu berakar di dalam kodrat laki-laki. Ada sesuatu di dalam struktur
biologis dan psikologis laki-laki yang membuat mereka memandang dan
memperlakukan perempuan sebagai manusia yang lebih rendah. Pandangan dan
perlakuan itu kemudian diwujudkan dalam patriarki, tatanan masyarakat yang di
dalamnya laki-laki berkuasa dan kaum perempuan tunduk pada kekuasaan laki-laki.
Dengan demikian, perempuan menjadi manusia klas dua. Hak-hak politik, ekonomi,
dan sosialnya tidak setara dengan laki-laki. Bahkan perempuan tidak memiliki kuasa
atas tubuh dan seksualitasnya sendiri. Karena itu, kaum perempuan harus bersatu
untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mengakhiri penindasan laki-laki
terhadap mereka.
Tanpa
membuang rasa simpati kita terhadap kaum Feminis, sebagai kaum Sosialis kita
tidak sejalan dengan pendekatan dan visi Feminisme. Secara hakiki, dengan
melihat penindasan terhadap perempuan sebagai sesuatu yang berakar di dalam
kodrat laki-laki, Feminisme memiliki konsep yang statis dan tidak dialektis
tentang manusia. Konsepnya tentang kondisi manusia juga tidak-historis.
Logikanya, konsep-konsep tersebut bermuara pada kesimpulan-kesimpulan yang
pesimistis. Pasalnya, bila kita meyakini adanya sesuatu di dalam diri laki-laki
yang membuatnya menindas perempuan, mustahil kiranya kita dapat memperbaiki
situasi yang dialami perempuan saat ini. Kesimpulannya, penindasan laki-laki
terhadap perempuan tidak akan pernah berakhir – kecuali tidak ada laki-laki
lagi di dunia ini.
Sebagai
kaum Sosialis, pendekatan dan visi kita terhadap pembebasan perempuan berpijak
pada garis klas. Ini memungkinkan pendekatan dan visi yang bercorak dinamis,
dialektis, dan historis. Bagaimana konkretnya? Begini. Menurut pandangan
Sosialis, penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan muncul dari kepemilikan
pribadi dan masyarakat klas. Studi-studi mengenai sejarah peradaban manusia
semenjak zaman batu memperlihatkan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang tidak
mengenal kepemilikan pribadi dan perbedaan klas kaum perempuan dan laki-laki
sama-sama terlibat dalam proses produksi dengan kedudukan yang sejajar.
Dalam
masyarakat-masyarakat seperti itu, perempuan memiliki kebebasan dan kesetaraan
dengan laki-laki. Munculnya kepemilikan pribadi atas alat produksi dan
masyarakat klas telah menyingkirkan kaum perempuan dari proses produksi dan
melemparkannya kepada pekerjaan-pekerjaan domestik (kerumahtanggaan). Dengan
jalan itu, kebebasan perempuan terenggut, dan kesetaraannya dengan laki-laki
lenyap. Karena itu, jelas bagi kita kaum Sosialis, bahwa pembebasan perempuan
tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk mengakhiri kepemilikan pribadi
atas alat produksi dan masyarakat klas. Ya, pembebasan perempuan tidak dapat
dipisahkan dari perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Sosialis!
Kontradiksi
Saat
ini kita, baik kaum perempuan maupun laki-laki, hidup dalam epos Kapitalisme.
Perkembangan Kapitalisme telah mendatangkan perubahan yang sangat besar dalam
hidup kita. Secara khusus, perubahan yang sangat besar ini juga berdampak pada
kaum perempuan. Seturut dengan logikanya sendiri, Kapitalisme telah
mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi, yakni sekarang kita
temui kaum perempuan bekerja di pabrik, di kantor, dan banyak tempat kerja
lainnya. Tentu, sebagai buruh alias pekerja upahan. Dengan demikian, kaum
perempuan pun bekerja mencari nafkah, tidak lagi terkungkung dalam kerja
rumahtangga.
Kenyataan ini mengandung potensi yang luar biasa bagi
kaum perempuan. Secara potensial kaum perempuan
memiliki kemandirian ekonomi, tidak harus bergantung pada laki-laki, baik sebagai
ayah maupun suami, untuk hidup sehari-hari. Di samping itu, bila kaum perempuan
mengorganisir diri secara kolektif, mereka juga mampu memperjuangkan hak-hak
mereka. Sangat berbeda dengan “nasib” mereka sebelumnya, bukan? Kaum perempuan
tidak lagi “ditakdirkan” untuk menjadi manusia klas dua! Pada titik ini, bisa
disimpulkan bahwa basis material bagi penindasan terhadap kaum
perempuan sebenarnya sudah lenyap.
Tetapi, mengapa sampai saat ini kaum perempuan masih
tertindas? Dalam hal ini, kapitalisme, yang berintikan
kepemilikan atas alat-alat produksi berada dalam tangan segelintir orang (yakni
para burjuis alias kapitalis), memperlihatkan kontradiksinya. Logika
kapitalisme pada saat yang sama mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi
sekaligus mengerangkeng mereka di dalam keluarga-keluarga dalam artian
tradisional. Kok bisa?
Pertama,
Kapitalisme mempergunakan lembaga keluarga tradisional untuk memastikan kaum
buruh laki-laki tetap memiliki kondisi yang prima untuk bekerja. Peran kaum
perempuan, dalam status mereka sebagai istri, adalah melayani suami-suami
mereka.
Kedua,
Kapitalisme mempergunakan lembaga keluarga tradisional untuk memastikan kaum
buruh memiliki anak-anak yang kelak akan menjadi generasi buruh menggantikan
mereka. Peran kaum perempuan, dalam status mereka sebagai ibu, adalah merawat
dan membesarkan anak-anak mereka untuk menjadi buruh-buruh para tuan/nyonya
majikan.
Dalam
batasan keluarga tradisional, seburuk-buruknya kaum perempuan mengalami
penindasan kapitalistik yang terjadi melalui lembaga keluarga tradisional.
Sebaik-baiknya, mereka mengalami penghisapan sebagai buruh perempuan sekaligus
“ditakdirkan” untuk tugas-tugas domestik: melayani para suami dan membesarkan
anak-anak mereka. Dalam kedua kasus tersebut, kaum perempuan dihambat dari
kemungkinan untuk mewujudkan dirinya. Di lain pihak, si kapitalis akan menikmati keuntungan yang sangat besar.
Dalam kasus yang pertama, ia selalu memiliki buruh laki-laki dalam kondisi
prima dan mempunyai “pasokan tenaga kerja” yang dipersiapkan oleh kaum
perempuan. Dalam kasus yang kedua, keuntungannya semakin besar, karena ia juga
memiliki buruh perempuan, yang lazimnya bisa dibayarnya lebih murah daripada
buruh laki-laki.
Visi Sosialis
Berkomitmen pada pembebasan sejati kaum perempuan,
Sosialisme menyatakan bahwa tatanan masyarakat yang mengenal perbedaan klas
(dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi sebagai akar atau basis
materialnya) adalah lahan yang subur bagi kekuasaan laki-laki (patriarki) dan
penindasan terhadap kaum perempuan. Masyarakat perbudakan dan masyarakat feodal
menyingkirkan kaum perempuan dari proses produksi dan menempatkan mereka dalam
posisi yang bergantung sepenuhnya pada laki-laki. Penyingkiran dan penempatan
ini dilembagakan dalam pranata sosial berupa keluarga tradisional. Di dalamnya
kaum perempuan “menunaikan tugas mulia”: melayani suami dan mengasuh anak.
Masyarakat kapitalis mewarisi keluarga tradisional dari
epos sebelumnya. Di satu sisi Kapitalisme menggoyang keluarga tradisional
dengan membawa kembali kaum perempuan ke dalam proses produksi. Dengan jalan
itu, sebenarnya kaum perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki. Tapi di
sisi lain kapitalisme berkepentingan terhadap kelestarian keluarga tradisional
karena memberinya keuntungan atau manfaat yang sangat besar. Karena itu,
melalui para “produsen ideologi”-nya, yakni kaum cendikia yang nafkahnya
bergantung pada “cipratan” profit (nilai lebih) yang dihisap kaum kapitalis
dari hasil kerja kaum buruh, kapitalisme berusaha meyakinkan rakyat pekerja
bahwa “keluarga tradisional” itu merupakan fondasi yang kekeramatannya harus
dijaga demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Agama-agama digunakan
oleh kelas penguasa sebagai “paduan suara” yang mengagungkan ”keluarga
tradisional” yang pada dasarnya menjadi sarana kapitalisme menindas kaum
perempuan itu.
Pada titik ini tentulah kita mengerti visi Sosialisme:
pembebasan kaum perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan mengakhiri
kepemilikan pribadi dan masyarakat klas serta membangun masyarakat baru,
masyarakat Sosialis. Dengan perkataan lain, pembebasan kaum perempuan
terlaksana melalui perjuangan Sosialis. Hanya di dalam tatanan masyarakat di
mana alat-alat produksi dimiliki, dikontrol, dan diakses secara demokratis oleh
laki-laki dan perempuan rakyat pekerjalah pembebasan kaum perempuan akan
benar-benar dapat diwujudkan. Hanya dalam masyarakat seperti itulah kaum
perempuan akan benar-benar dapat beraktualisasi atau mewujudkan dirinya secara
penuh.
Dalam masyarakat tersebut pranata sosial yang bernama
keluarga, andaikata toh masih ada, akan kehilangan karakter “tradisional”-nya
sebagai unit penindasan kaum perempuan. Keluarga rakyat pekerja dalam
masyarakat Sosialis adalah wahana perayaan cinta kasih manusiawi yang murni dari
insan-insan yang merdeka, mandiri, dan setara, tanpa noda perhambaan pihak yang
satu kepada pihak yang lain, apalagi terkooptasi kepentingan Kapital.
Apakah visi tersebut pernah menjadi kenyataan?
Tentu saja! Revolusi Bolshevik 1917 berhasil mewujudkan kebebasan
dan kemandirian kaum perempuan serta mengukuhkan kesetaraannya dengan
laki-laki. Hak-hak perempuan untuk menentukan sikap terhadap seks, perkawinan,
dan kehamilan dijamin sepenuhnya. “Pekerjaan-pekerjaan rumahtangga” seperti
mengasuh anak, mencuci pakaian, menyiapkan makanan, dan merawat orangtua yang
sudah lanjut usia menjadi tanggungjawab masyarakat. Dengan demikian kaum
perempuan dapat mengontrol sendiri hidup mereka serta memiliki kesempatan yang
seluas-luasnya untuk beraktualisasi. Itulah pencapaian sebuah revolusi
Sosialis!
Sayangnya, badai kontra-revolusi yang dilancarkan oleh
musuh-musuh Negara Buruh yang baru lahir itu lambat-laun membalikkan keadaan
itu. Rakyat pekerja Uni Soviet menghadapi musuh di dua front, yakni gabungan
pasukan-pasukan imperialis dari luar dan kekuatan-kekuatan anti Uni Soviet dari
dalam. Sementara itu, revolusi-revolusi sosialis di negeri-negeri kapitalis
maju mengalami kegagalan. Negara Buruh itu kehilangan banyak kaum buruh
revolusionernya yang gugur di medan laga, mengalami kemacetan industri dan
wabah kelaparan.
Saat itulah birokrasi Stalinis, yang tak lain dari
kekuatan kontra-revolusi dalam tubuh Partai Bolshevik, muncul dan mengambilalih
kekuasaan dari tangan rakyat pekerja. Kediktatoran birokrasi Stalinis, yang
meyakini bahwa Sosialisme dapat didirikan di dalam satu negeri, mengembalikan
keluarga-keluarga tradisional yang berkarakter menindas perempuan itu ke
posisinya sebagai fondasi yang keramat bagi pembangunan masyarakat, bangsa, dan
negara. Perempuan pun kembali mengalami penindasan.
Kita percaya bahwa pembebasan kaum perempuan hanya dapat
dicapai melalui kekuatan kolektif proletariat alias klas buruh. Hanya dengan
persatuan revolusioner kaum buruh perempuan dan kaum buruh laki-laki
bersama-sama dengan saudara-saudara dan saudari-saudari kaum tertindas lainnya,
masyarakat klas akan berakhir, Sosialisme akan dimulai, dan pembebasan kaum
perempuan akan menjadi kenyataan.
Kaum perempuan, emansipasikanlah dirimu dengan turut berjuang bersama proletariat menumbangkan kapitalisme dan mendirikan masyarakat Sosialis! Di sanalah pembebasanmu! Di sanalah aktualisasi sejatimu!
0 comments:
Post a Comment