Wednesday, July 17, 2019

Kita Menjadi Hamlet di Negeri Sendiri



“KITA bagaikan Hamlet dalam lakon Shakespeare di negeri sendiri,” kata Jim Garrison, seorang jaksa di negara bagian Louisiana, AS, yang pada akhir 1960-an sempat tenar setelah memperkarakan pengusaha lokal yang dituding berkomplot dalam pembunuhan John F. Kennedy.
“Anak-anak yatim yang pembunuh orang tuanya tetap bertahta”.
Kata-kata ini barangkali tak pernah meluncur dari mulut Jim Garrison yang sungguhan, alih-alih dari monolog menggetarkan selama belasan menit dari karakter Jim Garrison yang diperankan Kevin Costner dalam film kontroversial garapan Oliver Stone JFK (1991).
Peristiwa pembunuhan John F. Kennedy di Dallas pada penghujung 1963, jadi salah satu peristiwa besar sepanjang abad lalu. Bersama itu, muncul cerita-cerita ngeri-ngeri sedap yang menjurus pada kemungkinan “persekongkolan tak kasat mata”. Versi resmi dari Komisi Warren menyahihkan Lee Harvey Oswald, yang keburu mati ditembak dua harmal pasca-pembunuhan Jack Kennedy, sebagai penembak tunggal.
Tetapi, sejak purnama pertama setelah kejadian hingga hari ini, menurut jajak pendapat Gallup Poll, lebih dari separoh warga Amerika Serikat mengimani adanya “keterlibatan pihak lain”.

Teorinya macam-macam, kita tahu. Ada yang ngaco sampai hipotesis yang terkesan serius. Ada yang bilang, dalangnya Castro. Ada yang bilang Moskwa berperan. Atau sindikat gangster, yang diperangi sampai ke bulu-bulunya oleh jaksa Bobby Kennedy. Satunya mengatakan: ada kimpoi antara jenderal-jenderal petualang Pentagon dan belantik perang di Gedung Putih, termasuk wakil Jack Kennedy sendiri, Lyndon B. Johnson. Paguyuban “Pendekar Perang Dingin”.
Yang terakhir ini berusaha dikulik oleh JFK-nya Oliver Stone, melalui seorang jaksa yang terguncang oleh kematian tragik idolanya di depan kerumunan rakyatnya sendiri dan berusaha mengadili auctor intellectualis di baliknya. Jim punya pendirian teguh ketika ia ucapkan:
“Kita tegakkan keadilan sekalipun langit ambruk”.
Menurut penyelidikan Jim dalam film, Jack dieliminir karena komitmennya pada perdamaian dunia, di saat Perang Dingin yang berlangsung mencapai titik didihnya. Termasuk dengan niatan menarik tentara Amerika dari bumi Vietnam dan tawaran damai pada Uni Soviet. Tindak-tanduknya berbahaya bagi kepentingan para jawara Perang Dingin di Washington dan kelangsungan bisnis mereka yang konon bernilai 80 miliar dollar per tahun. Maka kemudian, simpul Jim, Jack ‘dikudeta’ dengan kasar.
Clay Shaw, enterprenir terkemuka, diseret ke pengadilan sebagai tersangka, dengan sangkaan turut terlibat ‘kudeta’ yang dirancang oleh penguasa. Kendati, akhirnya, Clay Shaw diputus tak bersalah sama sekali.
“Kita tegakkan keadilan sekalipun langit ambruk”.
***
Jika dipikir-pikir lagi, sepertinya, gambaran “anak-anak yatim yang pembunuh ayahnya tetap bertahta” lebih cocok dengan saya dan kalian, kita. Memang belum ada, selama 74 tahun perjalanan kita, presiden yang terbunuh—kalau penahanan rumah atas Bung Karno tak dianggap slow motion killing. Namun, presiden bukan orangtua, bukan ayah. Perkecualian: jika Anda mengajukan pertanyaan ke Jenderal Soeharto.
Kebebasan (relatif) untuk berbunyi dan berkumpul kita peroleh dan pergunakan setelah perjuangan “orangtua kita” berbuah, kendati mesti dibayar mahal dengan eksekusi tanpa ampun oleh para claudius ireng yang sejauh ini tetap tak terusik kedudukannya.
Maka, menukil penggalan sajak terkenal Wiji Thukul, “hanya ada satu kata: LAWAN!” atau berseru-seru #menolaklupa semata untuk kepentingan politik elektoral sesaat, untuk kepentingan memenangkan sosok yang kita kagumi ‘kesederhanaannya’ dari rivalnya sang lambang kedursilaan atas kemanusiaan, lalu peloh gaung ‘perlawanannya’ ketika kepentingan sesaatnya berbuah adalah kedurhakaan pada “orangtua” yang telah berkurban harta benda, jiwa dan raga.
Kita tidak sedang mengeramatkan sosok—atau sosok-sosok—yang keberadaannya an sich masih tanda tanya sedangkan gerombolan penculiknya tetap ayem tentrem, merusuh sana-sini, dan pihak yang mengumbar afspraak manis gula-gula selama kampanye pada famili yang-kehilangan, namun pada kenyataannya sejauh ini mengecewakan. Kita tidak mengeramatkan, tapi meneruskan ‘peringatan’ dan ‘perlawanan’ pada kekuasaan yang berwajah sama, meski rada kinclong, dengan kekuasaan yang dulu dilabrak ‘peringatan’ dan ‘perlawanan’—dengan pengorbanan tak terkirakan.
Lalu kini, rangkulan yang ‘mengharukan’ dan jamuan makan dan sinyal kuat bagi-bagi slot kekuasaan justru ditimbang enak dan perlu demi ‘keutuhan’, ‘kerukunan’ dan ‘persatuan’—atau barangkali ‘pembangunan’—yang entah apalagi artinya. Kecuali: lantaran kita enggak utuh, enggak rukun dan enggak bersatu, makanya kita begini blangsak. Kita menyetujuinya, kucing-kucingan dalam batin atau terang-terangan di dunia maya.
Suatu kali, Walter Benjamin pernah bilang: “Mengingat masa lalu mereka yang menjadi korban penindasan maupun perbudakan ialah upaya menyelamatkan masa lalu dan masa depan bangsa kita”.
Upaya sesepele mengingat pun bersyarat dan berjangka pendek. Asal bukan dia, meski persoalannya lebih pelik dan luas timbang ‘dia’ seorang yang diuntungkan dari kekebalan cuma-cuma. Selanjutnya, sok bijak, menasehati diri-sendiri “melupakan masa lalu dan tatap ke depan”. Hanya domba yang berpikir masa depan cemerlang dapat digapai segampang(an) itu. Dan domba hanya untuk disembelih, diolah jadi santapan.
Santapan yang khusus terhidang untuk “pembunuh orang tuanya yang tetap bertahta”.***

0 comments:

Post a Comment

 
;