“KITA bagaikan Hamlet dalam lakon Shakespeare di
negeri sendiri,” kata Jim Garrison, seorang jaksa di negara bagian Louisiana,
AS, yang pada akhir 1960-an sempat tenar setelah memperkarakan pengusaha lokal
yang dituding berkomplot dalam pembunuhan John F. Kennedy.
“Anak-anak yatim yang pembunuh orang tuanya tetap
bertahta”.
Kata-kata ini barangkali tak pernah meluncur dari
mulut Jim Garrison yang sungguhan, alih-alih dari monolog menggetarkan selama
belasan menit dari karakter Jim Garrison yang diperankan Kevin Costner dalam
film kontroversial garapan Oliver Stone JFK (1991).
Peristiwa pembunuhan John F. Kennedy di Dallas pada
penghujung 1963, jadi salah satu peristiwa besar sepanjang abad lalu. Bersama
itu, muncul cerita-cerita ngeri-ngeri sedap yang menjurus pada kemungkinan
“persekongkolan tak kasat mata”. Versi resmi dari Komisi Warren menyahihkan Lee
Harvey Oswald, yang keburu mati ditembak dua harmal pasca-pembunuhan Jack
Kennedy, sebagai penembak tunggal.
Tetapi, sejak purnama pertama setelah kejadian hingga
hari ini, menurut jajak pendapat Gallup Poll, lebih dari separoh warga Amerika
Serikat mengimani adanya “keterlibatan pihak lain”.
Teorinya macam-macam, kita tahu. Ada yang ngaco sampai
hipotesis yang terkesan serius. Ada yang bilang, dalangnya Castro. Ada yang
bilang Moskwa berperan. Atau sindikat gangster, yang diperangi sampai ke
bulu-bulunya oleh jaksa Bobby Kennedy. Satunya mengatakan: ada kimpoi antara
jenderal-jenderal petualang Pentagon dan belantik perang di Gedung Putih,
termasuk wakil Jack Kennedy sendiri, Lyndon B. Johnson. Paguyuban “Pendekar
Perang Dingin”.
Yang terakhir ini berusaha dikulik oleh JFK-nya
Oliver Stone, melalui seorang jaksa yang terguncang oleh kematian tragik
idolanya di depan kerumunan rakyatnya sendiri dan berusaha mengadili auctor
intellectualis di baliknya. Jim punya pendirian teguh ketika ia ucapkan:
“Kita tegakkan keadilan sekalipun langit ambruk”.
Menurut penyelidikan Jim dalam film, Jack dieliminir
karena komitmennya pada perdamaian dunia, di saat Perang Dingin yang
berlangsung mencapai titik didihnya. Termasuk dengan niatan menarik tentara
Amerika dari bumi Vietnam dan tawaran damai pada Uni Soviet. Tindak-tanduknya
berbahaya bagi kepentingan para jawara Perang Dingin di Washington dan
kelangsungan bisnis mereka yang konon bernilai 80 miliar dollar per tahun. Maka
kemudian, simpul Jim, Jack ‘dikudeta’ dengan kasar.
Clay Shaw, enterprenir terkemuka, diseret ke
pengadilan sebagai tersangka, dengan sangkaan turut terlibat ‘kudeta’ yang
dirancang oleh penguasa. Kendati, akhirnya, Clay Shaw diputus tak bersalah sama
sekali.
“Kita tegakkan keadilan sekalipun langit ambruk”.
***
Jika dipikir-pikir lagi, sepertinya, gambaran
“anak-anak yatim yang pembunuh ayahnya tetap bertahta” lebih cocok dengan saya
dan kalian, kita. Memang belum ada, selama 74 tahun perjalanan kita, presiden
yang terbunuh—kalau penahanan rumah atas Bung Karno tak dianggap slow
motion killing. Namun, presiden bukan orangtua, bukan ayah. Perkecualian: jika
Anda mengajukan pertanyaan ke Jenderal Soeharto.
Kebebasan (relatif) untuk berbunyi dan berkumpul kita
peroleh dan pergunakan setelah perjuangan “orangtua kita” berbuah, kendati
mesti dibayar mahal dengan eksekusi tanpa ampun oleh para claudius ireng
yang sejauh ini tetap tak terusik kedudukannya.
Maka, menukil penggalan sajak terkenal Wiji Thukul,
“hanya ada satu kata: LAWAN!” atau berseru-seru #menolaklupa semata untuk
kepentingan politik elektoral sesaat, untuk kepentingan memenangkan sosok yang
kita kagumi ‘kesederhanaannya’ dari rivalnya sang lambang kedursilaan atas
kemanusiaan, lalu peloh gaung ‘perlawanannya’ ketika kepentingan sesaatnya
berbuah adalah kedurhakaan pada “orangtua” yang telah berkurban harta benda,
jiwa dan raga.
Kita tidak sedang mengeramatkan sosok—atau
sosok-sosok—yang keberadaannya an sich masih tanda tanya sedangkan
gerombolan penculiknya tetap ayem tentrem, merusuh sana-sini, dan pihak
yang mengumbar afspraak manis gula-gula selama kampanye pada famili
yang-kehilangan, namun pada kenyataannya sejauh ini mengecewakan. Kita tidak
mengeramatkan, tapi meneruskan ‘peringatan’ dan ‘perlawanan’ pada kekuasaan
yang berwajah sama, meski rada kinclong, dengan kekuasaan yang dulu dilabrak
‘peringatan’ dan ‘perlawanan’—dengan pengorbanan tak terkirakan.
Lalu kini, rangkulan yang ‘mengharukan’ dan jamuan
makan dan sinyal kuat bagi-bagi slot kekuasaan justru ditimbang enak dan perlu
demi ‘keutuhan’, ‘kerukunan’ dan ‘persatuan’—atau barangkali ‘pembangunan’—yang
entah apalagi artinya. Kecuali: lantaran kita enggak utuh, enggak rukun dan
enggak bersatu, makanya kita begini blangsak. Kita menyetujuinya,
kucing-kucingan dalam batin atau terang-terangan di dunia maya.
Suatu kali, Walter Benjamin pernah bilang: “Mengingat
masa lalu mereka yang menjadi korban penindasan maupun perbudakan ialah upaya
menyelamatkan masa lalu dan masa depan bangsa kita”.
Upaya sesepele mengingat pun bersyarat dan berjangka
pendek. Asal bukan dia, meski persoalannya lebih pelik dan luas timbang ‘dia’
seorang yang diuntungkan dari kekebalan cuma-cuma. Selanjutnya, sok bijak,
menasehati diri-sendiri “melupakan masa lalu dan tatap ke depan”. Hanya domba
yang berpikir masa depan cemerlang dapat digapai segampang(an) itu. Dan domba
hanya untuk disembelih, diolah jadi santapan.
Santapan yang khusus terhidang untuk “pembunuh orang
tuanya yang tetap bertahta”.***
0 comments:
Post a Comment