Pagi tidak datang dengan cara yang sama lagi—secangkir
kopi hangat cukup meredakan kesendirian yang beku, setelah apa yang terjadi
membuatku begitu kelu. Manusia yang tersesat di tubuhku adalah jiwa-jiwa yang
mencari pelita. Memasrahkan diri dalam pengharapan, atau terperangkap dalam
tanya bisu, atau jawab ambigu. Tak terkecuali seorang pemuda yang tengah
menyesap kesepian di pusat jantungku itu. Tunggu, aku tidak pasrah;
sepucuk perpisahan mematahkan asa—jadi kepingkeping tiada arti. Pada sepi, aku
menyesap sesal dan emosi. Di jantung warung kopi, aku hanya berusaha menemukan
diri lagi. Jangan salah paham.
Aku masih ingat senyum tawa yang kau semai di
sepenjuru tubuhku, membuatku mual, kadang tergelitik, sebab setiap cikal cinta
adalah akar dari arang asa. Dalam bingkai-bingkai rasa di sudut tubuhku
tersimpan memori kenangan, yang mengkonversi tawa menjadi luka. Kau dan
potongan hatimu--yang kini entah ke mana--turut diabadikan pada salah satu
bingkai itu. Mungkin, kaulupa, wahai bangku dan meja plastik yang selalu
menyamankan—Tiada yang abadi di dunia ini kecuali luka. Itu yang kini kaulihat
di mataku. Itu yang kini hidup di dalam hidupku. Segala telah pudar. Hanya
menjadi sekadar.
Tiada pahit yang kupersembahkan selain secangkir kopi.
Tiada luka yang kau dapat tanpa pereda. Setiap pemilik kaki-kaki yang menjamah
tubuhku diizinkan untuk bersedih, namun dilarang meninggalkan jantungku tanpa
pulih. Cerita-cerita dalam gelas-gelas kopi, atau kilas-kilas sepi, akan
mengajarkanmu tak setiap pertemuan berujung kebersamaan. Tahu, apa, kau
tentang perasaan? Kau hanya mengingat—tidak memahami rasa. Kau mengingat segala
tawa dan luka yang alir melalui gelas kopi ini. Hari ini, aku ingin
memberitahumu bahwa bersama sepi selalu ada kehilangan. Itulah mengapa aku
sendiri dan butuh kehangatan untuk memecah dingin.
Dalam aliran waktu, mengingat adalah caraku melatih
memahami rasa. Dalam pustaka waktu, telah kutelaah rasa sebagai siklus yang tak
berujung. Jika kau bersuka, kau akan terluka. Jika kau berduka, kau akan
bersua. Pada setiap meja, akan kau temukan cangkir kopi dingin, yang menunggu
hangat dari senyummu yang kini masih tertidur. Dia menunggu pemilik cangkir
lain untuk menemukannya, menariknya dari gigil kesepian. Kau tahu, kau
harus bersyukur bahwa kopimu ini serupa parasetamol bagi tubuh yang gigil. Pun
dengan kesendirian. Tetapi, kali ini rasanya, berapa pun cangkir ini, akan sama
saja, kecuali kau punya segala yang kaukatakan itu. Bila kaupaham rasa, katakan
padaku, bagaimana cara menambal luka menganga ini?
Aku tak punya penambal luka yang kian hari semakin
menggerogoti jantungmu itu, pun buku tuntunan mengobati segala jenis penyakit
yang merasuki jiwa dan tubuhmu. Hanya orang-orang terluka yang memahami
sakitnya dilukai, dan orang-orang terluka memahami sembuh seperti apa yang
mereka idamkan. Kau butuh melangkah, serta meraih tangan yang pernah dijilat
luka, yang butuh kau kau sembuhkan, lalu kau dan dia saling
menyembuhkan. Nyatanya, tidak sesederhana apa yang kaukatakan. Ingatanmu
yang mengakar, tumbuh sumbur bersama tetiap sedih dan bahagia mereka yang
menjejak di sini. Satu hal yang tidak kauketahui, sepaham apa pun dirimu, kau
takbenar-benar hidup di dalamnya. Tetaplah, jadi persinggahan bagi mereka yang
butuh kehangatan. Kapan pun mereka butuh, kau selalu ada.
Itulah mengapa orang-orang yang dadanya ditikam luka
adalah pemurung sombong yang nyaman dengan perihnya. Datanglah kapan kau butuh.
Tak seperti mereka yang hadir dan pergi seperti tiupan angin, aku adalah setia
yang paling abadi menemani orang-orang yang dikafani lara. Akan ada secangkir
kopi hangat untuk sepotong cerita. Semudah kaubicara, wahai sesinggahan
yang menghangatkan. Cukup, biarkan aku menikmati kesendirian. Biarkan ingatanmu
berkelana di kesedihan. Barangkali, suatu waktu nanti, Tuhan sedang berkelakar
dengan melahirkanmu kembali sebagai manusia—dengan ingatan itu tetap hidup di
kepalamu. Mungkin, kau akan butuh kopi seduhanmu sendiri. Terima kasih atas
percakapan ini.
1 comments:
Keren
Post a Comment