TUJUH orang Katolik yang telah meninggal diberikan
gelar ‘orang kudus’ (santo/santa) oleh Paus Fransiskus pada 14 Oktober
2018 lalu. Satu di antaranya adalah Oscar Arnulfo Romero, seorang pahlawan
pembela kaum tertindas dari El Salvador. Romero, Uskup Agung San Salvador,
dipandu oleh cinta yang solider melawan pembunuhan dan penindasan rezim
militer, boneka kerajaan kapitalisme global, terhadap masyarakat miskin El
Salvador. Akibat terlalu aktif mencintai kaum miskin, proyektil penembak jitu
utusan rezim militer membunuhnya setelah memimpin Ekaristi pada 24 Maret 1980.
Menjadi ‘orang kudus’ bukanlah mimpi Romero dan
kebanyakan pejuang kaum tertindas yang berpayungkan teologi pembebasan Amerika
Latin. Sebab menjadi ‘orang kudus’ selalu merupakan pengkhianatan terhadap Yang
Kudus. “Jika aku memberi makan orang-orang miskin, aku disebut ‘orang kudus’,
tetapi jika aku mempertanyakan sebab-sebab kemiskinan tersebut, aku akan dicap
komunis”, ujar Dom Helder Camara. Ada kemunafikan dalam definisi ‘orang kudus’,
terutama dalam soal bagaimana caranya mencintai. Bagaimana caranya
mencintai? “La gran emfermedad del mundo de hoy es; no saber
amar”, “Penyakit terbesar zaman ini adalah; ketidaktahuan bagaimana cara mencintai”,
demikian kata Romero dalam khotbahnya pada 24 Maret 1978. Ia mau menggugat
perlahan-lahan dari epistemologi menuju etika mencintai orang-orang beriman.
Dengan kata lain, ia mempertanyakan buah iman kepada Tuhan dalam cara mencintai
sesama. Apakah mencintai berarti tekun berdoa, hidup saleh, selalu ke Gereja,
Masjid, Pura, Vihara, Klenteng? Itulah naifnya cinta.
Keputusan Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik
yang bernafas teologi pembebasan, untuk memberi gelar santo kepada Monsignor
Romero adalah upaya mengembalikan ‘orang kudus’ pada trajektori kekudusan
Injili. Keputusan ini sudah barang tentu mengganggu, membuat marah orang
beriman saleh yang tampak kudus tetapi menyusu pada kekuasaan yang mengisap
hayat hidup orang miskin. Kekudusan Injili adalah keberpihakan pada yang lemah,
terpinggirkan, dikendalikan, dimarjinalkan, diisap, dimiskinkan oleh rezim yang
berkuasa. Kekuasaan selalu merupakan hegemoni melalui manipulasi nilai-nilai
kultural dan politik masyarakat agar menerima sekaligus merasa nyaman-nyaman
saja di bawah kontrol kelas berkuasa, demikian Gramsci.
Sebagai aparatus sosial, agama menampung para orang
beriman dan mengatur cara-cara berada dari keberimanan tersebut di tengah
dunia. Dasar-dasar agama adalah suplai nutrisi kepada kemanusiaan. Nilai-nilai
agama, sebagaimana kehendak Tuhan, bertugas menyelamatkan manusia yang
diinjak-injak kemanusiaannya oleh sesama. Kendatipun demikian, di dalam
agama-agama selalu bercokol manusia-manusia saleh yang merasa begitu dekat
dengan Tuhan lantas merasa tidak perlu lagi merasa aneh dengan keadaan
pemiskinan terhadap kemanusiaan.
Delirium religiosum (Jean Couteau, 2017) menjadi
gejala umum, lantaran orang beragama merasa begitu karib dengan Tuhan (delusi
obsesif-kompulsif) dan merasa wajib meniadakan liyan atau yang lain
di luar horizon sempit keyakinannya. Beragama selalu merupakan pelarian dari
realitas, demikian ujar filsuf Ludwig Feuerbach. Dengan memiliki agama yang
diakui negara dalam KTP, orang-orang beriman merasa sudah cukup dekat dengan
Tuhan. Bahkan, KTP menjadi sarat kecukupan untuk menindas orang lain, sebab
sesudah memiliki legal standing sebagai orang dekat Tuhan, manusia
lainnya harus dikuasai sebagaimana Tuhan berkuasa atas langit, bumi, dan semua
isinya.
Kesalehan pribadi dalam ritus-ritus di rumah ibadah
sudah cukup membuat puas orang beriman. Rumah ibadah didirikan begitu megah,
sebab Tuhan ada di dalam situ. Di sudut-sudut pinggir rumah Tuhan itu, ada
tanah yang dicaplok kapitalis dari tangan petani, ada tambang yang membawa
sengsara, ada manusia yang tidak mendapatkan air sebab semuanya dialirkan ke
hotel-hotel mewah, ada perkelahian merebut makanan, dan ada juga rumah-rumah
reot tidak layak huni.
Di lapis yang lain, ada juga rumah-rumah mewah,
hotel-hotel mewah, mobil mewah, pulau-pulau mewah, dan perhiasan-perhiasan
mewah para oligark. Sebagian kemewahan tersebut disumbangkan bagi kemewahan
rumah Tuhan di tengah-tengah rumah-rumah reot umat-Nya. Agamawan menyuplai
berkat Tuhan bagi kebaikan kapitalis dan dari pihak sebelah diberikan nutrisi
seimbang dalam bentuk kemewahan yang hampir sama. Nasihat-nasihat saleh yang
menghibur sudah jauh dari cukup untuk menampakkan peran ‘Mesianis’ kaum
agamawan bagi umat Tuhan. Umat pun terbuai, lalu tidur dan bangun sebagai orang
miskin, tetapi merasa bangga memiliki agamawan dan penguasa yang baik hati.
Kesalehan pribadi mengusung panji agama sebagai
satu-satunya dasar bagi keberadaan semua manusia, tidak peduli siapa dan dari
mana orang itu. Sikap fundamental tertanam dalam lubuk hati, sehingga yang tidak
seiman harus ditiadakan, sebab tidak sesuai dengan Kitab Suci kami.
Ketidaksamaan menjadi dasar bagi kewajiban untuk meluruskan orang lain dari
kekafiran. Sayangnya, sementara kesibukan untuk memurifikasi Kitab Suci dan
iman dari gangguan ketidaksamaan dilancarkan, kelompok elite terbahak-bahak
lantaran tidak ada yang menggugat kemapanan mereka. Orang beriman sibuk
mengatur kemurnian dogma-dogma agamanya tetapi lupa untuk tujuan apa agama
diwahyukan; kemanusiaan yang selamat dari isapan anti-kemanusiaan.
Bagaimana caranya mencintai? Iman yang tidak bernalar
sehat menghasilkan kesalehan privat yang tidak berdaya transformatif
(membongkar tatanan sosial yang tidak adil oleh ulah elite) dan tidak terbuka
pada kemajemukan. Selain iman menjadi panduan bagi nalar, nalar juga seharusnya
terus diasah, didekonstruksi guna mencapai keberimanan yang menyuplai
kemanusiaan, bukannya menghabisi kehidupan manusia. Akal atau nalar juga harus
menyumbang saran bagi kontekstualitas cara mencintai sesama supaya iman tidak
menjadi menara gading yang di bawahnya ada kemanusiaan yang diinjak-injak.
Sebab iman dan akal adalah ibarat dua sayap merpati, jika salah satunya
terluka, merpati akan jatuh terkubur dalam tanah. Kata-kata Soekarno ini patut
dikenang dan dibuat; “Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak
mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin”.***
0 comments:
Post a Comment