Showing posts with label Love. Show all posts
Showing posts with label Love. Show all posts
Thursday, November 26, 2020 0 comments

Virus dan Kapitalisme

 

TAHUN 2020 ini akan tercatat sebagai sebuah babak penting dalam sejarah. Bukan karena pamitnya Ronald McDonald dan kawan-kawan dari Sarinah atau karena tiga musisi legenda Indonesia baru saja meninggalkan kita untuk selamanya, tapi karena diberhentikannya sejumlah besar pekerja dari satu-satunya sumber penyambung hidupnya. Tahun ini juga penting karena tersadarnya banyak pemilik modal bahwa dirinya juga merupakan manusia hidup yang sesungguhnya tak selalu butuh keuntungan, namun selalu perlu makan. Tamparan ini datang dari kekuatan berukuran mikroskopik yang ternyata lebih berbahaya ketimbang jentikan jari Thanos. Dunia sains mengenalnya dengan sebutan virus, suatu mikro-organisme yang beberapa kali dalam sejarah hampir saja meluluhlantahkan peradaban manusia.

Kisah serupa pernah dialami umat manusia sekitar tujuh abad silam ketika dunia diporak-porandakan oleh wabah Bubonik yang oleh banyak orang disebut Black Death. Merenggut kurang lebih 200 juta jiwa, wabah ini bahkan menjadi salah satu kekuatan yang ikut berkontribusi menyudahi sistem feodalisme di Eropa pada abad pertengahan. Selain pada zaman pertengahan, wabah juga menyerang dunia modern.

Thursday, September 3, 2020 0 comments

Belajar Realisme dari Master Sun

SEJARAH mencatat kekalahan demi kekalahan dari setiap perjuangan kelas pekerja di dunia sejak dua abad terakhir. Setidaknya hampir semua perjuangan, kalau saja sempat berhasil, takkan bertahan lama dan menjadi terkucil. Kita bisa mengingatnya sejak letupan senjata pada Revolusi Prancis, Revolusi 1848 di Eropa, Komune Paris, Spartakus di Jerman dan berbagai perjuangan kelas di belahan dunia lainnya.

Tentu ada pengecualian, seperti kemenangan gilang gemilang gerakan revolusioner para Bolshevik dalam Revolusi Oktober di Russia, perjuangan Tentara Merah Tiongkok melawan fasis Jepang dan oportunis Kuomintang, gerilya Gerakan 26 Juli yang menumbangkan diktator Batista dalam Revolusi Kuba, dan tentu saja para Vietcong yang dapat membikin Amerika Serikat angkat kaki dari Indochina dalam satu dua pukulan, meski episode-episode kemenangan tersebut juga tak lepas dari banyak tantangan.

Thursday, August 20, 2020 0 comments

Moral Komunis

 ADAKAH suatu teori Marxis mengenai moral? Perlukah seorang Kiri berbicara mengenai moralitas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sejumlah pokok bahasan yang menjadi bahan diskusi dan debat yang intens di berbagai lingkaran-lingkaran intelektual.

Setidaknya ada dua sangkaan mengenai posisi moralitas dan dalam korpus pemikiran Marxis dan implikasinya. Yang pertama adalah sangkaan konservatif, yang menganggap bahwa 1) tidak ada ruang mengenai pembahasan moralitas dalam korpus Marxisme atau 2) prinsip utama moral politik Kiri adalah sebentuk Machiavellianisme yang vulgar, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan politiknya. Implikasinya, menurut pembacaan yang juga khas bernuansa Perang Dingin ini, adalah bahwa ujung dari penerapan Marxisme dalam politik adalah rezim-rezim Stalinis dengan segala macam permasalahan dan dosanya.

Thursday, August 8, 2019 0 comments

Saya Punya Cinta, Negara Selalu Mengancurkanya


INSAN-INSAN yang belum menikah—saya, ehem, salah satunya—ialah subjek rutin risakan publik. Dan saya sudah bisa membayangkan bentuk risakan baru yang muncul selepas disahkannya KUHP baru yang moralis, brutal, dan disusun dengan penuh kemalasan itu.
“Bung,” sambar netizen Bambang, “Bung ini kalau tidak menikah tidak bisa menikmati hubungan intim lho! Nanti dipenjara kalau sembarangan berhubungan intim!”
Netizen Bambang, tentu saja, fiktif. Namun, seandainya benar-benar ada yang merisak saya demikian, saya sudah tahu apa respons saya. Saya akan kontan ngegas. “Siapa yang butuh hubungan intim? Negara sudah mengancuk saya habis-habisan!”
Alasan saya yang baik hati dan penyabar ini ngegas? Para politisi oportunis sudah meremukkan hubungan-hubungan paling berarti dalam hidup saya. Kini, mereka mau mengkriminalisasinya.
Tuesday, July 2, 2019 1 comments

Disebuah Caffe Itu


Pagi tidak datang dengan cara yang sama lagi—secangkir kopi hangat cukup meredakan kesendirian yang beku, setelah apa yang terjadi membuatku begitu kelu. Manusia yang tersesat di tubuhku adalah jiwa-jiwa yang mencari pelita. Memasrahkan diri dalam pengharapan, atau terperangkap dalam tanya bisu, atau jawab ambigu. Tak terkecuali seorang pemuda yang tengah menyesap kesepian di pusat jantungku itu. Tunggu, aku tidak pasrah; sepucuk perpisahan mematahkan asa—jadi kepingkeping tiada arti. Pada sepi, aku menyesap sesal dan emosi. Di jantung warung kopi, aku hanya berusaha menemukan diri lagi. Jangan salah paham.
Aku masih ingat senyum tawa yang kau semai di sepenjuru tubuhku, membuatku mual, kadang tergelitik, sebab setiap cikal cinta adalah akar dari arang asa. Dalam bingkai-bingkai rasa di sudut tubuhku tersimpan memori kenangan, yang mengkonversi tawa menjadi luka. Kau dan potongan hatimu--yang kini entah ke mana--turut diabadikan pada salah satu bingkai itu. Mungkin, kaulupa, wahai bangku dan meja plastik yang selalu menyamankan—Tiada yang abadi di dunia ini kecuali luka. Itu yang kini kaulihat di mataku. Itu yang kini hidup di dalam hidupku. Segala telah pudar. Hanya menjadi sekadar.
Thursday, June 6, 2019 0 comments

Mencintaimu Dengan Utuh


Lelah. Itu kata yang tepat, setelah tetiap langkah yang kuciptakan, takpernah benar-benar sampai padamu. Kau hanya bergeming—membuta. Bagaimana bisa kata itu ada, sedang rautmu tak henti buktikan kegigihan. Jika saja kau tahu segala jerih payahmu selalu sampai padaku. Hanya saja hatiku yang belum terbuka untuk itu. Lalu, apa yang bisa menjelma kunci? Padaku kau hanya seperti malam—diam dan dingin. Tidak hanya katakata, segala telah kulakukan. Tetapi, apa yang terjadi? Ketiadaan. Itu yang kauberikan padaku.
Bukan maksudku membuat anganmu terusik dengan pribadiku. Aku tetap seperti ini tanpa ubah. Dirimu sendiri yang menjadikanku tampak berbeda. Tiada yang berbeda—pada sepasang bahagia yang kusematkan di matamu. Pada samudra, yang alir dan tenang. Di sana, aku menanti senja—merah terbakar, serupa harapanku, yang menjadi abu ketika tiada kejelasan yang kudapatkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku bisa memilikimu?
Friday, May 3, 2019 0 comments

Harga Sebuah Pertemuan


Terimakasih, berkat perpisahan kita aku jadi semakin banyak belajar. Aku jadi lebih sadar bahwa pada setiap pertemuan selalu akan ada perpisahan. Entah berpisah untuk kemudian akan bertemu kembali keesokan harinya ataukah berpisah untuk selamaya. Pertemuan selalu datang sepaket dengan perpusahan, ketika aku menyadari itu semua. Aku jadi lebih menghargai setiap pertemuan kepada siapapun, aku menggargai waktu ku saat bertemu seseorang entah itu orang yang ku kenal atau tidak. Orang yang baru ku kenal atau yang sudah lama ku kenal. Ku hargai meraka dengan setara, tidak ada yang ku beda-bedakan. Aku akan memberikan yang terbaik buat menghargai pertemuan-pertemuan itu.
Kuberikan semua perhatian terbaikku kepada mereka, mendengarkan seantusias mungkin kepada meraka, memberikan tanggapan terbaik, dan senyum terbaik yang aku punya seakan itu adalah pertemuan terakhir kami. Aku belajar melakuakan itu sebaik mungkin sebaik yang aku bisa, karena aku tak ingin menyesali melewatkan moment-moment berharga Bersama mereka.
Thursday, February 14, 2019 0 comments

Menunggumu Satu Kali Lagi


Perihal menunggu, aku yang paling tahu. Langit saja sudah jemu menyaksikan kebodohanku yang terus meyakini sebuah kalimat darimu. “Tunggu aku,” katamu beberapa waktu lalu. Kala itu, aku hanya mengangguk setuju. Namun, ternyata menunggumu tak pernah semudah yang kubayangkan. Aku harus menunggumu, yang sedang berbagi rasa dengan sosok lain di sisimu. Sungguh, aku meragu pada apa yang bentang di hadapan kebersamaan kita-pada masa depan yang direncanakan. Menunggu menjadi jalan terbaik-sampai kupikir, kita tidak bisa berada di jalan yang sama lagi. Tidak denganmu.
Siapakah yang paling tahu tentang masa depan? Baik aku maupun kau, tak ada yang bisa menentukan. Hidup ini seperti uang logam. Satu sisi adalah masa depan yang kuyakini–kebersamaan, sedangkan satu sisi lain adalah masa depan yang kauyakini–perpisahan. Kita hanya perlu menunggu tangan semesta melemparkan uang logam itu dan melihat sisi mana yang akan muncul dan menjadi kenyataan.
Friday, February 8, 2019 0 comments

Perpisahan Sepi


"Pada akhirnya kita menyerah pada kata pergi."
Pergi. Satu kata yang harus kuselipkan di antara guguran kenangan kita. Sepertinya kita sudah taklagi menapak di jalan yang sama-yang dulu kamu senang berada di sana. Pergi katamu? Bukankah kamu dulu pernah berjanji untuk selalu bersama denganku? Bukankah kamu sendiri yang pernah bilang untuk selalu berpegangan tangan satu sama lain meskipun kita sedang berada di jalan yang berbeda?
Waktu telah mengubah segalanya-kamu taklagi sama seperti seseorang yang kucintai. Maaf, bila janji itu taklangsai, kupikir kamu hanya sekadar menggenggam tanganku saja, tetapi tak menghangatkannya. Bukankah sendiri itu dingin? Ya, aku merasa sendiri denganmu. Bagaimana bisa aku menghangatkan tanganmu jika untuk menggenggam tanganmu saja aku harus berlari mengejarmu? Tidak sadarkah kamu bahwa aku sedang mengejar mimpiku juga? Seharusnya kamu pelankan langkah kakimu agar aku bisa tetap mengimbangimu. Tetapi sekarang? It’s too late.
Thursday, January 31, 2019 0 comments

Aku Selalu Di Sini, Menemanimu Dalam Sepi


Kedai kopi eksotis itu tak pernah kehilangan peminumnya. Kecuali pada hari itu. Di meja persegi panjang itu terletak secangkir kopimu dan segelas melankoliku. Aku telah sangat siap untuk terjatuh pada pusaran pesona matamu. Di mata ini pernah mengalir samudra perasaan di dalamnya-yang mengering setelah langkah kepergian kian nyata. Aku menikmati secangkir kopi untuk menikmati sepi, bukan membuka hati.
Aku melihat awan dari balik matamu, serupa langit yang terus menahan hujan agar tak jatuh ke bumi, begitu pula rasa. Akhirnya, kamu membuatku tahu; kedai kopi ini tak menyediakan apa-apa selain melankoli di tangan kanan dan segenggam hati di tangan kiri. Kau tahu, kepergian seorang wanita yang lalu telah mencabik beberapa lapis perasaanku; meninggalkan luka yang dalam. Yang butuh waktu untuk menemukan obatnya. Dan kesendirian ini, adalah caraku untuk menambalnya.
Friday, January 25, 2019 0 comments

Berpura-Pura


Ternyata berpura-pura tidak pernah memberikan bahagia apa pun. Sudah hampir tiga puluh hari berlalu di sini, sejak aku memutuskan berhenti untuk selalu hadir di hidupmu. Selama itu pula detik terus bergulir menjauh, melupakanku yang tertatih di belakang. Menggapai semua yang telah kutinggalkan selama menantimu.
Aku dengan yakin berkata bahwa meneruskan perjalanan adalah sebuah jawaban. Kamu memilih bisu bila itu bicara tentangku. Kamu memilih buta bila itu bicara menyadari keberadaanku. Satu buku telah lahir dari perpustakaanku yang paling dalam; yang telah kupilah baik-baik agar setiap rasa yang kuselusupkan di dalamnya akan mengalir dengan tepat melalui jemarimu ketika perlahan mulai menggeser halaman demi halaman. Sampai kamu sadar, bila segala yang ada di dalamnya itu tentang kamu.
Tetapi, semua itu hanya ingin yang kini menguap menjadi angan. Aku yang berpura-pura selama ini. Padahal, aku tidak benar-benar meneruskan perjalanan. Hanya bibir yang percaya, sementara hatiku serupa kehilangan cahaya. Tanpamu di dalamnya hanya seperti cangkang kosong dan rindu menggema tanpa tujuan.
Aku lelah membohongi diri sendiri tanpa menemukan bahagia apa pun di dalamnya. 


Saturday, January 19, 2019 0 comments

Di Kenanganmu Yang Terdalam


“Apa kabar?” menjadi pertanyaan paling rahasia saat ini. Sesuatu yang hanya bisa kuucapkan di waktu tertentu dan tidak semua orang tahu. Satu-satunya yang paling menahu hanyalah takdir. Ia yang menempatkanku di suatu jarak penglihatanmu yang buta. Di sanalah aku bisa bebas mencintaimu. Mendekap malamku yang kian dingin dan sesekali gigil tanpa demam.
Aku terus belajar melangkah tanpamu. Menyeruak gugur dedaunan sendirian, seperti di waktu-waktu silam. Ketika aku belum menemukanmu. Ketika aku belum tenggelam di samudra matamu yang paling dalam. Belajar melalui semua itu menjadi tantangan. Menjadi caraku untuk memahami seperti apa takdir bekerja.
Aku dan hujan sudah jarang sekali bertemu. Seusai aku harus meninggalkan tempatnya kerap bersemayam dan membangun kembali kehidupan di kota lama, sesuatu yang tidak ada kamu di dalamnya. Hingga takdir-lah yang menjadi tempat berkisah apa pun atau sesekali merutukinya yang seenaknya saja memutar-balikkan segalanya. Ia tidak pernah menanyaiku—beda dengan hujan.
Friday, January 11, 2019 0 comments

Mungkin Kamu Memang Benar


Andai, aku bisa mengerti semua yang kamu rasakan. Merasakan air mata dari celung matamu yang mulai menghitam. Andai, aku bisa mengerti bahwa alasanmu menjauh hanyalah karena kamu terlalu takut kita akan menemui kegagalan yang sama ketika mulai saling menautkan perasaan lagi.
Kita pernah punya masa lalu. Sekelumit waktu di mana kita saling memendam tanpa pengungkapan. Sekelumit waktu di mana kamu memutuskan untuk mengatakannya saat jarak sudah yakin untuk memisahkan. Kita sudah terlalu jauh untuk bicara. Dan sekarang, aku memberimu kesempatan kedua.
Kamu tahu? Aku percaya, jika seseorang memang ditakdirkan mengarungi samudra bersama, apa pun yang akan terjadi, sampan itu selalu tersedia untuk mereka di bibir dermaga. Tapi nyatanya, kamu lebih percaya pada ketakutanmu sendiri daripada perasaanmu. Kamu menghindar dan bilang ingin pergi. Sekerasnya kuteriakkan bahwa aku sudah memulai perjalanan kembali dan berharap kamu bisa menjadi bagian dari itu. Kamu diam saja.
Andai, aku bisa mengerti ketakutanmu itu. Merasakan penderitaan kala tetiap perasaan yang dipendam berbalik arah dan menyerang diri sendiri dari dalam. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku hanya ingin bisa mengerti semua yang kamu rasakan dalam hidupmu. Sayangnya, kamu tak mengizinkanku untuk menapaki jalan yang sama denganmu.
Aku pernah menunggu sangat lama. Diam-diam. Aku pernah menautkan perasaan. Dalam-dalam. Aku tahu seperti apa rasanya menunggu tahun demi tahun hanya untuk memastikan di akhir bahwa ternyata semua itu sia-sia. Aku pernah berteman dengan Hujan. Tahu seperti apa rasanya ada teman yang menemani saat hati rasanya ingin patah berkeping. Mungkin benar, yang kamu butuhkan adalah teman untuk menepis rasa takut itu.
Mungkin benar ... yang kamu butuhkan itu Dia ....
Friday, January 4, 2019 0 comments

Aku Menemukan Tenang.


Usai.
Itu kata yang kamu ingin aku labuhkan, bukan? Setelah apa yang terjadi di antara kita—segala kisah yang menyisakan lelah—kamu memutuskan untuk melupa. Menuduhku sebagai penyebab air matamu takjua mengering.
Seandainya bisa kaulihat, di dalam hatiku setelah katamu itu, ombak-ombak mulai terbentuk. Ia bagai kekuatan yang bertenaga menghempas-hempas pemecah gelombang di pinggir laut: mulai mengganggu keangkuhanku yang tinggi, yang enggan mengaku salah. Ia sungguh semakin kuat, ketika kusadar, kamu sudah jauh lebih dulu mengalah.
Karena mencintaimu begitu sederhana, tetapi tidak sesederhana itu. Rumit? Ya, seperti itu perjalanan yang kita lalui selama ini. Ketika langkah kita masih jajar dan kata-kata menjadi sesuatu yang selalu kita rangkai—sebelum kamu mematahkannya dengan memilih pergi.
Jadi, sebenarnya siapa yang salah. Kamu atau aku?
Friday, December 28, 2018 0 comments

Padamu, Aku Ingin Menemukan Segalanya.


Kekasih, aku pernah menyimpan sepotong kenangan di balik bingkai matamu yang teduh dan basah - yang lantas gugur satu-satu bersama waktu. Sampai akhirnya aku berhenti melangkah. Sampai akhirnya, aku hanya menitipkan sekumpulan kata di jendela kamarmu. Kata yang kunamakan Aksara Hujan.
Menderu, parau kata-kata itu di sekujur tubuhku, setelah waktu demi waktu yang panjang; kukira kita telah lama hilang, sebab di sepasang lengan seseorang kau akan menempuh perjalanan panjang. Namun di sana, cinta hanya mementaskan tawa yang fana. Meremukkan segala padaku yang tersisa. Dan kini aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan hati untuk memercayai kembali.
Di sanalah aku menjaga asa - cinta yang kau anggap fana dan remukkan perasaan dari sebuah kata pergi. Setiap sesak dan lelah. Kini, melalui kata-kata itu, aku menghidupkan jasad kenangan yang telah mati; yang telah baur di udara menjadi abu. Aku menghidupkan segala yang telah kubunuh ketika di sebuah persimpangan jalan, lelah itu bermuara pada kalah. Jalan di mana, kini aku melihatmu kembali berdiri di salah satu sisinya. Haruskah aku kembali memungut rindu yang telah gugur itu?
Friday, December 21, 2018 0 comments

Mengikhlaskanmu Pergi


Pertemuan menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa silam—setelah hati yang remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai begitu lama. Dan di suatu perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku denganmu. Penantian ini cukup lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga cinta agar kelak aku mampu dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku, bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk diketahui—hati.
Itulah kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara banyak tentang masa depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama terasa. Seseorang yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di dalam perpisahan aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali. Biarkan perasaan ini tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan tanpa seorang pun tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah kaudatang dan meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku.
Friday, December 14, 2018 0 comments

AKU BISA MENUNGGU


Aku terlalu terbelenggu oleh kata-kata yang untai menuju masa lalu. Kata-kata yang lahir dan menemui kematiannya sendiri. Karena di masa lalu hanya ada kenangan-kenangan yang kelak tersapu dan terlupakan. Kenangan yang kunamakan “cinta” dan “kasih”.
Kenangan itu membuatku lupa, bahwa perjalananku bukanlah untuk alasan yang dipaksakan indah dan untai. Ada masa depan yang dicitakan. 
Dan itu kamu. 
Menemukanmu dalam keindahan kata-kata bukanlah tujuanku. Perjalanan ini mengubahku terlalu jauh dan aku harus berusaha keras untuk kembali pada kehidupan lama itu.
Aku sungguh lupa bahwa yang kubutuhkan tak lebih dari kesederhanaan. Kumpulan kata-kata yang membentuk kesederhanaan untuk apa pun: perihal bahagia, sedih, dan juga menemukanmu. Karena untukmu, aku ingin berdiri dalam jarak di mana kelak kau akan menemukanku juga dengan sekotak rindu yang sudah kusiapkan berlapiskan beludru.
Untuk membersamaimu, aku bisa menunggu.

Friday, December 7, 2018 0 comments

Sampai Kapan Aku Harus Menunggu?


Sampai kapan aku harus menunggu?
Semua kata-kata di kepalaku sudah menjadi debu di dinding yang membatasi perasaan kita. Kamu masih tidak memberikanku jawaban apa-apa. Perjalananku berhenti di kamu. Aku tidak tahu apakah ini sementara atau selamanya. Seharusnya yang kedua. Tapi kamu menjadikannya pilihan yang pertama. Kamu diam tanpa suara.
Sampai kapan aku harus menepis detik dan tanggal?
Dari jarak yang membuatmu tak menemukan aku, satu persatu rindu kuselipkan di saku jaketmu setiap hari. Berharap kamu mau merogohkan tangan ke dalamnya. Tapi nyatanya kamu tak menyentuh saku jaket itu sama sekali. Entah kamu mengetahuinya dan memilih untuk takpeduli atau kamu memang takpeduli dengan apa pun.
Friday, November 30, 2018 0 comments

We Were Happy


Berhenti. Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di taman pinus ini dan kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku percaya bahwa kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya. Kita pernah tertawa bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan bahagia. Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya tawa dan senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan dengan cahayanya yang hangat.
Tapi, untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu menjadi air mata yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras. Kala Tuhan memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini dengan api yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata. Aku dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras berteriak. Aku pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa hujan akan turun selamanya.
Tentu saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling terakhir dan menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di mataku lebih deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk menikmati rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi. Satu hal yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong, berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan berlari lagi.
Friday, November 23, 2018 0 comments

Bukan Kamu Jawaban Tuhan


Hujan semakin deras. Derap langkahku terhenti oleh badai yang berkecamuk di dalam dada. Tubuhku kuyup oleh kenangan yang menghunjam sepagian ini. Mengapa aku merasa sepatah ini karena kamu yang taklagi kumiliki? Dan jawaban itu masih sebuah misteri yang takterpecahkan.
Aku selalu percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk kita. Meski detik sudah bergerak menjauh, spasi menjadi pemisah antara dua perasaan yang (dulu) pernah saling memiliki namun jeda pun hadir untuk memporaporandakannya. Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang menahu perihal takdir.
Dan itu pula yang menghantam dadaku saat angin berbisik perihal pilihanmu dan itu bukan aku. Menjadi pihak yang memendam tidak pernah bergerak dengan baik untukku. Pun dengan lidahku yang begitu kelu kala menyapa namamu, dan tidak lebih dari sekadar sujud di sepertiga malamku.
Ya, abor. Dadaku remuk. Harapanku patah berkeping-keping. Jatuh berserakan di atas kenangan yang bahkan masih hangat. Sampai suatu titik, ternyata aku harus benar-benar menyerah. Padahal aku begitu yakin di perjalanan pencarian baru ini, mungkin kamulah jawabannya.
Tuhan telah menjawab, dan bukan kamu ternyata perempuan yang dijanjikanNya.
 
;