Buruh, tani, kaum miskin kota, dan terutama kaum mahasiswa di seluruh
Indonesia tengah bergerak bersama untuk menentang pemerintahan Jokowi. Belum
lagi dilantik untuk masa jabatannya yang kedua, rejim ini sudah mencoba
memaksakan sejumlah kebijakan yang jelas represif dan menindas rakyat, di
antara lainnya revisi UUK, revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU pertanahan.
Motivasi dari kebijakan-kebijakan ini sudah kita dengar dari pidato kenegaraan Jokowi pada 16
Agustus lalu, yakni untuk “berebut investasi.” Untuk menarik investasi ini,
Jokowi katakan bahwa “cara-cara lama yang tidak kompetitif tidak bisa
diteruskan. Strategi baru harus diciptakan. Cara-cara baru harus dilakukan.”
Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri apa yang dimaksud Jokowi dengan
cara-cara baru ini.
Lewat revisi UUK, pemerintah dapati cara baru untuk memeras lebih banyak
keringat dan darah buruh, demi profit yang lebih besar bagi investor. Ini
wajar-wajar saja dalam sistem kapitalisme. Investor mana yang tidak
mengharapkan iklim bisnis dimana upah murah dengan jam kerja panjang dan buruh
mudah di-PHK tanpa pesangon.
Lewat revisi UU KPK, pemerintah menemukan cara baru untuk memastikan para
koruptor yang bersarang di semua jajaran pemerintah bisa bebas dari jerat
hukum. Tetapi kita akan keliru kalau berpikir pelemahan KPK ini hanya untuk
keselamatan para koruptor. Revisi UU KPK ini juga ditujukan untuk memperlancar
investasi, seperti yang diakui oleh Kepala Staf Kepresiden Moeldoko yang
menyebut bahwa keberadaan KPK bisa mengganggu investasi: “Lembaga KPK bisa
menghambat upaya investasi.”
Banyak pakar yang membayangkan kalau penguatan KPK akan memperlancar
investasi karena dapat memangkas bi aya-biaya siluman. Tetapi pada kenyataannya
justru pelemahan KPK-lah yang akan memperlancar investasi kapitalis. Ketika
pengusaha sawit perlu menyerobot lahan, maka akan lebih murah baginya untuk
menyuap polisi dan tentara untuk menghantam kaum tani dengan popor senapan
alih-alih menempuh jalur hukum. Ketika menempuh jalur hukum pun kita semua tahu
bahwa para pengusaha telah mengantongi para hakim dan jaksa. Ketika pemilik
pabrik mau memberangus serikat buruh atau menolak pesangon buruh, akan lebih
murah baginya menyuap para petugas disnaker dan para hakim Pengadilan Hubungan
Industrial, atau membayar preman untuk menteror buruh sementara polisi telah
disuap untuk tutup mata. KKN adalah pelumas investasi dan profit besar.
Lewat RUU pertanahan, pemerintah menemukan cara baru untuk membantu
pemilik modal untuk menyerobot tanah rakyat. RUU ini mengandung pasal-pasal
karet yang jelas ditujukan untuk mengkriminalisasi para petani, masyarakat adat
dan aktivis agraria yang berjuang untuk melindungi tanah mereka dari
kesewenang-wenangan modal. Tentunya kriminalisasi terhadap kaum tani dan
aktivis agraria dalam konflik tanah adalah cerita lama, tetapi tampaknya rejim
ingin semakin melegalkan kriminalisasi ini. Tidak hanya kriminalisasi, tetapi
juga kekerasan kerap mengunjungi pejuang tanah. Selama periode 2014-2018,
konflik tanah yang mencapai 800 ribu hektar ini telah menelan 41 korban jiwa
dan 546 korban aniaya.
RUU pertanahan ini juga banyak pasal lainnya yang jelas
menguntungkan pemodal. Ketentuan soal hukum adat misalnya dihapus. Ada juga
rencana pembentukan Lembaga Pengelolaan Tanah (LPT) atau Bank Tanah, yang tidak
lain adalah badan spekulan tanah. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi
Kartika menjelaskan bahwa bank tanah ini
“absolut akan memperparah dan menimbulkan konflik.” Dia tambahkan lagi bahwa
“rencana pemerintah untuk membangun bank tanah memang berawal dari keluhan
investor yang kesulitan mencari tanah.” Kita kembali lagi ke pokok permasalahan
bahwa RUU pertanahan ini jelas adalah titipan pemilik modal.
Dan terakhir, pemerintah ingin mencari cara baru untuk menghajar siapapun
yang menentang kebijakan-kebijakan pro-modal di atas, dan untuk itu digodoklah
RUU KUHP. Demokrasi dan kebebasan pers diberangus untuk kelancaran investasi.
Demokrasi memang pada akhirnya hanya secarik kertas, yang bisa dirobek kapanpun
bila menghalangi profit pemilik modal. Hanya kekuatan rakyat pekerja dan kaum
muda yang bisa terus memastikan agar masyarakat kita tidak merosot ke jaman
kediktatoran Orde Baru.
Selain pasal-pasal yang anti-demokrasi, pemerintah juga memasukkan pasal
penistaan agama dan perzinaan. Ini adalah tipu muslihat rejim untuk memecah
belah rakyat, dengan menggunakan prasangka-prasangka terbelakang selapisan
rakyat. Dari sini kita bisa melihat bahwa sebenarnya kelas penguasalah yang
menguatkan sentimen diskriminasi SARA dan diskriminasi perempuan dalam masyarakat,
dan mereka paham betul akan kegunaan isu-isu ini untuk keperluan mereka. Kita
dengan tegas harus menentang semua pasal ini. Tidak boleh sedikitpun kita
memberi konsesi pada segala bentuk diskriminasi dan intoleransi yang memecah
belah rakyat pekerja.
Kaum mahasiswa dalam jumlah ribuan di berbagai kota tengah bergerak. Ini
mengingatkan kita pada gerakan Reformasi 1998. Generasi muda mahasiswa sekarang
memang belum lahir ketika pendahulu mereka memimpin gerakan Reformasi dan
menumbangkan Soeharto, tetapi mereka paham betul bahwa Reformasi ini telah
dikhianati. Pilar-pilar Orde Baru secara umum masih utuh. Orang-orang yang sama
masih berkuasa, sehingga bukan rakyatlah yang sesungguhnya berkuasa. Oleh
karenanya ketika ada berita bahwa Universitas Trisakti – salah satu kampus
pusat Reformasi – akan memberikan gelar Putera Reformasi pada Jokowi, ini
seperti berita satire.
Selama sistem kapitalisme masih bercokol, maka pemerintahan manapun –
tidak peduli siapa presidennya -- akan menjadi pemerintahan yang melayani
kepentingan modal. Untuk sungguh-sungguh menuntaskan Reformasi, kita memerlukan
Revolusi, yakni perubahan fundamental yang menyeluruh atas cara-cara kita
menjalankan ekonomi dan melangsungkan pemerintahan, yakni Revolusi yang dengan
tegas menumbangkan dominasi modal dan menegakkan kedaulatan rakyat pekerja.
Wahai kaum muda dan mahasiswa, di pundakmu ada tugas historis. Embanlah
dengan konsekuen. Janganlah kau ragu karena sejarah ada di pihakmu.
Reformasi ini sungguh telah dikhianati. Sekarang waktunya untuk Revolusi!
0 comments:
Post a Comment