Judul Buku : Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression
Penulis : Tithi Bhattacharya (ed.)
Penerbit : Pluto Press.Press, 2017
Tebal : xii + 250
halaman
Di
dalam masyarakat kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial seperti merawat
anak, memasak, dan mengurus rumah masih selalu dikonstruksikan secara sosial
sebagai tanggung jawab individu perempuan (semata). Pengemban tanggung jawab
tersebut ialah seorang istri/ibu; sementara suami/ayah dikonstruksikan secara
sosial sebagai seorang yang hanya berkewajiban mencari nafkah.
Konsekuensinya,
para perempuan selalu disibukkan dengan kerja reproduksi sosial di samping
pekerjaan mereka di bidang lainnya (jika ada). Selain itu, konstruksi sosial
ini menyebabkan pembagian gender yang asimetris di tengah-tengah masyarakat
(Coontz, 1986).[1]
Dalam
konteks masyarakat Indonesia, kondisi tersebut tergambar dengan nyata,
misalnya, dalam sebuah akun Instagram bernama @blacklistnannys. Melalui akun
Instagram @blacklistnannys, para perempuan[2] ‘ex-majikan’
mem-blacklist para mantan ‘mbak’[3] dan ‘sus’[4] yang pernah bekerja di keluarga mereka dengan cara
mem-posting foto dan kekecewaan (dan seringkali kemarahan) mereka terhadap
para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Melalui pengelola akun @blacklistnannys
tersebut, para perempuan ‘majikan’ mengunggah foto sang ‘mbak’ atau ‘sus’ yang
di blacklist sambil mendeskripsikan kesalahan-kesalahan yang
diperbuat (dalam caption foto tersebut). Harapannya: agar para
perempuan ‘majikan’ lain yang disebut dengan ‘moms’, yang akan mempekerjakan
ART atau nanny, tidak merekrut mereka.
Kekecewaan
dan kemarahan para perempuan ‘majikan’ atas para pekerja rumah tangga yang di-blacklisttersebut
dilatari berbagai faktor, dari mulai ketidakbecusan para ‘mbak’ atau ART dalam
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah; sikap para ‘mbak’ dan ‘sus’ yang suka
bergosip dengan sesama mereka; hingga kesalahan para ‘sus’ dalam mengurus anak,
seperti terlambat memandikan anak dan bahkan memukul anak. Kekecewaan juga
tidak hanya ditujukan pada para ‘mbak’ dan ‘sus’, tetapi juga pada
yayasan-yayasan yang menyalurkan para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Selain itu,
dalam akun yang sama, mereka juga mencari informasi mengenai ‘mbak’ dan ‘sus’
yang akan mereka pekerjakan. Di sisi lain, para calon ART, nanny, atau
pekerja rumah tangga lainnya, juga dapat mengiklankan diri mereka sendiri untuk
mencari pekerjaan melalui akun tersebut.
Munculnya
akun Instagram @blacklistnannnys ini, bagi saya, mencerminkan setidaknya tiga
hal. Pertama, perempuan masih mengemban tanggung jawab kerja-kerja pengurusan
anak dan rumah atau yang juga dikenal dengan istilah ‘kerja reproduksi sosial’.
Kedua, melalui akun instragram tersebut, kita dapat melihat adanya hubungan
kerja—yang penting untuk dibahas lebih lanjut—antara para pekerja rumah tangga
(yang sebagian besar adalah perempuan) dengan para perempuan ‘majikan’ yang mempekerjakannya.
Ketiga, kemunculan akun instagram tersebut memberikan kita gambaran mengenai
apa yang dimaksud Nancy Fraser dengan ‘the crisis of care’, yang
dibahas secara khusus dalam buku yang akan saya review kali ini.
Teori Marxis mengenai Reproduksi Sosial dan
Pendekatan Interseksionalitas
Buku
yang akan saya review kali ini yang berjudul ‘Social Reproduction
Theory: Remapping Class, Recentering Opression’ dan ditulis oleh beberapa scholar kenamaan
di bidang ini, seperti Nancy Fraser. Buku ini diedit oleh Tithi Bhattacharya
dan terdiri atas 10 bab yang membahas teori Marxis mengenai reproduksi sosial
(termasuk ‘the crisis of care’) dan juga pendekatan interseksionalitas
dalam memandang reproduksi sosial. Selain itu, buku ini juga membahas beberapa
persoalan yang ada di seputar reproduksi sosial, seperti problem reproduksi
sosial dan seksualitas, reproduksi sosial dan anak-anak, dan persoalan pensiun.
Namun
demikian, saya akan menekankan pembahasan di dalam review ini pada
persoalan mengenai ‘the crisis of care’ dalam kerangka pembahasan mengenai
teori reproduksi sosial itu sendiri, mengingat konteks yang telah saya
narasikan pada bagian awal tulisan ini. Sebelum membahas lebih jauh mengenai
hal tersebut, terlebih dulu akan saya bahas definisi mengenai reproduksi sosial
itu sendiri sebagaimana diungkapkan para penulis di dalam buku ini.
Dalam
buku setebal 250 halaman ini, masing-masing penulis mendefinisikan reproduksi
sosial sebelum mengelaborasi pandangan mereka mengenai reproduksi sosial.
Mohandesi dan Teitelman misalnya, dalam bab 3 yang berjudul ‘Without Reserves’ mendefinisikan
kerja reproduksi sosial sebagai “segenap aktivitas yang dibutuhkan untuk
menciptakan, memelihara, dan merestorasi komoditas tenaga kerja” (hlm. 39).
Sementara itu, Fraser, dalam tulisannya di bab 2 berjudul ‘Crisis of Care? On
the Social Reproduction of Labor and the Global Working Class’, mendefinisikan
kerja reproduksi sosial sebagai “sebuah kondisi latar belakang yang tak
terelekkan posisinya bagi kemungkinan produksi ekonomi dalam sebuah masyarakat
kapitalis” (hlm. 23).
Terkait
itu, teori Marxis mengenai reproduksi sosial baik dual theory maupun unitary
framework yang hanya dibahas sekilas oleh Lise Vogel di bagian pengantar
buku ini menjadi penting untuk diulas kembali. Sebagaimana diungkap Vogel,
terdapat dua aspek di dalam reproduksi social: produksi komoditas dan
reproduksi tenaga kerja (hal. x). Kedua aspek ini dikenal dengan dualitas teori
dalam reproduksi sosial. Pada tahun 1980an, perdebatan terjadi di kalangan para
feminis Marxis, dimana beberapa di antara mereka, termasuk Vogel, berusaha
berusaha memandang dualitas tersebut di dalam satu framework atau
unitary framework.
Namun
demikian, saya sepakat dengan pendapat Vogel bahwa di dalam buku ini,
teori dual-system mengenai reproduksi sosial masih menjadi yang
dominan; meski terdapat pula uraian mengenai interseksionalitas yang memperkaya
pembacaan teori mengenai reproduksi sosial yang menjadi tema utama buku ini.
Menurut
saya, selain ada di dalam tulisan Fraser, salah satu uraian teori mengenai
reproduksi sosial yang cukup detail juga ada di dalam tulisan Bhattacharya (bab
4) yang berjudul ‘How Not to Skip Class: Social Reproduction of Labour and the
Global Working Class’. Dalam tulisannya itu, Bhattacharya mengajukan sebuah
pertanyaan penting mengenai reproduksi sosial: “apa implikasi dari tenaga kerja
yang diproduksi di luar sirkuit produksi komoditas, namun sangat penting untuk
hal tersebut?”
Dengan
detail, Bhattacharya menjelaskan teori reproduksi sosial dalam perspektif
Marxis. Saya merasa seperti sedang berada di dalam sebuah kurpol (kursus
politik, -Ed) Marxis ketika membaca tulisannya. Ia mengingatkan kita kembali
mengenai dua konsep penting dalam Marxisme terkait dengan reproduksi sosial,
yakni necessary labour time dan surplus labour time. Necessary
labour time adalah “waktu yang dihabiskan oleh pekerja untuk memproduksi
nilai yang sama dengan apa yang dibutuhkan untuk reproduksinya sendiri” (hlm.
71). Sementara surplus labour time adalah “sisa waktu kerja dimana
pekerja membuat nilai tambah bagi kapital” (Ibid).
Bhattacharya
juga meletakkan teori reproduksi sosial dalam konsep Marxis ‘the production of
labour power’atau ‘produksi kekuatan tenaga kerja’, dimana reproduksi sosial
dilihat di dalam dua sirkuit yang berbeda. Pertama, within capital’s
circuit atau sirkuit kapital; dan kedua, within wage labour’s
circuit atau sirkuit buruh upahan. Di dalam sirkuit kapital,
reproduksi yang dimaksud ialah reproduksi dimana “tenaga kerja dilihat sebagai
sebuah alat produksi bagi reproduksi kapital, atau valorization”
(Bhattacharya, hlm. 71). Sementara itu, di dalam sirkuit buruh upahan,
reproduksi dilihat dari sisi dimana “pekerja mengkonsumsi berbagai komoditas
sebagai nilai guna atau use values; seperti makanan, pakaian, perumahan
dan pendidikan; dalam rangka untuk mereproduksi dirinya sendiri.” (Ibid., hlm.
71).
Berangkat
dari uraiannya tersebut, saya menilai posisi tulisan Tithi Bhattacharaya ini
penting untuk diletakkan sebagai dasar dalam memahami perdebatan—sebagai
contoh—antara para feminis Marxis dan feminis Marxis otonomis mengenai unpaid
domestic labour atau kerja domestik yang tak dibayar.
Terkait
itu, Carmen Teeple Hopkins menjelaskan perbedaan pandangan di antara para
feminis Marxis dan feminis Marxis otonomis mengenai teori reproduksi sosial,
khususnya mengenai unpaid domestic labour di balam bab 7 yang
berjudul ‘Mostly Work, Little Play: Social Reproduction, Migration, and Paid
Domestic Work in Montreal.
Sebelum
menjelaskan perbedaan tersebut, Hopkins menekankan pentingnya konsep unpaid
domestic labour/kerja domestik yang tidak dibayar bagi para feminis untuk
membongkar penindasan terhadap perempuan di dalam masyarakat kapitalis (hlm.
131).
Perbedaan
pandangan mengenai teori reproduksi sosial di antara para feminis Marxis dan
Marxis otonomis terletak setidaknya di dalam dua hal. Pertama, secara teoritis,
para feminis Marxis; seperti Margaret Benston, Lise Vogel, dan dirinya; melihat
bahwa unpaid domestic labour tidak memiliki exchange value dan
hanya memiliki use value. Sementara para feminis Marxis otonomis; seperti
Mariarosa Dalla Costa, Selma James dan Silvia Federici; melihat bahwa unpaid
domestic labour memiliki exchange value selain use value.
Kedua,
para feminis Marxis otonomis melihat “akumulasi tidak hanya menyoal produksi di
tempat kerja sebagaimana secara tradisional dipahami, tetapi juga mengenai
mereka yang mereproduksi para pekerja, yaitu tenaga kerja” (hlm. 133). Para
feminis Marxis otonomis melihat bahwa realm dari reproduksi adalah
bagian penting lain dari cerita kehidupan dalam kapitalisme, dan realm ini
bukanlah realm ‘of leisure’ (hlm. 134). Mereka berargumen bahwa unpaid
domestic labour yang penting untuk mereproduksi tenaga kerja upahan; yang
terdiri atas kerja-kerja domestik yang intensif seperti memasak, mencuci,
mengurus dan merawat diri, pasangan dan anak, adalah kerja yang haruslah
dibayar (Ibid.). Konsekuensinya, para feminis Marxis otonomis seperti
Silvia Federici pun mengampanyekan Wages for Housework atau Upah
untuk Kerja Domestik pada tahun 1970an.
Posisi
ini berbeda dengan sejumlah feminis Marxis yang memandang bahwa unpaid
domestic labour tidak memiliki exchange value. Dengan memberi contoh
pada konteks masyarakat di negara-negara global south atau yang lebih
dikenal dengan sebutan ‘negara berkembang’, sejumlah feminis Marxis ini
berargumen bahwa sulit untuk membedakan, misalnya, antara unpaid domestic
work dan kerja petani yang ditujukan untuk keperluan subsisten (hlm. 134).
Maka dari itu, feminis Marxis seperti Hopkins menawarkan pentingnya untuk
keluar dari konsep produksi dan reproduksi untuk menilai dan meneorikan unpaid
domestic labour. Ia juga menekankan bahwa unpaid domestic labour adalah social
necessary yang berbeda dengan kerja produktif atau productive labour.
Saya
sendiri lebih bersepakat dengan posisi teoritis dari para feminis Marxis
otonomis karena menurut saya, kerja-kerja reproduksi sosial seperti memasak,
mencuci, mengurus dan merawat diri, pasangan dan anak adalah kerja yang tidak
mudah; posisinya bukanlah ‘leisure activities’, melainkan pilar penting dari
kapitalisme, selain kerja-kerja yang terjadi di ranah produksi.
Reproduksi
sosial dari sudut pandang interseksionalis dibahas oleh David McNally dalam bab
5 yang berjudul ‘Intersections and Dialectics: Critical Reconstruction in
Social Reproduction Theory’. McNally menekankan pentingnya melihat
sumber-sumber opresi lain di dalam kapitalisme seperti rasisme dalam
menganalisis reproduksi sosial. Ia berargumen bahwa “rasisme adalah elemen yang
dibutuhkan di dalam kapitalisme.” (hlm. 107). Ia memberi contoh lewat
pengalaman black women yang bekerja di sektor paid domestic
labour.
Perempuan, ‘The Crisis of Care’, dan Analisis
Kelas
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, Fraser menekankan bahwa posisi reproduksi sosial
sangat penting di dalam kapitalisme. Akan tetapi, kapitalisme yang sangat
bergantung pada aktivitas-aktivitas kerja reproduksi sosial tersebut justru
menjadi free rider dari kerja yang amat vital bagi keberlangsungannya
sendiri. Di dalam kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial atau yang juga
dikenal dengan istilah affective labour berlangsung di rumah-rumah
tangga, lingkungan rumah, berbagai jaringan informal dan institusi publik
seperti sekolah.[5]
Permasalahan
yang terjadi di seputar kerja reproduksi sosial sebagaimana telah saya singgung
di pembuka tulisan ini tak dapat dilepaskan dari apa yang terkandung di
reproduksi sosial itu sendiri. Fraser menjelaskan bahwa kita berada di dalam ‘the
crisis of care’/krisis reproduksi sosial atau dikenal juga dengan persoalan ‘work-life
balance’; yang menurutnya merupakan problem khas dari kapitalisme (hlm. 22).
Fraser berargumen bahwa the crisis of care tak lain merupakan bentuk
dari berbagai kontradiksi kerja-kerja reproduksi sosial di dalam kapitalisme,
termasuk fase saat ini, yakni kapitalisme finansial. Kontradiksi-kontradiksi
tersebut ialah; di satu sisi, reproduksi sosial memiliki peran yang krusial di
dalam kapitalisme, dimana reproduksi sosiallah yang menentukan keberlangsungan
akumulasi kapital; sementara di sisi lain, orientasi kapitalisme untuk
akumulasi yang tidak terbatas cenderung membuat proses reproduksi sosial
menjadi tidak stabil.
Fraser
menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, setidaknya sejak era kapitalisme
industrial, kerja reproduksi sosial telah dipisahkan dari kerja produktif (di
bidang ekonomi). Selain itu, di dalam masyarakat kapitalis, pembagian kedua
kerja tersebut juga diasosiasikan pada gender tertentu. Kerja reproduksi sosial
diasosiasikan sebagai ‘kerja perempuan’, sementara kerja produksi ekonomi
diasosiasikan sebagai ‘kerja laki-laki’. Inilah yang kemudian menjadi basis
dari subordinasi perempuan. Perempuan kemudian ditempatkan secara sosial semata
pada ruang-ruang domestik (baca: rumah) (hlm. 24).
Konstruksi
sosial tersebut membawa konsekuensi yang serius bagi perempuan, salah satunya:
keterisolasian perempuan dari kerja-kerja di ruang publik. Keterisolasian ini
bahkan berdampak pada hal yang lebih jauh, seperti adanya kesangsian di dalam
masyarakat bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Kesangsian ini muncul
karena kerja reproduksi sosial yang dilakukan perempuan di rumah (unpaid
domestic labour) dianggap sebagai kerja ringan yang tidak memerlukan
kapabilitas sebagaimana ditunjukkan dalam kerja di sektor ekonomi produktif
yang dikonstruksikan menjadi domain utama laki-laki.[6]
Lebih
lanjut, di dalam rezim ketiga reproduksi sosial di era kapitalisme ini, yakni
kapitalisme finansial global, sebagaimana dijelaskan oleh Fraser, kita
dihadapkan pada semakin berkurangnya peran negara dalam urusan kesejahteraan
sosial. Relokasi lokus produksi ke wilayah-wilayah yang lebih ‘murah’ termasuk
dalam hal tenaga kerja yang menyebabkan semakin banyaknya perempuan bekerja di
sektor ‘paid work’ pun memberikan dampak pada keberlangsungan reproduksi
sosial.
Terlebih
lagi, dieksternalkannya kerja-kerja reproduksi sosial pada keluarga-keluarga
dan komunitas-komunitas membuat kerja-kerja tersebut diorganisasikan di dalam
dua hal yang berbeda. Pertama, dikomodifikasikan oleh mereka yang dapat
membayarnya, dan kedua, menjadi urusan privat bagi mereka yang tidak dapat
melakukannya (hlm. 25-26). Dalam hal ini, mereka yang tidak dapat membayar
jasa care work atau kerja-kerja reproduksi sosial seringkali
menyediakan jasa care work dengan upah yang rendah dalam paid
domestik work atau kerja domestik yang dibayar, untuk mereka yang ada di
dalam kategori pertama.
Di sinilah analisis Fraser dapat ditempatkan
di dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang telah saya ilustrasikan pada
bagian awal review buku ini.
Di
Indonesia, kita lazim mengenal istilah ‘mbak’ atau ‘sus’ sebagai sebutan
terhadap para perempuan pekerja rumah tangga. Para perempuan yang kebanyakan
berasal dari kelas pekerja pedesaan tersebut –yang tidak dapat membayar
jasa care work atau kerja-kerja reproduksi sosial—kemudian direkrut
dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (menyediakan jasa care work,
biasanya dengan upah yang rendah dalam paid domestik work atau kerja
domestik yang dibayar) di rumah-rumah para ‘majikan’ (yang kebanyakan
perempuan) yang berasal dari kelas menengah dan atau kelas menengah atas
perkotaan. Para perempuan ‘majikan’ yang memperkerjakan para pekerja rumah
tangga ini ada yang bekerja di sektor ekonomi produktif; ada juga yang bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Mereka biasanya merekrut para pekerja rumah tangga
melalui yayasan penyalur tenaga kerja atau jaringan personal yang dimiliki
khususnya dengan masyarakat di wilayah rural/pedesaan.
Di
sinilah problem ‘the crisis of care’ tercermin dengan jelas: bahwa urusan
reproduksi sosial yang begitu penting di dalam kapitalisme diserahkan kepada
individu-individu (dalam hal ini perempuan) yang kebanyakan berada di dalam ‘two-earner
family’ atau keluarga dengan dua penecari nafkah (suami dan istri sebagai
pencari nafkah). Kerumitan untuk membagi perhatian antara kerja untuk mencari
nafkah (di sektor ekonomi produktif) dan kerja untuk memelihara dan merawat
rumah tangga (di sektor social-reproductive) secara umum selalu menjadi
problem perempuan semata. Padahal, kerja-kerja social-reproductive seperti unpaid
domestic work jelaslah tidak mudah dikerjakan: baik di sela-sela kesibukan
mencari nafkah maupun tidak.
Apa
yang seringkali luput dari perhatian ketika membicarakan keluhan para ‘majikan’
yang biasanya merupakan upper class women terhadap para pekerja rumah
tangga, sebagaimana terlihat pula di dalam akun @blacklistnannys, ialah: soal
relasi kerja di antara kedua pihak tersebut. Dalam kekecewaan para majikan yang
ditumpahkan dalam akun tersebut misalnya, tidak ada ruang sama sekali bagi para
pekerja rumah tangga yang di black list untuk menyampaikan hak jawab
mereka. Lebih jauh, kekecewaan para majikan juga seakan menutupi fakta
banyaknya kasus para pekerja rumah tangga yang misalnya, dianiaya majikan,
diberi pekerjaan melebihi tanggung jawab yang disepakati sejak awal; atau tidak
dibayar sesuai dengan perjanjian.
Saya
juga berpendapat bahwa kemunculan akun seperti @blacklistnannys merupakan
cermin dari ketidakberesan sistem kerja paid domestic work di
Indonesia. Beberapa indikasinya di antaranya; pertama, para majikan masih
memiliki mindset bahwa para pekerja rumah tangga (baik ‘mbak’ dan
‘sus’) itu adalah ‘babu’, dan bukan pekerja. Konsekuensinya, banyak di antara
para pekerja rumah tangga tersebut mendapatkan tugas melebihi dari apa yang
seharusnya.
Kemudian,
banyak pula di antara para ‘majikan’ merasa layak untuk menempatkan posisi para
pekerja rumah tangga tersebut bukan sebagai pekerja melainkan lebih cenderung
sebagai seorang dengan posisi yang sangat rendah–untuk tidak menyebutnya
sebagai ‘slave’ atau budak. Kedua, para pekerja rumah tangga, baik ‘mba’ dan
‘sus’ pada umumnya direkrut dengan cara outrouscing via yayasan
penyalur tenaga kerja, sehingga meski upah mereka seringkali sudah memenuhi
standar minimum, namun hak-hak lain sebagai pekerja cenderung tidak diakui
apalagi dipenuhi.
Oleh
karena itu, menurut saya, sebutan ‘pekerja’ untuk para ‘mbak’ dan ‘sus’ yang
notabene-nya bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan mengerjakan kerja
reproduksi sosial di dalam rumah menjadi penting sebagai langkah awal untuk
mengakui bahwa unpaid domestic labour adalah kerja; sama seperti
kerja produksi yang menghasilkan surplus value.
Tujuan
dari hal tersebut ada tiga. Pertama, untuk menciptakan relasi kerja yang jelas
sehingga dapat menjamin perlindungan kerja bagi para pekerja rumah tangga.
Kedua, di tengah ‘the crisis of care’ dimana permintaan terhadap jasa para
pekerja rumah tangga kian meningkat, terlebih di kota-kota besar, para pekerja
rumah tangga sebenarnya memiliki posisi tawar yang tinggi, maka adanya
pengakuan terhadap para pekerja rumah tangga sebagai ‘pekerja’ akan mempermudah
mereka untuk memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja dengan membentuk serikat
pekerja rumah tangga. Ketiga, untuk secara perlahan menghapuskan konstruksi
sosial bahwa kerja reproduksi, khususnya dalam hal ini unpaid domestic
work, adalah beban bagi perempuan semata. Dengan adanya pengakuan pekerja
rumah tangga sebagai pekerja, maka siapa pun, bukan hanya perempuan,
dimungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
Saya
sepakat dengan pandangan para feminis Marxis otonomis mengenai wage for
housework sebagai langkah awal untuk mengakui unpaid domestic work sebagai
kerja, yang posisinya sama penting dengan kerja ‘produktif’ di sektor ekonomi.
Tujuan jangka panjangnya, sebagaimana dinyatakan Dalla Costa, adalah untuk
menghapuskan peran housewife yang dikontruksikan secara umum; demi
mengembalikan semua pekerjaan-pekerjaan rumah/housework, yang tidak lain
adalah the unpaid domestic work, yang merupakan kerja reproduksi
sosial, to common atau menjadi tanggung jawab bersama sebuah
masyarakat dan bukan perempuan semata sebagaimana dinyatakan dan diperjuangkan
oleh para feminis Marxis otonomis seperti Federici (2012).
Bacaan
Tambahan:
Bhattacharya,
Tithi, ed. 2017. Social Reproduction Theory: Remapping Class: Recentering
Oppression. London: Pluto Press.
Coontz,
Stephanie and P. H., 1986. Introduction: ‘Explanations’ of Male Dominance. In:
S. a. P. H. Coontz, ed. Women’s Work Men’s Property: the Origins of Gender
and Class. London: Verso, p. 12.
Costa,
Mariarosa Dalla dan Selma James. The Power of Women and the Subversion of
the Community. Bristol: Falling Walls Press Ltd., 1972.
Federici,
Silvia. Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist
Struggle. PM Press, 2012.
Federici,
Silvia, 2014. Caliban and The Witch: Women, The Body and Primitive
Accumulation. Second, revised edition ed. New York: Autonomedia.
———–
[1] Pembagian
gender yang asimetris ini lebih jauh kemudian menimbulkan dampak yang lebih
besar, termasuk di dalam kehidupan sosial politik, yang mana akan saya jelaskan
lebih lanjut pada bagian akhir dari tulisan ini.
[2] Dalam profiling singkat
yang saya lakukan dengan mengamati komentar-komentar yang tedapat di dalam setiap posting-an
di dalam akun @blacklistnannys, kebanyakan dari mereka merupakan ibu yang
bekerja di luar rumah dan juga ibu rumah tangga (yang kemungkinan besar
memiliki usaha lain di rumah).
[3] Sebutan
yang cenderung umum digunakan untuk ART (Asisten Rumah Tangga). Berdasarkan
observasi saya terhadap akun Instagram @blacklistnannys, para ‘mbak’ biasanya
bertugas mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci
piring, menyapu dan membereskan rumah. Istilah ‘Pekerja Rumah Tangga’ belum
menjadi istilah yang digunakan secara umum oleh masyarakat. Masyarakat masih
menggunakan istilah ART atau pembantu dan bahkan istilah yang cenderung
merendahkan sepeti ‘babu’ untuk memanggil para pekerja rumah tangga. Penggunaan
istilah ini tentu memiliki dampak dan implikasi, yang lebih jauh akan saya
uraikan di bagian akhir tulisan.
[4] Sebutan
yang cenderung umum digunakan untuk nanny, atau mereka yang bekerja
menjaga—dan seringkali—merawat bayi, balita, anak-anak, termasuk orang tua (manula).
[5] Saya
ingin menambahkan catatan bahwa dalam konteks Indonesia khususnya, banyak
sekolah yang kini pengelolaannya telah berada di dalam mekanisme pasar.
[6] Mariarosa
Dalla Costa membahas hal ini dalam bukunya bersama Selma James yang
berjudul The Power of Women and the Subversion of the Community. Keduanya
berargumen bahwa perempuan harus mulai berjuang untuk pembebasan diri mereka
dari belenggu kerja-kerja domestik tapi bukan juga dengan mengalihkannya serta
merta menjadi ‘lebih baik bekerja di ruang publik’. Dalla Costa memandang bahwa
problem ini sebaiknya diselesaikan dengan menghancurkan keseluruhan peran
dari ibu rumah tangga/housewife yang dikonstruksikan secara sosial
dalam kapitalisme. Ia memandang bahwa pembebasan perempuan melalui kerja
adalah mitos yang harus ditolak oleh perempuan (hlm. 23). Kondisi kerja
reproduksi sosial pada masa kapitalime sebagaimana dijelaskan tersebut, cukup
berbeda dengan apa yang terjadi sebelum masa kapitalisme. Silvia Federici,
dalam bukunya yang berjudul Caliban and The Witch: Women, The Body and
Primitive Accumulation, menyatakan bahwa sebelum kapitalisme, sebagai
contoh pada era abad pertengahan, ‘sebagian besar
tugas-tugas/pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian dan ditujukan
untuk kepentingan bersama pada saat itu seperti mencuci, menenun, memanen dan
memelihara binatang; dilakukan bersama-sama dengan para perempuan lainnya di
dalam komunitas’ (Federici, 2014, hlm. 25). Dengan demikian,
tugas-tugas/pekerjaan-pekerjaan tersebut tidaklah menjadi sumber dari
keterisolasian perempuan; sebaliknya, merupakan sumber kekuatan dan
perlindungan bagi perempuan.
0 comments:
Post a Comment