Friday, October 25, 2019

Posisi Perempuan dalam Jerat Kapitalisme: Kembali pada Analisis Kelas


Judul Buku : Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression 
Penulis         : Tithi Bhattacharya (ed.) 
Penerbit       : Pluto Press.Press, 2017 
Tebal             : xii + 250 halaman
 
Di dalam masyarakat kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah masih selalu dikonstruksikan secara sosial sebagai tanggung jawab individu perempuan (semata). Pengemban tanggung jawab tersebut ialah seorang istri/ibu; sementara suami/ayah dikonstruksikan secara sosial sebagai seorang yang hanya berkewajiban mencari nafkah.
Konsekuensinya, para perempuan selalu disibukkan dengan kerja reproduksi sosial di samping pekerjaan mereka di bidang lainnya (jika ada). Selain itu, konstruksi sosial ini menyebabkan pembagian gender yang asimetris di tengah-tengah masyarakat (Coontz, 1986).[1]
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi tersebut tergambar dengan nyata, misalnya, dalam sebuah akun Instagram bernama @blacklistnannys. Melalui akun Instagram @blacklistnannys, para perempuan[2] ‘ex-majikan’ mem-blacklist para mantan ‘mbak’[3] dan ‘sus’[4] yang pernah bekerja di keluarga mereka dengan cara mem-posting foto dan kekecewaan (dan seringkali kemarahan) mereka terhadap para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Melalui pengelola akun @blacklistnannys tersebut, para perempuan ‘majikan’ mengunggah foto sang ‘mbak’ atau ‘sus’ yang di blacklist sambil mendeskripsikan kesalahan-kesalahan yang diperbuat (dalam caption foto tersebut). Harapannya: agar para perempuan ‘majikan’ lain yang disebut dengan ‘moms’, yang akan mempekerjakan ART atau nanny, tidak merekrut mereka.
Kekecewaan dan kemarahan para perempuan ‘majikan’ atas para pekerja rumah tangga yang di-blacklisttersebut dilatari berbagai faktor, dari mulai ketidakbecusan para ‘mbak’ atau ART dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah; sikap para ‘mbak’ dan ‘sus’ yang suka bergosip dengan sesama mereka; hingga kesalahan para ‘sus’ dalam mengurus anak, seperti terlambat memandikan anak dan bahkan memukul anak. Kekecewaan juga tidak hanya ditujukan pada para ‘mbak’ dan ‘sus’, tetapi juga pada yayasan-yayasan yang menyalurkan para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Selain itu, dalam akun yang sama, mereka juga mencari informasi mengenai ‘mbak’ dan ‘sus’ yang akan mereka pekerjakan. Di sisi lain, para calon ART, nanny, atau pekerja rumah tangga lainnya, juga dapat mengiklankan diri mereka sendiri untuk mencari pekerjaan melalui akun tersebut.
Munculnya akun Instagram @blacklistnannnys ini, bagi saya, mencerminkan setidaknya tiga hal. Pertama, perempuan masih mengemban tanggung jawab kerja-kerja pengurusan anak dan rumah atau yang juga dikenal dengan istilah ‘kerja reproduksi sosial’. Kedua, melalui akun instragram tersebut, kita dapat melihat adanya hubungan kerja—yang penting untuk dibahas lebih lanjut—antara para pekerja rumah tangga (yang sebagian besar adalah perempuan) dengan para perempuan ‘majikan’ yang mempekerjakannya. Ketiga, kemunculan akun instagram tersebut memberikan kita gambaran mengenai apa yang dimaksud Nancy Fraser dengan ‘the crisis of care’, yang dibahas secara khusus dalam buku yang akan saya review kali ini.
Teori Marxis mengenai Reproduksi Sosial dan Pendekatan Interseksionalitas
Buku yang akan saya review kali ini yang berjudul ‘Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression’ dan ditulis oleh beberapa scholar kenamaan di bidang ini, seperti Nancy Fraser. Buku ini diedit oleh Tithi Bhattacharya dan terdiri atas 10 bab yang membahas teori Marxis mengenai reproduksi sosial (termasuk ‘the crisis of care’) dan juga pendekatan interseksionalitas dalam memandang reproduksi sosial. Selain itu, buku ini juga membahas beberapa persoalan yang ada di seputar reproduksi sosial, seperti problem reproduksi sosial dan seksualitas, reproduksi sosial dan anak-anak, dan persoalan pensiun.
Namun demikian, saya akan menekankan pembahasan di dalam review ini pada persoalan mengenai ‘the crisis of care’ dalam kerangka pembahasan mengenai teori reproduksi sosial itu sendiri, mengingat konteks yang telah saya narasikan pada bagian awal tulisan ini. Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal tersebut, terlebih dulu akan saya bahas definisi mengenai reproduksi sosial itu sendiri sebagaimana diungkapkan para penulis di dalam buku ini.
Dalam buku setebal 250 halaman ini, masing-masing penulis mendefinisikan reproduksi sosial sebelum mengelaborasi pandangan mereka mengenai reproduksi sosial. Mohandesi dan Teitelman misalnya, dalam bab 3 yang berjudul ‘Without Reserves’ mendefinisikan kerja reproduksi sosial sebagai “segenap aktivitas yang dibutuhkan untuk menciptakan, memelihara, dan merestorasi komoditas tenaga kerja” (hlm. 39). Sementara itu, Fraser, dalam tulisannya di bab 2 berjudul ‘Crisis of Care? On the Social Reproduction of Labor and the Global Working Class’, mendefinisikan kerja reproduksi sosial sebagai “sebuah kondisi latar belakang yang tak terelekkan posisinya bagi kemungkinan produksi ekonomi dalam sebuah masyarakat kapitalis” (hlm. 23).
Terkait itu, teori Marxis mengenai reproduksi sosial baik dual theory maupun unitary framework yang hanya dibahas sekilas oleh Lise Vogel di bagian pengantar buku ini menjadi penting untuk diulas kembali. Sebagaimana diungkap Vogel, terdapat dua aspek di dalam reproduksi social: produksi komoditas dan reproduksi tenaga kerja (hal. x). Kedua aspek ini dikenal dengan dualitas teori dalam reproduksi sosial. Pada tahun 1980an, perdebatan terjadi di kalangan para feminis Marxis, dimana beberapa di antara mereka, termasuk Vogel, berusaha berusaha memandang dualitas tersebut di dalam satu framework atau unitary framework.
Namun demikian, saya sepakat dengan pendapat Vogel bahwa di dalam buku ini, teori dual-system mengenai reproduksi sosial masih menjadi yang dominan; meski terdapat pula uraian mengenai interseksionalitas yang memperkaya pembacaan teori mengenai reproduksi sosial yang menjadi tema utama buku ini.
Menurut saya, selain ada di dalam tulisan Fraser, salah satu uraian teori mengenai reproduksi sosial yang cukup detail juga ada di dalam tulisan Bhattacharya (bab 4) yang berjudul ‘How Not to Skip Class: Social Reproduction of Labour and the Global Working Class’. Dalam tulisannya itu, Bhattacharya mengajukan sebuah pertanyaan penting mengenai reproduksi sosial: “apa implikasi dari tenaga kerja yang diproduksi di luar sirkuit produksi komoditas, namun sangat penting untuk hal tersebut?”
Dengan detail, Bhattacharya menjelaskan teori reproduksi sosial dalam perspektif Marxis. Saya merasa seperti sedang berada di dalam sebuah kurpol (kursus politik, -Ed) Marxis ketika membaca tulisannya. Ia mengingatkan kita kembali mengenai dua konsep penting dalam Marxisme terkait dengan reproduksi sosial, yakni necessary labour time dan surplus labour time. Necessary labour time adalah “waktu yang dihabiskan oleh pekerja untuk memproduksi nilai yang sama dengan apa yang dibutuhkan untuk reproduksinya sendiri” (hlm. 71). Sementara surplus labour time adalah “sisa waktu kerja dimana pekerja membuat nilai tambah bagi kapital” (Ibid).
Bhattacharya juga meletakkan teori reproduksi sosial dalam konsep Marxis ‘the production of labour power’atau ‘produksi kekuatan tenaga kerja’, dimana reproduksi sosial dilihat di dalam dua sirkuit yang berbeda. Pertama, within capital’s circuit atau sirkuit kapital; dan kedua, within wage labour’s circuit atau sirkuit buruh upahan. Di dalam sirkuit kapital, reproduksi yang dimaksud ialah reproduksi dimana “tenaga kerja dilihat sebagai sebuah alat produksi bagi reproduksi kapital, atau valorization” (Bhattacharya, hlm. 71). Sementara itu, di dalam sirkuit buruh upahan, reproduksi dilihat dari sisi dimana “pekerja mengkonsumsi berbagai komoditas sebagai nilai guna atau use values; seperti makanan, pakaian, perumahan dan pendidikan; dalam rangka untuk mereproduksi dirinya sendiri.” (Ibid., hlm. 71).
Berangkat dari uraiannya tersebut, saya menilai posisi tulisan Tithi Bhattacharaya ini penting untuk diletakkan sebagai dasar dalam memahami perdebatan—sebagai contoh—antara para feminis Marxis dan feminis Marxis otonomis mengenai unpaid domestic labour atau kerja domestik yang tak dibayar.
Terkait itu, Carmen Teeple Hopkins menjelaskan perbedaan pandangan di antara para feminis Marxis dan feminis Marxis otonomis mengenai teori reproduksi sosial, khususnya mengenai unpaid domestic labour di balam bab 7 yang berjudul ‘Mostly Work, Little Play: Social Reproduction, Migration, and Paid Domestic Work in Montreal.
Sebelum menjelaskan perbedaan tersebut, Hopkins menekankan pentingnya konsep unpaid domestic labour/kerja domestik yang tidak dibayar bagi para feminis untuk membongkar penindasan terhadap perempuan di dalam masyarakat kapitalis (hlm. 131).
Perbedaan pandangan mengenai teori reproduksi sosial di antara para feminis Marxis dan Marxis otonomis terletak setidaknya di dalam dua hal. Pertama, secara teoritis, para feminis Marxis; seperti Margaret Benston, Lise Vogel, dan dirinya; melihat bahwa unpaid domestic labour tidak memiliki exchange value dan hanya memiliki use value. Sementara para feminis Marxis otonomis; seperti Mariarosa Dalla Costa, Selma James dan Silvia Federici; melihat bahwa unpaid domestic labour memiliki exchange value selain use value.
Kedua, para feminis Marxis otonomis melihat “akumulasi tidak hanya menyoal produksi di tempat kerja sebagaimana secara tradisional dipahami, tetapi juga mengenai mereka yang mereproduksi para pekerja, yaitu tenaga kerja” (hlm. 133). Para feminis Marxis otonomis melihat bahwa realm dari reproduksi adalah bagian penting lain dari cerita kehidupan dalam kapitalisme, dan realm ini bukanlah realm ‘of leisure’ (hlm. 134). Mereka berargumen bahwa unpaid domestic labour yang penting untuk mereproduksi tenaga kerja upahan; yang terdiri atas kerja-kerja domestik yang intensif seperti memasak, mencuci, mengurus dan merawat diri, pasangan dan anak, adalah kerja yang haruslah dibayar (Ibid.). Konsekuensinya, para feminis Marxis otonomis seperti Silvia Federici pun mengampanyekan Wages for Housework atau Upah untuk Kerja Domestik pada tahun 1970an.
Posisi ini berbeda dengan sejumlah feminis Marxis yang memandang bahwa unpaid domestic labour tidak memiliki exchange value. Dengan memberi contoh pada konteks masyarakat di negara-negara global south atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘negara berkembang’, sejumlah feminis Marxis ini berargumen bahwa sulit untuk membedakan, misalnya, antara unpaid domestic work dan kerja petani yang ditujukan untuk keperluan subsisten (hlm. 134). Maka dari itu, feminis Marxis seperti Hopkins menawarkan pentingnya untuk keluar dari konsep produksi dan reproduksi untuk menilai dan meneorikan unpaid domestic labour. Ia juga menekankan bahwa unpaid domestic labour adalah social necessary yang berbeda dengan kerja produktif atau productive labour.
Saya sendiri lebih bersepakat dengan posisi teoritis dari para feminis Marxis otonomis karena menurut saya, kerja-kerja reproduksi sosial seperti memasak, mencuci, mengurus dan merawat diri, pasangan dan anak adalah kerja yang tidak mudah; posisinya bukanlah ‘leisure activities’, melainkan pilar penting dari kapitalisme, selain kerja-kerja yang terjadi di ranah produksi.
Reproduksi sosial dari sudut pandang interseksionalis dibahas oleh David McNally dalam bab 5 yang berjudul ‘Intersections and Dialectics: Critical Reconstruction in Social Reproduction Theory’. McNally menekankan pentingnya melihat sumber-sumber opresi lain di dalam kapitalisme seperti rasisme dalam menganalisis reproduksi sosial. Ia berargumen bahwa “rasisme adalah elemen yang dibutuhkan di dalam kapitalisme.” (hlm. 107). Ia memberi contoh lewat pengalaman black women yang bekerja di sektor paid domestic labour. 
Perempuan, ‘The Crisis of Care’, dan Analisis Kelas
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Fraser menekankan bahwa posisi reproduksi sosial sangat penting di dalam kapitalisme. Akan tetapi, kapitalisme yang sangat bergantung pada aktivitas-aktivitas kerja reproduksi sosial tersebut justru menjadi free rider dari kerja yang amat vital bagi keberlangsungannya sendiri. Di dalam kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial atau yang juga dikenal dengan istilah affective labour berlangsung di rumah-rumah tangga, lingkungan rumah, berbagai jaringan informal dan institusi publik seperti sekolah.[5]
Permasalahan yang terjadi di seputar kerja reproduksi sosial sebagaimana telah saya singgung di pembuka tulisan ini tak dapat dilepaskan dari apa yang terkandung di reproduksi sosial itu sendiri. Fraser menjelaskan bahwa kita berada di dalam ‘the crisis of care’/krisis reproduksi sosial atau dikenal juga dengan persoalan ‘work-life balance’; yang menurutnya merupakan problem khas dari kapitalisme (hlm. 22). Fraser berargumen bahwa the crisis of care tak lain merupakan bentuk dari berbagai kontradiksi kerja-kerja reproduksi sosial di dalam kapitalisme, termasuk fase saat ini, yakni kapitalisme finansial. Kontradiksi-kontradiksi tersebut ialah; di satu sisi, reproduksi sosial memiliki peran yang krusial di dalam kapitalisme, dimana reproduksi sosiallah yang menentukan keberlangsungan akumulasi kapital; sementara di sisi lain, orientasi kapitalisme untuk akumulasi yang tidak terbatas cenderung membuat proses reproduksi sosial menjadi tidak stabil.
Fraser menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, setidaknya sejak era kapitalisme industrial, kerja reproduksi sosial telah dipisahkan dari kerja produktif (di bidang ekonomi). Selain itu, di dalam masyarakat kapitalis, pembagian kedua kerja tersebut juga diasosiasikan pada gender tertentu. Kerja reproduksi sosial diasosiasikan sebagai ‘kerja perempuan’, sementara kerja produksi ekonomi diasosiasikan sebagai ‘kerja laki-laki’. Inilah yang kemudian menjadi basis dari subordinasi perempuan. Perempuan kemudian ditempatkan secara sosial semata pada ruang-ruang domestik (baca: rumah) (hlm. 24).
Konstruksi sosial tersebut membawa konsekuensi yang serius bagi perempuan, salah satunya: keterisolasian perempuan dari kerja-kerja di ruang publik. Keterisolasian ini bahkan berdampak pada hal yang lebih jauh, seperti adanya kesangsian di dalam masyarakat bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Kesangsian ini muncul karena kerja reproduksi sosial yang dilakukan perempuan di rumah (unpaid domestic labour) dianggap sebagai kerja ringan yang tidak memerlukan kapabilitas sebagaimana ditunjukkan dalam kerja di sektor ekonomi produktif yang dikonstruksikan menjadi domain utama laki-laki.[6]
Lebih lanjut, di dalam rezim ketiga reproduksi sosial di era kapitalisme ini, yakni kapitalisme finansial global, sebagaimana dijelaskan oleh Fraser, kita dihadapkan pada semakin berkurangnya peran negara dalam urusan kesejahteraan sosial. Relokasi lokus produksi ke wilayah-wilayah yang lebih ‘murah’ termasuk dalam hal tenaga kerja yang menyebabkan semakin banyaknya perempuan bekerja di sektor ‘paid work’ pun memberikan dampak pada keberlangsungan reproduksi sosial.
Terlebih lagi, dieksternalkannya kerja-kerja reproduksi sosial pada keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas membuat kerja-kerja tersebut diorganisasikan di dalam dua hal yang berbeda. Pertama, dikomodifikasikan oleh mereka yang dapat membayarnya, dan kedua, menjadi urusan privat bagi mereka yang tidak dapat melakukannya (hlm. 25-26). Dalam hal ini, mereka yang tidak dapat membayar jasa care work atau kerja-kerja reproduksi sosial seringkali menyediakan jasa care work dengan upah yang rendah dalam paid domestik work atau kerja domestik yang dibayar, untuk mereka yang ada di dalam kategori pertama.
Di sinilah analisis Fraser dapat ditempatkan di dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang telah saya ilustrasikan pada bagian awal review buku ini.
Di Indonesia, kita lazim mengenal istilah ‘mbak’ atau ‘sus’ sebagai sebutan terhadap para perempuan pekerja rumah tangga. Para perempuan yang kebanyakan berasal dari kelas pekerja pedesaan tersebut –yang tidak dapat membayar jasa care work atau kerja-kerja reproduksi sosial—kemudian direkrut dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (menyediakan jasa care work, biasanya dengan upah yang rendah dalam paid domestik work atau kerja domestik yang dibayar) di rumah-rumah para ‘majikan’ (yang kebanyakan perempuan) yang berasal dari kelas menengah dan atau kelas menengah atas perkotaan. Para perempuan ‘majikan’ yang memperkerjakan para pekerja rumah tangga ini ada yang bekerja di sektor ekonomi produktif; ada juga yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Mereka biasanya merekrut para pekerja rumah tangga melalui yayasan penyalur tenaga kerja atau jaringan personal yang dimiliki khususnya dengan masyarakat di wilayah rural/pedesaan.
Di sinilah problem ‘the crisis of care’ tercermin dengan jelas: bahwa urusan reproduksi sosial yang begitu penting di dalam kapitalisme diserahkan kepada individu-individu (dalam hal ini perempuan) yang kebanyakan berada di dalam ‘two-earner family’ atau keluarga dengan dua penecari nafkah (suami dan istri sebagai pencari nafkah). Kerumitan untuk membagi perhatian antara kerja untuk mencari nafkah (di sektor ekonomi produktif) dan kerja untuk memelihara dan merawat rumah tangga (di sektor social-reproductive) secara umum selalu menjadi problem perempuan semata. Padahal, kerja-kerja social-reproductive seperti unpaid domestic work jelaslah tidak mudah dikerjakan: baik di sela-sela kesibukan mencari nafkah maupun tidak.
Apa yang seringkali luput dari perhatian ketika membicarakan keluhan para ‘majikan’ yang biasanya merupakan upper class women terhadap para pekerja rumah tangga, sebagaimana terlihat pula di dalam akun @blacklistnannys, ialah: soal relasi kerja di antara kedua pihak tersebut. Dalam kekecewaan para majikan yang ditumpahkan dalam akun tersebut misalnya, tidak ada ruang sama sekali bagi para pekerja rumah tangga yang di black list untuk menyampaikan hak jawab mereka. Lebih jauh, kekecewaan para majikan juga seakan menutupi fakta banyaknya kasus para pekerja rumah tangga yang misalnya, dianiaya majikan, diberi pekerjaan melebihi tanggung jawab yang disepakati sejak awal; atau tidak dibayar sesuai dengan perjanjian.
Saya juga berpendapat bahwa kemunculan akun seperti @blacklistnannys merupakan cermin dari ketidakberesan sistem kerja paid domestic work di Indonesia. Beberapa indikasinya di antaranya; pertama, para majikan masih memiliki mindset bahwa para pekerja rumah tangga (baik ‘mbak’ dan ‘sus’) itu adalah ‘babu’, dan bukan pekerja. Konsekuensinya, banyak di antara para pekerja rumah tangga tersebut mendapatkan tugas melebihi dari apa yang seharusnya.
Kemudian, banyak pula di antara para ‘majikan’ merasa layak untuk menempatkan posisi para pekerja rumah tangga tersebut bukan sebagai pekerja melainkan lebih cenderung sebagai seorang dengan posisi yang sangat rendah–untuk tidak menyebutnya sebagai ‘slave’ atau budak. Kedua, para pekerja rumah tangga, baik ‘mba’ dan ‘sus’ pada umumnya direkrut dengan cara outrouscing via yayasan penyalur tenaga kerja, sehingga meski upah mereka seringkali sudah memenuhi standar minimum, namun hak-hak lain sebagai pekerja cenderung tidak diakui apalagi dipenuhi.
Oleh karena itu, menurut saya, sebutan ‘pekerja’ untuk para ‘mbak’ dan ‘sus’ yang notabene-nya bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan mengerjakan kerja reproduksi sosial di dalam rumah menjadi penting sebagai langkah awal untuk mengakui bahwa unpaid domestic labour adalah kerja; sama seperti kerja produksi yang menghasilkan surplus value.
Tujuan dari hal tersebut ada tiga. Pertama, untuk menciptakan relasi kerja yang jelas sehingga dapat menjamin perlindungan kerja bagi para pekerja rumah tangga. Kedua, di tengah ‘the crisis of care’ dimana permintaan terhadap jasa para pekerja rumah tangga kian meningkat, terlebih di kota-kota besar, para pekerja rumah tangga sebenarnya memiliki posisi tawar yang tinggi, maka adanya pengakuan terhadap para pekerja rumah tangga sebagai ‘pekerja’ akan mempermudah mereka untuk memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja dengan membentuk serikat pekerja rumah tangga. Ketiga, untuk secara perlahan menghapuskan konstruksi sosial bahwa kerja reproduksi, khususnya dalam hal ini unpaid domestic work, adalah beban bagi perempuan semata. Dengan adanya pengakuan pekerja rumah tangga sebagai pekerja, maka siapa pun, bukan hanya perempuan, dimungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
Saya sepakat dengan pandangan para feminis Marxis otonomis mengenai wage for housework sebagai langkah awal untuk mengakui unpaid domestic work sebagai kerja, yang posisinya sama penting dengan kerja ‘produktif’ di sektor ekonomi. Tujuan jangka panjangnya, sebagaimana dinyatakan Dalla Costa, adalah untuk menghapuskan peran housewife yang dikontruksikan secara umum; demi mengembalikan semua pekerjaan-pekerjaan rumah/housework, yang tidak lain adalah the unpaid domestic work, yang merupakan kerja reproduksi sosial, to common atau menjadi tanggung jawab bersama sebuah masyarakat dan bukan perempuan semata sebagaimana dinyatakan dan diperjuangkan oleh para feminis Marxis otonomis seperti Federici (2012).

Bacaan Tambahan:
Bhattacharya, Tithi, ed. 2017. Social Reproduction Theory: Remapping Class: Recentering Oppression. London: Pluto Press.
Coontz, Stephanie and P. H., 1986. Introduction: ‘Explanations’ of Male Dominance. In: S. a. P. H. Coontz, ed. Women’s Work Men’s Property: the Origins of Gender and Class. London: Verso, p. 12.
Costa, Mariarosa Dalla dan Selma James. The Power of Women and the Subversion of the Community. Bristol: Falling Walls Press Ltd., 1972.
Federici, Silvia. Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. PM Press, 2012.
Federici, Silvia, 2014. Caliban and The Witch: Women, The Body and Primitive Accumulation. Second, revised edition ed. New York: Autonomedia.

———–
[1] Pembagian gender yang asimetris ini lebih jauh kemudian menimbulkan dampak yang lebih besar, termasuk di dalam kehidupan sosial politik, yang mana akan saya jelaskan lebih lanjut pada bagian akhir dari tulisan ini.
[2] Dalam profiling singkat yang saya lakukan dengan mengamati komentar-komentar yang tedapat di dalam setiap posting-an di dalam akun @blacklistnannys, kebanyakan dari mereka merupakan ibu yang bekerja di luar rumah dan juga ibu rumah tangga (yang kemungkinan besar memiliki usaha lain di rumah).
[3] Sebutan yang cenderung umum digunakan untuk ART (Asisten Rumah Tangga). Berdasarkan observasi saya terhadap akun Instagram @blacklistnannys, para ‘mbak’ biasanya bertugas mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu dan membereskan rumah. Istilah ‘Pekerja Rumah Tangga’ belum menjadi istilah yang digunakan secara umum oleh masyarakat. Masyarakat masih menggunakan istilah ART atau pembantu dan bahkan istilah yang cenderung merendahkan sepeti ‘babu’ untuk memanggil para pekerja rumah tangga. Penggunaan istilah ini tentu memiliki dampak dan implikasi, yang lebih jauh akan saya uraikan di bagian akhir tulisan.
[4] Sebutan yang cenderung umum digunakan untuk nanny, atau mereka yang bekerja menjaga—dan seringkali—merawat bayi, balita, anak-anak, termasuk orang tua (manula).
[5] Saya ingin menambahkan catatan bahwa dalam konteks Indonesia khususnya, banyak sekolah yang kini pengelolaannya telah berada di dalam mekanisme pasar.
[6] Mariarosa Dalla Costa membahas hal ini dalam bukunya bersama Selma James yang berjudul The Power of Women and the Subversion of the Community. Keduanya berargumen bahwa perempuan harus mulai berjuang untuk pembebasan diri mereka dari belenggu kerja-kerja domestik tapi bukan juga dengan mengalihkannya serta merta menjadi ‘lebih baik bekerja di ruang publik’. Dalla Costa memandang bahwa problem ini sebaiknya diselesaikan dengan menghancurkan keseluruhan peran dari ibu rumah tangga/housewife yang dikonstruksikan secara sosial dalam kapitalisme. Ia memandang bahwa pembebasan perempuan melalui kerja adalah mitos yang harus ditolak oleh perempuan (hlm. 23). Kondisi kerja reproduksi sosial pada masa kapitalime sebagaimana dijelaskan tersebut, cukup berbeda dengan apa yang terjadi sebelum masa kapitalisme. Silvia Federici, dalam bukunya yang berjudul Caliban and The Witch: Women, The Body and Primitive Accumulation, menyatakan bahwa sebelum kapitalisme, sebagai contoh pada era abad pertengahan, ‘sebagian besar tugas-tugas/pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian dan ditujukan untuk kepentingan bersama pada saat itu seperti mencuci, menenun, memanen dan memelihara binatang; dilakukan bersama-sama dengan para perempuan lainnya di dalam komunitas’ (Federici, 2014, hlm. 25). Dengan demikian, tugas-tugas/pekerjaan-pekerjaan tersebut tidaklah menjadi sumber dari keterisolasian perempuan; sebaliknya, merupakan sumber kekuatan dan perlindungan bagi perempuan.

0 comments:

Post a Comment

 
;