GELOMBANG perlawanan rakyat dari berbagai elemen
terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang semakin oligarkis dan
anti-demokrasi begitu menonjol dalam beberapa minggu terakhir. Di luar
perhitungan kalangan gerakan sosial, aksi-aksi massa ini ditanggapi secara
represif oleh aparatus keamanan negara. Mobilisasi jalanan oleh berbagai
organisasi dan kolektif gerakan rakyat segera disambut oleh represi – peserta
aksi digebuki, ditangkapi, dan bahkan difitnah. Bisa dikatakan bahwa
represi yang terjadi akhir-akhir ini secara kualitatif merupakan represi dengan
skala yang cukup besar dan karenanya cukup memukul perjuangan rakyat. Tetapi,
gelombang perlawanan rakyat yang kembali muncul ini, terlepas dari segala
dinamika dan kekurangannya, berupaya menjaga momentum perjuangan hingga detik
ini.
Dinamika inilah yang menarik untuk dilihat lebih
lanjut dan dijadikan acuan untuk pergerakan kita ke depan. Di sini, kita
memerlukan suatu kerangka baca untuk memahami manuver-manuver liar
yang diambil oleh para elite akhir-akhir ini dan mengevaluasi pola perlawanan
kita. Tanpa kerangka baca yang lebih komprehensif, maka langkah kita ke depan
akan cenderung defensif dan reaktif, lupa bahwa di tengah-tengah dominasi elite
ada ruang-ruang di mana kita bisa lebih jauh memajukan tuntutan kita dengan
strategi yang tepat.
Kita tahu bahwa yang menjadi pemicu kemarahan dan
mobilisasi banyak orang adalah kebijakan-kebijakan ngehek yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mulai dari
persoalan pengikisan demokrasi, ruang hidup, hingga persoalan Papua. Tetapi,
kita perlu memahami lebih jauh mengapa produk-produk legislasi tersebut dan
represi dengan skala yang lebih besar dari biasanya muncul. Persis di titik
inilah kita perlu melihat keterkaitan antara berbagai produk perundang-undangan
dan kebijakan yang diambil oleh negara, bahwa sesungguhnya ini adalah upaya
untuk mengonsolidasikan kapitalisme melalui pembukaan ruang investasi dan
pengukuhan oligarki.
“Kapitalisme Baik” ala
Jokowi dan DPR
Mungkin sudah sering kita dengar bahwa negara
modern adalah ‘komite eksekutif dari kelas borjuasi’ seperti kata Marx dan
Engels. Yang perlu kita telusuri lebih jauh adalah bagaimana aparatus negara,
di dalam konteks-konteks sosial dan politik tertentu, melakukan fungsi
‘kepanitiaan kelas yang berkuasa’ tersebut. Di sini, kita perlu melihat kembali
rekam jejak pemerintahan Jokowi dan DPR sejauh ini dan juga kecenderungan
ekonomi-politik nasional dan juga global.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perlahan-lahan
kita melihat bagaimana baju ‘reformis’ yang dikenakan oleh administrasi Jokowi
kemudian ditanggalkannya. Bisa jadi ini merupakan hasil dari tekanan
antek-antek oligarki dan para pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang berada di
sekelilingnya, tapi kita juga perlu memperhitungkan agensi atau peranan dari
Jokowi sebagai presiden di sini. Betul bahwa faktor-faktor struktural dan
politik elite yang mengelilingi Jokowi penting, tetapi peranannya sebagai
kepala pemerintahan juga penting. Karenanya, mengatakan bahwa ‘Jokowi
tersandera elite oligarkis’ dan karenanya tidak bisa melakukan agenda-agenda
‘reformis’-nya adalah argumen yang naif, malas, dan melupakan peranannya Jokowi
– yang pada akhirnya memilih orientasi ekonomi-politik yang
developmentalis dan menerima bahwa ‘demokrasi’ yang penuh patronase dan
manipulasi elite oligarkis sebagai aturan main yang ‘wajar.’
Para elite ini – termasuk para bedebah dan rampok
yang duduk di Senayan itu – memang memiliki kepentingan untuk mempertahankan
kepentingan ekonomi-politiknya. Tetapi, di saat yang bersamaan, ada
juga dorongan struktural dari kapitalisme, yang bertemu dengan berbagai
kepentingan para elite tersebut (contoh: kekuasaan politik, ekstraksi dan distribusi
rente, dan lain sebagainya), untuk mempertahankan status quo yang ada, yaitu
kondisi yang stabil demi lancarnya proses akumulasi atau penumpukkan berbagai
jenis nilai lebih yang dihisap secara ‘halus’ maupun ‘koersif’ dari rakyat
pekerja.
Hasilnya? Gagasan 10 Bali baru
dan hype pembangunan infrastruktur (beserta korupsi dan perampasan
tanah skala massif yang kemungkinan besar akan mengikutinya), promosi ‘iklim
investasi yang sehat dan kompetitif’ (yang keuntungannya akan masuk ke kantong-kantong
para bos dan mensyaratkan pembatasan dan pengekangan atas upaya mobilisasi
rakyat pekerja), dan….populisme reaksioner (yang muncul ketika ruang-ruang
‘demokrasi formal’ semakin tidak ada artinya dan kekuatan progresif yang bisa
mengartikulasikan suara rakyat lemah).
Dengan kata lain, hasilnya adalah berbagai jenis
konflik struktural antara kapital versus ruang hidup dan hak-hak demokratik
rakyat yang terus meletup dalam beberapa tahun terakhir, yang mencapai
puncaknya pada represi besar-besaran kepada aksi massa di akhir September
kemarin. Proses pengukuhan kuasa oligarki dan pemberangusan demokrasi ini
memang terjadi secara gradual – berhadapan dengan represivitas aparat dan
manipulasi politik oleh elite mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari bagi
banyak kawan di luar Jakarta. Ibarat disalip di tikungan terakhir, tanpa kita
sadari para elite politik melakukan manuver pamungkasnya justru di saat
kita sedang lengah. Saya bisa bayangkan proses politicking yang
licin dan licik dalam proses mengegolkan sejumlah ide-ide liar dan
legislasi-legislasi keparat itu.
Yang juga tidak kalah penting adalah melihat
keterkaitan antara berbagai produk legislasi yang kontroversial tersebut, yang
bertujuan untuk mengamankan tatanan kapitalis yang sedang melemah dan
rawan terkena dampak krisis, melalui proses-proses politik yang
seakan-akan demokratik (via ‘deliberasi’ di parlemen) namun sejatinya
oligarkis.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
dan Rancangan Undang-undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) bermasalah
bukan hanya sekadar karena produk legislasi tersebut ‘melanggar ranah privat
warga negara’ sebagaimana sering dikesankan oleh narasi-narasi liberal dan
sebagian reportasi di pers asing. RKUHP bermasalah karena dia berpotensi
memberangus hak-hak sipil dan politik warga negara, yang dapat dipakai sebagai
sebuah bentuk pendisiplinan atas berbagai upaya perlawanan atas kapitalisme dan
rezim mencla-mencle hari ini. Pelemahan upaya pemberantasan korupsi
juga tidak cukup dilihat sebagai pelemahan atas cita-cita ‘tata kelola
pemerintahan yang baik’ (good governance) dan pengawasan masyarakat sipil atas
kinerja pemerintah.
Lebih dari itu, pelemahan tersebut perlu dilihat
sebagai manuver untuk mengamankan proses perampokan rente dan dana negara
sebagai satu jenis modus operandi dari perampasan atas nilai lebih
yang dihasilkan melalui keringat rakyat pekerja oleh para elite politik.
Begitupun soal kriminalisasi aktivis – ini bukan sekadar persoalan hak
berbicara dan mengawasi pemerintah. Lebih dari itu, kriminalisasi aktivis
merupakan cara bagi tatanan yang berkuasa hari ini untuk membungkam siapapun
yang berani untuk berbicara mengenai ekses dari kuasa kapital terhadap
kehidupan rakyat.
Kemudian, sejumlah produk dan rancangan legislasi
yang lain seperti RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU
Ketenegakerjaan, UU Sumber Daya Air, dan lain sebagainya sesungguhnya adalah
sebuah bentuk legalisasi bagi upaya perampasan dan akumulasi kapitalistik
besar-besaran yang difasilitasi oleh negara. Sebaliknya, penundaan pengesahan
dua RUU yang penting yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menunjukkan ketidakpedulian para elite ini
dengan kaum perempuan dan agenda rakyat pekerja secara keseluruhan.
Bagaimana dengan soal Papua? Tentu saja, ini
adalah soal militerisme dan ekspansi dari pemerintah Indonesia untuk pengerukan
berbagai jenis sumber daya yang ada di sana demi kepentingan kapitalisme dan
hasrat imperialis kecil Indonesia.
Ujung dari tiga paket kebijakan ini sudah jelas:
stabilisasi sosial-politik dan pendisiplinan warga negara demi arus investasi
dan akumulasi kapital. Inilah mengapa bentuk-bentuk ‘demokrasi’ – atau bolehlah
kita katakan dalam konteks ini sebagai elektoralisme borjuis – yang dirayakan
dan dibolehkan adalah aktivitas-aktivitas ‘demokrasi’ yang bersifat prosedural
dan ritualistik, seperti pemilihan umum dan pelantikan anggota DPR, yang
berguna untuk memastikan faksi mana dari kelas berkuasa yang akan
memainkan peranannya sebagai hamba dari kapital hari ini. Sebaliknya,
bentuk-bentuk dan praktik-praktik demokrasi yang lebih substansial, sebagaimana
dipraktikkan oleh berbagai elemen massa rakyat dalam beberapa minggu terakhir
ini, mulai dari mahasiswa, pelajar, buruh, tani, kaum miskin kota, nelayan, dan
banyak lagi, justru direpresi secara massif.
Inilah logika dari manuver politik pemerintah
akhir-akhir ini. Sepandai-pandai dan sebaik-baiknya kapitalisme
ber-acting dan memakai topeng, tentu wajah aslinya akan tetap ketahuan.
Dan represi besar-besaran di bulan kemarin adalah bukti dari wajah asli
kapitalisme hari ini. Dan ketika kita mencoba melawan, di saat itu pula kita
‘diberi hadiah’ oleh para elite oligarkis berupa penanganan represif dari pihak
kepolisian sebagai aparatus koersif negara.
Refleksi dari Gelombang
Perlawanan Sejauh Ini
Manuver-manuver politik para elit ini kemudian
mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari berbagai elemen gerakan rakyat.
Berdasarkan amatan pribadi saya, juga kesan yang saya dengar dari banyak kawan
dan reportase dari berbagai media, agaknya tidaklah berlebihan untuk mengatakan
bahwa ini aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan kemarin merupakan salah satu,
jikalau bukan, aksi massa yang paling besar dalam beberapa tahun terakhir.
Kepada gelombang perlawanan ini, mari kita berikan
penghormatan sebesar-besarnya. Mari kita tundukkan kepala, sembari tidak lupa
untuk tetap mengepalkan tangan kita, bagi kawan-kawan yang gugur dan tertangkap
dalam perjuangan iniu. Setidak-tidaknya, gelombang aksi massa ini menunjukkan
bahwa perjuangan rakyat, perjuangan kelas, tidak pernah benar-benar padam.
Bahwa di setiap upaya dominasi dan hegemonisasi akan selalu ada perlawanan
terhadapnya.
‘Spontanitas’ dalam gelombang perlawanan kali ini
juga merupakan satu hal yang tidak kita antisipasi. Mungkin kita sendiri cukup
terlenakan dengan kondisi ‘tenang’ – yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar
tenang – dalam beberapa tahun terakhir. Inisiatif ini perlu mendapat apresiasi.
Melawan segala ekspektasi, kita jadi sadar bahwa terlepas dari fragmentasi dan
konflik internal, serikat-serikat dan kolektif-kolektif rakyat dari sektor
buruh, tani, nelayan, perempuan, komunitas agama, dan banyak lainnya masih
terus berlawan dengan rezim kekuasaan hari ini.
Kita juga disadarkan bahwa kawan-kawan muda, mahasiswa
dan pelajar, generasi millennial yang sering dituduh sebagai generasi
hura-hura nan apatis itu, rupanya marah dan tergerak ketika melihat
ketidakadilan. Kita sering lupa bahwa sejatinya mereka juga adalah bagian dari
rakyat pekerja, yang juga mengalami berbagai bentuk ketertindasan
sehari-harinya, mulai dari biaya pendidikan yang semakin mahal, otoritas kampus
dan sekolah yang paternalistik, hingga masa depan yang semakin rentan dalam
dunia yang semakin kapitalistik.
Tetapi bentuk apresiasi yang lebih baik menurut
saya bukanlah sekadar puja puji belaka, tetapi juga evaluasi. Menurut hemat
saya, setidaknya ada dua komponen yang masih kurang dalam gelombang perlawanan
kita hari ini yaitu program dan kepemimpinan.
Program yang saya maksud di sini bukan hanya
sekadar daftar tuntutan. Tentu saja, daftar tuntutan yang ada sangatlah
penting dan kita perlu terus mendorong pemenuhan daftar tuntutan tersebut.
Tetapi, untuk melangkah ke depan kita perlu bergerak dan bertindak lebih jauh
lagi. Mendorong musyawarah rakyat yang terbuka antara presiden, DPR, dan
elemen-elemen gerakan rakyat adalah satu metode untuk mendorong pemenuhan
tuntutan tersebut, tapi itu hanyalah awal dari pergerakan yang lebih jauh
lagi, yang dapat mengajukan tawaran agenda ekonomi-politik yang lebih
progresif, pro-rakyat dan mengontrol kuasa serta manuver oligarki yang
semakin licin akhir-akhir ini.
Yang juga tidak kalah penting adalah soal
kepemimpinan politik, keberanian dari gerakan rakyat untuk memimpin dan
melakukan intervensi politik ‘dari atas’ dan ‘dari bawah.’ Salah satu hal yang
menjadi pertanyaan besar kita akhir-akhir ini adalah bagaimana menjaga dan
menyalurkan ‘energi besar’ yang baru-baru ini meletus? Di sini, terbukti bahwa
lobi-lobi aktivis saja tidak cukup – tanpa ada kontrol demokratik dan
mobilisasi yang militan dari massa rakyat, maka jangan harap akan ada penerapan
suatu kebijakan yang progresif dan perubahan yang lebih dalam dan transformatif
dari struktur negara. Ini adalah sebuah klaim yang sudah teruji secara historis.
Sejumlah kajian yang membahas mengenai demokratisasi dan pendalaman hak-hak
demokratik di berbagai konteks (lihat misalnya ini, ini, ini, dan ini) misalnya menunjukkan
bahwa mobilisasi dan aksi disruptif dari rakyat pekerja
merupakan salah satu faktor pendorong yang utama dari proses demokratisasi dan
pemenuhan tuntutan akan hak-hak warga negara.
Tetapi, mobilisasi yang militan saja, meski mutlak
diperlukan, tidaklah cukup. Karena, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana
mobilisasi hari ini dapat membantu kita untuk mewujudkan tatanan yang baru dan
lebih baik dari kondisi hari ini? Dengan kata lain, bagaimana mobilisasi dapat
membantu kita untuk melaksanakan program kita?
Di sini, mau tidak mau, kita akan kembali
berhadapan dengan persoalan politik negara. Ya, betul bahwa negara,
sebagaimana telah saya jabarkan di atas, merupakan bagian dari permasalahan
hari ini, tapi tanpa upaya interaksi dan konfrontasi yang strategis dengan
negara maka gerakan sosial bisa jadi akan terus dibayang-bayangi oleh hantu
kegagalan di masa lalu dan demoralitas menghadapi masa depan. Ya, negara
kapitalis modern adalah negara kelas, tetapi kalau kita menolak untuk
menghadapinya maka mungkin lebih baik kita migrasi beramai-ramai di hutan – dan
kemudian keluar setelah 10 hari gagal membangun komune di sana dan semakin
kembali terjebak dalam lingkar kefrustasian yang tanpa ujung. Mobilisasi – yang
demokratik, militan, dan terpadu (jikalau kita takut dengan kata terpimpin) –
haruslah memiliki visi atau imajinasi politik tentang apa masa depan yang ingin
kita bangun dan berjuang demi visi tersebut.
Saya eksplisitkan: pertanyaan besar bagi kita
selanjutnya adalah bagaimana merebut kekuasaan? Dengan kata lain, politik
negara adalah arena yang tidak bisa serta merta kita tinggalkan begitu saja –
kecuali kita percaya dengan bentuk-bentuk ‘deliberasi teknokratis’ seperti
pertemuan dan diskusi dengan pihak parlemen dan birokrasi negara sebagai obat
dari semua masalah politik kita hari ini, yang mana itu sejatinya adalah sebuah
bentuk reformisme. Dan kita tahu bahwa reformisme akan berujung kepada
kegagalan dan kapitulasi dengan kepentingan kelas yang berkuasa. Di sini, kita
tidak bisa berhenti dengan perayaan kepada kemenangan-kemenangan kecil maupun
pembentukan ‘kedaulatan alternatif sementara’ di jalanan. Yang ada, kita harus terus maju untuk
memperluas kuasa rakyat demi membangun tatanan masyarakat baru yang
setara, sejahtera, dan merdeka, yang dikuasai dan dikontrol langsung oleh
rakyat pekerja – dan itu akan membawa kita berhadapan dan berurusan dengan
institusi negara kelas hari ini.
Ini memang terdengar seperti sebuah taruhan yang
nekat – tapi bukankah seluruh sejarah gerakan rakyat, sejarah perjuangan kelas,
sejatinya adalah sebuah pertaruhan? Di titik ini, saya yakin kita tahu harus ke
mana kita melangkah: maju terus!
Dengan kata lain, sebagaimana sempat saya bahas
sebelumnya, kita memerlukan strategi di dua level: di ranah mobilisasi rakyat pekerja dan di ranah intervensi
politik di tingkatan yang lebih formal. Saya
pikir, inilah metode yang perlu kita tempuh – tidak terjebak kepada tendensi
ultra-kiri maupun reformis, yang dua-duanya sama-sama utopis dan tidak realis.
Lagi-lagi, tidak ada jaminan mutlak bahwa kita
akan menang. Toh, politik bukanlah soal kalkulasi yang matang belaka, tetapi
juga soal seni bermanuver dan keberanian mengambil peluang di tengah-tengah
kondisi yang serba acak dan penuh ketidakpastian. Besar kemungkinan bahkan
hasil dari pertarungan politik yang sedang kita hadapi ini adalah sebentuk
konservatisme reformis, sebuah demokrasi yang menggunakan elemen-elemen
Bonapartis seperti represi yang bersifat episodik dan selektif sebagai cara
untuk mengondisikan warga negara dan memangkas perlawanan terhadap tatanan
kapitalis hari ini.
Tetapi, ini tidak memberi justifikasi bagi kita
untuk diam saja. Sebaliknya, kemungkinan pencapaian dan bahkan kemenangan
gerakan rakyat di masa yang akan datang ditentukan oleh upaya kita hari ini.
Sekali lagi, jangan lupa, segala pencapaian gerakan rakyat hari ini – mulai
dari pembatasan jam kerja dan pembebasan nasional hingga hak-hak minoritas dan
redistribusi kekayaan negara – adalah hasil dari perjuangan rakyat pekerja di
generasi sebelum kita, di masa lampau, yang berani mengambil langkah maju di
tengah-tengah kontijensi politik, bahkan ketika mereka belum tahu apakah
pertaruhan mereka akan berbuah apa tidak.
Ingatlah kawan-kawan, sejarah tidaklah statis!
Jangan biarkan #ReformasiDikorupsi! Masa depan yang lebih baik itu adalah
mungkin, yang dimiliki oleh mereka yang berani bertarung dan bertaruh. Setidak-tidaknya,
sejarah akan mencatat kita, dan suatu saat nanti kita bisa mengatakan: kita telah berani bertarung!***
0 comments:
Post a Comment