Showing posts with label Demokrasi. Show all posts
Showing posts with label Demokrasi. Show all posts
Wednesday, January 27, 2021 0 comments

Konsep Sosialisme Marx (Bagian II)

Kritik terhadap Marxis Jerman

Pembahasan lebih lengkap tentang masyarakat pasca-kapitalis dari Marx, yang mengembangkan komentarnya tentang masyarakat baru di Capital, terletak dalam karyanya Critique of the Gotha Program tahun 1875. Karya ini memuat kritik tajam terhadap “Marxis” Jerman di masa itu yang menyepakati penyatuan organisasional dengan partai sosialis yang didirikan Ferdinand Lassalle. Lasalle sebelumnya dikecam Marx sebagai “diktator masa depan kelas pekerja.” Marx menyadari bahwa pengikutnya sendiri menderita kecacatan konsepsi yang akut mengenai alternatif terhadap kapitalisme.

Marx secara langsung menentang kegagalan Program Gotha “untuk membahas keadaan masa depan dari masyarakat komunis” (MECW 24:95). Dengan melakukan itu, ia membedakan fase komunisme yang lebih tinggi dan fase komunisme lebih rendah. Kata “sosialisme” tidak pernah muncul di dalam Critique, karena bagi Marx sosialisme

Thursday, January 21, 2021 0 comments

Konsep Sosialisme Marx (Bagian I)

 

Meskipun karya Marx terus memberi pengaruh sangat besar terhadap perdebatan mengenai watak kapitalisme, ada satu dimensi kerangka berpikirnya yang paling jarang diteorikan yaitu perihal konsepsinya tentang bentuk masyarakat yang akan menggantikan kapitalisme. Meskipun Marx tidak pernah memfokuskan diri membuat karya khusus yang membahas kehidupan setelah kapitalisme, sebagian besar karena keengganannya terlibat dalam refleksi utopis dan spekulatif soal masa depan, kritiknya secara khusus perihal pusat realitas kapitalisme—seperti karakter ganda dari kerja, waktu kerja yang diperlukan secara sosial, serta hukum soal nilai dan nilai lebih—mengisyaratkan suatu bentuk relasi sosial di masa depan yang jauh lebih membebaskan daripada yang disadari secara umum.

Berbagai perdebatan dan diskusi sejak 2018 lalu yang mengiringi perayaan 200 tahun kelahiran Karl Marx telah menyediakan kesempatan berharga bagi pengujian kembali terhadap berbagai aspek politik dan filosofis dari peninggalan Marx yang sebelumnya terbengkalai. Yang paling utama di antaranya ialah sejauh mana kerangka berpikir Marx memberikan sumber daya konseptual untuk mengembangkan energi emansipatoris yang layak menghadapi kapitalisme di abad 21.

Thursday, January 7, 2021 0 comments

Sekaleng Coca-Cola dan Realita (2)

 

DALAM artikel sebelumnya kita telah membahas bagaimana bentuk masyarakat hari ini mampu dikenali hanya melalui sekaleng Coca-Cola. Masyarakat yang kita maksud tentu merupakan kumpulan dari relasi-relasi manusia dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bayangkan saja pemandangan orang yang berlalu-lalang di Shibuya, Time Square, atau Stasiun Dukuh Atas. Ratusan hingga ribuan orang dari latar belakang berbeda, pekerjaan yang berbeda dan dengan urusannya yang juga berbeda bertemu di suatu waktu dan tempat yang sama. Siapa yang membuat kemejanya? Siapa yang menyiapkan sarapannya tadi pagi? Atau bahkan siapa yang membuat mereka sampai bertemu di saat yang bersamaan di sana? Keterkaitan dan kesalinghubungan antar orang atau antar kelompok orang itu bersifat kasat mata.

Sehingga yang menampak cuma suatu kumpulan orang banyak yang memenuhi suatu tempat pada waktu tertentu. Seperti itulah kiranya suatu masyarakat. Lantas apa yang membuatnya hadir dan bertahan? Tentu karena ada manusianya, tapi ada yang lebih esensial di balik manusia-manusia itu. Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.

Wednesday, December 9, 2020 0 comments

Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona


 “Modal bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh. …

Tidak ada kapitalisme tanpa gerak.”

—David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, 2010, 12

PERUBAHAN besar sedang terjadi di seluruh dunia. Kekayaan dari sebuah dunia di mana moda produksi kapital-finansial mendominasi tampil dalam wujud unggunan surat-surat: kontrak dagang, kontrak kerja, kontrak kerjasama finansial. Seluruh surat-surat itu ditutup dengan sebuah pasal tentang keadaan kahar (force majeure): “apabila terjadi hal-hal yang berada di luar kendali para pihak, maka perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku selama hal-hal itu terjadi.” Seorang pekerja tidak bisa dituntut untuk terus bekerja seturut kontrak apabila, misalnya, gempa bumi menelan habis pabriknya. Perekonomian dunia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan kahar itu: COVID-19. Berbeda dengan keadaan kahar biasanya, kali ini kita menghadapi sebuah keadaan kahar universal, suatu universal state of exception.

Wednesday, November 18, 2020 0 comments

Korona dan Kerala: Belajar dari Negara Bagian Merah di India


SEPERTI Amerika Serikat (AS), India menggunakan federalisme sebagai fondasi sistem pemerintahannya. Namun berbeda dari Amerika Serikat, warna merah di India tidak digunakan untuk menggambarkan negara bagian yang dikuasai oleh Partai Republik yang berhaluan konservatif, melainkan mengacu pada Communist Party of India (CPI)dan Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)), dua partai kiri yang selama dua dekade terpilih untuk memimpin negara bagian Kerala. Berbeda juga dengan rezim Partai Republik AS di tingkat lokal dan nasional yang terkenal suka memangkas anggaran sosial, pemerintahan kiri di Kerala justru berhasil meningkatkan tingkat partisipasi warga dan menjamin berbagai layanan sosial bagi warganya. Kali ini, saya bermaksud untuk membahas kiprah pemerintahan kiri di Kerala, terutama dalam masa pandemic COVID-19, tepatnya di tengah lockdown atau kuncian sementara yang sangat ketat dilancarkan oleh pemerintah pusat India pada 25 Maret 2020 hingga 30 Juni nanti.

Semenjak penerapan kebijakan lockdown, India mengalami guncangan domestik yang cukup serius. Berbagai permasalahan bermunculan ke permukaan, seperti isu kesenjangan sosio-ekonomi serta konflik dan kekerasan komunal terkait kasta dan agama. Wabah virus Korona semakin memperparah persoalan-persoalan ini. Kemudian, kebijakan lockdown yang ketat yang telah diterapkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang berkuasa sekarang, dilakukan secara sembrono. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang berbahaya bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok rentan dan buruh migran yang menjadi ‘tumbal’ dari percobaan skala besar dengan harga nyawa manusia, seperti yang diilustrasikan oleh penulis Arundathi Roy (2020).

Thursday, October 29, 2020 0 comments

Judicial Review: Cara Penguasa Menjinakkan Gerakan Anti-Omnibus Law

 

PENGESAHAN Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja pada 5 Oktober silam telah memicu lahirnya gelombang demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia. Undang-undang yang hingga kini naskah akhirnya tidak kunjung dapat ditunjukkan baik oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memuat banyak ketentuan bermasalah.

Banyak kajian akademik dan hasil penelitian berbagai lembaga independen telah mengupas pokok-pokok persoalan dari setiap kluster topik undang-undang tersebut. Namun, pemerintah dengan gigih membantah berbagai kritik terhadap UU Cipta Kerja sebagai hoaks dan disinformasi. Kritik terhadap kecacatan proses penyusunan undang-undang terkait partisipasi juga telah dibantah dengan mengklaim bahwa pemerintah dan DPR telah mengakomodasi representasi kelompok kepentingan yang berbeda.

Penting dicatat, pemerintah memiliki instrumen yang lebih memadai dan canggih dalam memanipulasi kesadaran publik: membantah berbagai bentuk kritik serta mendomestifikasi dan mengerdilkan perlawanan dengan mengarahkan tuntutan ke jalur-jalur yang telah direkayasa untuk memperlemah gerakan.

Thursday, October 1, 2020 0 comments

Perjuangan Kelas dan Omnibus Law

 

Keputusan rejim Jokowi-Ma’ruf membuat payung hukum sapu jagat atau Omnibus Law cilaka (Cipta Lapangan Kerja) hendaknya dipahami sebagai sikap kepatuhan terhadap kepentingan pasar bebas atau neoliberalisme. Eksplisit, sikap itu terefleksi dalam pernyataan presiden di pelbagai kesempatan, bahwa perkembangan pasar yang begitu dinamis, mengharuskan para pemangku kebijakan mengambil keputusan-keputusan kepentingan yang cepat. Hal itu hanya dimungkinkan manakala problem obesitas regulasi yang tumpang tindih, segera diatasi lewat kebijakan omnibus law.

RUU Omnibus Law dibuat dalam rangka merampingkan, menyederhanakan dan menghapus regulasi setingkat UU guna menarik investasi sebesar-besarnya demi terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional dapat meningkat. Betapapun agenda ini sangat problematik. Bila berkaca pada kebijakan Jokowi sebelumnya, tak jarang kebijakan yang dibuat berujung pada pengebirian hak-hak warga negara.

Wednesday, September 9, 2020 0 comments

Black Panther Sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Rasisme

               SLOGAN “Wakanda forever!” mungkin tak asing lagi buat kita yang pernah menonton Black Panther atau Avengers: Infinity War, film superhero adaptasi komik Marvel garapan almarhum Stan Lee. Kalimat itu merupakan semboyan para pejuang Kerajaan Wakanda yang biasanya dipekikkan sebelum pertarungan. Salah satunya oleh Raja T’challa yang juga dikenal sebagai sang Black Panther, jagoan berkulit hitam yang memiliki kekuatan super kombinasi unsur mistis dan kemajuan teknologi. Ditulis pada 1966, Stan Lee dan Jack Kirby terpengaruh oleh nuansa gerakan persamaan hak-hak sipil (civil rights) di Amerika Serikat saat itu. Dekade itu diramaikan antara lain oleh gerakan perjuangan hak sipil seperti yang diinisiasi Martin Luther King Jr., Malcolm X, hingga Black Panther Party.

Namun apa betul dua komikus itu menceritakan salah satu organisasi politik revolusioner kulit hitam di Oakland tersebut? Tentu saja tidak. Meski memiliki kesamaan nama dan saling berkelindan, Black Panther-nya Stan Lee dan Jack Kirby berbeda dengan Black Panther yang diinisiasi oleh Bobby Seale dan Huey Newton. Black Panther Party for Self-Defense atau Black Panther Party (BPP) dibentuk oleh dua orang mahasiswa kritis Bobby Seale dan Huey Newton pada Oktober 1966 di Oakland, California. Organisasi ini awalnya merupakan sebuah perkumpulan yang didirikan untuk mengkoordinir patroli bersenjata para warga setempat untuk memantau perilaku petugas kepolisian Oakland yang pada masa itu terkenal sewenang-wenang.

Thursday, September 3, 2020 0 comments

Belajar Realisme dari Master Sun

SEJARAH mencatat kekalahan demi kekalahan dari setiap perjuangan kelas pekerja di dunia sejak dua abad terakhir. Setidaknya hampir semua perjuangan, kalau saja sempat berhasil, takkan bertahan lama dan menjadi terkucil. Kita bisa mengingatnya sejak letupan senjata pada Revolusi Prancis, Revolusi 1848 di Eropa, Komune Paris, Spartakus di Jerman dan berbagai perjuangan kelas di belahan dunia lainnya.

Tentu ada pengecualian, seperti kemenangan gilang gemilang gerakan revolusioner para Bolshevik dalam Revolusi Oktober di Russia, perjuangan Tentara Merah Tiongkok melawan fasis Jepang dan oportunis Kuomintang, gerilya Gerakan 26 Juli yang menumbangkan diktator Batista dalam Revolusi Kuba, dan tentu saja para Vietcong yang dapat membikin Amerika Serikat angkat kaki dari Indochina dalam satu dua pukulan, meski episode-episode kemenangan tersebut juga tak lepas dari banyak tantangan.

Thursday, May 21, 2020 0 comments

Mitos ‘Marx Muda’ dalam Penafsiran-Penafsiran atas Naskah-Naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844 (Bagian III)

 

Superioritas, Patahan, atau Kontinuitas?

APAPUN disiplin akademik ataupun afiliasi politik mereka, para penafsir Naskah-Naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844 dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Yang pertama terdiri dari mereka semua yang, dengan mempertentangkan naskah-naskah Paris dengan Kapital, menekankan keutamaan teoretis karya yang lebih awal tersebut. Kelompok kedua secara umum menyepelekan signifikansi naskah-naskah tersebut, sementara kelompok ketiga condong pada tesis bahwa ada kesinambungan teoretis antara naskah-naskah tersebut dengan Kapital.

Mereka yang mengasumsikan pembelahan antara Marx ‘muda’ dan ‘dewasa’, dan berargumen tentang kekayaan teoretis yang lebih besar pada yang pertama, menampilkan Naskah-Naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844 sebagai tulisannya yang paling bernilai dan membedakannya secara tajam dengan karya-karyanya yang belakangan. Secara khusus, mereka cenderung untuk meminggirkan Kapital, seringkali tanpa mempelajarinya secara mendalam—buku dengan tuntutan yang lebih berat untuk dipelajari dibandingkan dengan sekitar dua puluh halaman pembahasan tentang kerja yang teralienasi dalam Naskah-Naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844, yang mengenainya hampir semua mengajukan perenungan-perenungan filosofis. Para perintis garis penafsiran ini adalah Landshut dan Meyer, kemudian segera disusul oleh Henri de Man.

Friday, May 15, 2020 0 comments

Mitos ‘Marx Muda’ dalam Penafsiran-Penafsiran atas Naskah-Naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844 (Bagian II)

 

Penafsiran awal dari (Naskah-naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844)

KETIKA pertama kali terbit pada tahun 1932, Manuskrip Ekonomi-Filsafat tahun 1844 menjadi salah satu materi utama pertentangan antara ‘Marxisme Soviet’ dan ‘Marxisme Barat’. Pengantar yang menyertai publikasi keduanya menghasilkan perbedaan pendekatan yang tajam. Viktor Adoratskii, direktur MEGA yang menggantikan David Ryazanov pada tahun 1931, setelah pembersihan Institut Marx-Engels (baru-baru ini berganti nama menjadi Marx-Engels-Lenin Institute), mempresentasikan tema manuskrip sebagai sebuah ‘analisis tentang uang, upah, bunga modal, dan sewa tanah’.

Sebaliknya, Landshut dan Meyer berbicara tentang sebuah karya yang ‘pada intinya sudah mengantisipasi Capital‘, karena ‘tidak ada ide baru yang fundamental’ yang nantinya muncul dalam oeuvre (karya-karya substansial) Marx. Manuskrip Ekonomi-Filsafat tahun 1844, tulis mereka, sebenarnya adalah karya utama Marx. Terlepas dari karakter yang jelas-jelas dipaksa dari klaim mereka bahwa manuskrip tahun 1844 adalah inti dari perkembangan pemikiran Marx, interpretasi ini segera mencapai kesuksesan besar dan bisa dilihat sebagai sumber asli dari mitos ‘Marx Muda/Young Marx’.

Herbert Marcuse juga menyatakan bahwa Manuskrip Ekonomi-Filsafat tahun 1844 memaparkan premis filosofis dari kritik Marx terhadap ekonomi politik. Dalam sebuah esai bertajuk ‘The Foundation of Historical Materialism’, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1932 di Die Gesellschaft, Marcuse berpendapat bahwa ‘penerbitan Manuskrip Ekonomi dan Filsafat yang ditulis Marx pada tahun 1844 (ditakdirkan) menjadi peristiwa penting dalam sejarah studi-studi Marxis.’,

Thursday, May 7, 2020 0 comments

Mitos ‘Marx Muda’ dalam Penafsiran-Penafsiran atas Naskah-Naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844 (Bagian I)

 


 Dua edisi dari 1932

Naskah-naskah Ekonomi-Filsafat tahun 1844 (Economic-Philosophic Manuscripts of 1884) adalah salah satu di antara tulisan-tulisan paling terkenal Marx, dan yang paling banyak diterbitkan di seluruh dunia. Tetapi meskipun buku ini telah memainkan peran utama dalam interpretasi keseluruhan pemikiran Marx, namun untuk waktu yang lama, buku ini tidak dikenal hingga kemudian terbit hampir seabad setelah penyusunannya.

Penerbitan naskah-naskah ini sama sekali bukan akhir dari cerita. Sebaliknya, penerbitannya telah memicu perselisihan yang panjang tentang karakter dari teks tersebut. Beberapa menganggapnya sebagai karya yang belum matang dibandingkan dengan kritik Marx selanjutnya tentang ekonomi politik. Yang lain menilainya sebagai landasan filosofis yang tak ternilai untuk pemikirannya, yang kehilangan intensitasnya selama bertahun-tahun saat ia mengerjakan penulisan Kapital.

Friday, May 1, 2020 0 comments

May Day: Arti Penting Persekutuan Kaum Muda dan Rakyat Pekerja

 

Dalam momentum May Day kali ini, kita akan menyaksikan kaum buruh di seluruh dunia berbondong-bondong keluar dari pabrik, meninggalkan mesin-mesin produksi, untuk memperingati perjuangan kaum buruh sebelumnya. Kaum buruh akan menunjukkan kekuatannya di hadapan pemilik modal. Menggetarkan jantung kelas pemodal berkali-kali lipat lebih kencang. Kelas pemilik modal, telah meninggalkan topeng suci semua jabatannya dengan penuh kekhidmatan. Pemilik modal, tidak bisa hidup tanpa mencuri jam kerja dan tenaga yang dicurahkan oleh kelas buruh. Dengan begitu, nasib pemilik modal sangat ditentukan oleh produk yang diciptakan rakyat pekerja.

Tepat 1 Mei 131 tahun yang lalu, sebuah momentum bersejarah bagi kaum buruh di seluruh dunia telah lahir. Saat dimana ratusan ribu kaum buruh dari berbagai sektor pekerjaan di Amerika Serikat pada tahun 1886 turun ke jalan. Dengan semangat luar biasa, kaum buruh menyerukan perjuangan untuk menuntut 8 jam kerja, dari jam kerja rata-rata hingga 18 sampai 20 jam. Momentum bersejarah tersebut kemudian dikenal sebagai Hari Buruh Sedunia, yang biasa disebut sebagai May Day.

Di Indonesia, peringatan May Day diperingati pertama kali di kota Surabaya tahun 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan, yang juga tercatat dalam sejarah sebagai peringatan May Day pertama yang diperingati di Asia. Awalnya, peringatan May Day di Indonesia dijadikan sebagai medium perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Sejak tahun 1918 hingga 1926, peringatan May Day dilakukan oleh gerakan buruh saat itu dengan melakukan pemogokan-pemogokan besar, menuntut pengurangan jam kerja, upah yang layak, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Bukan hanya itu, gerakan buruh jugalah yang menjadi pelopor pemberontakan pertama secara besar-besaran di berbagai daerah melawan kolonialisme pada tahun 1927. Meskipun terjadi kekalahan dan diiringi dengan gelombang reaksi, hingga May Day dapat diperingati kembali pasca revolusi kemerdekaan tahun 1945. Peristiwa tersebut menunjukkan kepeloporan kelas buruh dalam melawan sistem yang menindas mereka. Demikianlah semangat awal adanya peringatan May Day.

Kini, peringatan May Day di berbagai negara talah kehilangan makna perjuangannya. Di Indonesia, Rezim Jokowi-JK mengeluarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja yang berupaya membatasi aksi kaum buruh dalam memperingati Hari Buruh Sedunia. Bahkan, beberapa hari sebelum May Day berlangsung, beberapa elit birokrasi serikat buruh di undang makan oleh Jokowi. Dampaknya, bisa kita saksikan beberapa serikat buruh seperti Serikat Pekerja Panasonic Gobel (FSPPG) menjadikan momentum May Day sebagai “Happy Day” yang kegiatannya akan di isi dengan olahraga, donor darah dan kegiatan fun outdoor lainnya [1]. Namun sebagian serikat buruh lainnya sepakat akan mengadakan aksi besar seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)[2] yang di perkirakan akan menurunkan sebanyak 500 ribu buruh untuk memperingati May Day kali ini. Meskipun beberapa waktu yang lalu, KSPI telah melakukan aksi besar dengan tuntutan rasis “tolak tenaga kerja asing” yang justru dapat melemahkan persatuan sesama kelas tertindas, kelas buruh sedunia.

enyimpangan makna dari peringatan May Day hingga kini adalah dampak dari hegemoni Negara borjuis yang terus saja mendistorsi ilmu pengetahuan. Mereka tidak menginginkan kelas buruh sebagai kekuatan produktif yang menggerakkan proses produksi mengetahui, bahwa May Day adalah sejarah perlawanan tanpa ampun kelas buruh melawan kelas penguasa (baca: borjuis) dan sistem yang menindas. Oleh karena itu, kita berkepentingan mengambil kembali semangat momentum May Day kali ini untuk membangun kekuatan kelas buruh dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik.

Kelas buruh merupakan kekuatan produktif yang berkepentingan mewujudkan revolusi sosialis. Hal ini dikarenakan kelas buruhlah yang bersentuhan langsung dalam proses produksi dan merasakan langsung penindasan sistem kapitalisme. Perkembangan kapitalisme diberbagai negara akan membuat kelas buruh semakin besar dan terkonsentrasi. Kapitalisme telah menyatukan kaum buruh di seluruh dunia. Berkembangnya industri, tidak saja bertambah jumlah; ia menjadi terkonsentrasi dalam jumlah yang lebih besar, kekuatannya tumbuh dan ia semakin merasakan kekuatannya. Sebagaimana dikatakan Marx bahwa “Kelas Buruh tidak memiliki tanah air”.

Bukan buruh Indonesia saja yang merasakan upah yang tidak layak, PHK, jam kerja yang lebih banyak, dan sebagainya. Namun buruh di seluruh dunia juga merasakan hal yang sama. Apapun suku, agama, jenis kelamin, dan di negara manapun berada kelas buruh akan dihisap tenaganya oleh pemilik modal dalam sistem kapitalisme. Oleh karenanya persatuan kelas buruh tidak bisa dibangun berdasarkan nasionalisme dan identitas tertentu, melainkan harus berdasarkan Internasionalisme Ploretar. Membangun persatuan kelas buruh diseluruh dunia.

Kalau buruh sedunia bersatu mogok menolak perang, pemerintahan kapitalis dan pemilik modal tidak akan punya satupun serdadu yang bisa mereka kirim ke garis depan; tidak akan ada senjata yang bisa terproduksi kalau buruh mogok; minyak yang dibutuhkan untuk kapal perang dan tank akan mengering karena buruh migas mogok. Perang Dunia II pun terjadi karena tidak adanya internasionalisme buruh yang kokoh, yang bisa mengatakan kepada buruh bahwa musuh mereka bukanlah buruh dari negeri lain, tetapi kapitalis seluruh dunia[3].

Bukan sembarangan Karl Marx mengatakan “Buruh Sedunia Bersatulah”. Pelajaran baik dari Internasionalisme kelas buruh dapat dilihat pada proses revolusi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan atas kemerdekaan Indonesia dari organisasi-organisasi buruh berbagai negara. Bahkan kelas buruh pelabuhan Australia telah ikut berperan dalam melakukan pemogokan untuk memboikot kapal-kapal pembawa persenjataan imperialis Belanda ke Indonesia setelah proklamasi tahun 1946.

Pembebasan kaum buruh tidak akan dapat diwujudkan dengan hanya membebaskan kaum buruh di satu-dua negara saja. Kaum buruh yang tidak menyatukan perjuangannya pada semangat internasionalisme hanya akan membawa perjuangan kaum buruh pada kepungan, gempuran dan serangan kelompok-kelompok borjuis dan pemilik modal. Maka menjadi keharusan dalam peringatan May Day kali ini sebagai kelas tertindas kita akan menyerukan perjuangan dan persatuan dibawah semangat internasionalime. Agar kelak seluruh kaum buruh di dunia dapat mendapatkan kemenangan hakiki yang berujung pada pembentukan negaranya kelas tertindas, Negara kelas pekerja.

Arti Penting Persekutuan Kaum Muda Dan Rakyat Pekerja

Di lain hal kita juga menyaksikan semakin banyak kaum muda yang tertarik dengan ide-ide pembebasan. Tidak jarang kita temukan gerakan kaum muda bersama kelas buruh dan kaum tertindas lainnya menyatukan diri, bergerak bersama untuk melawan tirani yang melanggengkan penindasan dimuka bumi. Namun, tidak jarang pula kita saksikan gerakan kaum muda, memisahkan dirinya dari perjuangan kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya. Untuk itu, marilah kita mencari tahu lebih dalam, apa makna May Day bagi kaum muda dan arti penting persekutuan kaum muda dan rakyat pekerja.

Semangat baja dan militansi dalam menggerakkan roda sejarah, harus dipahami oleh segenap kaum muda. Camila Vallejo seorang revolusioner dari Chile pernah mengatakan bahwa “Kaum muda jika tidak revolusioner adalah cacat mental”. Kaum muda pada dasarnya adalah elemen yang dengan mudah menerima segala macam paham dan ide. Termasuk gagasan-gagasan dari ideologi borjuis, seperti rasis, seksis, hedonis, dan sebagainya. Sebagai akibat dari kesalahan dalam menentukan ideologi dan politik pejuangannya, kaum muda juga dapat menjadi bagian dalam melanggengkan penindasan terhadap rakyat. Dalam sejarahnya, kebanyakan kaum revolusioner menemukan jalan pada sosialisme dan perjuangan kelas buruh pada usia muda.  “Massa kaum revolusioner adalah kaum muda”, begitu kata Jhon Percy, Sekretaris Nasional Democratic Soialist Party (DSP) dalam sambutannya untuk Konferensi Nasional ke 29 Resistance, di Melbourne, tahun 2000.

Kaum muda juga telah menunjukkan dalam sejarahnya bahwa mereka merupakan kelompok sosial yang paling sensitif terhadap kekacauan sosial akibat anarki produksi kapitalisme. Pada tahun 1968, lapisan kaum muda mengubah kota-kota di Prancis menjadi lautan massa.  Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh kaum muda di kampus meluas menjadi sebuah demonstrasi umum. Kekecewaan akibat kebijakan yang menghentikan kegiatan “studi anti-imperialis” dan displiner yang dikenakan kepada sejumlah mahasiswa, dengan segera merembet pada pemogokan di pabrik-pabrik. Dalam waktu sekejab demonstrasi kampus berubah menjadi pemogokan massa. Kejadian tersebut mengancam rezim yang berkuasa pada saat itu.

Begitupun di Rusia sebelum momentum bersejarah yang menggoncangkan dunia pada revolusi oktober 1917. Semangat kaum muda memiliki peran penting dalam menyebarkan ide-ide tentang pembebasan. Para pemuda dan mudi-kebanyakan dari mereka adalah mantan pelajar- dalam jumlah ribuan berangkat ke seluruh penjuru Rusia untuk mewartakan propaganda sosialis. Kekuasaan otokrasi yang korup dan bangkrut, birokrasi yang opresif, mistisisme dan konservatisme relijius yang merasuki semua hal, membangkitkan semua kekuatan hidup dalam masyarakat saat itu untuk memberontak. Pemberontakan melawan perbudakan ini mendorong para pelajar muda revolusioner untuk mencari jalan keluar. Dengan semangat “turun kebawah” kaum muda saat itu menunjukkan bahwa mereka tidak lahir sebagai birokrat-birokrat baru, melainkan sebagai prjurit-prajurit rakyat rusia.

Di Indonesia, bisa kita saksikan peran kepeloporan kaum muda sepanjang sejarah. Sebelum kemerdekaan, banyak kaum muda terpelajar yang mempelopori gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Seperti Semaun, Hatta, Kartini, Tan Malaka dan banyak lagi pemuda lainnya yang menyatakan kebencian, bahkan meninggalkan asal-usul kelas keluarganya sebagai seorang bangsawan. Banyak kaum muda militan yang juga menjadi pelopor dalam mendorong kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Peran historis kaum muda, bukan hanya melulu tentang perjuangan militan untuk membebaskan rakyat dari penindasan.

Kaum muda dan mahasiswa juga mempunyai catatan sejarah yang buruk pada tahun 1965 bersama militer dan CIA Amerika dalam melakukan kontra revolusi, mereka memiliki pengaruh besar dalam melegitimasi pemenjaraan dan pembantaian jutaan rakyat yang dituduh komunis, serta membuka jalan rezim militer orde baru untuk berkuasa disertai dengan masuknya kapitalis internasional menguasai sumber daya alam. Kaum muda dan mahasiswa jugalah yang mempelopori jatuhnya rezim militer orde baru pada tahun 1998, dengan mobilisasi yang menjadi senjata utama, bersama rakyat lainnya mereka berhasil memaksa rezim militer untuk turun dari kekuasaan, sehingga kran demokrasi cenderung lebih terbuka hingga sekarang ini.

Namun sekarang, semangat dan konsistensi saja tidaklah cukup. Sejarah telah mencatat betapa berbahayanya kaum muda yang hanya memiliki semangat dan konsistensi dalam melegitimasi kekuasaan rezim militer kontra revolusi pada tahun 1965. Kaum muda dan mahasiswa sekarang harus memiliki landasan ideologi dan politik tepat. Teori yang dimaksud tentu saja adalah Sosialisme Ilmiah, yang berlandaskan pada perjuangan kelas buruh. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kelas buruh adalah kekuatan tenaga produktif yang berkepentingan mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara ilmiah, menumbangkan tatanan masyarakat kapitalis melalui revolusi sosialis.

 

Makna May Day Bagi Kaum Muda

Dalam momentum May Day kali ini, sudah seharusnya digunakan oleh kaum muda bersama kelas buruh sedunia menembus sekat-sekat kebangsaan memperkuat persatuan revolusioner untuk mewujudkan tatanan masyarakat baru. Menuntut kesejahteraan ekonomi seperti upah yang layak, jam kerja yang lebih pendek, cuti haid maupun melahirkan bagi perempuan, subsidi dan fasilitas yang baik, dan sebagainya. Selain itu juga berkepentingan merebut kendali politik dari kapitalis dengan membangun dewan-dewan buruh atau dewan Rakyat, sebagai embrio dari pembentukan Negara kelas pekerja.

Hal ini penting dilakukan oleh kaum muda bersama kelas buruh. Terkhusus pada mahasiswa di berbagai universitas, yang notabane jutaan lulusannya di berbagai belahan dunia akan menjadi kelas tertindas baru (buruh) yang dihisap tenaganya untuk akumulasi modal kapitalisme. Jutaan mahasiswa setelah lulus tentu akan menggantungkan nasibnya di berbagai institusi kapitalis besar (termasuk negara), tidak akan ada cukup lowongan bagi mahasiswa untuk menjadi manajer atau kelas penindas baru. Oleh karena itulah perjuangan yang dilakukan oleh kaum muda/mahasiswa dan kelas buruh tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya, kelas buruh dan kaum muda revolusioner (pemuda mahasiswa, pemuda buruh, pemuda tani, dsb) yang sadar kelas, perlu mengintegrasikan dirinya kepada pembangunan organisasi muda sosialis dan partai revolusioner. Dengan organisasi demikian, kelas buruh akan mendapatkan jalan dalam melawan musuh-musuh kelasnya, merebut demokrasi seutuh-utuhnya, menuju tatanan masyarakat adil dan makmur: Sosialisme.

Selamat Memperingati Hari Perlawanan Kelas Buruh!

Kaum Muda Revolusioner dan Kelas Buruh Sedunia Bersatulah!

Bangkitkan Semangat Internasionalisme!

Bangun Organisasi Muda Sosialis dan Partai Revolusioner!

 

[1] http://www.antaranews.com/berita/623850/buruh-sambut-may-day-is-a-happy-day

[2] http://bisnis.liputan6.com/read/2927505/500-ribu-buruh-bakal-turun-ke-jalan-pada-peringatan-mayday

[3] http://www.militanindonesia.org/analisa-politik/8412-internasionalisme-yang-terlupakan-dalam-hari-buruh-internasional.html

 

Thursday, March 19, 2020 0 comments

Marx 201: Kembalinya Alternatif


Kembali ke Marx setelah krisis ekonomi 2008, berbeda dengan kepentingan pembaruan dalam kritiknya terhadap ekonomi. Banyak penulis, baik di surat-surat kabar, jurnal-jurnal, buku-buku, dan teks-teks akademis, telah mengamati betapa analisis Marx terbukti tak tergantikan dalam memahami kontradiksi-kontradiksi dan mekanisme-mekanisme destruktif dari kapitalisme. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita jumpai peninjauan kembali sosok Marx sebagai seorang tokoh politik dan teoritikus.
Publikasi naskah-naskah yang sebelumnya tidak dikenal dalam edisi Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA) Jerman, bersamaan dengan penafsiran-pemafsiran inovatif atas karyanya, telah membuka cakrawala penelitian baru dan menunjukkan lebih jelas daripada di masa lalu kemampuan Marx untuk memeriksa kontradiksi-kontradiksi masyarakat kapitalis pada skala global dan dalam lingkup yang melampui konflik antara kapital dan buruh. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa, dari pemikiran klasik politik, ekonomi dan filosofis yang hebat, Marx adalah sosok yang profilnya paling berubah dalam dekade-dekade awal abad ke-21.
Memikirkan Kembali Alternatif Dengan Marx
Penelitian baru-baru ini telah membantah berbagai pendekatan yang mereduksi konsepsi Marx tentang masyarakat komunis ke pengembangan superior dari kekuatan-kekuatan produktif. Secara khusus, penelitian itu menunjukkan betapa Marx sangat peduli dengan isu-isu ekologis: pada berbagai kesempatan, dia mengecam fakta bahwa ekspansi modus produksi kapitalis tidak hanya meningkatkan pencurian tenaga kerja buruh tetapi juga penjarahan sumberdaya-sumberdaya alam. Persoalan lain yang menjadi perhatian
Saturday, March 14, 2020 0 comments

Rosa Luxemburg: Sang Pedang Revolusi


Banyak sudah tulisan yang memahat nama agung perempuan ini, seorang pemimpin partai revolusioner Jerman (SPD); jurnalis dan penulis tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Rosa Luxemburg, tak hanya di Jerman, namanya abadi pula dalam perjuangan revolusioner di Polandia dan Rusia. Sebarisan karya-karya besarnya menjadi bagian dari penggerak perubahan sejarah. Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia teguh berjuang demi tegaknya sosialisme.
Berakhir tragis. Setahun setelah revolusi Bolsyevik yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim Hitler menamatkan riwayatnya. Tengah malam pada Januari 1919, setelah menjalani perburuan panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, -- kawan-kawannya-- ia ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke penjara mereka disiksa habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam dengan popor senjata, remuk. Belum selesai di situ, kepala perempuan yang sarat pikiran-pikiran radikal ini dihujani berpuluh-puluh peluru.
Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo Jogiches, kawan karib sekaligus kekasihnya,  terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri tertangkap dan dibunuh tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat Luxemburg. Baru pada bulan Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung, tersangkut di tiang pancang jembatan, di sebuah sungai di pinggiran kota Berlin.
Wednesday, November 27, 2019 0 comments

Bagaimana Memenangkan Revolusi?



Banyak aktivis gerakan yang menginginkan revolusi dan menunggu datangnya peristiwa itu. Namun ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang kesiapan mereka menghadapi revolusi, mereka lantas mundur ke belakang. Mereka tidak membahas ini lebih jauh. Bagi mereka gerakan adalah segalanya. Pertanyaan teori tidak pernah hinggap di kepala mereka, kalaupun ada itu hanya sebentar dan lalu hilang. Mereka-mereka ini adalah subyek pasif revolusi. Sadar maupun tidak mereka telah mengadopsi sikap anti-teori. Sikap ini bahaya, dan dari sudut pandang pelopor ini fatal. Sikap seperti ini tidak pernah bisa memimpin revolusi apalagi memenangkannya.
Revolusi merupakan pemberontakan spontan dari massa. Revolusi bisa terjadi oleh berbagai sebab. Bisa terjadi karena pembusukan politik dari skandal-skandal korupsi; oleh tirani; oleh krisis ekonomi; dan karenanya revolusi tidak pernah mempunyai tanggal kapan ia bisa terjadi. Untuk itu mustahil menciptakan secara artifisial situasi yang melatar-belakangi revolusi.  Lewat kontradiksinya kapitalisme menyediakan seluruh bahan bakar untuk terjadinya revolusi itu sendiri.
Tapi tidak setiap revolusi secara otomatis mengarah pada kemenangan sosialis. Sejarah membuktikan ini berkali-kali. Bahkan banyak demonstrasi dan pemogokan besar dalam sejarah yang mampu menggulingkan sebuah rezim belum mampu menggulingkan sistem kapitalisme. Seperti halnya Gerakan Reformasi 98’ meskipun massa tumpah ruah di jalanan serta mampu menggulingkan kediktatoran Soeharto namun masalah kekuasaan masih tertinggal di belakang. Rezim berganti tapi pondasi kapitalisme masih utuh.
Wednesday, October 30, 2019 0 comments

Mengapa Revolusi?



Pertanyaan mengenai revolusi merupakan pertanyaan yang menarik, tidak hanya bagi kaum revolusioner tapi juga bagi rakyat pekerja. Di tengah krisis yang semakin tajam, banyak orang berusaha mencari  jawaban mengenai apa itu revolusi, apa karakter revolusi dari zaman sekarang, dan bagaimana cara mencapainya. Revolusi sering kali digambarkan dengan kekerasan, penjarahan, dan kekacauan massa. Kendati dalam revolusi ada kekacauan massa, tapi tidak semua kekacauan massa dan kekerasan adalah esensi revolusi itu sendiri.
Di sisi yang lain ada juga yang mengaitkan revolusi sebagai perubahan-perubahan ‘radikal’ dalam batas sistem yang ada. Semisal terma-terma Revolusi Mental, Revolusi Budaya, Revolusi Birokrasi dsb. yang begitu akrab di masyarakat. Bagi kaum revolusioner revolusi merupakan bentuk pemberontakan kekuatan produksi melawan hubungan sosial yang ada. Sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas,  perjuangan ini termanifestasikan dalam perjuangan kelas; antara tertindas dan penindas, antara kelas penguasa dan dikuasai, antara kaum borjuis dan kaum proletar. Karl Marx menulis:
Friday, October 18, 2019 0 comments

Chili Telah Bangkit



Lirik lagu yang dibawakan oleh grup musik Chili, Quilapayún dikenal oleh jutaan orang di seluruh dunia: “El pueblo unido jamas sera vencido, La patria está forjando la unidad. De norte sebuah sur se movilizará”. (Rakyat bersatu tidak akan pernah dikalahkan, negara ini membangun persatuan, dari utara ke selatan itu akan turun ke jalan). Lagu ini ditulis pada bulan Juni 1973, hanya beberapa bulan sebelum represi brutal terhadap kelas pekerja Chili oleh diktator Augusto Pinochet, yang mengambil alih kekuasaan pada bulan September. Selama seminggu lebih, lirik lagu ini telah dikumandangkan keras di seluruh negeri dengan cara bersatu.
ada tanggal 13 Oktober, pemerintah Presiden miliarder Sebastián Pinera mengumumkan kenaikan ongkos kereta api metro sebesar 30 peso (sekitar 500 rupiah) pada jam sibuk. Pelajar sekolah menengah, yang telah memimpin mobilisasi anti-pemerintah selama dekade terakhir, segera merespon dengan melakukan protes dengan cara tidak membayar ongkos kereta. Ketidakpuasan dan perlawanan telah terbangun di seluruh Chile sejak restorasi demokrasi parlementer pada tahun 1990. Namun, mobilisasi saat ini jauh lebih besar sejak jatuhnya Pinochet dan secara politik paling signifikan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, rakyat Chili tidak lagi takut untuk melakukan protes, ketakutan karena ingatan 17 tahun kediktatoran militer yang brutal.
Thursday, October 10, 2019 0 comments

Gerakan Mahasiswa Bangkit Kembali, Kabar Buruk bagi Penguasa!

Demonstrasi mahasiswa pecah. Setelah lebih dari dua dekade jatuhnya kediktatoran Orde Baru gerakan mahasiswa bangkit kembali. Kali ini gerakan memobilisasi dirinya untuk menentang paket perubahan undang-undang yang dianggap kontroversi. Di antaranya yang menyebabkan kemarahan adalah RUU pelemahan terhadap KPK dan beberapa RUU lain yang mencakup kriminalisasi pasangan pra-nikah, pemberangusan terhadap komunisme hingga membuat ilegal menghina presiden. Mereka tahu bahwa pengesahan RUU ini akan menjadi serangan bagi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan demokrasi, yakni capaian-capaian yang telah dimenangkan oleh Gerakan Reformasi 1998.
Di Jakarta ribuan mahasiswa menduduki kantor DPR. 20 ribu polisi dan tentara dikerahkan. Dalam waktu dua hari kota-kota lain juga menempuh jalan yang sama. Ribuan mahasiswa mengorganisir dirinya keluar dari  kampus-kampus untuk menduduki kantor-kantor pemerintahan. Aparat yang tidak cukup sigap sepertinya terkejut melihat besarnya gerakan ini. Bentrokan pecah di jalanan. Asap gas air mata menyelimuti para demonstran. Respons negara adalah represi langsung. 500 orang dikabarkan ditangkap dan ada 90 lainnya yang dikabarkan hilang . Di Kendari 2 mahasiswa tewas. Di Makassar kendaraan lapis baja menabrakkan dirinya di antara kerumunan demonstran, yang menyebabkan 2 orang luka-luka.
Saturday, October 5, 2019 0 comments

Editorial: Reformasi yang dikhianati


Buruh, tani, kaum miskin kota, dan terutama kaum mahasiswa di seluruh Indonesia tengah bergerak bersama untuk menentang pemerintahan Jokowi. Belum lagi dilantik untuk masa jabatannya yang kedua, rejim ini sudah mencoba memaksakan sejumlah kebijakan yang jelas represif dan menindas rakyat, di antara lainnya revisi UUK, revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU pertanahan.
Motivasi dari kebijakan-kebijakan ini sudah kita dengar dari pidato kenegaraan Jokowi pada 16 Agustus lalu, yakni untuk “berebut investasi.” Untuk menarik investasi ini, Jokowi katakan bahwa “cara-cara lama yang tidak kompetitif tidak bisa diteruskan. Strategi baru harus diciptakan. Cara-cara baru harus dilakukan.” Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri apa yang dimaksud Jokowi dengan cara-cara baru ini.
Lewat revisi UUK, pemerintah dapati cara baru untuk memeras lebih banyak keringat dan darah buruh, demi profit yang lebih besar bagi investor. Ini wajar-wajar saja dalam sistem kapitalisme. Investor mana yang tidak mengharapkan iklim bisnis dimana upah murah dengan jam kerja panjang dan buruh mudah di-PHK tanpa pesangon. 
 
;