Friday, December 6, 2019

Marxisme dan Tiga Samurai

 

ANDA mungkin sudah sering mendengar tentang peristiwa penting yang pernah berlangsung dari abad ke-15 sampai abad 16. Mulai dari jatuhnya Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium ke tangan Kekaisaran Turki Ottoman pada 1453, kemenangan Kerajaan Perancis dalam Perang 100 tahun atas Inggris di tahun yang sama, mendaratnya Christopher Columbus di salah satu pantai kepulauan Bahamas pada 1492, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg yang melahirkan Rennaisance, Reformasi Protestan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma, berkembangnya merkantilisme di Venesia, Genoa dan Pisa, hingga maraknya penggunaan bubuk mesiu untuk meriam dan senapan sundut yang sejak saat itu akan mengubah jalannya sejarah manusia. Namun sepertinya Anda jarang mendengar kisah menarik tentang para samurai selain Seven Samurai atau Rurouni Kenshin.

Kala abad itu dunia bergejolak, Jepang punya dinamika tersendiri, yaitu suatu periode dalam sejarah negeri matahari terbit yang dikenal dengan Sengoku Jidai atau Zaman Negeri yang Berperang. Periode ini ditandai sebagai era paling kacau balau yang dihiasi oleh serangkaian perang saudara antar provinsi tanpa henti. Pertikaian kembali dimulai setelah berakhirnya Perang Onin tahun 1467 yang memporak-porandakan Kyoto dan daerah-daerah disekitarnya. Ketidakberdayaan dan surutnya pamor Keshogunan Ashikaga dimanfaatkan dengan baik oleh para panglima perang samurai dan beberapa klan memperebutkan kekuasaan di pulau itu.

Zaman ini pun dilengkapi oleh kehadiran Ikko-ikki atau segerombolan pemberontak yang terdiri dari petani dan bhiksu pengikut sekte Buddhis Jodo Shinsu. Bangkitnya warga sipil dan tuan tanah melawan mereka yang berada di strata sosial yang lebih tinggi dan menjadi bagian dari keshogunan pada masa itu melahirkan istilah Gekokujo yang berarti mereka yang rendah menguasai yang lebih tinggi. Namun, tak disangka dari sinilah lahir kekuatan baru yang akan menentukan nasib masa depan negeri ini.

Di tengah pergolakan sosial tersebut, Oda Nobunaga (1534-1582), seorang daimyo atau tuan tanah Klan Oda penguasa Provinsi Owari muncul sebagai orang pertama yang bercita-cita menyatukan Jepang di bawah kekuasaannya. Sang pendekar jago pedang dengan kharisma serta wataknya yang keras itu melancarkan serangkaian perang dan meraih kemenangan telak atas samurai lainnya. Kisah paling tenarnya adalah kemenangan 2.000 prajuritnya melawan 40.000 pasukan Imagawa Yoshimoto dari Provinsi Suruga pada tahun 1560 dalam Pertarungan Okehazama.

Lewat aliansi bersama Tokugawa Ieyasu dan penggunaan masal senapan hasil modifikasi yang bernama Tanegashima, ia pun segera berhasil menumbangkan Keshogunan Ashikaga dan mulai menguasai hampir seluruh Honshu. Sifat keras serta tak berperasaannya pada akhirnya menghantarkan Nobunaga ke akhir petualangannya. Konon ia menjemput kematiannya sendiri dengan melakukan seppuku dalam insiden Honno-ji di Kyoto ketimbang mesti mati di tangan salah seorang jenderal perangnya, Akechi Mitsuhide, yang menyimpan dendam atas kematian ibunya lalu berkhianat.

Akibat kekosongan kekuasaan dan masih banyaknya wilayah yang belum disatukan, kepemimpinan pun segera digantikan oleh sang pemersatu kedua yaitu Toyotomi Hideyoshi (1537-1598). Dengan latar belakang keluarga petani, ia memulai karirnya sebagai ashigaru, lalu menjadi pembawa sandal Nobunaga dan akhirnya tampil sebagai seorang negosiator handal. Meski permainan pedangnya tak sehebat Nobunaga, Hideyoshi memiliki kecerdikan yang tak dimiliki pendahulunya. Ia lebih mengutamakan negosiasi ketimbang pertumpahan darah. Di bawah kepemimpinannya ia berusaha menciptakan perdamaian dengan membuat peraturan untuk melucuti senjata dari kaum tani sehingga makin meguatkan pemisahan strata feodal menjadi kelas samurai, petani, pengrajin dan pedagang.

Selain itu, warisan terpentingnya adalah survey kadaster nasional, pencatatan luas, kategori, hasil tanah pertanian beserta hasil panennya secara berkala di seluruh Jepang. Namun, pada akhir karirnya langkahnya menjadi semakin tak tertebak dan mulai melupakan kepiawaiannya dalam bernegosiasi. Hideyoshi mengobarkan perang terhadap Dinasti Ming dengan lebih dahulu pada 1592 menginvasi Dinasti Joseon di Korea. Di ambang kematiannya, pendekar ini meminta para jenderalnya bersumpah untuk melindungi putranya, Hideyori, hingga ia siap menjadi pemimpin baru.

Tokugawa Ieyashu (1543-1616) sang pemersatu ketiga, sahabat lama Oda Nobunaga dan salah satu jenderal yang bersumpah kepada Toyotomi Hideyoshi di sakratul mautnya, rupanya memiliki rencana lain untuk persatuan Jepang. Ia juga bermimpi menyatukan pulau tersebut sama seperti pendahulunya, namun tentu saja mesti dengan caranya. Dengan dalih melindungi keluarga dan penerus Hideyoshi, secara perlahan ia mengambil pengaruh menjadi penguasa nomer satu di Jepang. Hal ini membuat murka daimyo lainnya sehingga salah satunya, Ishida Mitsunari, bersama para samurai lainnya bersekutu melawan Tokugawa.

Samurai pun terbagi menjadi Pasukan Barat yang mendukung Mitsunari dan Pasukan Timur yang tidak mendukung Mitsunari. Lewat kemenangannya dalam Perang Sekigahara pada 1600 dan pengangkatan dirinya sebagai shogun oleh Kaisar Go-Yozei pada 1603, Tokugawa menancapkan hegemoninya yang berlangsung selama 250 tahun di Periode Edo atau zaman terdamai dalam sejarah keshogunan. Meski tak sekuat Nobunaga dan secerdik Hideyoshi, Tokugawa Ieyasu merupakan pendekar yang memiliki kesabaran dalam mencapai tujuannya yaitu menjadi penguasa atas seluruh negeri matahari terbit.

Tiga pendekar ini sering dikisahkan kembali lewat sebuah cerita anak di Jepang. Seorang Master Zen menanyakan Nobunaga, Hideyoshi dan Tokugawa tentang apa yang akan mereka lakukan kepada burung merdu yang tak urung bernyanyi? Nobunaga berkata “Jika burung itu tak mau bernyanyi, maka aku akan membunuhnya.” Hideyoshi pun berkata “Jika burung itu tak mau bernyanyi, aku akan membuatnya bernyanyi.” Lalu Tokugawa berkata “Jika burung itu tak mau bernyanyi, maka aku akan menunggunya bernyanyi.” Dari cerita ini kita bisa mengenal perbedaan karakter dari tiga pendekar samurai itu, meski berbeda ketiganya merupakan kesatuan yang menciptakan Jepang bersatu sampai hari ini.

Jika kondisi dunia hari ini diibaratkan Sengoku Jidai dan kita dihadapkan kepada situasi seperti itu, apakah tepat jika kita mengikuti stratak, strategi-taktik, yang telah dicontohkan oleh trio pemersatu Jepang tersebut? Jika ya, lantas samurai mana kiranya yang akan kita pilih? Nobunaga, Hideyoshi atau Tokugawa?

Sebelum begitu saja mencontoh salah satu dari mereka, alangkah bijaknya jika kita terlebih dahulu memahami perangai yang berbeda dari tiga samurai tersebut. Sebagaimana eksistensi mendahului esensi, karakteristik atau sifat dari tiga pendekar ini tidak muncul sedari lahir. Ia dibentuk oleh kondisi objektif, historis dan sosial budaya yang dominan dalam masyarakat tertentu. Dalam biologi saja, spesies tanaman yang sejenis dapat memiliki dua sifat sekaligus dalam menanggapi sinar matahari (menuju ke bumi atau mendekati arah sinar matahari), apalagi Homo sapiens yang tak hanya merupakan mahkluk biologis namun juga sosial.

Nobunaga, Hideyoshi, dan Tokugawa dikondisikan oleh kondisi objektif yang riil, mereka adalah produk dari zamannya. Walau pada akhirnya memproduksi kembali zaman menurut impian mereka. Dengan demikian sifat keberanian, kecerdikan dan kesabaran mereka adalah nilai yang sifatnya relevan pada zaman perang sipil Jepang.   Lantas, pelajaran penting apa dari pengalaman mereka yang dapat kita petik untuk zaman ini? Yang pertama adalah menemukan peluang untuk merealisasikan sebuah tujuan meski di dalam kekacauan. Pelajaran kedua adalah kesadaran bahwa tujuan tak mungkin tercapai tanpa suatu tindakan.

Jika kita refleksikan kembali, kondisi masyarakat kita hari ini lebih buruk ketimbang di Periode Sengoku. Kemiskinan merata, ketimpangan tinggi, kerusakan lingkungan, perang, pandemi dan lainnya. Lebih parahnya lagi keadaan kacau balau ini dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa dan elit negara yang mendukungnya untuk meraup banyak keuntungan di atas kebuntungan. Untuk itulah diperlukan tindakan supaya kekacauan ini tak berangsur menjadi kepunahan manusia. Namun tindakan seperti apa yang kiranya dapat kita lakukan? Tentu saja bukan berlatih kendo lalu memobilisasi rakyat baris berbaris membawa bendera menuju Istana Merdeka.

Tapi yang paling utama yaitu terlebih dahulu mempelajari dan memahami seperti apa kondisi nyata masyarakat hari ini. Membedahnya lalu mencari alternatif dan solusi. Anda yang berdiri di persimpangan kiri jalan tentu saja tak ragu lagi menggunakan Marxisme sebagai pisau untuk membedah sistem kapitalisme dan merumuskan alternatif terhadapnya. Meskipun ‘kecil,’ pisau bedah bisa jadi lebih tajam ketimbang katana yang dibuat oleh Hatori Hanzo.

Jika sudah jelas sebab musabab dari kekacauan masyarakat kita hari ini, barulah kita dapat mengartikan ulang nilai keberanian, kecerdikan dan kesabaran para pendekar tersebut menjadi sebuah strategi menuju kemenangan yang relevan hari ini. Sama seperti Nobunaga yang dengan berani menguji kekuatan pasukannya di medan perang, kita yang mempelajari Marxisme mesti memberanikan diri menguji kekuatan tesis materialisme dialektis historis di medan perang saintifik,  perdebatan, dan juga praksis politik. Layaknya Hideyoshi yang handal dalam diplomasi dan bernegosiasi, Marxisme mesti menemukan cara paling relevan dalam berkomunikasi dengan segenap golongan masyarakat, dengan kata lain ia mesti bisa diterima dan bermanfaat. Bagaikan Tokugawa yang bersabar memilah waktu yang tepat meraih puncak kekuasaan, kita mesti paham betul siapa dan apa yang kita lawan, lalu kapan waktu yang tepat untuk melancarkan serangan untuk mengubah seluruh tatanan.

Namun ketimbang memilih salah satu jalan samurai, ketiganya patut dicontoh dan tetap digunakan di dalam situasi serta kondisi yang relevan. Ada kalanya kita mesti seperti Nobunaga, ada masanya kita seperti Hideyoshi, dan ada waktunya juga kita menjadi Tokugawa. Jika mereka mengobarkan semangat persatuan Jepang, proletariat hari ini barangkali tak usah muluk-muluk menyatukan dunia, cukup sajalah menyatukan gerakan pekerja dan segera menyusun agenda politik bersama – satu tugas yang enteng diucapkan, namun Maha Sulit untuk dilaksanakan dan diwujudkan. Sebab dunia selalu dalam proses bergerak dan sering tak kita sadari bahwa peluang untuk perubahan selalu hadir di depan mata.

Diangkatnya Kaisar Meiji tahun 1867 akhirnya menjadi bab penutup dari ribuan tahun kejayaan para pendekar pedang. Tokugawa Yoshinobu, sang shogun terakhir pada tahun 1868, menutup buku para samurai. Zaman Edo pun mau tak mau tergantikan zaman baru yaitu Era Meiji yang merestorasi kekuasaan Kaisar dan membawa Jepang ke dalam sistem pemerintah perwakilan yang lebih terbuka. Mengutip kata-kata Engels dalam pengantar Dialectics of Nature (1883), totalitas alam termanifetasikan dalam gerakan sebuah arus abadi dan siklusnya. Apabila alam selalu dalam proses gerak, lantas struktur masyarakat yang basisnya ditopang oleh alam pun pasti juga dalam proses bergerak. Bahkan gerakan dalam realitas sosial dan kultural pun dengan kontradiksi internalnya dapat timbal balik ikut mempengaruhi realitas alam.

Dengan demikian, kita yang mempelajari Marxisme mesti belajar banyak dari sepenggal cerita dari negeri sakura tersebut, bahwa gerak dan perubahan merupakan sebuah kepastian karena jika kita tetap nyaman dengan dongeng heroik dan dogma, tentu saja kita akan tersapu zaman dalam kegamangan bagaikan ronin atau samurai tak bertuan. Tapi di masa yang semakin tak menentu ini kita diingatkan oleh nilai dan strategi kolektivitas kreatif dari seorang pendekar bijak, Kanbei Shimada. Dalam pidatonya sebelum berperang bersama enam samurai dan para petani melawan bandit yang meneror desa, ia berkata “Inilah sifat dari perang. Dengan melindungi orang lain, Anda menyelamatkan diri sendiri. Jika hanya berpikir untuk diri sendiri, Anda akan hanya akan menghancurkan diri sendiri.”***

 

0 comments:

Post a Comment

 
;