Thursday, December 12, 2019

Pemogokan Prancis dan Pelajaran bagi Buruh



Gerakan revolusioner kembali pecah di Prancis. Gerakan ini dalam skala jauh lebih besar dari Gerakan Rompi Kuning karena melibatkan banyak pekerja. Menara Eiffel tutup, 11 dari 16 stasiun kereta bawah tanah serta kereta cepat membatalkan perjalanan, dan bandara yang melayani penerbangan dilaporkan berhenti. Prancis diselimuti keheningan tanpa kelas pekerja. Listrik dimatikan. Rumah, kantor, jalanan dan sekolah tutup. Transpotasi lumpuh saat protes yang dilakukan di seluruh Prancis mengikuti pemogokan umum yang ditujukan untuk menolak reformasi pensiun. Pekerja berpendapat bahwa reformasi yang diusulkan akan membuat mereka bekerja lebih lama untuk pensiun yang lebih kecil.
Pemogokan yang berlangsung sejak 5 Desember telah melumpuhkan transportasi, jalur distribusi dan ekonomi. Pekerja transportasi, guru, pengontrol lalu lintas udara, pemadam kebakaran, dokter dan perawat mogok. Mahasiswa dan pelajar meninggalkan kelas dan bergabung di jalanan bersama pekerja. Kabut gas air mata memenuhi jalanan seiring betrokan yang terjadi antara demonstran dan polisi. Mengantisipasi besarnya pemogokan ini Pemerintah Prancis mengerahkan ribuan polisi tambahan. Di sepanjang rute demontrasi utama kota Paris, toko-toko dan bank-bank tutup. Di Paris 90 orang ditangkap. Macron mengirim mobil lapis baja, meriam air, dan ribuan polisi anti huru-hara bersenjata berat untuk menyerang para pemogok yang berbaris di kota-kota di seluruh Prancis.
Menurut angka resmi pemerintah jumlah pemogokan ini mencapai 615 ribu. Namun menurut serikat buruh CGT, angka ini mencapai tiga kali lipat dari laporan resmi. Lebih dari separuh dari populasi Prancis mendukung atau bersimpati dengan pemogokan ini. Meskipun pejabat dan penyelenggara demo memberikan angka yang saling bertentangan, demonstrasi ini adalah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada ketetapan sebelumnya kapan pemogokan ini diakhiri, namun partisipasi yang meluas dalam pemogokan ini menunjukkan akar ketidakpuasan sosial ini sulit untuk diakhiri.  

Serikat buruh CGT mengatakan bahwa “Tidak ada liburan Natal kecuali pemerintah sadar,” dan mereka menyerukan pemogokan umum berkala untuk membatalkan rencana pensiun Macron. Tapi apa artinya dan bagaimana memenangkan pertarungan ini. Inilah pertanyaan strategi yang sampai saat ini belum selesai. Edouard Philippe, Perdana Menteri Prancis, menyimpulkan bahwa ada 18 bulan lebih "pembicaraan" dan "konsultasi" dengan para pemimpin serikat pekerja. Ratusan jam pertemuan negosiasi memuncak pada hasil bahwa pemerintah akan menyajikan reformasi yang persis sama dengan apa yang akan mereka ajukan sebelumnya jika tidak ada "pembicaraan" dan "konsultasi" yang dilakukan.
Pada kesempatan yang sama, Philippe Martinez (Sekretaris Jenderal CGT) menyatakan bahwa "pemerintah telah mencemooh rakyat". Tetapi Martinez sendiri diejek: lebih dari 23 pertemuan konsultasi, pemerintah menuduhnya “tidak ingin berbicara”. Tapi siapa yang harus disalahkan? Pemerintah yang mengatur lelucon ini dan membela kepentingan kelas penguasa? Atau pemimpin CGT yang menerima keterlibatan di dalamnya? Alih-alih memboikot negosiasi ini dan mempersiapkan medan perjuangan yang besar, selama 18 bulan pemimpin serikat buruh hanya memainkan peran anjing sirkus bagi pemerintah. Tugas mereka hanya mencoba meyakinkan para pekerja bahwa pemerintah telah mendengarkan tuntutan mereka dan mencapai kompromi.
Pemerintahan Macron juga berusaha untuk memecah belah persatuan melalui serikat buruh yang lebih moderat. Hal ini menyebabkan serikat pekerja transportasi SNPNC, UNPNC, UNAC dan UNSA PNC menangguhkan mogok sampai pemberitahuan lebih lanjut. Melalui taktik devide et impera, pemerintah mencoba untuk memecah front persatuan pekerja transportasi dengan menawarkan konsesi lebih kecil ke sektor pekerjaan di bawahnya. Kondisi ini memungkinkan bagi pemerintah untuk mengendurkan pemogokan sambil menunggu sampai para pemogok kelelahan dan kembali bekerja. Karena itu taktik devide et impera ini hanya dapat dilawan dari bawah, dengan menunjukkan kepada saudara-saudari sekelas mereka bahwa pertarungan ini lebih dari sekedar pensiun.
Telah ada arus kekecewaan akar rumput terhadap manuver dari para pemimpin serikat ini dan mereka berusaha melajutkan pemogokan. Pekerja kereta api yang berafiliasi dengan CFDT dan UNSA memutuskan untuk terus melakukan pemogokan yang menyimpang dari kepemimpinan mereka. Solidaritas lintas-sektor juga terus berkembang. Sebuah pertemuan umum di Gare du Nord di Paris - dihadiri oleh pengemudi, pekerja ritel dan operator - memberikan suara bulat dan tekad untuk melanjutkan pemogokan. Tekad ini adalah bukti dari pengalaman pemogokan selama ini sangat mempengaruhi moral perjuangan akar rumput dan juga membuktikan pelajaran pahit dari perilaku para pemimpin mereka.
Harus diakui bahwa meskipun ada pemimpin dalam gerakan ini tapi kenyataannya massa bergerak tanpa pemimpin. Dukungan publik terhadap pemogokan ini telah meluas dan inilah alasan mengapa pemogokan tetap memperoleh kekuatannya. Rosa Luxemburg benar mengatakan bahwa pemogokan dan spontanitas massa adalah hal utama dalam penggerak revolusi, tapi hanya mengandalkan spontanitas massa, gerakan tidak akan melangkah pada kemenangan. Oleh karena itu perlu menggabungkan spontanitas massa dengan perspektif dan strategi yang tepat.
Jelas bahwa pemerintah tidak berniat untuk membuat konsesi seperti yang ditegaskan oleh sang Perdana Menteri. Pekerja tidak bisa melakukan pemogokan terus menerus tanpa batas: mereka sadar akan pengorbanan yang mereka lakukan, dan risiko besar yang mereka timbulkan seperti: kehilangan upah, sanksi di tempat kerja, dll. Mereka hanya akan keluar mogok jika mereka merasa bahwa apa yang dipertaruhkan sebanding dengan resiko yang mereka peroleh. Antusiasme massa telah ada di jalanan dan pemerintah tidak akan mudah menyerah untuk memaksakan reformasi pensiun mereka.
Pemimpin reformis serikat buruh mencoba mengerem perjuangan ini. Dalam masa-masa “damai” dimana perjuangan kelas relatif surut, mungkin mereka bisa mencengkram massa kelas pekerja, tapi situasi perjuangan kelas di Prancis saat ini mengalami pasang naik dan sangat kecil kemungkinan untuk massa pekerja di bawah tunduk pada hirarki birokratis pemimpin reformis. Dua kemungkinan yang mungkin terjadi adalah  pemimpin ini terdorong ke kiri oleh gelombang perjuangan kelas atau massa kelas pekerja mencampakkan mereka. Semua ini sangat ditentukan oleh jalannya perjuangan.
Krisis kapitalisme jauh lebih dalam hari ini. Reforma akan mejadi kontra-reforma. Tidak akan ada hasil reforma tanpa perjuangan kelas, juga tidak ada perjuangan kelas tanpa revolusi. Pada kondisi seperti ini jalan kompromi memainkan peran kriminal. Kemenangan pada akhirnya akan bukan ditentukan di meja perundingan dengan para bos, tapi di jalan-jalan dan di barak-barak pabrik. Pembentukan komite-komite aksi di setiap pabrik dan wilayah harus menjadi agenda utama gerakan ini. Dalam badan-badan seperti ini para pekerja dan kaum muda dan semua lapisan sosial tertindas lainnya mampu merencanakan dan memberikan suara bebas pada pemogokan, protes dan tindakan lainnya.
Pemerintahan ini telah kehilangan pegangan untuk mencegah dirinya jatuh. Sebuah jajak pendapat baru baru ini menunjukkan bahwa 64 persen rakyat Prancis tidak percaya terhadap reformasi pensiun Macron dan dukungan terhadap pemerintahan ini telah jatuh 30 persen setelah protes Rompi Kuning tahun lalu. Semua kondisi ini memungkinkan bagi kemenangan. Pemogokan ini harus menjadi titik awal dari pemogokan politik yang menantang Macron dan pemerintahan kapitalis mereka. Ini satu-satunya jaminan akan kemenangan sesungguhnya. Tidak ada kelas selain kelas pekerja yang bisa dipercaya memimpin perjuangan ini. Dan sekali kelas pekerja Prancis memahami kekuatan ini, maka tidak ada kekuatan di muka bumi yang mampu menghentikannya!


0 comments:

Post a Comment

 
;