Banyak sudah tulisan yang memahat nama
agung perempuan ini, seorang pemimpin partai revolusioner Jerman (SPD);
jurnalis dan penulis tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Rosa
Luxemburg, tak hanya di Jerman, namanya abadi pula dalam perjuangan revolusioner
di Polandia dan Rusia. Sebarisan karya-karya besarnya menjadi bagian dari
penggerak perubahan sejarah. Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia
teguh berjuang demi tegaknya sosialisme.
Berakhir tragis. Setahun setelah revolusi
Bolsyevik yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim Hitler menamatkan
riwayatnya. Tengah malam pada Januari 1919, setelah menjalani perburuan
panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, -- kawan-kawannya-- ia
ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke penjara mereka disiksa
habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam dengan popor senjata, remuk.
Belum selesai di situ, kepala perempuan yang sarat pikiran-pikiran radikal ini
dihujani berpuluh-puluh peluru.
Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo
Jogiches, kawan karib sekaligus kekasihnya,
terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri tertangkap dan dibunuh
tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat Luxemburg. Baru pada bulan
Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung, tersangkut di tiang pancang jembatan,
di sebuah sungai di pinggiran kota Berlin.
Remuk, dan sudah membusuk. Toh, orang
masih mengenali Rosa Luxemburg, masih mengenali sebelah kakinya yang cacat.
Surat-surat indah, artikel, polemik yang ditulis pada kawan-kawannya, pada Leo
Jochiches yang sering dipanggilnya “Julek”,
adalah jejak-jejak berharga yang tertinggal sampai abad ini. Dia
dikebumikan pada Juni di Friedrichsfeld berdampingan dengan kekasihnya. Juga
bersama dengan jasad para revolusioner lainnya.
Keturunan Yahudi
Yang Tersisih
Lahir
pada bulan Maret 1871 di Zanosc, sebuah kota kecil di tenggara negara Polandia.
Kelahirannya tepat beberapa hari sebelum kaum buruh di Paris mendeklarasikan
Komune Paris, bentuk pertama pemerintahan sejati rakyat. Dia bungsu dari lima
bersaudara dari keluarga kelas menengah keturunan Yahudi, yang mengenal makna
tersingkir dan tertindas sejak belia.
Pada usia dua tahun keluarga mereka pindah
ke ibukota, Warsawa. Di situ pula awal mulanya Luxemburg mengidap penyakit
serius. Tulang-tulang tubuhnya tak tumbuh sempurna. Kakinya cacat. Dari tempat
tidurnya ia belajar membaca. Sampai akhirnya Luxemburg kecil terlihat menonjol
kecerdasannya. Seiring itu pula, jiwa pembebasnya yang terbentuk semenjak belia
makin kokoh terbangun. Hasilnya, saat ia tamat sekolah dasar menjadi lulusan
terbaik, namun dewan guru menolak memberikan penghargaan tersebut karena
dinilai “terlalu suka menentang pihak
yang berwenang".
Menatap Luxemburg secara fisik, alangkah
jauh dari gambaran keperkasaan pahlawan besar. Tubuhnya teramat kurus dan
cenderung tidak proporsional, ukuran lengannya terlalu pendek.Tulang panggulnya
tak rata, sehingga ia harus berjalan dengan kaki timpang. Toh, ia memiliki
pesona tersendiri; binar matanya amat tajam, terpancar energi dan keyakinan
luar biasa. Itulah yang mampu menundukkan
orang.
Tumbuh dengan jiwa pembebas, dengan
semangat benci terhadap kezaliman, jelas bukan datang dari langit. Keluarganya
lah yang mati-matian berjuang sebagai warga Yahudi yang tersisih, yang ikut
membentuk keyakinannya. Ayahnya seorang terpelajar, memiliki pabrik kayu, yang
memperkenalkannya dengan literatur politik. Ia mulai belajar tentang demokrasi
modern. Sedang, sang ibu mewarisinya dengan kebijakan manusia. Seperti yang
ditulisnya pada kawannya, Sophie Leibknect, Luxemburg mengatakan, ibundanya
yang menganjurkan dirinya untuk membaca Injil sebagai sumber kebijakan
manusia.
Luxemburg tertarik dengan politik sejak di
sekolah menengah, ia bergabung dalam pergerakan revolusioner bawah tanah, dan
menjadi anggota salah satu sel Partai Proletariat, yang bersekutu dengan
kelompok Narodnik (populis) di Rusia. Dua tahun sesudahnya ia mulai dicari-cari
petugas, terancam ditangkap. Untuk menghindar dari pemerintahan otoriter
Alexander III, ia lari ke Swiss, pada
tahun 1889.
Disana ia
belajar di Universitas Zurich, di bidang ilmu alam, ekonomi dan hukum.
Ia ikut pula dalam perjuangan kelas pekerja, aktif dalam kehidupan politik para imigran dari Polandia dan Rusia. Kota
Zurich itu sendiri merupakan kiblat bagi kaum kiri untuk belajar, seperti dua
orang Marxis termasyur dari Rusia, Plekhanov dan Akselrod. Rosa sempat belajar
Marxisme, ikut perdebatan-perdebatan dan menjadi seorang teoretisi Marxis
terkemuka. Di sana ia mematangkan Marxismenya. Ia meyakini dirinya sebagai bagian
dari kelas proletar. Dia yakin, hanya sosialisme lah yang dapat memberikan
kemerdekaan sejati dan keadilan sosial. Marxisme bukanlah hanya sebuah sistem
teoritis untuk mengatasi semua persoalan, lebih daripada itu, dia merupakan
metode menguji proses perubahan ekonomi pada masing-masing tahapan dari
perkembangan sejarah beserta semua hasil dari kepentingan, gagasan, tujuan dan
aktivitas politik masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Luxemburg berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu politik dengan menulis
karya ilmiah tentang perkembangan kapitalisme di Polandia. Sebuah gelar yang dianggap sebagai di luar
kelaziman, lantaran pada waktu itu belum pernah ada perempuan yang sampai
tingkat doktor. 1892, adalah titik awalnya secara total berserah diri dalam
politik. Luxemburg mendirikan Partai Sosialis Polandia, namun beberapa waktu
kemudian dia berselisih dengan para pimpinan Partai tersebut, yang dianggapnya
terlalu berkompromi dengan nasionalisme borjuis.
Selanjutnya pada tahun 1893, bersama-sama
dengan Leo Jochiches ia mendirikan
Partai Sosial Demokrat, yang bersifat lebih revolusioner. Masih sebagai
organisasi bawah tanah, Luxemburg pergi ke Paris dan bekerja sebagai editor
koran partai Sprawa Robotnicza. Selain sebagai penulis, ia lebih menyukai posisinya
sebagai orator, sedangkan Leo lebih berkonsentrasi pada kerja-kerja organisasi.
Dia menjadi seorang tokoh penting dalam Partai Sosial-Demokrat Jerman tanpa
meninggalkan peranannya sebagai seorang pemimpin gerakan revolusioner Polandia.
Luxemburg mendapat kewarganegaraan Jerman tahun 1898 setelah menikah dengan
Gustav Lubeck, seorang pimpinan sayap kiri SPD. Ia berpartisipasi pada
Internasional Kedua dan pada revolusi 1905 di Rusia bergabung dengan partai
Sosial Demokrat.
Seorang Petarung
Sejati
Rosa Luxemburg adalah sang petarung
sejati. Seorang visioner yang mempunyai pikiran jauh ke depan. Tak pernah
gentar berhadapan dengan para pengkritiknya, berdebat dengan sesama orang
revolusioner, dan tidak jarang berbeda pendapat dengan Lenin, karena keadaan di
Rusia amat berlainan dengan kondisi di Jerman waktu itu, sehingga kaum
Bolsyevik mengembangkan stategi dan taktik yang berbeda pula.
Ia selalu melawan unsur-unsur nasionalis
dalam gerakan kiri Polandia. Waktu itu sebagian dari wilayah Polanda dikuasai
oleh Rusia. Pada dasarnya Lenin setuju bahwa semua nasionalisme harus dilawan.
Namun Lenin melihat masalah itu dari sudut pandangan seorang warga Rusia, yaitu
seorang warga dari bangsa penindas, dan dia berusaha menyadarkan kaum buruh
Rusia yang mesti menjamin hak rakyat Polandia untuk merdeka. Hanya dengan
menjamin hak ini kaum buruh Rusia bisa ikut membantu dalam mengatasi
nasionalisme di Polandia, karena nasionalisme muncul sebagai akibat dari
penindasan yang dilakukan oleh administrasi Rusia.
uxemburg menganggap sikap Lenin ini
sebagai kompromi dengan nasionalisme. Perdebatannya kompleks, karena sebetulnya
Luxemburg juga ingin menjamin hak tersebut untuk sejumlah bangsa tertindas
lainnya. Pada dasarnya pendekatan Lenin harus dinilai lebih benar karena lebih
dialektis. Dia menyimak perjuangan nasional dan perjuangan kelas dari dua sisi:
"Kami orang Rusia harus menekankan hak rakyat Polandia untuk merdeka,
sedangkan kawan-kawan Polandia harus menekankan hak mereka untuk bersatu dengan
kami."
Luxemburg juga mengecam sepak terjang kaum
Bolsyevik setelah mereka mengambil alih kekuasaan. Kritik ini, dalam sebuah
naskah yang ditemukan setelah dia meninggal dunia, terkadang disalah artikan.
Rosa dengan antusias mendukung revolusi Oktober yang dipimpin oleh Partai
Bolsyevik: "Pemberontakan Oktober tidak hanya menyelamatkan Revolusi Rusia
dalam kenyataan, tetapi juga menyelamatkan nama baik gerakan sosialis
internasional ... masa depan kita di mana-mana diperjuangkan oleh kaum
Bolsyevik."
Kritiknya yang ketiga menyangkut soal
demokrasi. Sebelum Oktober, kaum Bolsyevik menuntut agar majelis konstituante
(yang mewakili rakyat dengan cara parlementaris borjuis) mesti dipanggil.
Setelah insureksi Oktober, ketika soviet-soviet (dewan-dewan utusan buruh,
tentara dan petani) mengambil alih kekuasaan, pihak Bolsyevik tidak lagi
mendukung majelis konstituante yang didominasi oleh pihak reformis dan borjuis
itu.
Ketika majelis itu akhirnya berkumpul,
malah dibubarkan oleh kaum Bolsyevik. Menurut Luxemburg tindakan ini tidak
demokratik Tapi yang harus dimengerti di sini adalah perbedaan antara demokrasi
borjuis dan demokrasi buruh (sosialis). Dalam prinsip, soviet-soviet adalah
lebih unggul karena berdasarkan kaum buruh yang memilih wakil-wakil mereka di
tempat kerja.Dalam kenyataan, soviet-soviet merupakan kekuasaan kelas buruh,
sedangkan majelis konstituante dikuasai oleh pihak kontrarevolusi. Jika kaum
Bolsyevik mau mempertahankan kekuasaan kelas buruh, mau tidak mau majelis
konstituante harus dibubarkan.
Cukup jelas, bahwa salah satu kesalahan
terbesar Rosa adalah ketidakbersediaannya untuk membangun sebuah partai tipe
Bolsyevik beberapa tahun terlebih dahulu. Namun kita tidak boleh membandingkan
Lenin dan Luxemburg begitu saja. Lenin mengembangkan sebuah partai tipe baru
karena harus menghadapi kondisi baru di Rusia. Sebelum tahun 1914 dia tidak
pernah menuntut agar Rosa keluar dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Malah
Lenin lebih percaya pada para pimpinan partai itu. Baru ketika perang dunia
meledak, dan para pimpinan sosial demokrat mengkianati kelas buruh dengan
mendukung perang tersebut, Lenin akhirnya mengakui: "Rosa Luxemburg
terbukti benar: sudah jauh-jauh hari dia sadar bahwa Kautsky adalah seorang
teoretisi oportunis."
Pada tahun 1905, revolusi Rusia yang pertama
meledak. Di sini, pemogokan massa menjadi motor revolusi, dan fenomena itu
memberikan pengertian baru yang mendalam untuk memahami hubungan erat antara
perjuangan ekonomi dan perjuangan politik. Para pimpinan sosial-demokrat
seperti Bernstein dan juga Karl Kautsky (yang waktu itu masih mengaku sebagai
seorang revolusioner) tidak setuju dengan pemogokan massa, karena mereka
menganggap aksi-aksi semacam itu kurang politis. Namun Luxemburg menekankan
bahwa di masa revolusi, perjuangan ekonomi berkembang serta meluas menjadi
perjuangan politik, dan sebaliknya: “Gerakan semacam ini tidak hanya bergerak
ke satu arah, dari sebuah perjuangan ekonomi ke politik, tetapi juga dalam arah
sebaliknya. Setiap aksi massa politik yang penting, setelah mencapai puncak, menimbulkan
sejumlah pemogokan ekonomi massa. Dan prinsip ini bukan hanya relevan untuk
pemogokan massa secara terpisah, tetapi juga untuk revolusi secara keseluruhan.
Dengan perluasannya, klarifikasi dan intensifikasi perjuangan politik,
perjuangan ekonomi bukan hanya tidak surut, bahkan sebaliknya berkembang luas
sekaligus menjadi lebih terorganisir dan lebih intensif. Ada pengaruh
timbal-balik antara kedua macam perjuangan itu.”
Setiap serangan dan kemenangan baru dalam
perjuangan politik akan berdampak secara dahsyat kepada perjuangan ekonomi,
karena dengan meluasnya cakrawala kaum buruh serta motivasi mereka untuk
memperbaiki kondisi mereka, pengalaman tersebut juga mempertinggi semangat
tempur mereka. Setiap selesai gelombang aksi politik, ada endapan subur, dari
situ akan muncul ribuan perjuangan ekonomi, dan sebaliknya.
Puncak pemogokan massa adalah
"pemberontakan terbuka, yang hanya akan terealisir sebagai titik kulminasi
dari serangkaian pemberontakan lokal yang mempersiapkan medan (yang hasilnya
selama beberapa waktu mungkin adalah kekalahan sementara, sehingga aksi tersebut
mungkin tampaknya ‘gegabah’)." Betapa hebatnya peningkatan kesadaran kelas
yang dapat dihasilkan oleh pemogokan-pemogokan massa ini: “Yang paling berharga
(karena paling abadi) dalam naik turunnya arus gelombang revolusi, adalah
perkembangan jiwa kaum proletar. Keuntungan yang didapat oleh lompatan
intelektual yang tinggi kaum proletar akan menjamin kemajuan mereka secara
terus menerus dalam perjuangan politik dan ekonomi yang akan datang.”
Serangan yang gagal dari sayap kiri dari
Partai Sosial Demokrat, "Liga Spartakus", di bawah kepemimpinan Rosa
Luxemburg dan Karl Liebknecht, telah menyeretnya ke penjara --Spartakus adalah
seorang budak yang memberontak pada zaman Romawi kuno; Liebknecht adalah
satu-satunya anggota parlemen Jerman yang melawan Perang Dunia I semenjak
awal--, di tahun 1916 sampai 1918.
Dari balik tembok penjara lah ia justru
menemukan kekuatannya. Disini ia berjuang keras melewati masa-masa depresi, ia
tak mengeluh mengatakan berjuta penderitaannya. Selain menulis tentang Revolusi
Rusia, satu-satunya hal yang membahagiakan adalah bisa menulis surat untuk
Leo-nya, yang berselisih 15 tahun, yang kemudian dijatuhi hukuman mati lantaran
mengedarkan seruan mogok bagi para para tentara dan buruh pabrik senjata.
Sebelum kematiannya, dia telah memutuskan dengan Clara Zetkin dan Mathild Jacob
untuk mempublikasikan tulisan-tulisan karya Luxemburg. Hanya pada Leo lah ia nyatakan kepedihan
hatinya: “Jika saat ini, nyawaku mendahului pergi, aku tak sanggup lagi
berkata-kata sebagai ungkapan perpisahan, dan hanya bisa menerawang dengan
tatap kosong keputusasaan. Sejatinya, aku jarang sekali berkehendak untuk
bicara. Minggu-minggu berlalu tanpa mendengar suaraku sendiri”.
Surat-suratnya terus mengalir dari
penjara. Luxemburg, seseorang yang mempunyai kecintaan yang dalam pada
kehidupan, dia juga meluangkan waktu dengan merenungkan “burung-burung, hewan
serta puisi.”
Tentang Perjuangan
Perempuan
Kendati secara khusus jarang menulis
tentang gerakan perempuan, terhadap gerakan perempuan sikapnya jelas. Baginya,
kebebasan perempuan adalah bagian dari pembebasan dari penindasan kapitalisme.
Ia menentang pemisahan terhadap gerakan perempuan dan gerakan politik. Sebagai
ketua partai ia lebih menempatkan dirinya sebagai pimpinan revolusioner dari
laki-laki dan perempuan. Ia berdiri mutlak diantara pertarungan politik.
Menurutnya, perempuan dapat mencapai
kemerdekaannya secara penuh hanya dengan memenangkan revolusi sosial dan
menyingkirkan perbudakan ekonomi mereka pada institusi keluarga, dan dia
mencurahkan seluruh energinya untuk dipersembahkan pada revolusi. Luxemburg
menolak pandangan tentang peran-peran stereotip perempuan yang biasanya, yang
lazimnya ada di organisasi.
Ia tak pernah tertarik pada fungsi-fungsi
administratif, keuangan, dan kerja-kerja pengorganisiran.Ia lebih suka
berpidato dan menulis.Ia memahami pentingnya mengorganisir perempuan untuk
menjadi bagian dari perjuangan revolusioner, dia tetap menolak untuk dipaksa
dalam beberapa peranan tradisional perempuan ke dalam partai. Luxemburg
memandang perempuan sebagai bagian yang terekspoitasi, termasuk di dalamnya
kelas pekerja, bangsa-bangsa minoritas dan petani. “Seorang perempuan, harus
berani untuk terlibat dalam politik, sebuah wilayah yang hampir seluruhnya
dikuasai oleh laki-laki”, demikian ungkapnya.
Dalam sebuah surat yang ditulis yang
ditulisnya di penjara, dia meminta Sophie
Liebknecht untuk meneruskan bacaannya. “Engkau harus terus-menerus
mengasah batinmu, dan hal tersebut akan sedikit mudah untukmu jika fikiranmu
senantiasa segar dan lentur”.
Dalam sebuah pidato pada Rally Perempuan
Sosial Demokratik Kedua, 12 Mei 1912, Luxemburg menyatakan bahwa hak memilih
kaum perempuan adalah sasaran yang tepat. Dia berpendapat bahwa “gerakan massa
untuk memperolehnya bukanlah (sekedar) tugas bagi perempuan dan laki-laki dalam
masyarakat proletariat. Lemahya hak-hak yang diberikan oleh pemerintah Jerman
adalah hanya salah satu rantai belenggu yang menghalang-halangi kehidupan
masyarakat. Lemahnya hak-hak pada kaum perempuan menjadi alat yang paling
penting dari klas kapitalis yang berkuasa.”***
0 comments:
Post a Comment