Friday, May 29, 2020

Memaknai Ulang Tentang Revolusi yang Cenderung ‘Berdarah-darah’

Kata ‘revolusi’ seringkali terdengar ketika seseorang semakin merasa jengkel atau bahkan ketika kekesalannya sudah memuncak akibat tindak-tanduk penguasa yang semakin tak mengenakan hati. Kata ini seakan menjadi obat dari segala keburukan dan segala kesewenang-wenangan, seakan-akan setelah revolusi maka sejarah berhenti untuk berputar kembali.

Revolusi yang dimaksud di sini adalah revolusi politik, revolusi-revolusi yang datang dengan wajah menakutkan karena ia membawa darah-darah untuk dikorbankan. Revolusi-revolusi seperti di Amerika, Prancis, Rusia, dan negara-negara lain yang kita barangkali sudah sangat familiar di buku sejarah.

Jika melihat dari anggapan umumnya, suatu perubahan yang besar dan cepat, maka siapa yang tidak tergiur revolusi jika dirinya termasuk dari golongan yang tidak beruntung? Membayangkan suatu tatanan yang lebih baik terasa begitu melegakan tetapi juga menyakitkan karena hal tersebut hanya berhenti sebagai harapan. Demonstrasi-demonstrasi yang belakangan terjadi tak luput dari harapan revolusi ini karena melihat bahwa tak ada harapan lagi untuk perubahan secara perlahan, harus ada aksi nyata yang signifikan.

Tetapi begitulah bahayanya revolusi yang terlalu banyak agitasi tetapi di saat yang sama membuat sisi kritis yang lebih dalam malah terhalang. Seseorang belajar caranya untuk revolusi, tetapi tidak memandangnya sebagai realitas yang harus tetap terjaga pada kondisi yang realistis alih-alih utopia yang membahayakan. Setidaknya itu yang bisa kita pelajari pada rangkaian sejarah revolusi yang membawa tujuan-tujuan yang baik, tapi membangun nerakanya sendiri nanti.

Novel berjudul A Tale of Two Cities (2016) karya Charles Dickens yang pertama kali terbit mingguan tahun 1859 terkenal bisa menjadi rujukan penggambaran revolusi yang sedemikian ekstrim. Walaupun hadir sebagai cerita fiksi, sisi emosional pembaca dapat ia rengkuh dengan berbagai kejadian-kejadian yang mengerikan. Betapa mudahnya orang-orang mati terpenggal Guillotine (sejenis alat pancung untuk hukuman mati), rakyat yang begitu ganas dalam merayakan republik, hal-hal seperti itulah yang nantinya pembaca akan dibawa pada kekhawatiran yang terus berlanjut selama sekumpulan tokoh utama masih berada di kota tempat revolusi paling bergejolak, yaitu Paris.

“Udara di sekeliling mereka pengap dan kelam, orang-orang dikuasai nafsu balas dendam, begitu banyak orang tidak bersalah dihukum mati hanya akibat syak wasangka tak berdasar, dan niat jahat sesamanya.”

Dickens menuliskan betapa wajarnya hukum-hukum kala revolusi mudah dipinggirkan dengan narasi “Revolusi tak mungkin terjadi apabila hukum, tata tertib, dan adat istiadat tidak disalahgunakan dengan semena-mena sejak dahulu kala, dan sebagai balasnya, Revolusi lantas menghamburkan semuanya ke seluruh penjuru angin.”

Pemerintahan Teror Robespierre akibat Revolusi Prancis, pengiriman orang-orang ke Gulag akibat Revolusi Rusia, kedua hal tersebut menjadi contoh dari akibat yang begitu besar yang penuh eksekusi bagi aksi-aksi revolusioner yang ekstrim.  Justru malah membuat mereka mewarisi kejahatan yang sama dengan rezim-rezim pendahulunya hanya dengan berganti sistem. Republik Prancis yang dipimpin kaisar malah memberlakukan sensor media massa hingga Uni Soviet yang anti-kritik. Penerapan utopia memang tak bisa sekali coba.

Pada kasus lain, Revolusi Amerika yang butuh proses panjang menuju pemenuhan hak-hak semua warga negaranya ini juga berhadapan dengan perang saudara. Perdebatan di masa kini apakah seharusnya pihak Konfederasi disalahkan atau tidak atas upayanya masihlah menjadi polemik tentang apakah Revolusi Amerika hanya untuk warga negara bebas yang imigran Eropa atau ikut menyertakan orang-orang kulit hitam dan apakah Konfederasi boleh memisahkan diri.

Ong Hok Ham di dalam kumpulan esainya Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2019), menjelaskan teori revolusi yang dikemukakan Crane Brinton dari proses ketika negara mulai melemah seperti mengalami krisis, hingga penggulingan rezim lama dan perpindahan kekuasaan pada kelompok revolusioner lunak yang masih manusiawi, tetapi karena sifatnya itulah yang membuatnya seakan mengkhianati revolusi dengan mewarisi negara yang belum mereka kendalikan seutuhnya dan mengakibatkan kelompok revolusioner ekstrim segera menggantikannya. Kelompok revolusioner ekstrim ini yang akan memakan anak-anak revolusinya sendiri hingga akhirnya mereda, tetapi peredaannya pun dianggap sebagai pengkhianatan revolusi.

Revolusi yang membawa gejolak besar yang berdarah-darah memang sudah dipastikan oleh Che Guevara dan di saat yang sama Vladimir Lenin pun percaya revolusi adalah jalan satu-satunya. Lenin yang di dalam bukunya Negara dan Revolusi (2016) sering sekali mengkritik kaum sosial-demokrat karena upayanya merebut parlemen, menganggap bahwa demokrasi tidak akan bisa berjalan jika ia dikuasai kaum kapitalis. Kaum kapitalis dengan segala cara pasti akan mempertahankan kedudukannya dalam mengendalikan pemerintahan, suatu cara agar mereka tetap bebas dan terlegitimasi.

Apalagi menurut Alexander Berkman dalam Apa Itu Anarkisme-Komunis? (2018), hukum yang dikendalikan para kapitalis di dalam negara akan membuat suatu undang-undang yang membuat mereka boleh untuk merampok (secara sistemik tentunya) kaum buruh dan rakyat kecil. Maka dalam kasus ini, kaum kapitalis di dalam negaralah yang bisa menyebut mana yang salah dan benar tidak secara objektif, tetapi secara kepentingannya sendiri.

Mudahlah ditebak ketika orang-orang sudah sadar akan hal itu, mereka pun mengenal revolusi di dalam diri mereka. Peristiwa Reformasi 1998 di Indonesia pun juga tak luput dari kelompok-kelompok yang mengharapkan perubahan dengan rusuh ini yang tindakan kerasnya dikritik Kuntowijoyo di dalam kumpulan esainya Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2019) yang dianggapnya terlalu ganas, berbeda dengan demonstrasi-demonstrasi 1966 yang lebih berbudaya karena partisipasi para penyair dan orang-orang Manifes Kebudayaan yang membuatnya menyimpulkan bahwa kesenian mengurangi agresifitas.

Tetapi selain upaya-upayanya yang fisik, ada pemikiran Antonio Gramsci untuk mengupayakan hegemoni budaya atau “perang posisi” yang didahulukan dibanding “perang fisik”. Marxisme humanis Gramsci ini memandang revolusi budaya akan memastikan revolusi politik karena elemen-elemen di masyarakat sudah sadar apa yang harus mereka lawan dan budaya apa yang semestinya dijaga agar tak lagi ada penindasan.

Namun tanpa arah yang benar dan proses yang malah menapaki jalan yang ekstrim, upaya menghegemoni yang dikatakan Gramsci juga akan berbuntut penyerangan kelompok-kelompok lain yang berseberangan sekalipun mereka adalah bagian dari rakyat juga selayaknya perpecahan fraksi Jacobin dan Girondin pada Revolusi Prancis.

Kesimpulannya adalah bahwa revolusi—sekalipun ia tidak direncanakan—tidak semestinya buta pada kemanusiaan. Terlebih, ia adalah perjuangan sepanjang zaman, bukan hanya semangat satu momentum saja. Revolusi yang tidak dijaga hanya akan menghasilkan rezim-rezim bermasalah yang baru, bahkan masyarakat bermasalah yang baru. Revolusi bukan hanya soal pemerintah-rakyat, tapi juga dengan sesama rakyat. Revolusi adalah amarah-amarah yang bergejolak, tetapi seperti amarah, yang tak bersalah pun juga akan dibentak.

 

0 comments:

Post a Comment

 
;