Thursday, June 4, 2020

Marxisme Menjawab Tantangan Libertarian

 

KAUM Marxis dan Libertarian sering tak sejalan, bukan hanya karena saling berseberangan dalam cara berpikir, namun juga posisi dalam bersikap. Sampai hari ini sudah sangat banyak perdebatan yang dilontarkan dan ditulis dari kedua belah pihak dalam membela posisinya masing-masing. Anda para pembaca pun barangkali sudah paham betul apa perbedaan mendasar dari Marxisme dan Libertarianisme, mengingat Kawan Martin Suryajaya telah menuliskan beberapa tulisan terbaiknya membahas perihal Libertarianisme di kolom Logika ini (misalnya tulisan ini).

Sejujurnya, selama ini saya hampir tidak pernah menggubris argumen para Libertarian, namun ada satu tulisan yang menurut saya perlu sedikit ditanggapi. Ditulis secara apik oleh seorang Libertarian muda berbakat bernama Djohan Rady di website Suara Kebebasan pada tahun 2016 yang lalu. Tulisan saya kali ini ditujukan membantu kawan di seberang jalan agar setidaknya paham bagaimana sesungguhnya cara bekerja metode berpikir marxisme.

Dalam tulisannya, Djohan Rady menceritakan secara singkat perasaan tidak sreg-nya dengan Marxisme. Namun, sebelum itu ia menjelaskan terlebih dahulu perihal Marxisme dengan membahas soal dasar-dasar pemikiran Marxis yang pernah ia pelajari dari Communist Manifesto hingga Das Kapital. Lebih lanjut, ia menjelaskan sekilas konsep-konsep yang ada dalam Marxisme seperti moda produksi kapitalis, basis ekonomi mengondisikan tatanan politik, pendidikan, seni, budaya dan lain-lain, dialektika sejarah, pertentangan kelas, hingga soal nilai-lebih dan eksploitasi. Setelah itu, ia menyimpulkan argumennya dengan berpendapat bahwa Marxisme tak lain hanyalah suatu narasi ideologis ketimbang kajian sosial yang memiliki basis materialis-empiris.

 Apa sebabnya? Salah satunya karena menurutnya konsep eksploitasi yang Marx ajukan sifatnya lebih merupakan penilaian etis ketimbang empiris. Padahal menurutnya, permasalahan kapitalisme beserta eksploitasinya hanya bergantung dari sudut pandang kita saja dalam menilainya. Eksploitasi merugikan kaum buruh hanya karena para Marxis menganggap sedari awal bahwa kapitalisme itu “jahat”, sedangkan dalam sudut pandang economic developmentalism, para buruh sesungguhnya sedang diberikan batu loncatan untuk keluar dari kemiskinan.

Lantas apa betul seperti itu?  

Apa yang diceritakan oleh Djohan Rady sebetulnya tidak sepenuhnya salah. Dalam sejarah perkembangannya, tulisan-tulisan Marx-Engels pernah melalui berbagai masa dalam sejarah, dibaca oleh beragam individu dan juga dengan beragam cara. Sebagian hanya sekedar membaca untuk suatu kepentingan saja dan sebagiannya lagi menjadikannya sebuah mantra. Karena itu ada masa ketika Marxisme hanya menjadi obat yang dipercaya menyembuhkan eksploitasi dan ayat-ayat suci untuk mengusir roh setan kapitalis. Sehingga tak salah jika dikatakan bahwa Marxisme bisa menjadi sekedar narasi ideologis belaka.

Namun apakah benar cara berpikir Marxis hanya sesederhana itu? Belum tentu! Oleh karena itu, mari kita jawab satu per satu kegalauan kawan Libertarian dengan menjabarkan dan membongkar kegalauannya.

Pertama, kritik yang diajukan oleh Djohan Rady berada pada ranah konsep-konsep turunan dari suatu keseluruhan pemikiran dan bukan pada esensi pemikiran suatu hal ihwal itu sendiri. Sehingga penyimpulan Marxisme sebagai ideologi dan narasi etis masih belum bisa untuk dikatakan benar, sebab konsep eksploitasi misal hanya merupakan satu konsep dari korpus Marxisme namun tidak mewakili keseluruhannya. Kritik yang tepat semestinya masuk ke dalam esensi atau dasar dari hal ihwal sebelum membahas hal yang menjadi turunannya.

Ibaratnya, untuk mengetahui seorang terkena virus Corona, kita tak dapat menyimpulkannya hanya dari suhu tubuh, bersin-bersin, batuk, pilek atau menunjuk orang yang baru pulang dari Wuhan saja. Diagnosis yang tepat baru akan kita dapatkan melalui pemeriksaan yang seksama atas kondisi tenggorokan sampai pengambilan sampel cairan tubuh seperti air liur dan darah mereka yang diduga terinfeksi.

Kemudian, untuk memberikan kritik, seseorang mesti memahami secara baik apa yang dikritiknya. Mana mungkin Anda berkomentar soal film Parasite garapan Jong Boon Ho apabila Anda belum menontonnya, menonton setengah, atau cuma diceritakan oleh teman Anda? Maka, untuk memahami Marxisme, jika tidak keseluruhannya, setidaknya kita mesti berangkat dari esensinya. Minimal kita mesti memahami korpus Marxisme dari dimensi ontologis dan epistemologis.

Secara singkat, ontologi atau hakikat tentang realitas dalam Marxisme dijelaskan lewat materialisme historis. Singkat kata, materialisme historis menyatakan bahwa realitas ekonomi merupakan prakondisi material absolut bagi adanya realitas superstruktur dan realitas superstruktur merupakan prakondisi yang relatif bagi adanya realitas ekonomi. Dengan kata lain, basis mengkondisikan superstruktur dan superstruktur dapat mengkondisikan kembali basis namun dalam batas-batas yang dimungkinkan. Contoh sederhananya, manusia alias Homo sapiens tak mungkin bertahan tanpa mengkonsumsi makanan yang disediakan oleh alam, namun karena alam tak selalu memenuhi kebutuhan dan seiring dengan perkembangan pengetahuan Homo sapiens mereka akhirnya dapat mengendalikan alam dengan penemuan seperti alat-alat berburu meramu, pertanian, domestifikasi hewan, pembagian kerja, dan sebagainya sehingga pemenuhan kebutuhannya dapat terpenuhi.

Kemudian, fondasi epistemologis Marxis menyatakan bahwa keberadaan suatu atribut-atribut, karakter-karakter, atau sifat-sifat dari suatu entitas haruslah bertumpu pada hal ihwal material yang menjadi tempat sifat-sifat itu berpijak. Untuk adanya rasa manis perlu adanya butiran gula pasir, sehingga bukanlah rasa manis yang menentukan adanya gula pasir tapi sebaliknya. Selain itu, memahami bahwa gejala dan fenomena yang kita cerap melalui indera memiliki keberadaan dan aktualitas serta asal muasal yang adanya belum tentu mampu kita cerap lewat indera. Realisme tidaklah sama dengan empirisisme.

Pulpen yang jatuh dari meja merupakan hasil dari gaya gravitasi, namun bila tak tersenggol tangan kita dan jatuh apakah dengan demikian gravitasi tidak ada? Tentu saja ada, namun ia tidak menampak sampai pulpen yang jatuh menampilkannya. Sehingga, Marxisme mengakui adanya realitas objektif dan meskipun sulit kita dapat mencapai pengetahuan tentang realitas tersebut. Sebab bagi Marx ilmu pengetahuan akan sia-sia apabila esensi benda sama dengan penampakannya kepada subjek.

Pemaparan singkat esensi Marxisme di atas menjawab sementara penyimpulan bahwa Marxisme sebagai narasi ideologis sejauh ini belum dapat terkonfirmasi, karena kenyataannya argumen Marx berangkat dari upaya untuk memahami kenyataan objektif secara ilmiah dan bertanggung jawab. Selain itu, cara berpikir yang digunakan Djohan Rady memiliki perbedaan mendasar dari cara berpikir Marxis. Marxisme berangkat dari pengakuan kondisi atau realitas objektif yang ada di luar kesadaran kita, yang mana untuk mengetahui realitas tersebut kita perlu mempelajarinya lewat kajian dan proses pembelajaran. Apabila marxisme mendasarkan pemikirannya dari yang objektif, Djohan Rady sebaliknya, ia berangkat dari pemikiran pribadi atau dengan kata lain pemikiran yang subjektif.

Hal ini terlihat dari caranya melihat gejala atau fenomena dengan menggunakan persepsi dan subjektivitas. Ia tidak memulainya dari obkjektivitas kenyataan di balik fenomena yang menampak itu sendiri. Eksploitasi memiliki realitas yang mestinya dibedah dari balik gejala eksploitasi itu sendiri, bukanlah dengan mengubah cara pandang kita tentang gejala eksploitasi. Apa yang memungkinkan hadirnya eksploitasi itulah yang mestinya dijawab, bukan bagaimana kita menilai eksploitasi.

Apabila sudah mengetahui posisi dasar Marxisme, barulah kita bias bicara mengenai eksploitasi. Eksploitasi itu sendiri merupakan sebuah proses penciptaan nilai baru yang lebih dari nilai yang telah dikeluarkan para kapitalis dalam proses produksi. Eksploitasi dapat diukur lewat proporsi atau rasio antara nilai-lebih dan kapital-variabel.

Lalu, apakah kapital-variabel dan nilai lebih itu? Kapital-variabel merupakan kapital dalam wujud tenaga-kerja yang digunakan oleh kapitalis dalam menciptakan nilai-lebih ketika memproduksi komoditas. Sedangkan nilai-lebih adalah nilai yang dihasilkan oleh curahan tenaga-kerja pada waktu kerja lebih yang hadir seusai waktu kerja perlu. Contohnya, dalam satu hari seorang pekerja menghasilkan komoditas yang setara dengan 50 kurma, namun sesungguhnya untuk mereproduksi tenaga-kerjanya secara sosial dan kultural ia hanya membutuhkan komoditas senilai 30 kurma saja.

Maka upah yang diterima si pekerja yaitu setara dengan 30 kurma, sebab dengan jumlah itu ia sudah bisa mereproduksi tenaga-kerjanya alias memenuhi kebutuhan lahir batinnya. Dengan demikian nilai tenaga-kerja yaitu 30 kurma. Lantas ke mana perginya 20 kurma dari 50 kurma lainnya yang dihasilkan dalam sehari tersebut? Tentu saja 20 kurma itu menjadi laba yang disimpan oleh kapitalis dan inilah yang dinamakan nilai-lebih.

Kiranya, apa yang dijelaskan oleh Djohan Rady dalam tulisannya kurang tepat, karena ia langsung menyebutkan jam kerja yang tak terbayar, padahal yang menjadi fokus Marx sendiri ialah nilai dari tenaga-kerja – jam kerja adalah soal lain lagi. Selain itu ia juga menyimpulkan secara langsung bahwa eksploitasi merupakan setiap nilai-lebih yang diapropriasi oleh pemilik modal. Padahal konsep eksploitasi lebih kompleks dari itu karena eksploitasi secarara lebih rinci dirumuskan sebagai rasio antara nilai-lebih dan kapital-variabel. Sehingga, eksploitasi bukanlah sekedar nilai-lebih dan oleh karena itu tingkat atau derajat eksploitasi idapat diukur. Jika masih ragu, mari kita baca lagi Das Kapital Volume I yang tebal itu.

Memang tidak sepenuhnya salah dengan kenyataan bahwa lewat bekerja, buruh dapat terselamatkan dari kemiskinan atau setidaknya dapat menyambung hidupnya di dunia yang semakin berat ini. Argumen ini beserta bukti-buktinya selalu menjadi kekuatan jagoan Libertarian untuk membuktikan bahwa Marxisme tidak tepat. Namun pertanyaannya kini, apabila benar demikian, mengapa kesenjangan masih selalu ada sampai hari ini? Bukankah dengan kapitalisme yang merupakan sistem paling mutakhir di sepanjang sejarah manusia ini mestinya tidak ada lagi kesenjangan ekononomi? Apa yang kurang tepat dari kapitalisme ini? Inilah justru yang jadi pertanyaan Marx. Sehingga apabila Djohan Rady mengatakan bahwa Marx memberikan judgment etis tentang kapitalisme, pernyataan itu bukan hanya tidak tepat, tapi sungguh sangat keliru.

Marx menjelaskan bahwa kapitalis membutuhkan pekerja untuk melengkapi sirkulasi produksi komoditas dan membuat komoditi bertambah nilainya, sedangkan pekerja pun secara sukarela menyerahkan tenaga kerjanya untuk bekerja kepada kapitalis untuk mendapatkan upah yang bermanfaat untuk menyambung hidupnya. Jadi di sini tidak ada persoalan moral sama sekali, namun soal kenyataan bahwa siapa saja yang masuk ke dalam relasi produksi kapitalisme mesti menjalankan perannya untuk bertahan hidup.

Oleh karena itu apa yang dibahas di sini ini berada di luar ranah moral, yang dibahas Marxisme yaitu ada suatu kenyataan objektif bahwa terkandung masalah internal di dalam kapitalisme yang melanggengkan suatu keadaan ketika sebagian manusia dengan entengnya dapat memenuhi keinginannya yang tak habis-habis dan sebagian manusia lagi yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja sulit. Ini baru soal ketimpangan, belum lagi soal isu lingkungan, krisis ekonomi dan kontradiksi internal di dalam kapitalisme itu sendiri. Bagaimana kiranya para jagoan Libertarian menjelaskannya?

Bagaimana mereka menjawabnya yang pasti kini teranglah bahwa Marxisme berangkat dari realitas objektif yang tak membawa soal moral, bukan soal baik dan jahat atau cantik-ganteng dan jelek, namun soal benar dan salah. Cara berpikir ini jauh dari dogma-dogma dan ideologi-ideologi keblinger.

Masihkah Marxisme bisa dianggap sebagai narasi ideologis? Sekarang kita putar balik dengan cara berpikir Djohan Rady dan para segenap Libertarian. Jika berangkat dari hak-hak dasar seseorang tentang kepemilikan, mengapa dalam tulisan tersebut tidak dibahas bahwa pekerja juga berhak atas nilai tenaga-kerja dan hasil kerjanya? Jika selama ini Libertarian selalu membela hak-hak individu, bukankah kategori pekerja tersusun atas individu-individu yang juga memiliki hak individu? Bukankah para Libertarian mestinya melindungi dan mempromosikan hak-hak individu tersebut? Sebab yang saya temukan ialah pembelaan secara tidak langsung kepada salah satu pihak yaitu para pemodal, lalu siapa yang kiranya lebih pantas untuk disebut sebagai ideologi yang hanya berbasis pada narasi etis? Silahkan Anda para pembaca yang jawab sendiri pertanyaan ini. Oleh karena itu untuk kali ini saja saya akan setuju dengan Djohan Rady, bahwa ideologi yang berbasis narasi etis sama sekali tidak layak bahkan berbahaya untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan publik.

Walau sedari awal saya sudah sempat bertanya-tanya, apakah barangkali marxisme yang  Djohan Rady pelajari itu berasal dari buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karangan rahib suci Franz Magnis-Suseno atau buku Katastrofi Mendunia: Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba karya penyair agung Taufiq Ismail? Entahlah, mungkin hanya Tuhan dan para Nabi Libertarian yang tahu jawabannya.***

 

0 comments:

Post a Comment

 
;