AKHIR-AKHIR ini kita kerap menyaksikan pembahasan soal isu prostitusi di berbagai media. Mulai dari penertiban kegiatan prostitusi jalanan hingga penggrebekan prostitusi online. Dari sana, muncul suatu perdebatan tiada akhir di antara para hakim moral. Di satu sisi terdapat pihak yang menyalahkan sang pelaku prostitusi, namun di pihak yang lain beranggapan bahwa para pengguna jasalah yang patut disalahkan. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Jika penasaran, rekaman dari perdebatan para hakim moral ini bisa Anda temukan di youtube dalam beberapa acara talkshow televisi lokal atau setidaknya dapat ditemukan di antara cuitan-cuitan bebas dalam dunia Twitter.
Sebagai pembelajar Marxis, di mana kira-kira posisi kita dan bagaimana kita menyikapinya?
Sebelum menjawab bagaimana menyikapi prostitusi, sebaiknya kita berkonsultasi dahulu kepada ahlinya. Untuk itu dalam kesempatan di bulan Maret 2020 yang penuh gegap gempita Hari Perempuan Sedunia ini, saya akan mengajak Anda berkenalan kembali dengan salah satu tokoh perempuan revolusioner bernama Alexandra Mikhailovna Domontovich atau sering kita kenal dengan nama Alexandra Kollontai. Melalui beliaulah kita akan belajar menghadapi persoalan yang bias antara logika dan moral tersebut.
Lahir pada 31 Maret 1872 di St. Petersburg, ia merupakan putri dari seorang jenderal kavaleri berkuda Russia keturunan Cossack. Belajar dari sang ayah, Alexandra kecil dibesarkan dalam nuansa keterbukaan pemikiran dan memiliki seorang teman untuk berdiskusi dari soal sejarah hingga politik. Setelah dewasa ia menjalani pendidikan di sekolah umum hingga akhirnya mendapatkan sertifikat untuk menjadi seorang guru. Kegiatan aktivismenya dimulai pertama kali saat ia membantu kakaknya mengajarkan para buruh membaca di suatu perpustakaan pada hari minggu di St. Petersburg.
Alexandra Kollontai merupakan seorang yang selalu bersemangat dalam belajar. Dengan berat hati menitipkan putra satu-satunya kepada keluarganya, ia berangkat ke Zurich pada tahun 1898 untuk belajar ilmu ekonomi kepada seorang Professor Marxis bernama Heinrich Herkner dan di momen inilah ia mulai tertarik kepada Marxisme. Sekembalinya ke Russia pada 1899, ia bergabung dengan Partai Sosial Demokrat Pekerja Russia dan berkenalan dengan Vladimir Lenin.
Ketika terjadi perpecahan di tubuh partai menjadi Bolshevik dan Menshevik, Alexandra tetap membantu kedua belah pihak meski akhirnya ia bergabung dengan Menshevik dikarenakan perbedaan pendapat soal Duma. Ketika diasingkan ke Jerman, ia sempat menjelajahi Eropa dan berkenalan kepada tokoh-tokoh revolusioner lainnya dari Karl Kautsky, Clara Zetkin hingga Rosa Luxemburg. Fotonya masih bisa Anda lihat ketika ia berjabat tangan dengan Clara Zetkin dengan Rosa Luxemburg di tengahnya sewaktu menghadiri Kongres Sosialis Internasional Copenhagen 1910 yang merupakan bagian dari Internasional Kedua.
Dengan meletusnya perang dunia pertama, Alexandra yang menentang perang meninggalkan Jerman karena anggota Sosial Demokrat Jerman ikut mendukung perang itu. Ia pun berangkat ke Denmark dan terkaget-kaget karena Sosial Demokrat Denmark pun mendukung perang, maka akhirnya ia pergi ke Swedia dan ditangkap serta dipenjarakan di sana atas aktivitas politiknya. Setelah bebas, ia segera berkemas menuju Norwegia, bergabung dengan para sosialis Norwegia dan tinggal di sana sampai 1917 ketika mendengar kabar revolusi bahwa Tsar Nicholas II telah ditumbangkan. Setibanya di Russia, Alexandra segera menjadi anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd.
Pada masa itu ia merupakan seorang agitator, penulis selebaran militan, dan pekerja di koran perempuan Bolshevik atau Rabotnitsa, sebelum akhirnya pada 1919 ia bersama dengan Inessa Armand mendirikan Departemen Perempuan atau Zhenotdel di pemerintahan Uni Soviet. Zhenotdel merupakan organisasi yang bertugas meningkatkan keadaan hidup perempuan di Uni Soviet dengan edukasi, kampanye melawan buta huruf, sosialisasi pernikahan baru, sosialisasi hukum kerja yang berlaku di republik muda Soviet. Meski akhirnya dibubarkan oleh Stalin pada tahun 1930, melalui kiprahnya dalam Zhetnodel ini terbuktikan kualitas sesunguhnya Alexandra Kollontai sebagai seorang menteri perempuan pertama di dunia dan tentunya sebagai Feminis Marxis sejati.
Dari sejumlah banyak karya terbaiknya, mulai dari The Social Basis of the Woman Question, New Woman, Communism and the Family, The Labour of Women in the Evolution of the Economy, Sexual Relations and the Class Struggle, hingga The Soviet Woman terdapat satu tulisan yang akan membantu kita menjawab pertanyaan di awal tulisan, yaitu lewat artikel berjudul Prostitution and Ways of Fighting It. Disarankan Anda membacanya terlebih dahulu, karena saya hanya akan meringkas dan membahas intinya saja. Di sini Alexandra membahas prostitusi yang masih menjamur meski republik pekerja telah berdiri. Padahal menurutnya, dengan diubahnya sistem ekonomi politik, maka prostitusi berangsur hilang. Dalam tulisan ini ia juga mengulas akar dari permasalahan prostitusi serta memberikan arahan kepada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi tegas terhadapnya.
Apa alasan yang membuat Alexandra sangat keras menentang prostitusi? Alasan utamanya tentu karena prostitusi tak lagi relevan dengan cita-cita masyarakat komunis yang pada masa itu sedang dibangun oleh Uni Soviet. Baginya, prostitusi merupakan sisa-sisa peninggalan masyarakat borjuis yang masih berbekas dan mesti ditinggalkan. Meski ia menjelaskan bahwa prostitusi telah ditemukan dalam masyarakat manusia sejak masa Yunani-Romawi dan abad pertengahan, namun menurutnya bentuk prostitusi itu berbeda pada setiap masa. Pada masa Yunani-Romawi prostitusi dianggap sebagai pelengkap relasi kekeluargaan eksklusif, sebagai contoh Aspasia kekasih Pericles yang lebih sering disanjung ketimbang istri-istri lainnya yang sekedar menjadi sarana untuk mengandung anak.
Sedangkan di abad pertengahan prostitusi memiliki gildanya masing-masing dan dijamin secara hukum. Prostitusi hanya dapat dinikmati oleh kelas pemilik harta dan bangsawan, selain itu juga tidak semua perempuan menjadi pelaku prostitusi karena sebagian orang masih dalam relasi produksi kekerabatan yang menjamin kehidupan. Lain halnya dengan prostitusi di abad ke-19 dan 20. Perempuan dari beragam latar belakang dan dalam jumlah banyak rela menjual tubuhnya demi uang seadanya yang kadang pula tak cukup untuk melangsungkan kehidupan, apa sebabnya?
Menurut Alexandra, ini disebabkan oleh bentuk masyarakat kapitalisme yang melanggengkan eksploitasi berlebihan terhadap perempuan. Hal ini membuat upah pekerja perempuan, yang saat itu tidak sama dengan laki-laki, tidak mampu menutupi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarganya. Kapitalisme mendorong perempuan keluar dari lorong-lorong gelap tradisi takhayul feodalisme dan masuk ke dalam arena persaingan bebas relasi upahan yang rasional namun penuh ketidakpastian. Tetapi, pemaksaan kapitalisme kepada perempuan untuk masuk ke dalam relasi upahan ini tidak sepenuhnya membebaskan perempuan dari nilai-nilai masa lalu karena perempuan masih menggantungkan hidupnya kepada laki-laki dan selalu merasa lebih lemah ketimbang laki-laki.
Hal tersebut, berikut dengan kebutuhan yang meningkat dan upah yang minim, memaksa perempuan masuk ke dalam prostitusi. Namun di sisi lain, lewat kemunafikan moralitas-agama, masyarakat borjuis mengutuk para perempuan karena mengambil jalan prostitusi untuk bertahan hidup. Oleh sebab itu, Alexandra menegaskan bahwa prostitusi merupakan fenomena yang terkait erat dengan kondisi objektif bahwa adanya upah yang rendah bagi kaum perempuan, masih terjebaknya perempuan di dalam struktur tradisi masa lalu dan bahwa di masa yang mana kapital serta kepemilikan pribadi mendominasi itulah prostitusi berkembang subur.
Dalam tulisan ini Alexandra juga menyimpulkan faktor utama yang bertanggungjawab atas maraknya prostitusi. Antara lain pendapatan yang rendah, ketergantungan perempuan terhadap laki-laki, dan tradisi lama yang mengkondisikan kesadaran bahwa perempuan bukan sebagai pekerja yang setara dengan laki-laki. Meski pada saat itu Soviet telah mulai menghapus kepemilikan pribadi, namun mereka masih dalam kondisi kemiskinan. Oleh karena itu masih banyak sekali tunawisma, kelompok yang terabaikan, orang-orang kesepian dan pengupahan yang rendah bagi pekerja perempuan. Maka bagi Alexandra, perjuangan melawan prostitusi adalah perjuangan untuk memperbaiki hal-hal mendasar tersebut, yaitu perjuangan memperbaiki keadaan hidup pekerja perempuan.
Lalu apakah hanya dengan mengubah kondisi-kondisi itu prostitusi akan hilang? Meski ketika perekonomian dan kondisi kehidupan membaik, menurutnya fenomena prostitusi belum tentu akan menghilang begitu saja. Sebab pelaku prostitusi terbagi menjadi dua kategori yaitu, pelaku yang memasuki prostitusi karena keterpaksaan pemenuhan kebutuhan hidup dan pelaku yang menjadikan prostitusi sebagai profesi utamanya. Pelaku prostitusi sebagai profesi ini adalah mereka yang energinya tidak dipergunakan untuk pekerjaan kolektif republik pekerja dan hidupnya hanya mengambil jatah dari pekerja yang lain.
Apa sebabnya Alexandra melawan profesi prostitusi ini? Baginya prostitusi ini menciderai semangat revolusioner, karena kerja mereka tidak ditujukan untuk membangun kepentingan bersama dan dari sudut pandang ekonomi nasional mereka dianggap sebagai pembelot dari para kelas pekerja perempuan. Selain tidak mengikuti aturan-aturan kerja di Soviet yang mengharuskan tenaga kerja diberikan untuk kepentingan kolektif, prostitusi juga menghancurkan secara perlahan karakter dan moral kelas pekerja saat itu. Mengapa? Karena kualitas karakter dan moral yang dibangun kelas pekerja adalah solidaritas dan persahabatan yang relasinya setara.
Moral seperti itulah yang mana menurut pemerintah Soviet merupakan moral dasar yang utama dalam komunisme. Sedangkan prostitusi menunjukan suatu keadaan tidak setara antar manusia, bahwa seorang pengguna jasa prostitusi tak lagi melihat sang pelaku prostitusi sebagai manusia yang memiliki kesamaan hak. Ia menilai bahwa pelaku hanya sebagai benda yang dibeli tubuhnya dan oleh sebab itu berhak diperlakukan sebagaimana yang diinginkan. Maka prostitusi secara tidak langsung menimbulkan ketidakseimbangan relasi antar gender bahkan jenis kelamin, karena satu pihak menguasai dan pihak lainnya dikuasai. Apabila laki-laki sebagai pengguna jasa prostitusi perempuan, maka menurut Alexandra, kelak di dalam kepala laki-laki tersebut ia akan selalu menganggap bahwa semua perempuan selalu dapat dibeli. Dari sinilah muncul relasi ketidaksetaraan gender dan jenis kelamin.
Alasan lain mengapa ia melawan prostitusi, karena praktek tersebut berbahaya untuk kesehatan warga, mengingat prostitusi pada masa itu cenderung sangat cepat dalam menyebarkan penyakit kelamin. Menurutnya, apabila pekerja terserang penyakit maka mereka tidak akan produktif, hal tersebut merugikan dirinya sendiri dan juga kolektif yang bergantung pada kerjanya.
Kesimpulannya, alasan Alexandra melawan prostitusi adalah karena prostitusi menghambat kerja kolektif kelas pekerja di Uni Soviet, memberikan efek negatif secara psikologis kepada laki-laki dan perempuan, dan juga mendistorsi semangat kesetaraan dan solidaritas dalam masyarakat komunis. Sekilas apa yang diangkat olehnya dari tulisan ini terlihat hanya sekedar perlawanan untuk melepaskan perempuan dari ketertindasan dan menciptakan kesetaraan antar jenis kelamin, namun sesungguhnya lebih dari itu.
Alexandra menembus batas pembahasan moral dan masuk ke dalam ranah logika kapitalisme. Pertama, Alexandra tidak terjebak pada pembahasan prostitusi hanya kepada pihak-pihak yang berada dalam relasi itu, namun ia berangkat dari analisis kondisi objektif yaitu struktur ekonomi-politik yang memungkinkan masih adanya prostitusi. Telah dijelaskannya bahwa masih bertahan atau tidaknya fenomena prostitusi itu tergantung kepada keputusan ekonomi dan politik, khususnya di Soviet saat itu. Kedua, Alexandra menjelaskan kritiknya melampaui kritik moral dan ia mampu memaparkannya secara objektif. Hal ini terlihat jelas dari posisinya membahas aspek historis dan kultural yang melingkupi fenomena prostitusi, mulai dari penjelasan soal kapitalisme yang bersembunyi di balik ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan hingga tradisi percintaan serta pernikahan borjuis yang membuat manusia tidak bisa mencintai manusia lain dengan apa adanya.
Ketiga, Alexandra tidak hanya mengkritik pemerintahnya saja, namun ia memberikan sarannya melalui seruannya kepada berbagai lembaga di Soviet untuk melawan setiap bentuk pembangkangan terhadap kelas pekerja dan segera peraturan-peraturan baru yang tegas melawan prostitusi. Dari sinilah kita mengetahui cara berpikir materialisme dialektik dan historis yang digunakan oleh seorang Alexandra Kollontai. Inilah yang mungkin menjadi sebab mengapa ia selalu tampil dan dihormati sebagai perempuan revolusioner termasuk di antara para lelaki Bolshevik.
Sekarang, teranglah posisi kita dalam menganalisis fenomena prostitusi. Ketimbang terburu-buru mengutuk pelaku atau pengguna jasanya, ada benarnya jika kita melihat kembali apa yang memungkinkan adanya fenomena prostitusi. Ini yang membedakan kita dari para hakim moral yang terjebak hanya pada yang kasat mata dan menikmati perdebatan kusir yang tak penting. Walau hari ini bentuknya menjadi lebih mutakhir ketimbang seabad yang lalu, prostitusi masih selalu menjadi momok nilai-nilai moral dan agama borjuasi.
Padahal, prostitusi merupakan fenomena yang lahir dari bentuk masyarakat borjuis itu sendiri. Fenomena ini tak mungkin dihapuskan apabila struktur dasar yang memungkinkannya terjadi tidak dihapuskan, tentu saja kapitalisme. Justru sesungguhnya prostitusi inilah yang mestinya menampar para aparatur moral kapitalisme dengan kenyataan bahwa selama dua abad kejayaannya, kapitalisme telah gagal meningkatkan derajat hidup kaum perempuan. Sehingga kini tidak ada pilihan lain bagi kaum perempuan yang masih ingin berjuang selain terjun ke dalam perjuangan melawan kapitalisme. Inilah yang diingatkan Alexandra kepada setiap perempuan yang berjuang, khususnya perempuan pekerja.
Alexandra secara tidak langsung diasingkan ke luar negeri dengan penempatan dirinya sebagai seorang diplomat untuk Uni Soviet sejak tahun 1922 hingga 1945. Ia dijauhkan dari kegiatan politik dalam negeri dan tetap menahan diri untuk mengkritik pemerintahan Stalin yang semakin menjauh dari semangat revolusi. Ia menua di Moscow dan tutup usia pada tanggal 9 Maret 1952, beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Oleh karena itu di bulan Maret ini izinkan saya mengucapkan dirgahayu yang ke-148 untuk kamerad Alexandra Kollontai, sekaligus menghaturkan selamat merayakan Hari Perempuan Sedunia 2020 kepada segenap perempuan pekerja di Indonesia.
Perempuan pekerja sedunia, bersatulah!
0 comments:
Post a Comment