Pendahuluan
JIKA Anda diminta untuk membedakan antara Harimau Sumatera dan Harimau Siberia, saya yakin Anda akan dengan mudah melakukannya. Cukup melihatnya di ensiklopedi hewan atau wikipedia. Selain berbeda subspecies, sifat dan ciri fisik mereka pun dapat diklasifikasi perbedaannya. Namun bagaimana bila Anda bertemu dengan harimau di tengah hutan? Dapatkah Anda langsung mengenalnya? Bisa, tapi bagi orang awam dan bukan pawang atau ahli harimau tentu saja sulit. Sehingga kita cenderung menyamakan harimau tersebut menjadi harimau saja. Hal ini menjadi sama ketika kita membicarakan persoalan kelas menengah. Lalu mengenai kelas yang lain seperti borjuis kecil kita cenderung memasukkan mereka ke dalam dua kelas dominan kapitalis-proletar atau bahkan sering melupakannya.
Layaknya harimau, kelas menengah seringkali dikategorikan menjadi termasuk dalam kelas proletariat atau borjuis saja. Namun dalam tulisan ini saya hendak memaparkan bahwa kelas menengah sungguh ada dalam realitas tertentu, meski keberadaannya disyaratkan oleh kelas yang lebih riil yaitu proletariat dan kapitalis. Sama seperti Harimau Siberia dan Sumatera yang sama-sama harimau namun berbeda subspesies. Tulisan ini akan menanggapi argumen dari Kresna Sasongko bahwa entitas kelas menengah secara realitas tidak pernah ada dan kelas menengah hadir karena murni konstruksi politik dari kapitalis. Selain itu, mengingat harimau bukan hanya Sumatera dan Siberia saja, kita juga tidak akan melupakan keberadaan-keberadaan kelas-kelas lainnya yang hadir dalam masyarakat hari ini. Seperti borjuis kecil misalnya. Mari kita langsung saja berbincang-bincang.
Sekilas Kelas
Kelas sosial merupakan pembahasan yang terbilang umum di ranah pemikiran kiri. Mengingat kelas merupakan kategori paling nyata dan objektif untuk mengukur eksploitasi tatanan kita hari ini. Sistem kapitalisme menampakan dirinya melalui kelas-kelas di dalam masyarakat. Dalam Manifesto Komunis yang terkenal itu, Marx dan Engels menuliskan bahwa sejarah dari masyarakat yang ada hingga hari ini adalah sejarah perjuangan kelas (Marx-Engels 2008: 33). Masyarakat pun terbagi menjadi dua kubu yang berlawanan, yaitu borjuis dan proletariat. Borjuis sendiri sudah hadir pada saat feodalisme merupakan corak dari masyarakat yang dominan.
Eksistensinya pun diperjuangkan melalui serangkaian perjuangan (revolusi) yang pada akhirnya menumbangkan feodalisme. Seperti kata Marx, semua yang keras melebur menjadi udara dan semua yang suci menjadi profan. Akhirnya borjuis pun menciptakan corak masyarakat yang baru, suatu bentuk masyarakat yang kita rasakan hari ini. Sehingga di kala itu, borjuis merupakan kelas yang paling revolusioner. Kelas yang mampu menumbangkan masyarakat yang telah berdiri kokoh selama berabad-abad.
Jika di masanya borjuis merupakan kelas paling revolusioner, namun kini corak produksi yang mereka bangun tersebut mulai menemukan kecacatan sistemnya. Sistem yang mereka ciptakan pun mulai menggerogoti tubuhnya sendiri. Terdapat kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi kapitalis yang mana mengemuka dalam kontradiksi antara kelas proletariat dengan borjuis (Hussein 2015: 123). Hal itu mendorong produksi secara massal. Namun karena pemilik sarana produksi tersebut ialah kelas borjuis, maka hasil produksi tersebut pun menjadi miliknya, bukan milik para pekerja. Karena sarana produksi dikuasai segelintir orang, maka mereka yang tidak memiliki sarana produksi apa-apa pun menjadi proletar.
Kelas proletariat pun muncul dari mereka yang tertindas dan hanya memiliki tenaga kerjanya untuk dijual demi ditukarkan dengan uang. Lalu dari mana proletariat hadir? Tentu saja dari corak masyarakat yang baru ini dan tentu karena ada kelas antagonisnya yaitu borjuis. Kedua kelas ini terus berseteru, terkadang perseteruannya tak terlihat terkadang menampak dan hingga menjadi peperangan. Meski keduanya mensyaratkan satu sama lain, namun pada masa ini kelas proletariatlah kelas yang paling revolusioner.
Secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, sebagian dari kita mungkin tidak merasakan secara langsung pengkategorian diri kita sendiri ke dalam kelas-kelas sosial. Hal ini terjadi karena kita lebih cenderung merasakan hal-hal yang lebih empiris. Seperti, misalnya, kelompok atau golongan yang berkaitan dengan identitas diri. Ambil contoh saya dan kelompok saya sebagai orang Indonesia atau orang India, orang Ambon atau Manado, orang dari marga Nainggolan atau suku Chaniago, orang beragama Katolik atau Kristen Protestan, dan lain sebagainya. Pembahasan mengenai kelas sosial ini pertama-tama mesti kita pisahkan dari kategori golongan sosial. Apabila kelas sosial berkaitan dengan ekonomi dan politik orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu, golongan sosial lebih bersifat pengelompokan orang-orang berdasarkan identitas atau kelompok tertentu.
Mulyanto (2011) menjelaskan bahwa menurut Marx, kelas merupakan pengelompokan sosial yang terbentuk dari hubungan produksi utama dalam masyarakat. Selain itu Marx dan Engels, khususnya dalam Manifesto, lebih menekankan definisi kelas kepada kepemilikan sarana-sarana produksi dan nilai lebih serta pada keikutsertaan dalam pergulatan politik, bukan dari sumber penghasilan. Meski dalam Manifesto disebutkan hanya dua kelas yang berseteru, namun sesungguhnya masih terdapat kelas-kelas lain yang hadir dalam masyarakat kapitalisme. Kelas-kelas tersebut merupakan borjuis kecil dan petani. Kelas-kelas ini sudah hadir bahkan sebelum fajar kapitalisme menyinari bumi. Namun hari ini keduanya memiliki cerita baru yang sungguh berbeda.
Kedua kelas yang berada di tengah-tengah ini harus memilih takdirnya menjadi bagian dari barisan proletar atau bisa naik kelas menjadi borjuis sepenuhnya dengan susah payah (Mulyanto 2011: 108). Karena produk-produk yang dihasilkan oleh borjuis kecil tentunya sulit bersaing mengikuti dinamika persaingan antar borjuis, mau tak mau dan suka tak suka mereka akan tersedot ke dalam salah satu borjuis besar dan menjadi tenaga kerjanya. Jika mampu bertahan pun pasti tetap akan terseok-seok menjadi kaki tangan industri yang keuntungannya diserap oleh para borjuis.
Terdapat pula kelas lainnya yang cukup sulit dikategorikan, namun keberadaannya cukup penting dalam masyarakat hari ini yaitu kaum terpelajar dan ‘produsen’ jasa seperti dokter, guru, dosen, politikus partai, konsultan, akuntan, sastrawan, perancang bangunan, atau seniman. Golongan ini di satu sisi dapat dikategorikan sebagai borjuis, namun di sisi lain juga proletariat. Menjadi proletariat hanya ketika mereka menjadi pekerja yang menjual tenaga kerjanya untuk kepentingan kelas kapitalis. Namun berbeda dengan proletar pada umumnya, kelas ini cenderung pada kepentingan kelas borjuis dan menjadikan gaya hidup borjuis sebagai orientasi gaya hidup mereka.
Anggota kelas ini, sebagian besar, bersama-sama dengan borjuis kecil dan petani pemilik lahan bisa saja aktif dalam setiap revolusi politik yang hanya mengganti satu golongan borjuis dengan golongan borjuis lainnya, tapi akan menjadi reaksioner dalam revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi secara mendasar karena kepentingan mereka terkait langsung maupun tidak dengan kepentingan borjuis (Mulyanto 2011: 109). Contohnya beberapa kali dalam sejarah ketika kelas ini memimpin perubahan namun sesuai dengan kepentingan kelasnya. Seperti pada Revolusi Perancis 1789 hingga penggulingan Presiden Soeharto 1998. Perubahan yang pertama menumbangkan tatanan feodalisme, sedangkan yang kedua hanya mengganti gerigi-gerigi roda pemerintahan saja. Meski demikian, dewasa ini kelas tersebut pun termasuk dalam kelas proletar, mengingat mereka hidup dengan menjual kemampuannya dan diupah oleh kelas kapitalis. Mengingat lembaga-lembaga di mana mereka menjual tenaga kerjanya kini sudah menjadi industri produksi tenaga-tenaga kerja yang mengabdi pada akumulasi kapital.
Selain borjuis kecil dan petani, juga masih ada kelas yang tak kalah berpengaruhnya dalam sejarah. Kelas tersebut yaitu lumpenproletar. Lumpenproletar sering dikaitkan dengan cakupan seperti gembel, preman, penjahat, pengangguran miskin hingga pekerja serabutan yang jarang bekerja. Kelas ini muncul karena konsekuensi dari akumulasi dan ekspansi kapital, sehingga terdapat orang-orang yang terdepak dari relasi-relasi produksi. Menurut Marx, lumpenproletar ini bersifat reaksioner dalam arti ketika dibeli oleh borjuis, maka kepentingannya akan sejalan dengan borjuis dalam revolusi-revolusi politik (Mulyanto 2011: 110).
Melalui lumpenproletar inilah konflik-konflik horizontal yang berbau golongan atau SARA mampu dilanggengkan. Kita dapat menyaksikannya pada Tragedi 65, yang mana pihak militer memanfaatkan preman dan ormas-ormas tertentu untuk “menyikat” para anggota dan simpatisan PKI di Indonesia. Persoalan lumpenproletar ini sangat menarik untuk dibahas. Namun mungkin kita akan membahas perihal lumpenproletar ini lebih lanjut di kesempatan lainnya. Kita akan berfokus kepada apa yang disebut dengan borjuis kecil.
Borjuis Kecil
Pada pembahasan sebelumnya mengenai kelas menengah, saya belum melihat adanya pembicaraan mengenai borjuis kecil. Menurut hemat saya, perihal borjuis kecil ini nampaknya tak dapat kita kesampingkan begitu saja. Mengingat borjuis kecil ini eksis dan juga memainkan peranan penting dalam perubahan-perubahan sosial. Borjuis kecil biasanya merupakan pegadang kecil, kaki lima, rumah makan, warung, para entrepreneur hingga pedagang di online shop. Mereka dikategorikan sebagai borjuis kecil karena cenderung mengelola sendiri usahanya dengan modal yang tidak besar. Sebelum membahas lebih lanjut perihal borjuis kecil ini, baiknya kita memahami definisinya terlebih dahulu.
Dalam artikelnya tentang Petite Bourgeoisie in Late Capitalism, F. Bechofer dan B. Elliot (1985) menjelaskan bahwa borjuis kecil merupakan pria dan wanita yang menggunakan kapitalnya sendiri untuk mengambil alih atau mendirikan perusahaan, yang menginvestasikan kerjanya sendiri, memperlengkapinya dengan tenaga dari keluarga atau kerabat lainnya. Mereka menambahkan juga bahwa borjuis kecil ini juga terkadang memperkerjakan beberapa pekerja upahan yang bukan merupakan kerabat, hal ini pulalah yang menjelaskan adanya ekstraksi nilai-lebih di dalam perekonomian borjuis kecil (Bechofer Elliot 1985: 188).
Beberapa hal yang rasanya perlu dicatat. Maka yang membedakan borjuis kecil atau kapitalis kecil ini dengan kapitalis pada umumnya yaitu bahwa modal usaha dan pengerahan tenaga kerja yang kecil. Bahkan sang pemilik sendiri menjalankan usaha dengan dibantu oleh kerabat-kerabatnya. Selain modal dan untung rugi ditanggung sendiri, barang-barang yang diproduksi serta dijual olehnya tidak selalu sama.
Apabila kita sekilas mengingat kembali Das Kapital, kita pun pasti ingat dengan rumus umum kapital (M-C1-C2-M+) yang dijalankan para kapitalis. Bila diterjemahkan sederhana menjadi: uang dibelikan barang mentah dan diubah menjadi barang jadi lalu dijual kembali, yang mana di antara C1 dan C2 terdapat sarana produksi (means of production) dan tenaga kerja (labor power). Dari rumus tersebut muncullah yang dinamakan penghisapan nilai-lebih. Namun hal tersebut akan dijelaskan pada tulisan lainnya. Berbeda dengan borjuis kecil ini, terkadang rumus yang berlaku bagi mereka hanya rumus pertukaran biasa seperti (M-C-M+) yaitu uang yang dibelikan barang dan barang tersebut dijual kembali dengan sedikit keuntungan.
Meski begitu reproduksi borjuis kecil ini terus berlangsung dan bertahan di dalam masyarakat hari ini. Mengapa? Karena borjuis kecil ini memanfaatkan pekerja yang terkadang tidak tergolong pekerja upahan, seperti anggota keluarganya atau relasi-relasi kekerabatan yang mendukung usahanya. Sehingga ia tak kalah saing dengan usaha-usaha besar yang kenyataannya lebih sering menghadapi persaingan dan kebangkrutan.
Dalam tulisannya, Bechofer dan Elliott juga menambahkan bahwa borjuis kecil ini memiliki arti atau makna tertentu secara ekonomi (Bechofer & Elliot 1985: 197-201). Suatu makna yang mana selama ini sering dikesampingkan bila membicarakan perihal ekonomi. Pertama, menurutnya borjuis kecil melalui usaha kecil-kecilannya merupakan sumber peluang lapangan kerja bagi para pekerja baru yang akan masuk ke perusahaan yang lebih besar. Misalnya, tenaga kerja baru seperti remaja atau mereka yang baru saja menyelesaikan sekolah cenderung masuk ke dalam usaha-usaha kecil seperti bekerja di bengkel-bengkel, rumah makan atau lahan pertanian milik seorang borjuis kecil.
Kedua, usaha kecil ini merupakan peluang terciptanya jenis pekerjaan baru untuk membuka usaha. Misalnya, beberapa dari kita mungkin sering memiliki pekerjaan tambahan seperti memiliki online shop atau beberapa anak muda kreatif dewasa ini yang membuka usaha butik atau distro hingga tempat makan di food truck. Lalu yang ketiga ialah potensi inovatif yang ditawarkan para borjuis ini melalui usaha kecil-kecilannya. Hal ini terlihat dari beragamnya usaha-usaha yang dijalankan, seperti menjual pakaian atau kerajinan melalui online shop, membuka rumah makan ala food truck hingga mengembangkan aplikasi transportasi online dan lain sebagainya. Melalui cara mengikuti irama sistem ekonomi kapitalisme ini pulalah mereka mampu mereproduksi kelasnya dan bertahan.
Lalu yang menjadi pertanyaannya, apakah borjuis kecil ini dapat dipadankan dengan kelas kapitalis pada umumnya? Jawabannya ialah ya dan sekaligus tidak. Mengapa? Kelas borjuis kecil ini merupakan kelas yang berbeda dari kelas kapitalis, namun bukan berarti ia tidak dapat menjadi kapitalis. Di satu sisi, apabila beruntung borjuis kecil ini mampu naik kelas menjadi kelas kapitalis. Dengan terus mengembangkan usahanya, para borjuis kecil ini pada akhirnya pun dapat membeli alat-alat produksi dan tenaga kerja. Sehingga dapat mengikuti irama alam kapitalisme ini dan bersaing dengan kelas-kelas kapitalis lainnya. Namun di sisi lain, bila kurang mujur, ia pun tentu akan masuk ke dalam barisan kelas proletariat.
Hidup dari menjual tenaga kerja dan mendapatkan upah. Mengingat kedua kelas tersebut, kapitalis dan proletariat, sama-sama mengandaikan satu dengan yang lain. Walau demikian, apabila harus dihadapkan kepada pilihan kelas kapitalis atau kelas proletar, para borjuis kecil ini kemungkinan besar cenderung memilih jalan para kapitalis. Selain untuk mempertahankan diri, cara berpikir kelas ini pun cenderung terkondisikan cara berpikir masyarakat kapitalisme yang mana untuk melanjutkan hidup sendiri haruslah berusaha bertahan sendiri. Menjadi sukses seperti para kapitalis merupakan suatu iman dan pengharapan dari para borjuis kecil ini. Oleh karena itu, borjuis kecil ini dalam suatu waktu tertentu dapat merupakan kekuatan kontra-revolusioner.
Soal Kelas Menengah
Selain membicarakan soal kelas borjuis kecil, dalam kesempatan ini penulis akan memberikan tanggapannya mengenai kesimpulan dari tulisan Kresna Herka Sasongko sebelumnya. Bahwa entitas kelas menengah secara realitas tidak pernah ada dan kelas menengah hadir karena murni konstruksi politik dari kapitalis. Dapat dikatakan bahwa penulis setuju dengan penjelasan tersebut. Namun hanya ingin melengkapi sedikit tanggapannya. Pertanyaan pertama, jika kita sudah melihat pemaparan sebelumnya, apakah benar bahwa kelas menengah secara realitas tidak ada? Kedua, apa benar kehadiran kelas menengah murni konstruksi politik dari kapitalis? Mari kita bicarakan lebih lanjut.
Menjawab pertanyaan pertama. Jawabannya ya, secara realitas ada. Mengingat entitas tidak pernah melekat pada hal ihwal, maka seraca relatif kelas menengah ini hadir karena adanya relasi-relasi tertentu dengan sistem kapitalisme yang ada. Seperti contohnya pembagian kerja yang semakin spesifik dan pangkat-pangkat pekerjaan di kantor yang mana hadir hanya dalam konteks masyarakat kapitalisme hari ini. Selain itu mengingat pula bahwa realitas itu berstruktur, keberadaan kelas menengah tersebut secara empiris benar adanya. Hal ini dibuktikan dari dari adanya kesadaran kolektif mengenai posisi mereka sendiri dan aktivitas politiknya yang berbeda dengan kelas borjuis kapitalis dan kelas proletariat pada umumnya
Sedikit tambahan, kelas menengah ini tak dapat disamakan dengan kapitalis dan proletar karena kelas menengah ini cenderung apolitis. Kemungkinan besar posisi politisnya hadir hanya ketika terdapat hal-hal yang menghalangi langkahnya atau yang berhubungan dengan negara. Inilah kesadaran individualis yang diciptakan oleh sistem kapitalis, yang gaungnya menjadi iman para kelas menengah dan bahkan juga ilmuwan-ilmuwan borjuis.
Selain itu, penting kiranya, menurut saya, untuk tidak menyatukan kategori kelas menengah ini ke dalam kelas borjuis atau proletar saja, karena secara kenyataan bahwa kelas menengah ini ada dan keberadaannya terus direproduksi. Sebab jika kita menyamakan akan berdampak pada ranah praktis. Misalnya menyadarkan mereka mengenai perihal kecacatan kapitalisme dengan cara yang tepat untuk kelasnyalah semestinya kita juga harus bergerak, bukan menyingkirkan kelas menengah dan memasukannya ke dalam kelas-kelas lain yang ada pada Manifesto. Menyamakan cara mengajak kelas menengah Jalan Sudirman yang nongkrong Starbucks untuk membaca tulisan saya dengan pengorganisiran kawan-kawan serikat di buruh untuk merayakan May Day adalah sebuah “ke-gagal paham-an”, meminjam istilah kata Ahmad Dhani. Kita harus mencari cara dan bahasa yang paling tepat agar mampu dipahami oleh kelas menengah agar juga ikut menyadari bahwa ada yang janggal dengan masyarakat kita hari ini. Serta pada akhirnya ikut berjuang dalam perjuangan kelas yang nyata.
Penutup
Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa sama halnya dengan kelas menengah, borjuis kecil pun tidak dapat disamakan dengan kategori-kategori lain di masyarakat kapitalisme. Lalu apakah kelas menengah juga bisa termasuk ke dalam borjuis kecil? Menurut hemat saya bisa saja terjadi suatu interseksi atau persilangan antar kategori-kategori ini. Beberapa orang bisa saja masuk ke dalam satu atau dua kelas sekaligus. Misalnya seorang pekerja honorer bisa sekaligus sebagai pemilik akun online shop instagram atau bahkan juga sebagai pengajar paruh waktu. Hal itu merupakan kenyataan dalam masyarakat kita hari ini. Inilah tantangan kita, yaitu untuk mempelajari lebih lanjut perihal kategori kelas-kelas lain selain kapitalis dan proletar secara realistis. Melalui diskusi, kajian dan penelitian tentu kita akan lebih mampu memetakan perihal kelas-kelas lainnya ini.
Karena kelas menengah serta borjuis kecil ini kenyataannya hadir di sekitar kita, lalu bagaimanakah selanjutnya, apakah kelas-kelas ini akan bersedia menyatukan barisan, ataukah mereka akan tetap mempertahankan tatanan ini? Jawabannya bergantung pada kita sebagai bagian dari gerakan kiri, yang tidak hanya berteori melainkan juga berpraktik. Oleh karena itu pengorganisasian sangat penting. Namun pengorganisasian seperti apa? Ibaratkan Anda atau gerakan kiri ini sebagai dokter dan kelas-kelas sosial yang beragam tersebut sebagai pasien. Ketika para pasien berobat lalu menceritakan apa yang dirasakannya dan mengaku masuk angin, apa yang akan Anda perbuat? Tentu Anda tak langsung memberikannya obat masuk angin, teh manis anget wedang jahe atau kerokan.
Namun memeriksa dengan seksama terlebih dahulu, mencatat gejala-gejalanya lalu baru mendiagnosis. Apakah gejala tersebut merupakan indikasi flu, demam berdarah atau tifus, atau malah hanya kelelahan. Begitu juga dengan gerakan kiri, sudah saatnya kita mengetahui cara yang tertentu untuk gejala yang tertentu pula.
Sama seperti harimau, memang betul bagi kita yang awam harimau itu sama dan tidak ada bedanya. Namun nyatanya, harimau ini memiliki berbagai macam subspesies dan masing-masing memiliki sifat serta cirinya sendiri yang tentu tak dapat disamakan begitu saja. Tentu, Harimau Sumatera berbeda dengan Harimau Siberia.***
Kepustakaan:
Bechofer, F., and B. Elliott. “The Petite Bourgeoisie in Late Capitalism.” Annual Reviews Sociology, 1985: 181-207.
Hussein, Muhammad Zaki. “Sosialisme Ilmiah.” In Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels, dalam Mulyanto, Dede (editor), 109-127. Serpong: Marjin Kiri, 2015.
Marx, Karl, and Friedrich Engels. The Communist Manifesto. London: Pluto Press, 2008.
Mulyanto, Dede. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus, 2011.
0 comments:
Post a Comment