SEBAGIAN dari Anda yang sering membaca buku dan juranal ilmiah tentang Ekonomi politik barangkali kerap menemukan istilah pekerja, kapitalis, laba, eksploitasi, nilai-lebih, akumulasi, fetisisme, kapital, alienasi dan lain-lainnya. Tapi apakah Anda betul-betul memahami makna dari istilah tersebut? Membaca beragam istilah tersebut, jujur saja saya pribadi terkadang mesti mencarinya di Google atau bahkan membuka buku lainnya untuk memahami maknanya.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa istilah semacam itu agak sulit dipahami secara langsung, apalagi untuk mereka yang jarang membaca tulisan-tulisan bertema teori atau kajian spesifik tertentu. Mengapa demikian? Sebab, kata-kata itu mewakili suatu kenyataan yang dirangkum ke dalam satu atau dua kalimat tertentu agar lebih mudah dipahami oleh orang lain – dalam arti lain kata-kata itu merupakan perwujudan dari sebuah konsep. Inilah yang sering ditemukan ketika kita membaca karya tulis atau artikel ilmiah, entah itu ilmu alam ataupun ilmu sosial. Dalam ilmu alam contohnya, kata evaporasi dan kondensasi memiliki arti yang berbeda. Jika evaporasi merupakan proses penguapan yang mana molekul dengan bentuk cair menjadi bentuk gas, maka kondensasi adalah proses yang sebaliknya.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan pembacaan kita soal Marxisme?
Marxisme sendiri merupakan suatu penamaan atas suatu cara metode analisis sosial ekonomi-politik yang mengedepankan cara berpikir materialis dan dialektis terhadap perkembangan sejarah dan pemahaman relasi sosial serta transformasi bentuk masyarakat manusia. Marxisme berangkat dari rangkuman pemikiran serta metode berpikir Karl Marx dan Frederick Engels yang pada masanya gundah gulana menghadapi benturan gelombang pertama transisi bentuk masyarakat dari feodalisme ke kapitalisme di abad ke-19. Pemikiran keduanya dituangkan ke dalam banyak tulisan, mulai dari Theses On Feuerbach, The German Ideology, Communist Manifesto, Anti-Duhring, hingga Socialism: Utopian and Scientific, yang mana teori-teori serta cara berpikirnya menjadi landasan dari metode analisis ilmu sosial. Dari banyaknya tulisan kritik mereka terhadap bentuk mekanisme masyarakat kapitalisme, tidak ada yang lebih tajam dan sekomprehensif pemikiran mereka di dalam Capital: A Critique of Political Economy atau yang sering disebut dengan Das Kapital.
Ditulis oleh Marx dan diterbitkan pada tahun 1867, Das Kapital menjadi bukti greget-nya cara berpikir materialisme dialektis dan historis dalam membedah mekanisme di balik berjalannya kehidupan kita sehari-hari. Lewat karya ini juga, metode Marxisme mampu disematkan kategorinya sebagai suatu ilmu pengetahuan atau sains khusus di bidang ilmu sosial. Sepanjang sejarah semenjak diterbitkannya, sudah beragam tokoh dari segala bangsa membacanya kembali dan mencoba mengimplementasikannya. Hasilnya seperti yang telah kita lihat di sepanjang abad ke-20, pasang surut timbul tenggelam. Dari semua yang telah berlalu, Anda masih bisa berkenalan dengan karya-karya dari tokoh-tokoh terbaik seperti Louis Althusser, David Harvey, Paul Sweezy hingga Dicky Ermandara yang mana rajin mengisi tulisan di kolom Logika sebelum ini.
Seperti apa kiranya isi buku itu? Satu yang pasti yaitu semua istilah sulit atau konsep rumit yang saya bahas di awal tulisan bisa ditemukan di dalamnya. Meski demikian, setidaknya kata-kata sulit itu dapat ditemukan dasar pemahamannya di dalam Das Kapital. Istilah-istilah tersebut memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa dipahami. Sehingga, mau tidak mau kita akan berjumpa dengan berbagai istilah atau kata-kata yang penuh makna tersebut.
Hal itu kemungkinan besar dikarenakan Das Kapital sendiri ditulis oleh Marx dua abad yang lalu dan juga luasnya cara berpikir holistik Marx yang belum tentu dapat disamakan dengan cara kita. Maka tidaklah mudah membaca buku ini dan memahaminya. Saya yang pernah membaca sedikit bisa menyarankan Anda untuk menyiapkan kesabaran tersendiri dalam mempelajari tulisan Marx yang satu ini. Perihal bagaimana lebih detailnya serba serbi Das Kapital, saya menyarankan Anda membaca kembali tulisan Kawan Dicky Ermandara dalam Logika edisi sebelumnya. Khususnya yang berjudul “Kebaruan Kapital” dan “Pernah Membaca Marx?”
Dalam kesempatan kali ini saya akan langsung mengajak Anda kembali membuka buku yang tebalnya hampir menyaingi novel A Song of Ice and Fire-nya George RR Martin. Namun sebelum memasuki bab dan bagian-bagiannya, saya akan mencoba menemani Anda untuk mempersiapkan diri dengan membaca pengantar untuk edisi pertamanya. Tentu saja saya tidak akan menulis panjang lebar pengantar yang ditulis Marx, karena alangkah lebih bermanfaat kalau Anda membacanya sendiri. Tapi saya akan membantu Anda mengambil inti-intinya dengan mengutip beberapa kalimat sebagai permulaan pola pikir dalam memahami Das Kapital dan Marxisme itu sendiri. Saya akan membagikan pengalaman saya yang masih pemula ini kepada Anda, kurang lebihnya mohon dimaklumi dan kalau bisa dikoreksi. Kira-kira sebagai berikut yang telah selama ini saya pahami.
“Permulaan selalu sulit di dalam semua ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang bab pertama, khususnya bagian yang berisi soal analisis tentang komoditas, akan muncul sebagai yang paling sulit.” (Marx 1990: 89)
Sekilas, kalimat ini terasa sama sekali tak heroik dan sungguh tidak menyemangati kita para pembaca yang baru saja hendak memulai halaman pertama. Meski jujur, tapi cukup membuat siapapun yang membaca akan berpikir dua kali untuk melanjutkan pembacaannya. Namun inilah cara Marx menyampaikan pikirannya, jujur dan apa adanya sesuai dengan kenyataan. Lagipula buat apa heroik kalau tidak saintifik? Militansi dalam laku dan perjuangan haruslah didasarkan kepada pemahaman yang utuh dan bertanggung jawab mengenai dunia yang mau kita ubah. Dari kalimat Marx yang ini saja kita mampu memahami bahwa cara pikirnya berangkat dari realita dan memang pada kenyataannya membedah masyarakat hari ini tidak semudah kelihatannya. Sebab realita di balik yang terlihat selalu diselimuti kabut-kabut kebudayaan dan kehidupan sehari-hari yang praktis.
Contohnya ketika Anda lapar dan membelanjakan Rp12.000 rupiah untuk nasi, tempe orek, oseng kikil dan tumis pare di warteg persimpangan jalan. Saat piring sudah di tangan, Anda pasti langsung melahapnya di meja makan yang menghadap ke etalase kaca tanpa memikirkan suatu mekanisme yang ada di balik keadaan Anda makan di warteg. Padahal banyak mekanisme kenyataan yang memungkinkan tersedianya sepiring menu andalan Anda. Misalnya dari mana datangnya bahan makanan itu, bagaimana pemilik warteg mempertahankan keberadaan wartegnya hingga bagaimana satu lembar Rp10.000 dan selembar Rp2.000 dapat ditukarkan dengan sepiring nasi dan tiga lauk nikmat tersebut. Inilah yang coba dijabarkan oleh Karl Marx, sesuatu yang mendasari penampakan fisik.
Dengan demikian, untuk menjelaskan yang tidak menampak di mata kita, Marx memulai pembahasannya lewat sesuatu yang dapat dilihat dan dapat disentuh, tentu saja lewat komoditas. Karena komoditas merupakan salah satu produk dari cara manusia melangsungkan hidupnya yang dominan dua abad terakhir ini, yaitu kapitalisme. Di dalam komoditas terkandung sebuah nilai yang terbentuk akibat relasi antar manusia dalam suatu masyarakat manusia yang spesifik dan terorganisir pembagian kerjanya. Sehingga Marx tak melebih-lebihkan ketika dia mengatakan bahwa pembahasan tentang komoditas merupakan bagian yang paling sulit. Namun hanya melalui komoditaslah pintu masuk pembedahan masyarakat kapitalisme dimungkinkan. Mengapa demikian? Marx menjelaskannya dalam kalimat berikut.
“Fisikawan meneliti proses fisik alam yang mana muncul pada bentuk paling pentingnya dan paling sedikit terkena efek oleh pengaruh yang menganggu, atau di manapun memungkinkan ia akan membuat eksperimen dalam kondisi yang memastikan bahwa prosesnya akan muncul dalam wujud yang alami. Hal yang harus saya selidiki dalam pekerjaan ini adalah mode produksi kapitalisme dan relasi produksi serta bentuk hubungan yang sesuai dengannya.” (Marx 1990: 90)
Ia membandingkan pekerjaannya dengan apa yang dikerjakan oleh seorang fisikawan, bahwa yang ia berusaha selidiki tidak akan semudah para fisikawan menangkap realita alami atau membuat eksperimen sehingga mampu menangkap mekanisme alam. Kenyataan yang berusaha ditangkap oleh Marx merupakan cara kerja suatu masyarakat yang sulit dikalkulasikan secara pasti karena bergantung pada relasi yang diperankan oleh kumpulan manusia, yang mana tak hanya hidup sebagai hewan biologis tapi juga hewan sosial. Alhasil, penangkapan akan realitas terkadang terlihat jelas dan terkadang samar apabila kita berangkat hanya dari yang menampak, Marx berusaha menangkapnya lewat mekanisme yang berjalan di balik keadaan yang terlihat. Karena mekanisme itu bergerak dan tersembunyi di balik suatu masyarakat tertentu, Marx mesti mencari populasi dan sampel yang tepat untuk melancarkan pembedahannya menemukan mekanisme berjalannya masyarakat kapitalisme.
Dari populasi manakah kiranya Marx mengambil sampel? Tak tanggung-tanngung, dia langsung mengambilnya dari masyarakat Inggris di abad ke-19, pulau yang menjadi tanah kelahiran kapitalisme. Hal ini ia jelaskan di dalam pengantarnya, berikut beberapa potong dari kutipannya dalam pengantar.
“Untuk alasan ini, di antaranya, saya mempersembahkan banyak sekali ruang dalam volume ini kepada sejarah, perincian, dan hasil dari undang-undang pabrik Inggris. Suatu bangsa dapat dan harus belajar dari bangsa yang lainnya. Bahkan ketika suatu masyarakat telah mulai melacak hukum dasar dari gerakannya dan – tujuan utama dari pekerjaan ini adalah untuk mengungkapkan gerakan hukum ekonomi dari masyarakat modern – ia tidak dapat melampaui fase alami dari perkembangan atau melepaskan dengan dekrit. Namun itu dapat memperpendek dan mengungari rasa sakit saat melahirkan.” (Marx 1990: 92)
Dari tulisannya, Marx mengatakan bahwa ia mempelajari masyarakat kapitalisme di Inggris lengkap dengan berbagai gejolaknya untuk mendapatkan hukum utama yang menjadi prasyarat berjalannya masyarakat di sana kala itu, dan tentu saja ia menemukannya. Lalu apakah hukum itu hanya berlaku di Inggris dan di abad ke-19 saja? Dia menjawabnya dengan menegaskan, hanya karena dia meneliti dan menemukan hukum tersebut di Inggris bukan berarti di negara berbeda akan berlaku hukum yang juga berbeda. Keadaan sosial dan kebudayaan mungkin saja beragam, namun hukum berjalannya masyarakat tetaplah serupa. Sehingga Marx mengajak segala bangsa untuk belajar dari studi kasus yang ia temukan di Inggris. Apa yang terjadi di Inggris dapat menjadi contoh pada bangsa lainnya kala itu, jika tidak bisa membendungnya minimal meminimalisir dampak merugikan kapitalisme.
Meski untuk hari ini himbauan Marx sudah sangat terlambat, tapi akan selalu ada peluang untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apabila kita mengerti mekanisme yang mengatur suatu permainannya, alih-alih terjebak di dalam permainan itu dan terus berputar mengikutinya, mengapa tidak ubah permainan itu menjadi seperti yang kita inginkan? Asalkan kita mengerti hukum yang mendasari bergeraknya masyarakat kapitalisme, kita akan mampu melampaui dan menggantinya dengan yang lebih menguntungkan segenap manusia dan juga planet bumi yang cuma satu-satunya ini.
Lantas seperti apa hukum yang berjalan di balik masyarakat kapitalisme itu? Bagaimana dengan hukum itu di abad ke-21 ini? Apakah hukum yang ditemukan Marx lewat Das Kapital masih sama berjalan seperti di abad ke-19? Jawabannya tidak berada di ujung langit, namun ada di antara kata-kata dan istilah-istilah sulit di dalam tulisan yang tertulis di dalam buku tebal yang untuk membawanya saja butuh usaha, atau ada di dalam e-book yang beratnya bahkan tak seberapa dibanding folder video drama Korea atau folder foto-foto keren travelling Anda. Itulah tantangan kita. Dalam pengantar edisi berbahasa Prancis, Marx menulis kalimat berikut:
“Tidak ada jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang meraih indahnya puncak yang terang nan bercahaya.”***
0 comments:
Post a Comment