Wednesday, September 9, 2020

Black Panther Sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Rasisme

               SLOGAN “Wakanda forever!” mungkin tak asing lagi buat kita yang pernah menonton Black Panther atau Avengers: Infinity War, film superhero adaptasi komik Marvel garapan almarhum Stan Lee. Kalimat itu merupakan semboyan para pejuang Kerajaan Wakanda yang biasanya dipekikkan sebelum pertarungan. Salah satunya oleh Raja T’challa yang juga dikenal sebagai sang Black Panther, jagoan berkulit hitam yang memiliki kekuatan super kombinasi unsur mistis dan kemajuan teknologi. Ditulis pada 1966, Stan Lee dan Jack Kirby terpengaruh oleh nuansa gerakan persamaan hak-hak sipil (civil rights) di Amerika Serikat saat itu. Dekade itu diramaikan antara lain oleh gerakan perjuangan hak sipil seperti yang diinisiasi Martin Luther King Jr., Malcolm X, hingga Black Panther Party.

Namun apa betul dua komikus itu menceritakan salah satu organisasi politik revolusioner kulit hitam di Oakland tersebut? Tentu saja tidak. Meski memiliki kesamaan nama dan saling berkelindan, Black Panther-nya Stan Lee dan Jack Kirby berbeda dengan Black Panther yang diinisiasi oleh Bobby Seale dan Huey Newton. Black Panther Party for Self-Defense atau Black Panther Party (BPP) dibentuk oleh dua orang mahasiswa kritis Bobby Seale dan Huey Newton pada Oktober 1966 di Oakland, California. Organisasi ini awalnya merupakan sebuah perkumpulan yang didirikan untuk mengkoordinir patroli bersenjata para warga setempat untuk memantau perilaku petugas kepolisian Oakland yang pada masa itu terkenal sewenang-wenang.

Gerakan ini menantang kebrutalan sikap para polisi, khususnya kepada warga kulit hitam. Dengan berseragam serba hitam lengkap dengan baret dan senapannya, mereka siap memergoki tindakan tak manusiawi para aparat yang sewenang-wenang. Dengan cepat, BPP menjamur hampir di setiap negara bagian Amerika Serikat, karena sebagian besar pemuda keturunan Afrika-Amerika mengalami hal yang sama saat berurusan dengan polisi. Selain mengorganisir gerakan, mereka juga menerbitkan surat kabarnya sendiri yang berisi artikel, berita terbaru, dan arahan pengorganisiran. Walhasil, pada 1970 saja, mereka sudah memiliki kantor di 68 kota dengan ribuan anggota.

Nama BPP mulai menjadi perhatian publik ketika mereka—sambil menenteng bedil—menerobos ke dalam ruangan California State Assembly di Sacramento untuk menolak pembahasan Mulford Act, suatu perda lokal di negara bagian California yang membatasi pengguna senjata api untuk membawa senjatanya secara terbuka di ruang publik. Di tahun berikutnya, Huey Newton ditangkap karena menembak salah satu anggota polisi. Lalu pada April 1968 ketika Martin Luther King Jr. terbunuh dan protes besar-besaran merebak, BPP dikomandoi oleh Eldridge Cleaver menyerang beberapa petugas polisi. Selain itu, BPP sering terlibat baku tembak dengan polisi setempat akibat perselisihan di berbagai negara bagian.

Sejak saat itu, kepala Federal Bureau Investigation (FBI) Edgar Hoover mulai menaruh perhatian kepada BPP dan mencapnya sebagai ancaman terhadap keamanan internal negara. Hoover pun mengorganisir proyek konter-intelijen COINTELPRO (Counter Intelligence Program) untuk mengawasi, menginfiltrasi hingga mengacaukan gerak BPP. Hasilnya diperparah dengan terbunuhnya beberapa anggota BIP seperti Bobby Hutton, Bunchy Carter, John Huggins, Fred Hampton, dan Mark Clark. Lalu beberapa anggota seperti Mumia Abu-Jamal, Jamil Al-Amin, Assata Shakur dan yang lainnya yang sampai hari ini masih berada di balik jeruji besi. Hari demi hari, tahun demi tahun, nama harumnya memudar.

Tapi, selain karena pemberitaan media dan operasi kontra-intelijen FBI, BPP juga memiliki banyak kekurangan yang menurunkan pamornya. Salah satunya akibat para pemimpin yang dipenjara dan munculnya perseteruan di dalam tubuh organisasi. Masalah lainnya terbilang klasik: sejumlah anggota BPP terlibat narkoba dan pemerasan. BPP masih bertahan sepanjang dekade 1970-an, meski pada 1980 mereka hanya memiliki 27 anggota resmi.

BPP memang sering dicitrakan sebagai kelompok ekstremis yang tak segan melakukan tindak kekerasan. Tapi, kenyataan berkata lain: BPP adalah suatu organisasi yang peduli terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Mereka menjalankan berbagai program yang berorientasi komunitas, misalnya program sarapan gratis untuk anak-anak yang telah membantu kurang lebih 20 ribu anak antara 1968-1969. Tak hanya itu, mereka juga menginisiasi program distribusi pakaian, kelas bela diri dan pertolongan pertama kesehatan, kelas ekonomi-politik dan pelayanan kesehatan gratis lengkap dengan ambulans, serta pelayanan rehabilitasi ketergantungan narkoba. Program tersebut dijalankan untuk menyaingi pemerintah, bahwa rakyat bisa membantu sesama rakyat lebih baik daripada pemerintah sendiri. Hal ini sejalan dengan program politik mereka, Ten-point Program, yang bertujuan untuk memperjuangkan kebutuhan dasar dan mendorong terbentuknya artikulasi politik populer bagi orang-orang keturunan Afrika-Amerika.

Lalu pelajaran apa yang kiranya dapat kita petik dari BPP?

Pertama, lewat BPP kita sekali lagi disadarkan bahwa persamaan nasib bisa diolah menjadi pendorong lahirnya gerakan massa rakyat pekerja. Kedua, identitas sosial adalah pintu gerbang untuk menyadarkan individu supaya bergabung ke dalam barisan massa tersebut. Akibat sering diperlakukan tidak adil oleh yang katanya penegak hukum, para pemuda keturunan Afrika-Amerika bersatu. Ini pernah dialami para bumiputera ketika diperlakukan semena-mena oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda serta Jepang pada paruh awal hingga pertengahan abad ke-20. Lewat pengorganisiran gerakan seperti pemogokan buruh, sekolah-sekolah liar, pendirian partai politik, hingga perjuangan bersenjata mereka memajukan perjuangan rakyat di Nusantara sebagai rakyat yang terjajah, yang kelak menjadi Indonesia.

Pengalaman ini beresonansi dengan rentetan kekerasan polisi terhadap warga Afrika-Amerika bertahun-tahun setelah kampanye hak-hak sipil selesai. Sejak Rodney King yang dipukuli beberapa polisi pada 1992 dan memicu kerusuhan di Los Angeles, misalnya, hingga Eric Garner yang dicekik polisi New York pada 2014, dan George Floyd yang bernasib sama di tangan polisi Minneapolis akhir Mei lalu. Dengan memakai strategi politik identitas, yang menekankan ketertindasan partikular dari warga Afrika-Amerika melalui slogan “I can’t breathe” dan tagar #BlackLivesMatter, protes pun merebak di Amerika Serikat dan hampir di seluruh dunia. Semangat solidaritas melawan musuh bersama yaitu rasisme terbukti menjadi pemersatu yang kuat untuk melahirkan suatu gerakan besar.

Namun, protes berskala besar saja tidak akan cukup. Lagi-lagi, kita butuh kerangka analitis dan program politik yang lebih materialis. Ini membawa kita kepada pelajaran kedua yang kita dapatkan dari pengalaman BPP: untuk memperjuangkan keadilan melawan musuh bersama, pengorganisiran yang disiplin dan demokratik atas dan oleh kelompok-kelompok yang melawan ketertindasan kelas mutlak diperlukan.

Selain itu, sebuah gerakan juga mesti mampu memenangkan hati orang banyak. Gerilya Fidel Castro bersama para pejuang Movimiento 26 de Julio meraih revolusi pada 1 Januari 1959 tak mungkin berhasil tanpa dukungan para petani di perdesaan Kuba. Kita pun bisa menengok kembali keberhasilan perjuangan Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN) atau Zapatista yang bersama petani dan penduduk asli Chiapas dapat meraih kembali hak mereka atas kehidupan di tanah sendiri. Dengan demikian, barisan massa yang besar itu harus diarahkan dan juga memiliki kesamaan tujuan. Terbukti dengan organisasi yang terstruktur serta agenda-agenda yang mendukung komunitas-komunitas lokal di mana mereka bergerak, BPP berhasil menjadikan gerakan mereka signifikan dan mendatangkan simpati rakyat. Lalu pertanyaannya, apa yang membuat perjuangan suatu kelompok menjadi bagian dari perjuangan seluruh rakyat?

Inilah hal penting ketiga yang patut kita pelajari dari BPP: gerakan mesti mengingat tujuan substanstifnya yang utama yaitu soal perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bagi semua elemen rakyat. Semua orang memang tidak berkulit hitam, berkulit putih, berkulit merah atau berkulit kuning, namun setiap orang pasti butuh makan dan minum, pakaian dan rumah, juga pekerjaan dan upah yang layak. Itu bisa kita temukan dalam beberapa pokok  Ten-point Program BPP. Pokok pertama menyatakan: “Kami ingin kemerdekaan. Kami ingin kekuatan untuk menentukan nasib komunitas kulit hitam kami”. Pokok berikutnya, “Kami ingin pekerjaan penuh untuk rakyat kami”, kemudian “Kami ingin menghentikan perampokan oleh para kapitalis terhadap komunitas kulit hitam dan komunitas-komunitas tertindas”. Tercatat bahwa BPP lewat Fred Hampton sempat menginisiasi Rainbow Coalition, yaitu organisasi politik yang merangkul beragam komunitas tertindas lintas warna kulit untuk perbaikan kualitas hidup komunitasnya.

Dari sini BPP menegaskan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal pengakuan identitas suatu kelompok atau warna kulit saja. Lebih dari itu, kemerdekaan adalah soal mendapatkan hak untuk hidup yang layak sebagai manusia, terlepas dari warna kulit dan latar belakangnya.

BPP memang sebuah bagian dari gerakan perjuangan keadilan dan hak hidup warga keturunan kulit hitam di Amerika Serikat. Namun, mereka pun tak lupa bahwa komunitas kulit hitam punya perut yang mesti diisi dan kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Mereka sadar bahwa untuk makan, seorang harus membeli dengan uang dan untuk mendapatkan uang kita perlu bekerja. Sehingga di poin kedua, tuntutan mereka adalah untuk mendapatkan pekerjaan layak. Inilah yang membuat BPP tak sekadar gerakan politik identitas; mereka berangkat dari tujuan substantif memperjuangkan hajat hidup manusia lewat identitas sosial sebagai metode pemersatu barisan perjuangan rakyat.

Meski demikian, bukan berarti BPP tak memiliki kelemahan. Salah seorang bekas anggota BPP yang hari ini masih mendekam di penjara, Sundiata Acoli, pada tahun 1985 menuliskan rangkuman tujuh poin kelemahan dari organisasinya: Perpecahan di kepemimpinan, pengorganisiran yang kurang matang, retorika melampaui kemampuan, kecenderungan lumpen proletariat, dogmatisme, kegagalan pengorganisiran fondasi ekonomi di antara komunitas, dan “mentalitas televisi”. Inilah yang menyebabkan BPP mulai meredup dan kini tak lagi terlihat taringnya.

Dari tujuh kelemahan di atas, sebagian besarnya didominasi oleh penyakit lama yang dinamakan dengan idealisme. Idealisme tidaklah buruk, namun BPP mestinya menyadari bahwa berpolitik mestilah realistis. Sehingga mereka melewatkan pesan penting Master Sun Tzu dalam Art of War: Apabila Anda mengenal diri sendiri namun tidak mengenal musuh, dalam setiap kemenangan yang Anda dapatkan, Anda juga akan menderita banyak kekalahan. BPP memang memenangkan hati rakyat, namun dengan demikian artinya BPP juga berhadapan dengan mereka yang mengaku terpilih sebagai wakil rakyat. Perjuangan melawan organisasi yang berkuasa atas sumber daya, mengendalikan ranah hukum, dan ranah ekonomi-politik seperti pemerintah Amerika Serikat tidak mudah dimenangkan oleh organisasi yang berbasiskan solidaritas dan jargon-jargon idealisme belaka.

Pengalaman BPP menyadarkan kita bahwa dalam kenyataannya sistem kapitalisme sama sekali tidak memerdekakan atau memberikan keadilan kepada setiap orang, tapi hanya sebagian kelompok orang saja sambil terus melanggengkan penindasan atas suatu kelompok yang lain. Bahkan kapitalisme bisa dengan mudahnya memakai retorika “inklusi” dan “pengakuan identitas” sebagai strategi politiknya. Lihat saja di sekeliling kita, sudah berapa banyak korporasi  besar seperti Amazon, Apple, Google, dan Chase Bank melakukan lip service terhadap slogan #BlackLivesMatter. Kalau hanya ingin sekadar terlihat ‘solider banget’ alias woke, maka korporasi-korporasi besar pun sudah sangat woke. Bergandengan dengan organisasi seperti negara beserta instrumen-instrumen ideologis serta tukang pukul sewaannya, kapitalisme semakin berjaya dan berlipat ganda.

Dari kelebihan dan kekurangan BPP yang sudah saya ceritakan, kiranya kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Pertama, gerakan massa yang besar bisa saja dipicu dari apa yang terjadi dalam ranah kehidupuan sosial serta budaya. Walaupun kita juga perlu ingat bahwa hampir semua hal ihwal di bawah kaki langit saat ini tak mungkin lepas relasinya dari yang namanya kapitalisme. Kedua, pengorganisiran gerakan yang mampu memenangkan hati banyak orang niscaya memenangkan tujuannya. Ketiga, kita juga diingatkan bahwa untuk memenangkan hati orang banyak kita perlu kembali ke tujuan substansif yaitu kepentingan bersama atas kehidupan yang layak. Namun kita juga diingatkan untuk selalu realistis mencari cara yang tepat dalam setiap strategi untuk setiap kondisi yang beragam.

Lalu apakah ada hubungannya komik Black Panther dengan perjuangan melawan ketidakadilan? Kenyataannya Stan Lee menulis dalam Stan’s Soapbox “Fanatisme dan rasisme merupakan salah satu dari penyakit mematikan yang menjangkiti dunia hari ini” dan Jack Kirby pun mengakui motivasinya membuat pahlawan super keturunan Afrika-Amerika yaitu untuk teman-teman berkulit hitam serta komunitasnya yang saat itu diperlakukan tak adil. Lewat karyanya mereka mengajak kita untuk tidak diam melihat ketidakadilan dan mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Anda tak harus menjadi Raja T’challa terlebih dahulu untuk menjadi pahlawan super, namun Anda tentu membutuhkan orang lain untuk mampu mengubah dunia.

Sekuat-kuatnya sang Black Panther, ia pun masih memerlukan bantuan dari Captain America, Black Widow bahkan Thor untuk berperang. Begitu juga dalam mencapai suatu tujuan. Sekuat-kuatnya seseorang, ia pasti masih membutuhkan bantuan dari orang lain dan kelompoknya. Sehingga penting kiranya untuk kita berorganisasi, yang meskipun berangkat dari satu persoalan rakyat yang partikular (pemiskinan kaum tani, penindasan atas kaum buruh, rasisme terhadap rakyat Afrika-Amerika dan Papua) tapi tidak lupa dengan prinsip perjuangan kelas yang objektif.

Namun jika Avengers bersatu menghadapi Thanos dengan pasukannya yang jelas tampak, tugas kita lebih berat yaitu bersatu menghadapi sistem kapitalisme dan rasisme yang tak selalu kasat mata.***

 

0 comments:

Post a Comment

 
;