Tuesday, September 29, 2020

Sekali Lagi Tentang Peristiwa 65: Apa Yang Harus Diperjuangkan?

 

Setiap melewati bulan September-Oktober, kita sekali lagi diingatkan pada petaka berdarah 1965 yang mengubah keadaan rakyat sedemikian rupa seperti belum merdeka. Tahun lalu, ketika peristiwa itu tepat melewati masa 50 tahun, sebagian elemen masyarakat telah bahu-membahu mengangkat peristiwa ini ke panggung nasional hingga internasional dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah inisiatif yang dilakukan oleh Pengadilan Rakyat Internasional (International Peoples Tribunal – IPT 65) serta pemutaran film dokumenter dan diskusi sejarah di ratusan tempat di Indonesia.

Pengadilan Rakyat Internasional (International Peoples Tribunal – IPT 65) yang digelar pada 10-13 November 2015 lalu misalnya, telah mengeluarkan keputusan bahwa Indonesia dianggap telah melakukan 9 kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa tersebut. Kejahatan itu berupa: pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi, propaganda kebencian, dan pelibatan negara lain. Selain itu pengadilan juga memberikan rekomendasi permintaan maaf dari negara kepada korban, penyidikan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, rehabilitasi dan kompensasi kepada korban, dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa 1965.

Namun pemerintah dan politisi yang menutup rapat pintu pengadilan HAM di negeri sendiri malah dengan pongah meneriakkan nasionalisme ketika keadilan menemukan sarananya di dunia internasional. Bagi mereka, membuka aib bangsa sendiri di hadapan bangsa lain adalah tidak nasionalis, dan mereka memilih untuk menutupnya rapat walau tidak ada yang mampu dipetik bagi perbaikan kemanusiaan bangsanya. Inilah nasionalisme kolot dari elit politik yang tidak mengerti keadilan dan tidak menjiwai kemanusiaan secara universal.

Terlepas fakta bahwa pengadilan tersebut tidak bersifat mengikat dan memaksa negara untuk menjalankan keputusan, hal itu setidaknya mampu menjadi pelega dahaga atas kebenaran sekaligus tenaga bagi korban 65 yang sampai sekarang masih hidup, yang puluhan tahun hidupnya menderita oleh kejahatan-kejahatan diatas, ditambah diskriminasi dan stigma-stigma bersalah dari negara dan dari masyarakat negeri sendiri. Bahwa melalui pengadilan tersebut, korban mampu menjadi pihak yang benar serta semakin yakin pada apa yang diperjuangkannya.

Demikian pula, pengadilan tersebut dapat menjadi salah satu instrumen penekan korban kepada negara melalui lembaga internasional seperti PBB, jika negara masih saja tutup kuping atas rekomendasi-rekomendasi yang diputuskan. Dan ini tentu butuh perjuangan tahap lanjut.

Pelurusan Sejarah

Sejak awal, harus disadari IPT 65 bukan akhir dari perjuangan. IPT 65 bahkan punya kapasitas yang terbatas untuk menuntaskan soal-soal di sekitar peristiwa 1965. Tidak cukup mengungkap sebuah kejahatan sebagai kejahatan tanpa tahu alasan dan bagaimana proses kejahatan tersebut terjadi. Bahkan perjuangan terkait peristiwa 65 sendiri tidak melulu tentang korban yang langsung mengalami kejahatan yang disebutkan diatas, melainkan juga ‘korban’ dari dampak yang dihasilkannya hingga sekarang. Oleh karenanya, kita perlu melangkah lebih maju dari apa yang telah dihasilkan IPT 65. Salah satunya ialah upaya pelurusan sejarah.

Hasil IPT 65, ditambah dokumen-dokumen yang telah dihasilkan Komnas HAM beberapa tahun lalu, setidaknya semakin menguatkan fakta bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang melebihi dari peristiwa G30S yang dilebih-lebihkan Orde Baru. Inti kejahatan kemanusiaan itu pun bukanlah pada ‘aksi spontan’ sebagian masyarakat kepada anggota dan simpatisan PKI. Melainkan pada peran dan keterlibatan negara, dalam hal ini tentara dibawah kepemimpinan Soeharto, dalam mengordinasikan, mengomandoi, serta membiarkan kejahatan kemanusiaan tersebut terjadi.

al itu telah dibuktikan di banyak tempat dimana terjadi penyerangan kepada anggota dan simpatisan PKI, disana tentara terlebih dahulu mendatangi organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk membekingi sampai melatih mereka melakukan penyerangan. Di beberapa tempat lain, tentara bahkan mengancam masyarakat yang tidak bergerak menyerang PKI dengan tuduhan terlibat PKI.

Namun itu tidak berarti bahwa tidak ada elemen masyarakat yang memang menginginkan penyerangan terhadap PKI, dan mengorganisir dirinya berdekatan dengan tentara untuk menghabisi PKI. Sebagai partai yang memiliki program perjuangan, PKI tentu memiliki musuh-musuh politik yang tidak menyetujui program-program PKI. Sama halnya dalam masyarakat yang dibagi atas kelas-kelas sosial, tidak lah mungkin ‘masyarakat’ memiliki kehendak tunggal yang berjalan tanpa pertentangan. Terkait ini akan dijelaskan lebih lanjut nanti.

Satu hal yang pasti, pelurusan sejarah perlu menjawab persoalan pemelintiran fakta bagi propaganda kebencian terhadap PKI. Dalam memelintir gerakan yang menamakan dirinya G30S menjadi G30S/PKI, misalnya, Soeharto berhenti pada keterlibatan sebagian unsur PKI di lapangan dan pada kesaksian Syam (Biro Khusus PKI) yang mengaku merencanakan G30S. Namun Soeharto tidak (berkepentingan) mendalami lebih lanjut tentang bentuk rencana G30S yang berubah dari penculikan menjadi pembunuhan, dan atas inisiatif siapa pembunuhan tersebut terjadi. Sehingga seakan-akan, seluruh anggota TNI yang terlibat G30S (Untung, Abdul Latif, Dul Arif, dll) ditempatkan sebagai anggota PKI yang berada dalam kesatuan rencana dengan PKI. Soeharto juga tidak (berkepentingan) mempertimbangkan perencanaan dari unsur-unsur PKI yang tidak secara organisasional, melainkan hanya mungkin sebagai rencana Aidit dan Syam.

Terhadap peristiwa lubang buaya, Soeharto lagi-lagi melebihkan fakta yang serius, yakni terjadi penyiletan, pencongkelan mata, sampai tarian telanjang anggota Gerwani yang dramatis. Hal ini tentu bukan hanya mengagetkan masyarakat, tetapi juga menggoyahkan anggota-anggota PKI di berbagai daerah yang tidak menyetujui tindakan-tindakan sadis tersebut.

Hal-hal diatas dilakukan Soeharto dengan lebih dahulu memonopoli media massa (melalui Berita Yudha), karena hampir seluruh media massa dilarang terbit Soeharto sejak 2 Oktober 1965. Selanjutnya, Soeharto juga menahan banyak pejabat, anggota DPR, dan tentara (pro Soekarno) hanya atas cap “terlibat G30S” tanpa adanya pengadilan. Soeharto kemudian juga membubarkan PKI secara sewenang-wenang, dan menolak klarifikasi Soekarno atas Supersemar dalam Surat Perintah 13 Maret (Supertasmar).

Periode 1965-1968 mengungkap dengan terang dan jelas bagaimana penggulingan Soekarno sampai kenaikan Soeharto ke tahta Presiden dilakukan Soeharto dengan cara-cara yang bukan saja tidak demokratis, tetapi juga tidak beradab: membreidel media massa, memelintir G30S, mengorganisir pembunuhan anggota dan simpatisan PKI, membubarkan PKI, dan menahan banyak pendukung Soekarno di kalangan pejabat, tentara dan anggota DPR tanpa pengadilan.

Peran Imperialisme  

Peristiwa 1965 sendiri tidak lepas dari konstelasi internasional yang ketika itu ditandai dengan massifnya perlawanan rakyat terhadap Imperialisme-kolonialisme khususnya AS dan Inggris, serta memanasnya hubungan mereka dengan Uni Soviet dalam ‘perang dingin’. Bagi kaum imperialis saat itu, kebutuhan untuk mengamankan aset-aset mereka di negeri-negeri baru merdeka sama artinya dengan upaya melanjutkan ekspansi kapital mereka dalam skema yang Soekarno sebut Neo-kolonialisme.

Setelah gagal mempertahankan kolonialisme di negara-negara terjajah, strategi utama imperialis dalam menundukkan negara-negara merdeka adalah mencari ‘kaki-tangan’ dalam negeri yang dapat diajak ‘bekerjasama’ demi kepentingannya. Jalan ini tidak didapat dari pemerintahan Soekarno yang justru menginginkan kemandirian dan kesetaraan bangsa-bangsa, dan justru bergerak semakin ke kiri mendekat pada PKI yang menjadi musuh kapitalisme-barat.

Jalan ini awalnya didapat melalui PSI dan Masyumi yang megadakan suatu pemberontakan (PRRI) untuk meruntuhkan pemerintah Soekarno pada 1958. AS terbukti terlibat mendukung pemberontakan PRRI ini dengan pendanaan sampai persenjataan. Namun ketika pemberontakan ini gagal, mereka melihat jalan tersebut di dalam tubuh Angkatan Darat yang berhasil meredam pemberontakan berbagai daerah serta berhasil ‘mengamankan’ nasionalisasi perusahaan milik imperialis dari tangan kaum buruh.

A.H Nasution adalah pemimpin Angkatan Darat pertama yang menjalin hubungan khusus dengan imperialis AS sejak menjadi Penguasa Perang Tertinggi tahun 1957, hingga pada pembukaan kerjasama militer yang lebih erat dengan AS. Sejak saat itu, AD melalui Nasution telah membangun Badan Kerja Sama (BKS) baik dengan buruh, tani, pemuda, wanita, ulama, dan sebagainya untuk mengembangkan ‘Dwi-Fungsi’. Saat itu juga AD melalui Nasution telah menerima bantuan 20 juta dolar AS untuk mengendalikan PKI yang dianggap AS paling kontra dengan imperialisme AS. Pada tahun 1962, Departemen Luar Negeri AS menempatkan Kelompok Penasehat Latihan Militer AS di Jakarta untuk membantu penerapan “civic mission“—yakni penetrasi para perwira AD ke dalam segala bidang seperti dalam bentuk Badan Kerja Sama yang disebut diatas—dalam Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) yang pendanaannya juga dibantu oleh AS. Di SESKOAD ini lah Soeharto memulai hubungan pertamanya dengan CIA.

Namun bukan hanya AS yang terbukti turut campur dalam skenario penghancuran PKI dan penggulingan Soekarno. Inggris yang saat itu masih menguasai Malaysia pun memiliki rencana yang hampir sama. Inggris memulai misinya setelah Soekarno menolak pembentukan federasi Malaya oleh Inggris tahun 1961 dan melancarkan konfrontasi. Melalui intelijennya MI6, Inggris membangun kontak dengan AD untuk meredam konfrontasi tersebut. Hal ini disambut oleh Ali Murtopo dan kemudian Soeharto untuk meredam politik konfrontasi Soekarno di lapangan.

Segera setelah G30S terjadi, terbukti Soeharto langsung tampil ke depan seolah telah mendapatkan dukungan dari sekutu imperialisnya. Dirinya langsung mendeklarasikan PKI sebagai dalang G30S. Upaya ini berkesesuaian dengan isi telegram Kedubes AS Marshal Green tertanggal 5 Oktober 1965 yang mengatakan: “pemerintah AS, Inggris, dan Australia berusaha membantu AD dengan menciptakan propaganda mengenai kesalahan, penghianatan, dan kekejaman PKI dan tuduhan mengenai adanya kaitan antara G30S dengan Cina”[1]. Lebih lanjut, pada 2 November 1965, telegram Kedubes AS juga menyampaikan “negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya”[2]

Upaya AS dan Inggris melalui Duta Besar dan badan intelijennya (CIA dan MI6) terus membantu penghancuran PKI. Seorang staf kedubes AS di Jakarta, Martens, mengaku telah mengirimkan ratusan hingga ribuan daftar nama anggota PKI kepada Adam Malik yang menjadi Wakil dari Komite Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu. Pada awal Desember 1965, Dubes AS, Marshal Green, juga telah mengucurkan dana Rp 50 juta kepada Adam Malik untuk membantu operasi pengganyangan yang sadis itu.

Masih banyak lagi tumpukan data yang tak terbantahkan terkait peran AS maupun Inggris dalam peristiwa 1965. Sebagian yang tertulis disini hanyalah bukti kuat bahwa imperialis AS dan Inggris telah menjadikan negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia sebagai proyek bagi Neo-kolonialisme mereka, dan Angkatan Darat (serta PSI dan Masyumi) telah dipakai sebagai kaki-tangannya.

Komunisto-Phobia: Orang Miskin Dilarang Sejahtera

Sejak bergulirnya banyak diskusi dan pemutaran film tentang 1965, ditambah IPT 65 di dunia Internasional, banyak reaksi berdatangan dari kalangan masyarakat Indonesia yang menamakan dirinya anti-komunis. Mereka bekerja membubarkan diskusi-diskusi, membantu membreidel buku-buku, mencari-cari (dan entah bagaimana caranya, menemukan) simbol palu dan arit di berbagai sudut, lalu menjadi spion dan mitra aparat dalam memantau ruang demokrasi. Ini menyebabkan demokrasi menjadi semakin sempit.

Dari sudut yang berbeda, beberapa aktivis demokrasi dan HAM yang giat memperjuangkan korban 65 sekalipun masih sering merasa takut dan risih jika diklaim sebagai pembela komunis atau dianggap menyetujui komunisme. Dalam argumen-argumen mereka terhadap peristiwa 65 sering terselip kalimat-kalimat seperti “bukannya saya membela komunis, tapi saya membela korban”, atau “saya tidak setuju komunis, tapi saya…”, dan sebagainya. Diantaranya bahkan masih ada yang menyetujui pelarangan ideologi Marxisme-Leninisme walau mendaulat diri sebagai ‘demokratis’.

Tentu bukan berarti setiap orang yang berbicara peristiwa 65 harus setuju dengan komunisme. Namun dalam konteks kejahatan kemanusiaan 65, persetujuan atau penolakan terhadap suatu ideologi tanpa penjelasan yang cukup tidak lah pada tempatnya. Hal itu justru ikut menyuburkan komunisto-phobia yang sering digunakan rejim untuk membungkam rakyat. Seseorang yang sadar pada peristiwa 65 justru seharusnya mampu membayangkan hingga memperjuangkan situasi yang lebih demokratis sebelum 65, dimana komunisme beserta partainya pernah legal dan diakui keberadaannya oleh negara.

Namun demikian, mengakui komunisme sambil melucuti aspek perjuangan kelas adalah sama fatalnya dengan orang-orang yang tidak mengerti alasan pokok dibalik peristiwa 65. Seperti dijelaskan diatas, melihat PKI saat itu tidak lah bisa dipisahkan dari program-program PKI yang berpihak pada kelas-kelas tertindas. Salah satu yang mengemuka saat itu dan menjadi sebab utama mengapa sebagian ulama dan santri terlibat dalam pembunuhan unsur PKI ialah program Revolusi Agraria.

Setelah UU Pokok Agraria dan UU Bagi Hasil Tanah ditetapkan tahun 1960 atas hasil perjuangan kaum Tani dan PKI yang mendukungnya, terjadi kemacetan dalam menjalankan program ini. Sebabnya, Komite Revolusi Agraria yang dibentuk untuk menjalankan program ini terdiri dari banyak komponen yang tidak seluruhnya menyepakati (bahkan menentang) program ini. Setelah 2-3 tahun menunggu, inisiatif kaum tani untuk merealisasikannya tidak lagi bisa dibendung, yang mana kemudian sempat didukung oleh PKI. Terjadilah aksi-aksi kaum Tani secara independen untuk menjalankan UUPA dan UU BHT, yang diklaim tuan tanah sebagai ‘aksi sepihak’.

Faktanya kaum Tani hanya merealisasikan UU yang telah ditetapkan oleh negara. Itu dapat dipandang sama ketika kaum Buruh pernah melakukan aksi-aksi ‘geruduk pabrik’ untuk memaksa perusahaan menjalankan pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan. Bedanya, jika Buruh berhadapan dengan pemilik modal (pengusaha) yang kemudian menyewa preman untuk melawan Buruh, maka kaum Tani saat itu berhadapan dengan tuan tanah yang sebagiannya adalah ulama. Di titik itu, kaum Tani didorong lebih dulu memisahkan posisi seorang tuan tanah dengan statusnya sebagai ulama. Melawan tuan tanah yang menolak menjalankan UU adalah berbeda dengan melawan ulama, walaupun seorang ulama kemudian memakai agama sebagai tameng untuk melawan kaum Tani. Terjadi lah pertentangan keras antara kaum Tani yang didukung PKI dengan tuan tanah (beserta santri-santri yang diasuh oleh sebagian ulama) yang didukung partai-partai yang mengatasnamakan agama. Ini lah alasan terpenting dibalik peristiwa berdarah 65.

Alasan lain yang juga penting ialah meningkatnya konflik Buruh dengan tentara dalam mengelola perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi. Buruh berupaya untuk mengontrol perusahaan tersebut dengan manajemen mandiri dibawah pemerintah, sedangkan tentara merebutnya dan berusaha tetap mengendalikannya bagi kepentingan tentara, dan kemudian bagi kepentingan imperialisme sendiri untuk memperluas modalnya di Indonesia. Terbukti ketika pemerintah mengeluarkan keputusan membentuk Badan Nasionalisasi (BANAS) bagi sentralisasi keuntungan hasil nasionalisasi, tentara menolak dan hanya memberikan sebagian saja keuntungan perusahaan hasil dari nasionalisasi tersebut. Soekarno pada akhirnya melakukan kompromi dengan tentara.

Demikian kenyataannya, tidak ada nyawa yang lebih hidup di belakang peristiwa 1965 selain nyawa perjuangan kelas-kelas tertindas untuk sejahtera sekaligus mandiri secara nasional. Itu berkonsekuensi pada upaya penghancuran imperialisme-kolonialisme dan sisa-sisa feodal di Indonesia. Siapa yang tidak mengerti hakikat ini akan gagal mengambil kesimpulan tentang peristiwa itu dan apa yang harus diperjuangkan hari ini.

Tak heran, walaupun dibalut dengan logika yang kusut, seorang purnawirawan anti-komunis paling gigih, Kivlan Zein, menyampaikan alasannya tentang bahaya komunisme. Dalam konferensi pers gerakan anti-komunis yang ia bangun, dirinya berkomentar bahwa “dengan membentuk gerakan-gerakan berupa serikat tani, maka petani bakal sejahtera, desa akan memiliki kekuatan. Saat desa memiliki kekuatan, itu akan memicu penolakan pada aparatur negara. Ini lah bahayanya.. pokoknya kami siap perang!”.

Zein benar dalam soal bahwa komunisme memang menghendaki kesejahteraan petani. Maka siapapun yang tidak menginginkan kesejahteraan petani dan rakyat pada umumnya, diperbolehkan untuk menganggap komunisme suatu bahaya. Tapi zein keliru dalam soal penolakan pada aparatur negara ketika petani sejahtera. Jika aparatur negara yang dimaksud adalah aparatur negara borjuis/ pemodal, tentu saat itu petani belum akan sejahtera. Karena ketika seluruh petani sejahtera, disitu pula petani sudah memiliki aparatur negaranya sendiri. Disini, jika dilihat dari sisi lain, elit politik sebodoh Kivlan Zein tampak seakan pintar. Dia seakan sudah tahu bahwa untuk mempertahankan kapitalisme-imperialisme, petani akan sulit untuk sejahtera. Dan karenanya, kesejahteraan petani ditakuti karena dia harus melewati pengambil-alihan tanah-tanah milik tuan tanah dan borjuis.

Merebaknya komunisto-phobia dengan demikian dapat dilihat dari dua aspek. Yang pertama adalah aspek sejarah dan hukum. Semua peran yang pernah ditorehkan PKI dalam sejarahnya ingin benar-benar dibuat hilang, bersalah dan terlarang sepanjang zaman. Ini digunakan untuk mewarisi generasi bangsa yang benci dan takut pada komunisme tanpa pengetahuan yang cukup, serta mempertahankan aturan yang melarang ideologi komunisme.

Pada gilirannya ini akan berkonsekuensi pada hal kedua, yakni yang mencakup aspek perjuangan rakyat hari ini. Ketakutan dan larangan terhadap komunisme akan lebih mudah dipakai untuk menghambat dan memundurkan capaian demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Setiap gerakan yang berbicara tentang kesejahteraan dan demokrasi akan lebih mudah dicap sebagai komunis agar berhenti berjuang, atau akan dihadapkan dengan masyarakat anti-komunis. Tentu jika ini terjadi, tidak ada jalan lain selain melawan kelompok reaksioner ini.

Anak Zaman Yang Terus Ber-Anak Pelajaran  

Pada akhirnya, kehancuran PKI tidak lah berarti kehancuran ide-ide komunis yang ingin mengangkat kelas buruh dan kaum tani menjadi penguasa sebagai syarat sejahtera. Tapi ide itu hari ini kembali ditantang untuk mengambil pelajaran.

Pelajaran pertama adalah tentang memahami negara. Sebanyak-banyaknya unsur pro-rakyat di dalam negara (borjuis) tidak akan membuat suatu negara menjadi pro-rakyat sebelum adanya perombakan fondasi negara itu sendiri. Ini disampaikan dengan jelas oleh Marx maupun Lenin. Bahwa negara yang dibangun kelas borjuis tidak dapat digunakan begitu saja oleh rakyat, karena dia telah diciptakan sedemikian rupa untuk menjauhkan negara dari rakyat. Namun PKI justru berjuang untuk hanya memperbanyak aspek pro-rakyat dan menyingkirkan aspek anti-rakyat di dalam negara, tanpa upaya untuk merubah fondasi negara itu sendiri. ‘Revolusi dari atas’ dalam bentuk menggunakan negara borjuis hanya akan berguna jika diabdikan bagi ‘revolusi dari bawah’ dalam bentuk radikalisasi dan perimbangan kekuatan massa revolusioner, dan bukan sebaliknya. Dalam hal ini, pengumuman Dewan Revolusi—yang nama-namanya entah berasal dari mana—oleh G30S yang diklaim sebagai rencana PKI adalah sama sekali tidak sesuai dengan prinsip revolusi.

Pelajaran kedua adalah tentang kompromi dan kerjasama. Pada hakikatnya PKI adalah partainya kelas buruh dan rakyat, walaupun dia diisi oleh bagiannya yang paling maju. Oleh karenanya kompromi dan kerjasama dengan aliran-aliran politik dan kelas-kelas lain haruslah dilakukan untuk tujuan mengonsolidasikan dan memajukan gerakan kelas buruh dan rakyat. Namun kerjasama bagi partai revolusioner tidak lah berarti partai harus mengikat kaki dan tangannya diatas kerjasama itu, melainkan sarana bagi partai untuk memperluas fungsinya sebagai pelopor di tengah-tengah massa.

Dalam hal ini, kerjasama PKI dengan Soekarno (dan partai-partai lain) yang bertujuan untuk memajukan gerakan kelas buruh dan rakyat, seperti misalnya dalam kasus nasionalisasi perusahaan imperialis, adalah benar adanya. Namun kerjasama yang mengikat kaki dan tangan PKI sebagai pelopor, seperti dalam kasus meredam aksi kaum Tani untuk revolusi agraria, adalah sepenuhnya keliru. Demikian juga PKI keliru dalam sikapnya yang berlindung di balik Soekarno sesaat setelah G30S, yang menjadikan dirinya habis sehabis-habisnya.

Pelajaran demi pelajaran harus sebanyak-banyaknya ditarik bagi fondasi partai revolusioner saat ini. Tapi pelajaran apapun jika tidak dilatih menjadi praktek dan kenyataan, pasti akan menguap menjadi isapan jempol belaka. Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa teori yang tidak bisa dikerjakan bukan lah teori revolusioner.

Melalui peristiwa 1965, kaum buruh dan rakyat pekerja sadar kelas harus dengan sekuat tenaga mempertahankan dan memperluas demokrasi yang ada bagi masa depan sosialisme. Bahkan upaya untuk menghapus larangan bagi komunisme, dalam arti kebebasan berideologi, juga harus ditempuh. Namun demikian, jalan pelurusan sejarah yang dapat mempermudah penghapusan larangan itupun juga membutuhkan tingkat demokrasi yang cukup tinggi untuk diperjuangkan, yang mana membutuhkan konsolidasi demokrasi yang cukup besar. Maka itu peristiwa 65 saja tidak cukup dipakai sebagai sandaran.

Disaat yang sama, demokrasi yang ada tidak boleh juga dibiarkan kosong dari perjuangan kelas-kelas tertindas untuk sejahtera dan mandiri secara nasional. Sambil memberikan visi dan penjelasan atas perjuangan yang menentukan bagi sosialisme, kaum revolusioner dituntut berjuang dengan gigih memenangkan dukungan rakyat pekerja melalui program-program minimum dan mendesak rakyat: demokrasi dan kesejahteraan.

Kini, setelah dihancur-leburkan selama lebih 50 tahun, partai revolusioner harus dibangun kembali dengan semangat yang baru dan tak berkesudahan hingga kemenangan!

 

[1] Telegram 868, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 5 Oktober 1965, POL 23-9 INDON, NA; Drew Cottle and Narim Najjarine, “The Department of External Affairs, the ABC and Reporting of Indonesia Crisis, 1965-1969, Australian Journal of Politics and History 49:1 (2003) hlm.48-60

 [2] Telegram 1304, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 2 November 1965, NSF CO Files

Indonesia, Vol. V, LBJL

 

Sumber:

AM Hanafi, Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar, 1998

 Bradley R Simpson, Economists with Guns, Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru, 2010

 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 2008


0 comments:

Post a Comment

 
;