SEBUAH tesis setebal 156 halaman diuji pada 1 Juni 2001 dan dinyatakan lulus. Penulisnya, Michael Boden, kembali memperoleh titel master setelah mendapat yang pertama dari Vanderbilt University pada 1997.
Penelitian Boden menguak kiprah Friedrich Engels sebagai pemikir dan praktisi militer. Dalam bab pembuka, ia memaparkan betapa besarnya jarak antara Engels dan kolaboratornya, Karl Marx, ketika membicarakan perang. Engels selalu menapak di bumi. Sementara Marx selalu melontarkan “argumen khas debat kusir yang sama sekali tak menyentuh pertimbangan rasional militer”.
Ketika membahas Pertempuran Września, misalnya, Marx hanya mampu merutuki kelicikan balatentara Prusia: “Serdadu Prusia kabur ke tempat di mana mereka bisa memuntahkan pelor, granat berisi 150 biji gotri, dan peluru meriam, padahal yang mereka hadapi cuma tombak dan sabit yang niscaya tak efektif dipakai dari jauh”.
Komentar Boden: “Menggunakan persenjataan semaksimal mungkin bukan hal baru dalam perang, tapi Marx sekadar mengutuknya sebagai ‘pengkhianatan Prusia’ terhadap rakyat Polandia yang tak berdaya.”
Friedrich Engels memang dikenal punya minat serius pada dunia kemiliteran. Ketika Jerman Timur masih berdiri, namanya diabadikan sebagai lembaga riset dan ilmu kemiliteran Militarakademie Friedrich Engels. “Pak Jenderal”, demikian dia dipanggil kawan-kawan dekatnya, juga pernah menjadi ajudan Brigjen August Willich selama Revolusi 1848-49.
Sepanjang Perang Sipil Amerika (1861-1865), Engels memantau pergerakan pasukan Union dari benua seberang, mempelajari jalur rel kereta api, kontur daratan, aliran sungai, dan daerah-daerah strategis yang perlu dimenangkan. Hanya sekali ia berkunjung ke Amerika, itu pun puluhan tahun setelah Perang Sipil usai. Namun, saran-saran Engels rupanya pernah dipakai oleh Ulysses S. Grant untuk memukul pasukan Konfederasi yang pro-perbudakan. Kelak, Grant, seorang jenderal Union, terpilih sebagai presiden AS.
Riset Boden memperlihatkan bagaimana Engels menganalisis tiap perang besar dan kecil sedetil-detilnya dari berbagai aspek, mulai dari jalur logistik, taktik dan kedisiplinan pasukan, hingga jenis-jenis meriam beserta pelurunya. Dengan sabar dia menjelaskan kaitan antara tulisan-tulisan militer bapak sosialisme ilmiah itu dengan tradisi perjuangan bersenjata sayap kiri abad ke-20.
Tapi Boden bukan sejarawan, apalagi sejarawan kiri. Dia juga bukan orang sipil. Selama Perang Dingin, negeri yang dihuni Boden adalah musuh bebuyutan Uni Soviet, sebuah rezim yang fondasinya terinspirasi oleh kritik-kritik Marx dan Engels terhadap kapitalisme.
Boden menjalani pelatihan di Akademi Militer Amerika Serikat ketika Gorbachev memproklamirkan Glasnost dan Perestroika. Sempat dikirim ke Perang Teluk, pada pertengahan 2000-an ia diposkan di Combat Maneuver Training Center, Hohenfels, Jerman.
Boden berpangkat mayor ketika mengerjakan tesisnya di Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas. Pada 2013, penerbit kecil asal Inggris Pickle Partners Publishing merilis karya sang mayor sebagai buku bertajuk The First Red Clausewitz: Friedrich Engels and Early Socialist Military Theory, 1848-1870.
Adakah yang aneh ketika seorang prajurit Amerika menaruh minat pada Engels?
Tidak, sama sekali tidak. Dalam konteks Perang Dingin, mempelajari tulisan-tulisan militer Engels sama artinya dengan menelaah tradisi militer sayap kiri dari Joseph Weydemeyer, Mao, Tito, Che Guevara, hingga Vo Nguyen Giap—dengan kata lain, mempelajari cara berpikir lawan. Orang-orang seperti Boden rupanya cukup baik mengerjakan pekerjaan rumah itu dengan dingin, tanpa prasangka-prasangka ideologis yang riskan membuat mereka melebih-lebihkan atau meremehkan kekuatan lawan.
***
Setidaknya ada tiga hal yang langsung terbayang ketika membicarakan hubungan antara Marx (atau Engels) dan militer Indonesia beberapa tahun terakhir—dua di antaranya adalah lelucon.
Yang pertama adalah penyitaan buku-buku “kiri” oleh tentara dan polisi. Kedua, dokumen berjudul “Analisis Ancaman Komunis Gaya Baru di Indonesia” (2017) yang memasukkan Hitler dan Mussolini dalam bab “Diktator Sosialis-Komunis Dunia”. Ketiga, ruwetnya jalan pikiran Kiki Syahnakri ketika melacak asal-usul komunisme dan ateisme hingga ke filsafat Yunani kuno di depan awak pers Jakarta pada 2016.
Ada masanya, jauh sebelum hari-hari ini, ketika pikiran tentara tak sesemrawut Kiki Syahnakri atau Gatot Nurmantyo saat berhadapan dengan Marx dan para penafsirnya.
Salah satu tentara yang pikirannya tak sesemrawut itu adalah A.H. Nasution, jenderal besar kebanggaan TNI dan perumus Dwifungsi ABRI, sebuah doktrin yang menempatkan tentara di dua lapangan—militer dan politik—dan terbukti membawa malapetaka sepanjang 32 tahun Orde Baru. Buku Nasution yang terbit pada 1953, Pokok-pokok Gerilya: dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan Yang Akan Datang, berisi panduan dasar gerilya sekaligus operasi anti-gerilya. Bibit-bibit dwifungsi itu sudah terlihat dalam penentangannya terhadap konsep tentara sebagai alat negara.
Tentara, tegas Nasution, “bukanlah alat pemerintah yang buta dan bisu politik. Ia seharusnya pelopor revolusi, demikian ideal kita di masa-masa yang lalu dan di masa-masa yang akan datang. Ia harus sadar bahwa revolusi belum selesai.”
Setahun sebelum Pokok-Pokok Gerilya terbit, Nasution dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat setelah mengarahkan moncong meriam ke Istana. Ia menuntut Sukarno membubarkan parlemen yang dinilainya terlalu banyak mencampuri urusan internal tentara.
Satu hal yang krusial dalam Pokok-Pokok Gerilya adalah penyebutan tentara gerilya sebagai “prajurit rakyat” atau “tentara rakyat” yang telah lama dipakai sebagai slogan TNI.
Gerilya, tulis A.H. Nasution, “adalah prajurit rakyat yang sejati”. Dalam Pokok-pokok Gerilya, jenderal kebanggaan TNI itu menyatakan gerilya hanya bisa hidup bersama rakyat, serta memperoleh “pemeliharaan dan perlindungan rakyat” sekaligus, di sisi lain, menjadi “pelopor” atau “ujung tombak” revolusi.
Untuk memaparkan gambaran ideal tentang hubungan antara pasukan gerilya dan rakyat, Nasution, seorang anti-komunis tulen, menggunakan analogi air dan ikan dari Mao Tse-tung. Bahkan salah satu bagian dari Pokok-Pokok Gerilya dipersembahkan secara khusus untuk membahas saripati pengalaman Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok melawan Chiang Kai Sek.
Tentu ada problem di sini. Kecuali sebagai proyeksi semata, klaim atau aspirasi TNI untuk menjadi “tentara rakyat” terbentur oleh fakta bahwa sebagian besar personelnya pada 1953 berasal dari tentara kerajaan Belanda (KNIL) atau didikan Jepang via PETA.
“Rakyat adalah air dan pasukan gerilya adalah ikannya”, tulis Mao dalam On Guerilla War (1937). “Kok, bisa-bisanya dibilang tak mampu hidup bersama? Hanya pasukan tak disiplin yang memusuhi rakyat dan akan mati di luar habitatnya itu.” Untuk itu pula Nasution paham bahwa perang anti-gerilya bertujuan pokok “memisahkan rakyat dari gerilya”—sebuah prinsip yang diamalkan TNI dengan cara menggebuk pemberontakan-pemberontakan di daerah selama era Sukarno dan menggelar operasi-operasi militer di Aceh hingga Papua pada zaman Orde Baru.
Dalam kesempatan lain, Nasution juga memakai istilah “perang teritorial” yang dicetuskan oleh Dushan Kveder, veteran Perang Sipil Spanyol, anggota partai komunis, dan perwira senior angkatan bersenjata Yugoslavia yang karyanya disebut-sebut berpengaruh di lingkaran perwira Indonesia sejak akhir 1950-an.
Pada Oktober 1953, artikel Kveder berjudul “’Territorial War’ the New Concept of Resistance” terbit di Foreign Affairs. Delapan tahun berselang, terjemahan Indonesianya muncul di majalah Angkatan Darat Territorial. Sejak itulah konsep “perang teritorial” masuk ke kepala elite-elite militer Indonesia dan diadopsi sebagai doktrin pertahanan nasional.
Pokok-Pokok Gerilya, tulis sejarawan Walter Laqueur dalam Guerilla (1977), “mengingatkan orang akan Mao tanpa unsur politik.”
Komentar Laqueur wajar belaka. Teori perang tak selalu menuntut siapapun yang mempelajarinya untuk menyepakati tujuan-tujuan politik sang teoritikus—sebagaimana Lenin membaca karya jenderal reaksioner asal Prusia Carl von Clausewitz selama Perang Dunia I, sebagaimana Nasution mengutip Mao dan mengambil contoh dari Viet Cong.
Bahkan para (calon) pengusaha zaman kita, yang kerap dibayangkan sebagai figur ksatria modern, ternyata juga merasa perlu mempelajari ‘strategi perang’ untuk berbisnis. Bukankah sampai hari ini rak toko-toko buku penuh dengan judul seperti Perang Bisnis: Strategi Menaklukkan Pasar dengan prinsip Sun Tzu, Clausewitz Talks Business: An Executive’s Guide to Thinking Like a Strategist, Mao in the Boardroom: Marketing Genius from the Mind of the Master Guerilla, hingga Menyusun Rencana Pemasaran Gerilya yang Unggul ?
Tapi, apa cuma teori militer yang dipelajari tentara Indonesia dari orang-orang kiri dunia?
***
Pada Oktober 1988, pemerintahan Orde Baru meliberalisasi sektor perbankan. Bank asing akhirnya diizinkan membuka usaha patungan dengan bank lokal. Setahun kemudian, ada 91 bank swasta yang beroperasi, dari yang awalnya berjumlah 66 pada 1988. Tujuh tahun setelah deregulasi, jumlah bank patungan lokal dan asing meningkat nyaris empat kali lipat dari yang semula hanya 11 pada 1988.
Tapi, hanya beberapa bulan sebelum deregulasi resmi berjalan, Angkatan Darat merilis sebuah dokumen untuk keperluan program Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas). Di luar kecamannya terhadap “bahaya laten komunisme”, dokumen berjudul “Materi Balatkom” itu—sebagaimana dicatat Jun Honna dalam studinya tentang respons TNI terhadap tekanan reformasi—juga mengecam “kapitalisme liberal” yang menyebabkan “kaum kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin”. Dokumen tersebut juga menunjuk perusahaan-perusahaan multinasional sebagai biang kerok ketergantungan negara miskin pada negara industri maju.
Di sisi lain, meski menyatakan hanya Pancasila yang mampu mengatasi kontradiksi antara komunisme dan kapitalisme, ada yang menarik pada kecaman “Materi Balatkom” terhadap kapitalisme. Analisis dokumen itu, sebagaimana diamati Honna, “menolak model masyarakat kapitalis-liberal dengan mengadopsi perspektif neo-Marxis tentang kapitalisme dan sistem [ekonomi] dunia”.
Yang dimaksud Honna sebagai perspektif “neo-Marxis” mengacu pada teori ketergantungan yang dikembangkan para ilmuwan kiri Amerika Latin. Gagasan ini diperkenalkan ke Indonesia pada 1970-an oleh intelektual pembangkang seperti Arief Budiman dan menjadi amunisi kritik terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru.
Tentu tak ada yang salah ketika seorang tentara Indonesia meraba ketimpangan ekonomi global lewat kacamata Marxis—apalagi pada 1980-an, sebuah dekade yang mengawali restorasi kuasa mutlak kapital atas otoritas negara. Namun, saking bisa diandalkannya, kacamata itu pernah lama dilarang beredar, tak boleh dikenakan oleh orang biasa yang tak bersenjata, petani, pekerja, guru, pelajar, ibu rumah tangga, atau siapapun yang dinilai aparat tak cukup cakap menafsirkan dunia.
Bukan tidak mungkin jika ia akan kembali dilarang dan hanya aparat yang berhak menggunakannya.
Penyusun “Materi Balatkom”, Mayjen Soebijakto, pernah menjabat gubernur Lemhanas dan atase pertahanan Indonesia di Moskow. Selebihnya ia dikenal sebagai ‘pakar komunis’ di tubuh ABRI, sebuah super-lembaga yang—ketika pemodal asing mulai diizinkan masuk ke dunia perbankan Indonesia—telah lama menjalankan yayasan-yayasannya untuk mengoperasikan ratusan bisnis di berbagai sektor.
“Soebijakto,” catat Honna, “nampaknya paham kegunaan gagasan-gagasan Marxis”.***
0 comments:
Post a Comment