Wednesday, November 11, 2020

Kapitalisme ‘Mereproduksi’ Pandemi

 

Namun, janganlah kita terlalu bangga atas penaklukan-penaklukan kita terhadap alam. Karena masing-masing penaklukan itu berbalas-dendam terhadap kita. Setiap kejayaan, memang benar, di tempat pertama hasilnya memenuhi ekspektasi kita, tetapi di tempat kedua dan ketiga efeknya sangat berbeda, tak terduga, dan seringkali hanya membatalkan yang pertama. (Friderich Engels, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, 1876)

Korban terpapar Coronavirus disease-19 (Covid-19) terus berjatuhan. Hingga 6 April 2020,  1.285.257 manusia terinfeksi dan 70.344 diantaranya meninggal. Para pejabat Indonesia awalnya meremehkan sambil berkelakar.[1] Banyak tokoh nonpejabat juga membuat pernyataan menyesatkan.[2] Saat virus mulai merenggut korban jiwa, semua gelagapan. Petugas medis bekerja kewalahan tanpa perlindungan. Revisi-revisi pernyataan antarpejabat terjadi. Desa-desa dan Daerah-daerah berinisiatif lockdown, Pusat melarangnya demi ekonomi investasi.[3] Hingga kini, 22 dokter meninggal dan lebih dari seratus pekerja medis terinfeksi. Sedikitnya data korban versi Kementerian Kesehatan makin tak masuk akal, sampai-sampai Pemerintah daerah hingga Badan Nasional Penganggulangan Bencana terang-terangan menyangkalnya.

Pertama kali muncul di salah satu ujung pasar makanan eksotis di Wuhan, Cina, virus menyebar secara lokal, lalu melompat ke kereta api dan pesawat, dan menyebar ke seluruh dunia melalui jaringan perjalanan terstruktur dari kota besar ke kota kecil.[4] Tak ada yang mampu menghentikan persebarannya secara global. Semakin mengkhawatirkan. Karena berbeda dengan virus lain yang selalu bergejala, Covid-19 tidak selalu sehingga menyulitkan karantina penularan. Para ahli pandemiologi hingga kini dipenuhi kekhawatiran. Sebabnya, sumber, infektivitas, penetrasi, dan obat dari virus ini belum diketahui secara rinci.[5]

Di tengah situasi kalut ini, terdapat fenomena langka dalam beberapa waktu terakhir. Kala Tiongkok menerapkan lockdown selama beberapa bulan, langitnya menjadi biru. Gambarnya di gambar satelit NASA yang biasanya berwarna kuning menjadi putih. Di Italia, sungai-sungai kembali jernih dan angsa-angsa di Venezia mulai kembali. Sebuah tulisan menyebut Corona adalah “buah kita merusak bumi”. Hutan dibabat, hewan diburu, tanaman ditebang, dan lahan dikeruk untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Corona menjadi pukulan bagi “keserakahan kita”. Tetapi, siapakah “kita” yang serakah itu? Buruh-buruh yang tetap dipaksa bekerja saat corona, pedagang kecil yang kehilangan pendapatan di tengah merebaknya wabah, dan tenaga medis yang berguguran karena pandemi bukan orang serakah.

Lebih dari sekedar mendakwa kesalahan yang kita tak melakukannya, tulisan ini akan mengulas bagaimana sistem produksi kapitalis membentuk dan mempersering kedatangan wabah: entah itu yang menjadi endemi, epidemi, ataupun pandemi. Kapitalisme di sini bukan dalam makna yang sering dipahami umum, ‘sebagai sistem ekonomi yang dikuasai orang-orang serakah.’ Untuk itu, tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Semua kait mengait. Bagian pertama menjelaskan bagaimana kapitalisme membentuk dunia yang kita tinggali. Ini semacam pengantar untuk memahami karakter sekaligus hukum gerak yang melandasi kapitalisme. Bagian kedua mengulas bagaimana dan mengapa sistem produksi kapitalis menyebabkan dan mempersering kemunculan wabah. Bagian keempat menjelaskan kapitalisme tak mampu menyelamatkan manusia dari pandemi yang ditimbulkannya. Bagian terakhir menyinggung apa yang harus kita lakukan.

Dua hal sedang berkejaran sekarang: antara “pemahaman dan kesadaran massa yang diperlukan untuk menumbangkan kapitalisme” dengan “makin cepatnya kehancuran populasi yang diakibatkan olehnya”. Tulisan ini semoga menyumbang untuk memenangkan yang pertama. Keadaan bahwa kita sedang disibukkan dengan respon cepat menangani wabah di lapangan, semoga tak membuat lupa bahwa menahan wabah berikutnya yang potensial makin sering datang dan lebih hebat–jika corak produksi tak diubah–juga tak kalah pentingnya.

Kapitalisme Membentuk Dunia yang Kita Tinggali

Selama dua-tiga abad, kapitalisme telah menjadi sistem ekonomi yang dominan dalam dunia yang kita tinggali. Sistem apapun yang tidak sesuai dengannya akan berusaha disingkirkan. Karena usia kapitalisme jauh lebih tua dibandingkan kita semua, sebagian besar orang di jaman kita menganggapnya normal. (Untuk pembaca yang masih asing dengan proses kelahiran dan mengglobalnya kapitalisme, saya menuliskan secara ringkas di catatan kaki ini: [6] )

Kapitalisme dapat kita gunakan dalam dua arti. Secara lebih khusus, kapitalisme adalah sistem produksi berbagai barang dan jasa yang didasarkan pada hubungan antara kapitalis dengan buruh. Kapitalis, yang menguasai alat-alat produksi (tanah, mesin, uang, dll) dan tidak bekerja dalam proses produksi, mengeskploitasi buruh untuk mengejar laba dan akumulasi. Buruh, yang tak lagi menguasai alat-alat produksi, bekerja pada kapitalis demi mendapatkan upah untuk bertahan hidup. Secara lebih luas, berawal dari sistem produksi itu, kapitalisme kini menjadi sistem ekonomi dalam dunia yang kita tinggali.

Merujuk Marx, Henry Bernstein, mengkarakterisasi kapitalisme dengan empat ciri:

Pertama, meluasnya produksi komoditas di berbagai sektor dan berbagai tempat. Berbagai barang yang sebelumnya bukan komoditas dijadikan komoditas, termasuk uang, tanah, dan tenaga kerja. Proses ini disebut dengan komodifikasi. Selama potensial menghasilkan laba, segala sesuatu akan dikomodifikasi. Makin berkembang kapitalisme, komodifikasi makin merambah banyak hal. Sebelum kapitalisme, hanya 10% barang-barang yang dijadikan komoditas. Sekarang, hampir semua barang dan jasa menjadi komoditas.

Kedua, keharusan akumulasi secara terus menerus. Berbeda dengan sistem produksi di era perbudakan dan feodalisme, landasan gerak sistem kapitalisme adalah keharusan akumulasi. Dalam keharusan akumulasi ini, seorang kapitalis tidak selalu merupakan sosok serakah. Sebagian dari mereka justru hidup hemat dan sederhana, rajin ke masjid atau gereja. Sebagian mungkin hidup foya-foya, gemar menyewa artis atau membeli pulau-pulau. Tapi, sekali lagi, hukum yang melandasi pertahanan mereka adalah akumulasi, bukan foya-foya apalagi hidup hemat.

Dalam proses ini, para kapitalis meng-hakmiliki semua barang dan jasa yang diproduksi buruh, lalu menjual seluruhnya ke pasar untuk mengakumulasi laba. Laba yang diakumulasi digunakan untuk menginvestasikan kembali modal untuk meningkatkan skala produksi dan pasar. Tujuannya agar reproduksi laba berjalan terus menerus agar para kapitalis menang dalam persaingan pasar. Begitu gagal mengakumulasi laba, seorang kapitalis akan terlempar dari persaingan.

Itulah sebabnya, kenapa pasar dalam kapitalisme berbeda dengan pasar sebelum kapitalisme (perdagangan biasa). Persis seperti ditunjukkan Ellen Meiksins Wood, pasar kapitalis memiliki ‘hukumnya’ yang mengikat (market imperatives): akumulasi, kompetisi, maksimasi profit, dan peningkatan produktivitas. Itulah sebabnya, kenapa kapital harus terus bergerak tanpa henti untuk memproduksi barang-barang dan menjualnya pasar. Seberapapun akumulasi dicapai, kapital harus terus digunakan untuk membangun ruang produksi (investasi) dan meluaskan pasar. Di titik inilah, kapitalisme menerjang semua yang menghalanginya: mulai dari izin investasi berbelit-berbelit, aktivis dan para petani yang berusaha menghadang, dan lain sebagainya. Seperti dikatakan Marx dan Engel tulis dalam Manifesto:

“Kebutuhan untuk terus menerus memperluas pasar bagi produk-produksinya secara tiada henti telah mendorong sang borjuis berkelilig ke seluruh permukaan bumi. Ia harus bersarang di semua tempat, tinggal di semua tempat, membangun hubungan di semua tempat.”

Dari revolusi industri, kolonialisme, perkembangan pasar saham dan sekuritas, globalisasi dan imperialisme, semua proses perkembangan itu didorong oleh keharusan akumulasi kapitalis. Meminjam istilah David Harvey yang sempat dikutip Martin Suryajaya dalam tulisannya baru-baru ini:[7]

Kapital bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi (perputaran modal) berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh. … Tidak ada kapitalisme tanpa gerak.”—David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, 2010, 12

Ketiga, komodifikasi tenaga kerja. Sejak adanya manusia, kerja adalah medium untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di jaman komunal primitif, setiap orang pada awalnya adalah produsen, baik bagi individu maupun kelompoknya. Kala perbudakan muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu dan feodalisme dalam beberapa waktu berikutnya, budak dan petani hamba memang diharuskan mencurahkan tenaga kerjanya untuk memproduksi barang-barang. Tetapi, sistem perbudakan dan feodalisme tidak menjadikan tenaga kerja—potensi yang ada dalam tubuh manusia—mereka sebagai komoditas. Kapitalismelah yang mengubah tenaga kerja menjadi komoditas. Begitu tenaga kerja dibeli dan dipekerjakan, kapitalis berhak mengambil semua hasil yang diproduksi oleh buruh. Lalu, bagaimana kapitalisme mengubah tenaga kerja manusia menjadi komoditas? Ini berhubungan dengan karakter kapitalisme yang terakhir: akumulasi primer.

Keempat, akumulasi primer, yakni proses pemisahan produsen sebelumnya (ex: petani) dari alat-alat produksinya (ex: tanah/ladang). Akumulasi primer ini bisa terjadi dalam beberapa bentuk: 1) pengubahan model kepemilikan tanah-tanah komunal oleh negara menjadi tanah yang bisa dimiliki privat/swasta, 2) perampasan tanah petani produsen kecil oleh korporasi dengan menyuap pejabat agar menjadi legal, atau 2) dijualnya tanah-tanah itu oleh inisiatif petani karena hasil yang didapat tak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Ketiga proses itu membuat petani atau produsen kehilangan alat-alat produksinya. Dampaknya, mereka tidak punya pilihan selain menjual tenaga kerjanya pada orang lain.

Dari penjelasan singkat ini, kapitalisme bukan soal keserakahan individu maupun kolektif. Keserakahan adalah soal moralitas, sedangkan kapitalisme adalah model produksi yang mengharuskan akumulasi terus menerus. Karena bukan soal keserakahan, kapitalisme juga tak cukup diruntuhkan dengan memperbanyak khotbah tentang neraka bagi orang-orang serakah dan surga bagi yang hidup sederhana. Lebih dari tiga abad kapitalisme berjalan, dan tempat ibadah terus menerus didirikan, ia hingga kini masih tegak berdiri.

Sebagian kalangan yang kebetulan lahir dari orang tua yang makmur, dan menelan mentah-mentah pelajaran ekonomi di sekolah, mungkin tanpa beban menikmati sistem ini. Tetapi, bayangkan jika mereka dalam posisi buruh-buruh yang tetap dipaksa bekerja di masa corona. Lihat juga perkembangan ketimpangan ekonomi global yang semakin luar biasa. Per Januari 2020, 2.153 kapitalis—jumlah ini sama dengan penduduk satu desa—sekarang memiliki kekayaan lebih dari 4,6 miliar orang termiskin di planet ini. Lihat pula bagaimana kapital menggerakkan alih fungsi kawasan hijau menjadi berbagai kawasan industri perkebunan dan pertambangan; mengubah lahan-lahan pertanian menjadi area industri pabrik manufaktur, perumahan, dan infrastruktur.

Keharusan akumulasi mendorong eksploitasi SDA secara terus menerus dan menyebabkan fenomena yang tidak pernah terjadi dalam sejarah bumi sebelum kapitalisme: pemanasan global. Kapitalisme menimbulkan ketegangan dalam metabolisme alam. Alam yang sebetulnya mampu menyembuhkan diri dari gangguan kecil dalam metabolisme, kapitalisme membuat kerusakan besar metabolisme tak bisa diakhiri—kecuali mungkin dengan mengorbankan seluruh populasi bumi.

Slavoj Zizek pernah mengatakan, “lebih mudah membayangkan kehancuran dunia, dari pada kehancuran kapitalisme.” Ada benarnya. Para penulis buku The Limits of Growth (1972) mengingatkan kita: jika tren populasi dunia, industrialisasi, polusi, produksi pangan, dan penipisan sumber daya terus tak berubah, batas-batas pertumbuhan planet ini akan capai dalam waktu 100 tahun mendatang. Buku itu ditulis setengah abad yang lalu. Karena semua sebab-sebab kerusakan yang disebutkan buku itu hingga kini masih dirawat, dan pemerintah negara-negara kapitalis lebih mendengarkan suara korporat dibandingkan demonstrasi tiap jumat oleh generasi masa depan di berbagai belahan dunia, waktu yang kita miliki tinggal 50 tahun lagi.

Kapitalisme Menciptakan Pandemi

Kalau dampak kapitalisme terhadap berbagai dampak destruktif di atas adalah jelas, lalu bagaimana bisa ia sampai mereproduksi pandemi?

Pertama, peternakan/pertanian besar melahirkan pandemi besar

Industri agrikultur adalah salah satu sisi dari perkembangan produksi kapitalis. Dalam industri ini, kapitalisme mendongkrak produksi pertanian dan peternakan sampai pada level yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia sebelumnya. Para ilmuan menyebutnya “revolusi agrikultur kedua”—untuk membedakan dengan “revolusi agrikultur pertama” pada sekitar sepuluh ribu tahun lalu sejak ditemukannya pola pertanian/peternakan menetap. Dalam revolusi agrikultur kedua ini, produksi pertanian dan pertanian digenjot dengan cara mekanisasi dan kimiaisasi.

Tumbuhan dan binatang non manusia sekedar difungsikan sebagai penghantar bagi laba. Berbeda dengan peternakan tradisional, perkembangan alami binatang dihilangkan dalam peternakan kapitalis, meski kebutuhan makan dan minumnya dipenuhi. Bibit-bibit direproduksi secara massal, dipisahkan dari induknya sejak lahir, dicerabut dari ruang alamiahnya, ditempatkan di ruang-ruang sempit, dan dibentuk sesuai permintaan pasar. Sebelum kapitalisme, sebagian besar hewan yang kini dikonsumsi manusia meninggal kerena tua. Ketika kapitalisme, sebagian besar binatang itu meninggal karena dimakan. Lebih dari, kapitalisme mempercepat kelahirannya sekaligus mempercepat kematiannya. Kompetisi industri agrikultur membuat penyiksaan terhadap hewan menjadi natural. Siapa yang paling kejam, dialah yang mampu akumulasi.

Dengan sedikit petani dan peternak dari keseluruhan populasi, pola itu memang membuat hasil pertanian semakin produktif dan, seperti yang para ekonom liberal bilang, mampu memenuhi kebutuhan ‘seluruh umat manusia’. Jika 90% umat manusia sebelum kapitalisme adalah petani dan peternak tradisional, kini hanya sejumlah kecil petani dan peternak menyediakan pangan bagi 7,5 milliar umat manusia di bumi. Di Amerika Serikat, 2% penduduk petani kini ‘memberi makan’ 98% penduduk lainnya.[8]

Tetapi, masalah lain timbul. Rob Wallace, penulis buku Big Farms Make Big Flu—ahli biologi dan kesehatan masyarakat yang selama 25 tahun meneliti tentang pandemi, dan dilengkapi dengan analisis ekonomi politik dan geografi ekonomi—menyatakan bahwa meningkatnya wabah berkaitan erat dengan sistem produksi makanan dan kemampuan perusahaan multinasional untuk menghasilkan laba.

Laba korporasi agrikultur yang terakumulasi dan perlu diinvestasikan kembali memacu pembabatan secara luas kawasan hutan dan pertanian kecil yang menyimpan kompleksitas keanekaragaman hayati. Alam satwa liar semakin terdesak di kawasan hutan yang paling dalam. Di sinilah, pergerakan industri agrikultur yang berubah-ubah mengubah lintasan patogen. Patogen adalah parasit yang mampu menimbulkan penyakit pada inangnya (hewan atau manusia) setelah menghisap makanan darinya. Patogen dalam tubuh manusia satu mudah menular ke manusia lain seiring dekatnya jarak antar manusia.

Kapital memodifikasi lingkungan fisik dan sosial, di darat dan di laut, yang secara radikal mengubah jalur di mana patogen berevolusi dan menyebar. Patogen-patogen yang sebelumnya berevolusi panjang dan terisolasi di kawasan hutan kini menyerbu komunitas hewan dan manusia. Ia berhasil menyebar dari kawasan pedalaman paling terpencil, pedesaan, wilayah semi-urban, ibu kota regional, dan akhirnya jaringan lalu lintas global.[9]

Industri agrikultur juga memacu penyeragaman jenis pangan (monokulturalisasi genetik), baik pangan dari pertanian maupun peternakan sehingga melemahkan benteng ketahanan tubuh manusia yang sebelumnya mampu memperlambat penularan. Paradoksnya, ketika virus membunuh satu miliar orang, perusahaan-perusahaan agribisnis dapat lepas tangan. Mereka sangat fokus pada profit dan melempar begitu saja biaya epidemiologis pada pihak lain. Mulai dari hewan ternak itu sendiri, konsumen, pekerja agrikultur, lingkungan setempat, dan pemerintah lintas negara. Padahal, tingkat kerusakannya sangat luas. Kalau kita menuntut ganti rugi keuangan terhadap neraca perusahaan agribisnis, mereka akan bubar selamanya. Tidak ada perusahaan yang dapat mengganti biaya kerusakan yang ditimbulkannya.[10]

Saat ini, tiga dari empat penyakit baru bersifat zoonosis: penyebaran awal mereka berasal dari hewan ke manusia. Ebola, SARS dan kini Covid-19 adalah virus zoonosis. Sekitar 60 persen patogen baru ditularkan dari hewan ke komunitas lokal manusia.[11] Virus corona berasal dari salah satu sudut pasar makanan eksotis di Wuhan. Namun, perdagangan makanan liar untuk konsumsi ini tidak bisa dilepaskan dari pembabatan hutan primer oleh industri agrikultur sehingga memudahkan pebisnis baru untuk melakukan perburuan satwa liar yang sudah terdesak di jantung hutan. Sejak pasar bebas dibuka beberapa dekade lalu, industri agrikultur semakin berkembang sehingga membuat satwa liar semakin terkapitalisasi[12]. Artinya, ia juga diternak (direproduksi) dan dijual di pasar untuk menghasilkan laba. Maka, apa yang kita sebut liar itu sebetulnya tidak liar lagi. Proses ini meningkatkan munculnya patogen-patogen baru termasuk Covid-19. Dua ciri kapitalisme bersinggungan di sini, keharusan akumulasi terus menerus bagi industri agrikultur sehingga produksi komoditas yang merambah ke mana-mana, ke berbagai wilayah dan berbagai jenis komoditas baru.

Kedua, mobilitas manusia yang didorong oleh kapital mempercepat dan memperluas penularan.

Perpindahan manusia yang cepat dari satu tempat ke tempat yang lain merupakan dampak dari mobilitas kapital. Kapital menggerakkan buruh manajemen dan buruh pabrik datang ke tempat kerja; menggerakkan para CEO dan direksi membuat pertemuan-pertemuan dan kerjasama; menggerakkan para pedagang pasar besar maupun kecil menjajakan hasil-hasil produksi kapitalis ke konsumen akhir; menggerakkan kunjungan wisatawan; memperbanyak transportasi umum dan kendaraan pribadi, dsb. Kapital menggerakkan hampir semua aktivitas kita.

Di sektor transportasi, kapital mendorong penemuan kereta pada 1825, lalu mobil pada 1886, dan pesawat terbang komersil pada 1949. Kini, kita sedang berada dalam kesibukan jaringan lalu lintas udara global yang tidak ada presedennya di waktu-waktu sebelumnya. Globalisasi yang diterapkan sejak lebih dari dua dekade yang lalu membuat lintas udara meningkat sepuluh kali lipat dibanding dua dekade lalu.[13] Dalam kondisi ini, virus bisa terbesar ke berbagai belahan dunia kurang dari sehari.

Beberapa minggu sesudah dinyatakan wabah, kasus yang dicurigai sebagai infeksi virus corona ditemukan di lebih dari 16 negara. Wuhan adalah stasiun utama kereta cepat China. Jika Flu Spanyol yang membunuh 50 hingga 100 juta orang memerlukan waktu enam hingga sembilan bulan untuk tersebar ke seluruh dunia karena belum ada transportasi publik melalui udara, virus bisa menyebar dengan lebih cepat karena kini kita bisa mengelilingi planet ini dalam sehari.

Sebagian analis mengatakan bahwa percepatan ini terjadi karena peristiwa migrasi terbesar dalam sejarah manusia, ketika lebih dari tiga miliar orang melakukan perjalanan di China untuk perayaan Tahun Baru Imlek, beberapa setalah Covid-19 ditemukan. Tetapi, femonena mudik[14]—dimana kaum urban berbodong-bondong ke kampung halaman, tidak bisa kita lepaskan dari fenomena kapital. Bukannya azali, fenomena mudik muncul sejak adanya migrasi besar umat manusia dari pedesaan ke perkotaan.

Kedua, makin padatnya perkotaan mempermudah penularan.

Sejak zaman sebelum kapitalisme, kota sudah bisa menjadi wilayah untuk memperdagangkan kelebihan barang-barang produksi. Tetapi, mayoritas orang masih tinggal bukan di kota. Kapitalisme membaliknya. Semakin berkembang kapitalisme, semakin padat populasi kota. Sejak 2007, misalkan, dari sekitar 7 milliar populasi dunia, 4 milliarnya tinggal di perkotaan. Mengapa bisa? Tidak lain, karena fenomena urbanisasi adalah fenomena kapitalisme. David Harhey, menulis begini:

Kapitalisme bersandar, seperti dikatakan Marx pada kita, pada pencarian terus menerus untuk nilai lebih (laba). Tetapi untuk menghasilkan nilai lebih, para kapitalis harus menghasilkan produk surplus. Ini berarti bahwa kapitalisme terus-menerus menghasilkan produk surplus yang dibutuhkan oleh urbanisasi. Hubungan sebaliknya juga berlaku. Kapitalisme membutuhkan urbanisasi untuk menyerap kelebihan produk yang terus-menerus dihasilkannya. Dengan cara ini, koneksi batin muncul antara perkembangan kapitalisme dan urbanisasi. Karena itu, hampir tidak mengejutkan, kurva logistik pertumbuhan output kapitalis dari waktu ke waktu secara paralel disejajarkan dengan kurva logistik urbanisasi penduduk dunia.[15]

Industri pertanian kapitalis mengubah pola pertanian kecil subsisten di pedesaan. Pola ini membuat para petani harus lebih banyak menghasilkan produksi untuk pasar. Salah satu keharusan pasar yang mengikat adalah kompetisi. Dalam kompetisi, selalu ada yang kalah dan ada yang menang. Inilah pendongkrak urbanisasi.[16] Di manapun tempat tinggal yang kita pilih di perkotaan, padatnya populasi membuat jarak fisik antar manusia semakin dekat. Kota-kota sibuk yang disesaki kelas pekerja, arus datang dan pergi pedagang, dan wisatawan menjadi lahan ideal bagi pertumbuhan patogen.

Kepadatan populasi memfasilitasi tingkat penularan yang lebih tinggi dan mengurangi respons imun.[17] Covid-19—yang bisa menular tidak hanya melalui kontak fisik dan cairan, tetapi juga dari benda-benda yang disentuh pengidapnya—membuat kursi, meja, timbol lift, pegangan tangga, dan semua barang di hotel, apartemen, pusat perbelanjaan yang setiap hari disentuh manusia secara bergantian membuat virus ini semakin cepat menyebar. Situasi macam ini terjadi di Wuhan, pusat lahirnya Covid-19.

Dalam satu abad terakhir, ledakan populasi dipacu oleh perkembangan kapitalisme agrikulur yang terglobalisasi. Pada 1700, sebelum revolusi industi, dunia dihuni sekitar 700 juta manusia. Pada 1800, jumlah populasi manusia 950 juta. Pada 1900, populasi mulai meningkat menjadi 1,6 miliar. Dan, pada 2000, jumlah itu berlipat empat kali menjadi 6 miliar. Seiring dengan neoliberalisme dan globalisasi keempat, jumlah populasi bertambah 4 miliar hanya dalam waktu 2 dekade. Sekarang, ada 7,7 miliar sapiens di bumi ini!

Jika semua yang kita ulas di atas berkenaan dengan pandemi Covid-19, lalu bagaimana dengan wabah-wabah lainnya? Wabah tentu sudah terjadi sebelum kapitalisme, tetapi dalam kapitalisme kemunculan wabah semakin intens. Semua virus ini terjadi dan berhubungan dengan kapitalisme. Mulai dari wabah cacar, flu tuberkulosis, flu Spanyol, SARS, flu burung, flu babi, MERS, dan Ebola.

Wabah cacar tahun 1820, yang konon dibawa seorang budak Francisco de Egula dari Afrika di bawa dari Kuba ke Meksiko dan menewaskan 100 juta orang, muncul saat ekspansi kapitalis Eropa ke Amerika. Begitu juga dengan Flu tuberkulosis dan sipilis tahun 1778 yang menewaskan 430.000 orang meninggal di Hawai, dibawa James Cook dan rombongannya, juga dalam ekspansi ke Amerika.

Flu Spanyol 1918 terjadi di masa-masa perang antar kapitalis pertama, Perang Dunia I (PD I). Bermula dari parit-parit serdadu yang berperang, wabah lalu menyebar secara global menjadi pandemi. Terdapat fenomena yang muncul pertama kali saat itu. Perang dunia pertama baru saja berakhir dan seluruh pasukan sedang didemobilisasi, kembali ke rumah dengan penyakit itu. Wabah menyebar di sepanjang rute transportasi utama.[18] Dalam udara, ini adalah masa dimana sedang meningginya polusi energi batubara, bom, bahan pesawat tempur, tank, dll. Itu sebabnya, peneliti menemukan bahwa lebih banyak orang di kota-kota yang meninggal pada tahun 1918, dibandingkan daerah perkotaan yang kurang tercemar. Ada hubungan langsung antara polusi udara dan infeksi influenza pada saat itu.[19] PD I membunuh secara tidak langsung 40 juta orang dari tahun 1914-1918. Tapi, 100 juta lainnya meninggal dalam setahun karena flu.

Sementara, AIDS yang berkembang sejak 1980-an dan hingga kini menewaskan 30 juta orang; SARS 2002/2003 yang menewaskan 1000 orang; Flu Burung 2005; Flu Babi 2005; dan Ebola 2014 yang menewaskan 11.000, tidak bisa dilepaskan dari peran kapital agrikultur, persis sebagaimana diulas Wallace.

Kapitalisme Tak Mampu Menyelamatkan Umat Manusia dari Pandemi

Sejak kira-kira 40-30 tahun yang lalu, kapitalis global mendorong pemerintah menjalankan agenda neoliberalisme[20] di seluruh dunia, termasuk AS, negara-negara Uni Eropa, dan Indonesia. Sekarang, masyarakat di negara yang tidak neoliberallah yang menerima perlindungan lebih baik dari pemerintahnya saat wabah datang. Kuba, yang selama puluhan tahun diembargo AS tetapi memberikan prioritas bagi kekuatan medisnya, bisa mengirimkan dokter-doternya ke China dan Italia. Venezuela, yang juga disanksi AS dan sekarang masih berjuang lepas dari krisis ekonomi, menekan persebaran pandemi dengan sigap melakukan tes gratis terhadap warganya. Begitu juga dengan Vietnam, tak satupun ada korban jiwa di sana.

Negara-negara itu dengan sigap me-lockdown teritorialnya, tentu dengan menjamin kebutuhan dasar warganya, tanpa terbebani pertimbangan investasi seperti semua negara yang menjalankan sistem kapitalis-neoliberal seperti AS, Italia, Prancis, Inggris, Belanda, Indonesia, dll. Hampir semua negara dengan kematian tertinggi dalam wabah ini dikarenakan pemerintahnya lebih berkepentingan menjaga kapitalisme kala wabah datang dan bertahun-tahun sebelumnya  memangkas anggaran sosial dan kesehatan secara besar-besaran. AS, misalkan, badan penelitian pandemiologi dibubarkan, dan ribuan penelitinya tak lagi dipekerjakan.

Yang membuat situsi makin buruk, pencegahan pandemi bukanlah prioritas kapitalis farmasi raksasa multinasional. Mereka tidak tertarik melakukan investasi dalam penelitian untuk pencegahan pandemi. Investasi di bidang ini tidak begitu menguntungkan. Yang mereka minati adalah merancang obat untuk orang  sakit. Semakin sakit kita, semakin banyak yang mereka hasilkan. Pencegahan tidak berkontribusi pada keuntungan pemegang saham.[21] Itulah sebabnya kenapa mereka berlomba-lomba menemukan vaksin. “Semakin buruk pandemi itu, semakin tinggi laba pada akhirnya.”[22] Semakin sering wabah, semakin banyak vaksin dijual, semakin banyak laba korporasi farmasi multinasional.

Di berbagai negara, kita melihat para dokter dan pekerja medis berguguran karena minimnya anggaran kesehatan. Hingga 6 April 2020, 25 dokter di Indonesia meninggal dan tampaknya sudah lebih dari seratus pekerja medis terinfeksi. Di Miami, AS, seorang pekerja perusahaan medis yang mengalami gejala flu setelah pulang dari Tiongkok meminta rumah sakit setempat melakukan tes Covid-19. Begitu kagetnya ketika dia ditagih biaya sebesar USD 3270 (sekitar 52 juta rupiah). Tunjangan kesehatan yang ia terima sama sekali tak cukup untuk membayarnya.

Di New York, kota di mana pusat bursa saham dunia Wallstreet bertempat dan mampu membiayai eksploitasi dan reproduksi pemanasan global di seluruh dunia, Walikotanya teriak minta tolong karena kekurangan peralatan dan tenaga medis. Saat Covid-19 telah merenggut 1000 lebih nyawa warganya, New York hanya mendapatkan US$ 1 miliar atau Rp 16,3 triliun karena politik penghematan APBN Amerika Serikat. Angka itu 40 kali lebih kecil dari dana penanganan Corona di Indonesia.

Karena pasar dalam sistem kapitalis adalah satu-satunya arena untuk mendapatkan barang dan jasa yang diproduksi, virus yang menyerang tanpa diskriminasi akhirnya ditangani secara diskriminatif. Selama cukup uang, selalu ada hak untuk membeli. Tak peduli apakah kebutuhan orang lain dapat terpenuhi. Hukum pasar lantas bekerja sempurna. Harga-harga dimurahkan saat permintaan rendah, dan dimahalkan saat permintaan tinggi. Banyak masker diekspor ke China. Beberapa orang menimbun masker yang tersedia dan menjualnya berkali-kali lipat hingga tembus Rp.800 ribu per biji.

Biaya tes Covid-19 yang mencapai Rp.500 ribu membuat banyak orang mengeluh. Tapi pengusaha properti, Jerry Lo bisa mendatangkan satu unit petugas rumah sakit, lengkap dengan peralatan untuk memeriksa dirinya, keluarganya, dan pembantunya.[23] Pasar memberinya keleluasan untuk itu. Di Las Vegas, tempat di mana kasino terbesar para borjuasi dunia berada, hotel-hotel di sana sedang kosong saat wabah datang. Tetapi karena ratusan tunawisma tak mampu menyewa kamarnya, mereka ditempatkan di tempat parkir yang luas, beralaskan beton, beratapkan langit, mereka ditidurkan pemerintah di sana, lengkap dengan garis-garis putih untuk membuat jarak fisik layaknya kendaraan.

Yang juga ironis nasib kelas pekerja. Sementara semua orang mengkonsumsi barang yang diproduksi dan didistribusikan kelas pekerja, merekalah yang tetap disuruh bekerja meski wabah datang. Anjuran phisycal distancing hanya bisa dinikmati orang-orang yang dalam struktur piramida kapitalis lebih diuntungkan. Ekonomi kapitalisme harus terus bergerak. Selama belum meninggal, buruh industri harus terus bekerja.

Kalau laba korporasi menurun seiring Covid-19, kelas pekerja harus siap kehilangan pendapatan. Gelombang PHK akan terus terjadi di seluruh dunia dalam beberapa bulan ke depan diperkirakan 25 juta pekerja menjadi pangguran. Di Indonesia, 445 buruh Aerofood, 677 karyawan indosat, dan ratusan karyawan Bandara Soekarno-Hatta sudah di-PHK. Di Amerika Serikat, diperkiraan gelombang PHK ini akan mendorong pengangguran mencapai 20%. Di China, sekitar sepertiga dari semua pekerja terancam di-PHK.

Pilihan di Tangan Kita

Dalam situasi kalut itulah, lalu datang seorang Martin Suryajaya. Hari ini, sedang terjadi de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global. Corona membuat gerak kapital berhenti dan, karena itu, korporasi kapitalis pada bangkrut. Beberapa negara—Spanyol, AS, Perancis, Inggris, dan Irlandia terhadap Spanyol—menasionalisasi beberapa perusahaan itu.[24] Dari sinilah ia membayangkan negara-negara menjadi sosialis karena terpaksa. Kalau diteruskkan, mungkin kita akan mengimajinasikan diri dibebaskan pemerintah yang jadi sosialis karena terpaksa.

Saya terus terang belum ada alasan menerima imajinasi itu—dan Martin tepat ketika menulis: “..semua ini hanya kemungkinan dan saya tidak berpretensi mengklaim bahwa hal-hal itu niscaya terjadi”. Sebabnya sederhana. Secara teoretik, nasionalisasi perusahaan swasta tak otomatis berarti sosialisasi. Ia bisa saja berubah menjadi kapitalisme negara yang dikendalikan penguasa fasis. Secara praktis, Lord Luhut masih berkuasa dan barisan taman kanak-kanak pimpinan Puan Maharani masih ngotot mengesahkan Omnibus Law dan RKHUP saat kelas pekerja menderita. Ini membuat imajinasi ekonomi dan politik[25] Martin lebih pas untuk merevisi fiksi Utopia-nya Thomas Moore agar jadi millenial.

Kapitalisme memang mengalami krisis hebat saat ini. Tetapi, tanpa revolusi kelas pekerja, sejarah menunjukkan bahwa ia selalu punya cara untuk bangkit kembali. Dan, dari Flu Spanyol hingga Flu Asia, dari Flu Babi hingga Flu Burung, korban terbesar dari semua itu adalah kelas buruh: dari yang tetap dipaksa bekerja saat wabah datang, menjadi korban meninggal terbanyak karena desak-desakan di pabrik, sampai di-PHK massal.[26] Di titik inilah, saya lebih merekomendasikan pembaca untuk memperhatikan peringatan Naomi Klein tentang disaster capitalism (kapitalisme bencana). Bahwa dalam situasi kalut begini, kapitalis sering memanfaatkan negara untuk menyelamatkan mereka dari kebangkrutan dan membuat gerak kapital setelah itu jauh lebih hebat.

Yang terjadi saat ini, negara dimana-mana memang memperbesar kekuasannya. Pola-pola pengawasan yang dilakukan saat ini berpotensi dipertahankan ketika wabah berakhir untuk meningkatkan totalitarianisme.[27]

Sekarang, pilihan di tangan kita. Tidak bisa kita sandarkan pada pejabat negara yang jadi panitia sistem ini. Solidaritas untuk memenuhi kebutuhan sesama golongan paling rentan terdampak wabah ini (buruh industri, korban PHK, pedagang kecil informal yang kehilangan pendapatan, buruh tani. Artinya, segenap proletariat dan lumpen proletariat) mendesak. Beberapa tempat sudah melakukannya. Bersamaan dengan itu, jangan lupa. Perjuangan revolusionerlah yang membuat Kuba, Vietnam, Venezuela hari sanggup melindungi warganya dari pandemi ini. Tak ada sosialisme tanpa revolusi. Sekarang adalah momentum tepat untuk melipatgandakan kehendak politik mewujudkan sosialisme, bersama seluruh kelas pekerja di seluruh dunia! ***

 

Catatan Kaki

[1] Berbagai bualan diproduksi pemerintah untuk menjaga investasi/kapitalisme terus bekerja. Mulai dari virus ini tak bisa masuk karena cuaca (Jokowi & Luhut), karena sering makan nasi kucing (Menhub Budi Karya), karena rajin membaca doa qunut (Wapres Ma’ruf Amin), karena izin investasi berbelit-belit (Menko Airlangga Hartanto & Menkumham Mahfud MD); sampai dengan congkak menantang peneliti Harvard membuktikan adanya (Menkes Terawan). Tak terkecuali Jokowi, saat wabah datang, ia justru mengucurkan Rp. 72 Milliar pada inflencer untuk mendatangkan wisatawan mancanegara yang batal ke Tiongkok. “Ayo Berwisata, Jangan Takut Virus Corona”, begitu judul berita di Metro TV pada 11 Maret 2020.

[2] Seorang da’i tenar menyebut virus ini tentara Allah yang diturunkan untuk menghukum negara ‘komunis’ China. Padahal, China bukan negara komunis dan virus ini telah menyebar termasuk negara mayoritas penduduk muslim. Banyak juga yang menyebutnya sebagai adzab Tuhan bagi manusia akhir zaman. Padahal virus sudah sekian kali terjadi dan zaman juga tak kunjung berakhir. Dari arah berlainan, konsumen ‘teori’ konspirasi yakin bahwa Covid-19 berasal dari laboratorium senjata biologis yang bocor, meski tak ada bukti faktual yang valid untuk itu. Banyak orang akhirnya sibuk menuntut Tuhan, atau menunggu kebenaran untuk datang, sementara pejabat ceroboh yang mengacaukan situasi dibiarkan begitu saja.

[3] Karena tak mampu menanggung kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak ketika Karantina Rumah UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan Pasal 52 Ayat 1), yang dilakukan hanya Pembatasan Sosial Berskala Besar, sementara tamu mancanegara dibiarkan secara leluasa.

[4] Rob Wallace, Alex Liebman, Luis Fernando Chaves and Rodrick Wallace, COVID-19 and Circuits of Capital. Monthly Review. Apr 01, 2020.

[5] Rob Wallace. Notes on a novel coronavirus. Monthly Review. Jan 29, 2020.

[6] Mula-mula, ditemukannya sistem kredit dan investasi di Eropa menggerakkan kompetisi dagang para borjuasi. Ketika Cristhoper Columbus, setelah meyakinan para investor membiayainya, berhasil berlayar dan menginjakkan kakinya Benua Amerika, para investor dan kelas borjuasi semakin yakin bahwa mereka dapat mengelilingi bumi untuk berburu kekayaan. Dari sinilah kisah penjajahan bermula. Di Amerika, Asia, dan Afrika, mereka mulai menaklukkan penduduk sekaligus mendirikan berbagai industri perkebunan di sana. Hasilnya mereka jual di pasar Eropa. Dalam beberapa abad, akumulasi laba dari perdagangan itu mereka investasikan untuk mengembangkan teknologi.

Tapi tatanan ekonomi politik saat itu—feodalisme—menghambat kemajuan produksi. Tatanan piramida sistem feodal berpuncak pada kemakmuran tuan tanah: raja, bangsawan, dan gereja. Pedagang/borjuasi dan petani hamba mereka tindas. Borjuasi ditindas dengan berbagai pembatasan kebebasan berdagang, seperti pajak atau upeti yang tinggi. Kalau penemuan mesin hasil investasi para borjuasi dapat digunakan secara bebas, hasil kekayaan yang berlipat ganda dapat meruntuhkan kedigdayaan kelas feodal. Lantaran itu, raja-raja dan gereja sekuat mungkin berusaha menghambat kebangkitan borjuasi.

Meski demikian, perkembangan produksi menjanjikan masa depan lebih baik. Ini menyediakan dua pilihan bagi borjuasi dan kaum tani: diam tertindas atau bangkit melawan. Dari sinilah kisah dimana revolusi borjuasi meruntuhkan kaum bangsawan feodal bermula. Perjuangan meraih kebebasan politik dari monarki, kebebasan berdagang, dan mengakhiri hegemoni gereja yang melegitimasi feodalisme bergaung. Kaum tani yang juga dimiskinkan ratusan tahun juga terlibat.

Satu persatu kekuasaan raja-raja bertumbangan dan lantas melahirkan tatanan politik yang baru: negara-bangsa (nation-state) dan demokrasi dalam politik, serta kapitalisme dalam sistem ekonomi. Demokrasi sejak awal menjadi alat para borjuasi mengendalikan negara. Berbeda dengan kaum tani dan kaum miskin lainnya, mereka memiliki sumber daya yang tidak dimiliki kelas pekerja: modal. Dengan modal, mereka dapat membayar siapapun untuk memilih dan mendukung tatanan ekonomi politik yang mereka bangun.

Revolusi borjuasi meletuskan apa yang kita sebut sekarang sebagai Revolusi Industri (abad 18). Sejak itu, perlombaan industralisasi diantara mereka melahirkan dampak yang luar biasa. Tanah-tanah bersama/komunal, yang digunakan para petani untuk menanam dan beternak di berbagai negara, mulai diprivatisasi. Tujuannya banyak, dari menanam tanaman secara luas sebagai bahan baku industri seperti kapas, sampai mendapatkan buruh murah yang bisa dipekerjakan di pabrik-pabrik. Petani yang dipisahkan dari alat produksinya inilah yang lantas dipaksa bekerja di pabrik.

Pada akhir abad 19, kekayaan borjuasi Eropa yang semakin terakumulasi mendorong perburuan bahan baku maupun dan tenaga kerja murah di wilayah jajahan. Di Eropa, mereka bersaing memperebutkan pasar. Kapling-mengkapling wilayah investasi atau jajahan terjadi. Pada tingkatan tertentu, ketegangan persaingan ini menimbulkan peperangan borjuasi antar wilayah. Dengan kelebihan politik, ekonomi, dan pengetahuan yang dimiliki, mereka memobilisasi penduduk sebagai tentara untuk berperang atas nama bela negara/nasionalisme. Perang-perang antar borjuasi berkecamuk nan berkepanjangan, diantaranya memuncak menjadi Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1945).

Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan ‘borjuasi’ Amerika Serikat (AS). Tatanan dunia baru dimulai. Ekspansi kapital tak lagi dilakukan dengan kolonialisme vulgar, melainkan dengan penyeragaman sistem politik, ekonomi, dan kebudayaan. Untuk kepentingan itu, AS mempelopori berbagai pendirikan lembaga global. Mulai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (World Bank), dan lain-lain. Negara manapun yang ingin merdeka, harus mengikuti tatanan global yang dibangun borjuasi ini.

Sekarang, sebagian besar orang memahami negara-bangsa, demokrasi, dan sistem korporasi sebagai sesuatu yang normal. Padahal, ia adalah produk borjuasi. Begitu juga dengan perbankan dan pasar saham/modal, dua institusi ini berguna untuk memusatkan modal-modal kecil yang terpencar-pencar (sentralisasi modal) dan membiayai perluasan produksi di berbagai sektor (reinvestasi): agrikultur, manufaktur, transportasi, sampai telekomunikasi yang berkembang dalam separuh abad terakhir.

[7] Martin Suryajaya. Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona atau Cerita tentang Dua Virus. 

[8] Yuval Noah Harari, Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015)

[9] Rob Wallace. Big Farms Make Big Flu: Dispatches on Infectious Disease, Agribusiness, and the Nature of Science. New York: Monthly Review Press. 2016.

[10] Rob Wallace. Capitalism is a disease hotspot”. Yaak Pabst interviews Monthly Review Press author Rob Wallace about the coronavirus pandemic. Monthly Review. Mar 12, 2020.

[11] David Molyneux et al., “Zoonoses and Marginalised Infectious Diseases of Poverty: Where Do We Stand?,” Parasites & Vectors 4, no. 106 (2011); Rob Wallace, Alex Liebman, Luis Fernando Chaves and Rodrick Wallace, COVID-19 and Circuits of Capital. Monthly Review. Apr 01, 2020.

[12] Rob Wallace, Alex Liebman, Luis Fernando Chaves and Rodrick Wallace, COVID-19 and Circuits of Capital. Monthly Review. Apr 01, 2020.

[13] Rob Wallace. Notes on a novel coronavirus. Monthly Review. Jan 29, 2020.

[14] Muhtar Habibi. Idul Fitri, Kelas Pekerja, dan Penebusan Palsu. Transisi. 13 Juni 2019.

[15] David Harvey. Rebel Cities: From the Right to the City to Urban Revolution. Verso, 2012. 4.

[16] Kisah di Indonesia misalkan, program intensifikasi produksi pertanian dan liberalisasi impor pangan yang didesakkan oleh lembaga kapitalis internasional—Bank Dunia, serta pembiaran terhadap rantai tengkulak oleh pemerintah membuat para petani kecil tercekik. Tidak sedikitpun ada alasan untuk melarang importir dan tengkulak bagi pemerintah yang menganut ajaran perdagangan bebas (kapitalis). Justru dalam ajaran itu, mereka adalah homoeconomicus sejati, rasional, dalam arti pintar menghasilkan uang. Sebagian kecil petani pemilik lahan luas mungkin akan sanggup bertahan, tetapi sebagian besar petani berlahan kecil tidak.

Oleh karena pemerintah menggantungkan ekonomi pada investasi, para investor diberi keleluasan untuk mendirikan berbagai industri di pedesaan. Entah itu manufaktur, pertambangan, atau perkebunan, tergantung di mana wilayah pedesaan itu berada. Dalam banyak kasus, mereka bahkan leluasa menyuap pejabat untuk menerbitkan izin (eksplotasi maupun mendirikan bangunan) serta mengerahkan polisi untuk mengambilalih tanah-tanah petani. Ketika industri di pedesaan sudah didirikan, para petani tak bisa bekerja di sana karena tak memiliki ijazah standart untuk melamar pekerjaan. Sedangkan industri perkebunan, meski tak perlu ijazah untuk melamar kerja di sana, tak cukup menyediakan pekerjaan bagi banyak orang.

Kota lantas menjadi harapan untuk mencari penghidupan. Padahal, kapitalisme di perkotaan tak kalah kejamnya. Kota memiliki mobilitas penduduk yang tinggi dan populasi yang padat. Perkampungan tidak mudah lagi kita lihat. Pemerintah yang mendasarkan ukuran kemajuan pada teori pertumbuhan ekonomi ala kapitalis—model kalkulasi kemajuan ekonomi berdasarkan kapasitas sebuah wilayah untuk menghasilkan uang—menganggap perkampungan tak memberi kontribusi. Perkampungan lantas diubah menjadi pusat pekantoran, perbelanjaan, sampai hotel untuk singgah para ekspatriat. Penduduk kampung, sebagai gantinya, diberikan pilihan: tinggal di apartemen, rumah susun, atau perkampungan tersisa yang sudah sangat sesak. Sebagian yang tidak beruntung membangun pemukiran di pinggiran sungai, di lahan kosong yang dibiarkan investor, lalu digusur ketika investor hendak memakainya.

[17] Rob Wallace. Capitalism is a disease hotspot. Yaak Pabst interviews Monthly Review Press author Rob Wallace about the coronavirus pandemic. Monthly Review. Mar 12, 2020

[18] Chris Colvin. Eoin McLaughlin. Coronavirus and Spanish flu: economic lessons to learn from the last truly global pandemic. The Coversation. Maret 11, 2020.

[19]  Karen Clay, Joshua Lewis, Edson Severnini. Pollution, Infectious Disease, and Mortality: Evidence from the 1918 Spanish Influenza Pandemic. The Journal of Economic History. Cambridge. Vol 78. Isues 4. December 2018 , pp. 1179-1209.

[20] Dalam agenda ini, negara-negara didorong menjual perusahaan negara dan SDA yang sebelumnya hanya boleh dikelola oleh perusahaan negara ke swasta (privatisasi), menyesuaikan aturan ekonomi sesuai agenda kapitalis global (deregulasi), menghapus tarif ekspor-impor (liberalisasi). Tujuannya, seperti kata ekonom mereka, agar pasar bekerja dengan sebaik-baiknya. Negara tidak boleh menghambat perkembangan pasar. Salah satu dampaknya yang paling kita rasakah adalah di sini: tiadanya jaminan sosial terhadap kebutuhan hidup dasar yang bisa diakses secara gartis (kesehatan, pendidikan tinggi, dll). Jaminan sosial dianggap menghalangi pasar, karena perusahaan-perusahaan ingin bermain di sektor itu tidak bisa. Itu sebabnya, anggaran sosial dalam APBN dikurangi. Sebagai gantinya, anggaran sosial dalam APBN itu lebih banyak disalurkan untuk memfasilitasi para investor: membangun infrastruktur, membangunkan kawasan-kawasan industri, dan lain sebagainya. Kecuali negara-negara yang tidak tunduk pada AS, hampir semua negara menjalankan agenda itu.

[21] David Harvey. Anti-Capitalist Politics in the Time of COVID-19. Jacobinmag. Maert 2020.

[22] Sharon Lerner. Big Pharma Drug Pricing Coronavirus Profits.The Intercept. 14 Maret 2020

[23] Di berbagai negara termasuk Indonesia, kekuasan yang ditopang oleh modal atau oligarki menjadi salah satu representasi kapitalism. Apakah semua oligark, dari pusat sampai daerah melakukan tes dengan memanggil petugas rumah sakit lengkap dengan alat rontgennya ke rumahnya seperti yang dilakukan Jeffery Lo? Kita tidak tahu. Tapi, sulit membayangkan mereka, yang biasa dikawal mobil kepolisian di jalanan, datang dan mengantri di rumah sakit untuk melakukan tes.

[24] Martin Suryajaya. Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Corona. 

[25] Martin Suryajaya. Membayangkan Politik Dunia Setelah Corona. 

[26] Syarifah Aini Dalimunthe. Bencana Pandemi COVID-19 Tidak “Socially Neutral”! 3 Maret 2020.

[27] Yuval Noah Harari. Yuval Noah Harari: the world after coronavirus. Financial Times. March 20 2020.

 

0 comments:

Post a Comment

 
;