Pada Suatu hari
Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa
pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau
berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama
kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk
ruangan < itu.
“Romo, telah lama
saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini.
Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari
balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama
orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang
lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil
berlutut di bangku pengakuan.
“Apa yang akan kamu
lakukan?”
“Romo…. Romo, saya
bermimpi.”
“Mimpi bukan dosa.”
“Mimpi ini
terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka
saya datang kemari.”