Monday, November 16, 2015

Kembali Tuk Mengabdi

Tak terasa waktu sudah mengantarkanku pada penghujung masa pengabdian. Suatu hari yang tak pernah terbayangkan dengan jelas dalam benakku. Suatu hari dimana segala rasa akan terlebur menjadi satu. Layaknya ketujuh warna pelangi yang terspektrumisasi menjadi cahaya putih nan terang. Air mata bahagia dan tangis sedih mengingatkan pada setiap jengkal memori yang pernah terjadi. Akankah masa itu akan datang kembali, walaupun roda masa takkan pernah bergulir kembali.
Engkau adalah sebuah kisah, yang dituliskan dengan tinta emas oleh para penulis yang handal merangkai kata. Engkau adalah sebuah lukisan yang dipadukan beragam warna sehingga tercipta suatu karya besar nan eksotis. Tak lekang oleh zaman, walau matahari dan bulan silih berganti menemanimu.
Merajut kain asa karya imajinasi, menanam pohon cita-cita di atas tanahmu nan wangi. Menempa jiwa dan ragaku di dalam kawah candradimuka layaknya seorang ksatria. Di antara langit dan bumimu aku mengolah hidup. Di antara hitam dan putih warnamu aku mengolah kepastian. Di antara suka dan duka aku mengolah keteguhan. Dan diantara hidup dan mati aku mengolah kegagahan.

Akankah semua akan tetap adanya? Sementara lembaran demi lembaran terus bertambah. Lembaran-lembaran yang usang pun digantikan dengan lembaran-lembaran yang kesat dan harum. Sementara kisah ini harus terus berlanjut sampai akhir masa. Kisah ini tak boleh berakhir. Sebab jika itu terjadi, sebuah karya besar dalam sejarah peradaban bangsa ini akan musnah. Hanya tinggal kisah yang diturunkan oleh setiap pembacanya hingga batas tertentu dari anak-cucu keturunan mereka. Jangan kau buang lembaran-lembaran lama itu! Agar kisah yang diturunkan kepada generasi nanti menjadi sempurna. Agar karya besar bangsa ini bisa tetap terus mengajarkan kebijaksaan bagi anak bangsanya.
Aku berhutang besar padamu.  Setiap hela nafas yang kuhirup, setiap tanah yang kujejak, setiap tetes air yang mengalir dalam tubuhku mungkin akan berbicara, “Betapa tak tau dirinya kau jika hutang ini tak kau tuntaskan! Kau berhutang kepada dua ratus juta rakyat negerimu!” Sekejap tubuhku bergetar hingga tak kuat lagi menahan air mata . Ratusan juta rakyat negeri ini menuntut hutangnya untuk segera dilunasi. Lalu apa yang dapat kulakukan? Aku semakin terdesak dan bertekad dalam hati. Lihatlah nanti, sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun lagi aku akan kembali. Membawa bingkai bertabur berlian sebagai penyempurna lukisan ini. Akan kubawa pula sampul berlapis emas  untuk mempercantik wajah catatan karya besar bangsa ini. Doakan aku, semoga tekadku sekeras baja dan tak tergerus oleh air kenistaan. Saat kumulai langkah pertamaku, semua ini akan terkenang hingga ajal menjemputku nanti pada langkah terakhir.


0 comments:

Post a Comment

 
;