Wednesday, March 29, 2017

“Pemahaman Agama Sebagai Filsafat Dalam Perspektif Materialime”


Agama merupakan sesuatu yang sangat sakral untuk di perdebatkan dan di kritik, namun tampilnya Descartes dan Kant membuka jalan atas kritik agama yang juga menjadi jalan pengubah keadaan sosial politik di Eropa pada masa itu. Sebelum tampilnya mereka berdua sebagai seorang filsuf, Eropa di liputi kegelapan agama yang sangat pekat sehingga setiap aspek kehidupan merupakan bagian dari agama. Eropa diliputi dengan ajaran bahwa semua berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Pemikiran ilmiah seperti pemikiran Galilean dan Copernican di berangus habis demi melanggengkan kekuasaan agama di Eropa.
Bagaimana dengan dunia timur? Di dunia lama, agama dijadikan alat kekuasaan bagi para kaum Feodal untuk melegalkan monarki absolut. Sering kita dengar bahwa para raja di dunia timur merupakan titisan Dewa ataupun Tuhan, maka bagi siapa yang menentang kerajaan, dia akan mendapat hukum Tuhan yang absolute. Yang demikian merupakan pemerintahan bentuk Monarki Teokrasi. Beda lagi, ketika Feodal di berangus sejak adanya Revolusi Perancis, agama di jadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan atas ekonomi masyarakat. Maka tidak heran kita menyatakan bahwa agama adalah alat penindasan kaum bawah.

Agama adalah subjek bagi masyarakat dan masyarakat sebagai objeknya. Dengan ini kita dapat menyatakan bahwa tingkatan Feodal tertinggi adalah agama atau materinya merupakan para pemuka agama. Konsep ini dapat kita lihat dalam ajaran agama Kristen dan Hindu. Bagaimana dengan yang lainnya? Islam juga mengenal konsep yang demikian dengan tingkatan tertingginya adalah para pemuka agama yang bertugas mendogma agama atau mendoktrin agama kepada masyarakat. Bahkan seperti pada kasusnya di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia atau MUI mempunyai kuasa untuk memfatwakan sesuatu itu halal atau haram. 
Tetapi bukan berarti saya yang menulis ini tidak beragama sama sekali, namun dari sisi Materialisme maka saya mungkin akan menyatakan betapa tidak perlunya agama dalam masyarakat karena agama merupakan kebutuhan individu. Tetapi dari sisi agama, kaum Materialis tidak menyadari bahwa pembentukan moral dan pembatasan sikap individu di perlukan sehingga tampil lah agama sebagai jalan pertama membatasi sikap dan moral kita. 
Saya pernah mendapati tulisan bahwa moral dan etika dalam Materialisme bukan tidak ada sama sekali, karena realitas dari moral dan etika merupakan output dari pemikiran dan kesadaran individu. Kesadaran dan pemikiran itu sendiri merupakan hasil dari sifat biologis otak. Disini kita dapat memahami bahwa pemikiran, perasaan, emosi, dan moral bahkan merupakan hasil dari kerja otak. Namun betapa sempurnanya filsafat Materialisme yang kita anut akan terbentur dengan satu pertanyaan, apa yang harusnya mengatur ini semua? Apakah kita lagi-lagi akan menjawab bahwa materi atau bahkan benda di dalam dirinya merupakan penentu dari gerak Alam Semesta. Jika iya, inilah yang kita sebut dengan Materialisme Dialektika.
Untuk menyelesaikan persoalan idealisme dalam agama, maka perlunya kita merasionalkan setiap ajaran dari keagamaan. Jika agama tersebut bertahan dalam percobaan ilmiah, bisa kita katakan bahwa agama tersebut bersifat non konservatif. Sejauh pandangan saya, agama nantinya akan tidak bersifat Idealisme lagi seperti kebanyakan para pemuka agama mendoktrinnya.
Kita kaum Materialisme memahami bahwa tiada yang namanya keghaiban karena apa yang tercitra dalam indrawi kita merupakan realita dan material. Materi tersebut selalu bergerak tiap detiknya sehingga menciptakan pertentangan pergerakan yang terkadang mengubah keadaan yang kuantitatif menjadi kualitatif. Kita juga memahami bahwa pertentangan tersebut terus berlangsung menciptakan peristiwa-peristiwa sejarah yang selalu di latar belakangi faktor kebutuhan. Inilah inti dari MDH.
Tetapi kita sebagai umat beragama meyakini bahwa agama di perlukan walaupun bersifat individualis. Marx sendiri tidak pernah menyatakan bahwa kita harus tidak beragama, namun dia menyatakan bahwa agama merupakan tempat keluh kesahnya masyarakat. Pernyataan Marx paling terkenal tentang agama yaitu “Agama adalah candu bagi masyarakat” juga merupakan pernyataan yang bukan merupakan suruhan kepada kita untuk meninggalkan agama. Kita memahami candu atau opium merupakan obat penghilang rasa sakit yang efektif sehingga sering digunakan untuk obat bius. Hal inilah yang di analogikan Marx tentang agama. Berarti tidak ada larangan bagi kaum beragama untuk menjadi seorang Marxisme atau Komunisme.
Tetapi sekarang tugas kita adalah merasionalkan ajaran agama tersebut karena hal itulah yang akan membawa kita ke jalan perkembangan agama yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Kita tidak akan mematikan Tuhan, namun mengembangkan konsep ketuhanan kita sebagai tempat kita untuk berkeluh kesah. Kita bukanlah Nietzche yang mematikan Tuhannya dalam kehidupan masyarakat. Namun kita adalah orang yang akan menghidupkan Tuhan dalam perspektif Materialisme.
Pembahasan aturan dan doktrin keagamaan bukanlah untuk masyarakat, namun lebih bersifat individualis. Kita mengenal puasa sebagai salah satu ajaran agama dan perintah dari Tuhan, tetapi jika kita meneliti lebih dalam lagi, maka puasa berguna untuk menyehatkan tubuh. Juga dalam Sholat, Berwhudu, ataupun bentuk ibadah lainnya yang bersifat rasional.
Mengenai hubungan kita dengan Tuhan, sifatnya adalah bentuk dari pemikiran dan kesadaran kita akan pengaturan alam semesta dan juga perkembangan hukum gerak materi yang sangat tertata rapi. Tuhan adalah Maha Pengatur alam semesta, seperti juga bagi ilmuwan yang percaya adanya perancangan cerdas tentang alam semesta ini.
Tuhan bagi kaum Materialisme adalah bersifat subjek material itu sendiri yang berada di luar dari jalur materi. Dan semua ciptaannya yang berbentuk materi merupakan subjek pergerakan dan pertentangan. Tuhan bagi kaum Materialisme adalah sebuah anasir yang menciptakan pergerakan rasional alam semesta yang berada di luar alam semesta itu sendiri. Kita memahami bahwa pikiran dan perasaan kita terbebas dari dimensi alam semesta, maka bisa kita pastikan bahwa Tuhan adalah salah satu anasir yang hidup dalam pikiran dan perasaan kita.
Bentuk Tuhan bukanlah seperti yang pernah kita gambarkan atau yang pernah Xenophanes jelaskan tentang ini. Bentuk Tuhan tidak terdefenisikan karena Dia merupakan suatu subjek material yang berada di luar material itu sendiri. Tuhan merupakan subjek yang kekal abadi dan tidak terikat dengan semua ciptaannya. Hal ini berarti Tuhan tidak terikat dengan ruang ataupun waktu. Waktu adalah paradoks, tetapi Tuhan tidak demikian karena dia menguasai waktu. Ruang merupakan intensitas materi tetapi Tuhan tidak demikian karena dia menguasai ruang.
Bagi kebanyakan kaum Materialis, mungkin hal ini kelihatan tidak masuk akal dan bagi kaum Idealis, karena tidak ada yang namanya rasionalitas Tuhan. Tetapi jelas kita harus pahami bahwa realitas Tuhan perlu di sodorkan demi memantapkan tujuan. Saya juga perlu menyelidiki lebih lanjut tentang realitas surga dan neraka.
Tetapi pendapat saya ini hanya untuk membela kaum Komunis yang beragama. Karena tidak selamanya Komunisme di liputi oleh kaum Atheis ataupun Semi Atheis karena sesungguhnya bahkan menurut perkataan Haji Misbach pun bahwa Komunisme ini sejalan dengan agama. Berbicara tentang kesejahteraan masyarakat dan pertentangan dengan kaum Kapitalis maka Komunisme adalah sebuah filsafat yang sejalan dengan agama.
Merasionalkan agama merupakan suatu jalan untuk mengeluarkan bangsa ini dari kehidupan mistisnya. Bagi agama yang konservatif, maka akan menuju jalan kematian karena semua harus berdasarkan metode ilmiah analitik. Komunisme dan Marxisme menganalisis masyarakat bersandarkan pada Materialisme Historis. Maka kembangkan Materialisme sebagai suatu filsafat dasar yang membimbing bangsa ini pada suatu kemajuan.
-Bersambung!

0 comments:

Post a Comment

 
;