Agama
merupakan sesuatu yang sangat sakral untuk di perdebatkan dan di kritik, namun
tampilnya Descartes dan Kant membuka jalan atas kritik agama yang juga menjadi
jalan pengubah keadaan sosial politik di Eropa pada masa itu. Sebelum tampilnya
mereka berdua sebagai seorang filsuf, Eropa di liputi kegelapan agama yang
sangat pekat sehingga setiap aspek kehidupan merupakan bagian dari agama. Eropa
diliputi dengan ajaran bahwa semua berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada
Tuhan. Pemikiran ilmiah seperti pemikiran Galilean dan Copernican di berangus
habis demi melanggengkan kekuasaan agama di Eropa.
Bagaimana
dengan dunia timur? Di dunia lama, agama dijadikan alat kekuasaan bagi para
kaum Feodal untuk melegalkan monarki absolut. Sering kita dengar bahwa para
raja di dunia timur merupakan titisan Dewa ataupun Tuhan, maka bagi siapa yang
menentang kerajaan, dia akan mendapat hukum Tuhan yang absolute. Yang demikian
merupakan pemerintahan bentuk Monarki Teokrasi. Beda lagi, ketika Feodal di
berangus sejak adanya Revolusi Perancis, agama di jadikan alat untuk
melanggengkan kekuasaan atas ekonomi masyarakat. Maka tidak heran kita
menyatakan bahwa agama adalah alat penindasan kaum bawah.
Agama
adalah subjek bagi masyarakat dan masyarakat sebagai objeknya. Dengan ini kita
dapat menyatakan bahwa tingkatan Feodal tertinggi adalah agama atau materinya
merupakan para pemuka agama. Konsep ini dapat kita lihat dalam ajaran agama
Kristen dan Hindu. Bagaimana dengan yang lainnya? Islam juga mengenal konsep
yang demikian dengan tingkatan tertingginya adalah para pemuka agama yang
bertugas mendogma agama atau mendoktrin agama kepada masyarakat. Bahkan seperti
pada kasusnya di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia atau MUI mempunyai kuasa
untuk memfatwakan sesuatu itu halal atau haram.
Tetapi
bukan berarti saya yang menulis ini tidak beragama sama sekali, namun dari sisi
Materialisme maka saya mungkin akan menyatakan betapa tidak perlunya agama
dalam masyarakat karena agama merupakan kebutuhan individu. Tetapi dari sisi
agama, kaum Materialis tidak menyadari bahwa pembentukan moral dan pembatasan
sikap individu di perlukan sehingga tampil lah agama sebagai jalan pertama
membatasi sikap dan moral kita.
Saya
pernah mendapati tulisan bahwa moral dan etika dalam Materialisme bukan tidak
ada sama sekali, karena realitas dari moral dan etika merupakan output dari
pemikiran dan kesadaran individu. Kesadaran dan pemikiran itu sendiri merupakan
hasil dari sifat biologis otak. Disini kita dapat memahami bahwa pemikiran,
perasaan, emosi, dan moral bahkan merupakan hasil dari kerja otak. Namun betapa
sempurnanya filsafat Materialisme yang kita anut akan terbentur dengan satu
pertanyaan, apa yang harusnya mengatur ini semua? Apakah kita lagi-lagi akan
menjawab bahwa materi atau bahkan benda di dalam dirinya merupakan penentu dari
gerak Alam Semesta. Jika iya, inilah yang kita sebut dengan Materialisme
Dialektika.
Untuk
menyelesaikan persoalan idealisme dalam agama, maka perlunya kita merasionalkan
setiap ajaran dari keagamaan. Jika agama tersebut bertahan dalam percobaan
ilmiah, bisa kita katakan bahwa agama tersebut bersifat non konservatif. Sejauh
pandangan saya, agama nantinya akan tidak bersifat Idealisme lagi seperti
kebanyakan para pemuka agama mendoktrinnya.
Kita kaum
Materialisme memahami bahwa tiada yang namanya keghaiban karena apa yang
tercitra dalam indrawi kita merupakan realita dan material. Materi tersebut
selalu bergerak tiap detiknya sehingga menciptakan pertentangan pergerakan yang
terkadang mengubah keadaan yang kuantitatif menjadi kualitatif. Kita juga
memahami bahwa pertentangan tersebut terus berlangsung menciptakan peristiwa-peristiwa
sejarah yang selalu di latar belakangi faktor kebutuhan. Inilah inti dari MDH.
Tetapi
kita sebagai umat beragama meyakini bahwa agama di perlukan walaupun bersifat
individualis. Marx sendiri tidak pernah menyatakan bahwa kita harus tidak
beragama, namun dia menyatakan bahwa agama merupakan tempat keluh kesahnya
masyarakat. Pernyataan Marx paling terkenal tentang agama yaitu “Agama adalah
candu bagi masyarakat” juga merupakan pernyataan yang bukan merupakan suruhan
kepada kita untuk meninggalkan agama. Kita memahami candu atau opium merupakan
obat penghilang rasa sakit yang efektif sehingga sering digunakan untuk obat
bius. Hal inilah yang di analogikan Marx tentang agama. Berarti tidak ada
larangan bagi kaum beragama untuk menjadi seorang Marxisme atau Komunisme.
Tetapi
sekarang tugas kita adalah merasionalkan ajaran agama tersebut karena hal
itulah yang akan membawa kita ke jalan perkembangan agama yang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Kita tidak akan mematikan Tuhan, namun
mengembangkan konsep ketuhanan kita sebagai tempat kita untuk berkeluh kesah.
Kita bukanlah Nietzche yang mematikan Tuhannya dalam kehidupan masyarakat.
Namun kita adalah orang yang akan menghidupkan Tuhan dalam perspektif
Materialisme.
Pembahasan
aturan dan doktrin keagamaan bukanlah untuk masyarakat, namun lebih bersifat
individualis. Kita mengenal puasa sebagai salah satu ajaran agama dan perintah
dari Tuhan, tetapi jika kita meneliti lebih dalam lagi, maka puasa berguna
untuk menyehatkan tubuh. Juga dalam Sholat, Berwhudu, ataupun bentuk ibadah
lainnya yang bersifat rasional.
Mengenai
hubungan kita dengan Tuhan, sifatnya adalah bentuk dari pemikiran dan kesadaran
kita akan pengaturan alam semesta dan juga perkembangan hukum gerak materi yang
sangat tertata rapi. Tuhan adalah Maha Pengatur alam semesta, seperti juga bagi
ilmuwan yang percaya adanya perancangan cerdas tentang alam semesta ini.
Tuhan
bagi kaum Materialisme adalah bersifat subjek material itu sendiri yang berada
di luar dari jalur materi. Dan semua ciptaannya yang berbentuk materi merupakan
subjek pergerakan dan pertentangan. Tuhan bagi kaum Materialisme adalah sebuah
anasir yang menciptakan pergerakan rasional alam semesta yang berada di luar
alam semesta itu sendiri. Kita memahami bahwa pikiran dan perasaan kita
terbebas dari dimensi alam semesta, maka bisa kita pastikan bahwa Tuhan adalah
salah satu anasir yang hidup dalam pikiran dan perasaan kita.
Bentuk
Tuhan bukanlah seperti yang pernah kita gambarkan atau yang pernah Xenophanes
jelaskan tentang ini. Bentuk Tuhan tidak terdefenisikan karena Dia merupakan
suatu subjek material yang berada di luar material itu sendiri. Tuhan merupakan
subjek yang kekal abadi dan tidak terikat dengan semua ciptaannya. Hal ini
berarti Tuhan tidak terikat dengan ruang ataupun waktu. Waktu adalah paradoks,
tetapi Tuhan tidak demikian karena dia menguasai waktu. Ruang merupakan
intensitas materi tetapi Tuhan tidak demikian karena dia menguasai ruang.
Bagi
kebanyakan kaum Materialis, mungkin hal ini kelihatan tidak masuk akal dan bagi
kaum Idealis, karena tidak ada yang namanya rasionalitas Tuhan. Tetapi jelas
kita harus pahami bahwa realitas Tuhan perlu di sodorkan demi memantapkan
tujuan. Saya juga perlu menyelidiki lebih lanjut tentang realitas surga dan
neraka.
Tetapi
pendapat saya ini hanya untuk membela kaum Komunis yang beragama. Karena tidak
selamanya Komunisme di liputi oleh kaum Atheis ataupun Semi Atheis karena
sesungguhnya bahkan menurut perkataan Haji Misbach pun bahwa Komunisme ini
sejalan dengan agama. Berbicara tentang kesejahteraan masyarakat dan
pertentangan dengan kaum Kapitalis maka Komunisme adalah sebuah filsafat yang
sejalan dengan agama.
Merasionalkan
agama merupakan suatu jalan untuk mengeluarkan bangsa ini dari kehidupan
mistisnya. Bagi agama yang konservatif, maka akan menuju jalan kematian karena
semua harus berdasarkan metode ilmiah analitik. Komunisme dan Marxisme
menganalisis masyarakat bersandarkan pada Materialisme Historis. Maka
kembangkan Materialisme sebagai suatu filsafat dasar yang membimbing bangsa ini
pada suatu kemajuan.
-Bersambung!
0 comments:
Post a Comment