APAKAH
KITA PERLU NASIONALISASI ASET NEGARA?
Mengutip
dari perkataan Marx dalam Manifestonya :
Ciri
istimewa Komunisme - bukanlah penghapusan milik pada umumnya, tetapi penghapusan
milik borjuis. Tetapi milik perseorangan borjuis modern adalah pernyataan
terakhir dan paling sempurna dari sistim menghasilkan dan memiliki hasil-hasil
yang didasarkan pada antagonisme-antagonisme kelas, pada penghisapan terhadap
yang banyak oleh yang sedikit.
Tugas
kaum Komunisme adalah menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi yang
dipegang oleh borjuis, jelas terpampang dalam Manifesto bahwa yang di hapus
adalah milik perseorangan bojuis modern. Hal ini bisa dimengerti dengan satu
kalimat sederhana yaitu “Penghapusan milik perseorangan”. Penghapusan yang
demikian dapat menghilangkan antagonisme-antagonisme kelas yang telah
memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Borjuis,
dalam hal ekonomi telah menghisap sebagian besar waktu kelas pekerja untuk
bekerja tanpa memberikan objek produksi yang berarti. Diasumsikan bahwa kelas
pekerja yang telah menjual tenaga kerjanya lalu di bayar dengan upah hanyalah
sebesar kerja yang dilakukannya saja. Misalnya, buruh yang bekerja selama 12
jam untuk memenuhi permintaan manufaktur dengan biaya produksi sebesar Rp.
500.000,-, biaya tersebut sudah termasuk biaya mesin dan bahan baku serta upah
bagi si buruh yang di asumsikan sebesar Rp.100.000,- per hari.
Pemenuhan
kebutuhan produksi tersebut ternyata diselesaikan si buruh hanya berkisar 6 jam
dari kontrak kerja semula. 6 jam yang demikian adalah penggantian atas upah
yang diberikan oleh si pemilik manufaktur yang sebesar Rp.100.000,- itu.
Sisanya, disebut oleh Marx sebagai kerja yang berlebih. Disinilah nilai lebih
yang asal-usulnya tidak dapat dipastikan muncul. Menurut Marx, nilai lebih ini
harusnya menjadi asumsi dasar atas penggantian upah selanjutnya yang 6 jam itu,
namun si kapitalis membuatnya menjadi laba. Kita, kaum Marxis mengenal hubungan
dasar antara modal dan barang dagangan dengan M-C-M, atau barang dagangan
dengan modal sebagai C-M-C sebagai sirkulasi yang berimbang. Namun dengan
adanya penghisapan yang demikian, maka muncul lah nilai sirkulasi menjadi M-C-M’
dengan M’ = M + ΔM.
Nilai ΔM tersebutlah yang disebut nilai yang
berlebih.
Kepemilikan
alat produksi yang dikuasai oleh perseorangan tersebut ternyata menghasilkan
nilai yang berlebih. Para ahli ekonomi klasik menyebutkan bahwa nilai yang
berlebih itu merupakan profit bagi si kapitalis. Mari kita telusuri asal usul
profit tersebut. Pada Das Kapital, Marx menyebutkan bahwa laba tersebut
diperoleh akibat dari eksploitasi kerja kolektif yang dilakukan si kapitalis.
Seharusnya yang terjadi ialah bahwa asumsi dasar hubungan ekonomi itu tidak
menghasilkan nilai lebih, namun harus sesuai kebutuhan yang ada sehingga tidak
menimbulkan krisis over produksi, namun yang terjadi nilai lebih dijadikan
dasar bagi para ahli ekonomi klasik sebagai profit yang memang layak didapatkan
si kapitalis tanpa kerja!
Inilah
alasan utama mengapa kepemilikan pribadi tersebut harus dihapus dan diganti
dengan kepemilikan bersama atas alat produksi. Dengan kata lain, sebuah negara
sosialis seperti Uni Soviet harus mengambil alih semua aset yang ada dalam
negaranya dengan menasionalisasi keseluruhannya.
Sebelum
melangkah lebih jauh lagi, maka dimana letak keharusan adanya nasionalisasi
aset negara dalam sistem Sosialisme. Mari kita kutip perkataan Engels
dalam Asal Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara berikut ini.
Negara
adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontrakdisi yang tak
terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi
yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari
keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas
yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu
sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka
untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat,
kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam
‘batas-batas tata tertib’; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi
menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri
darinya, adalah Negara
Jika
kita simpulkan dengan singkat, maka pernyataan Engels kurang lebih
berbunyi: “Negara adalah produk dari antagonisme-antagonisme kelas yang
tak pernah terdamaikan”. Asal-usul antagonisme kelas ini ialah karena di satu
sisi, pihak minoritas menguasai alat produksi tertentu, sedangkan pihak
mayoritas bekerja untuk pihak penguasa yang minoritas tersebut tanpa
mendapatkan objek produksinya. Jelas, maka dari itu nasionalisasi di perlukan
untuk mengiringi lenyapnya sebuah negara.
Mengapa
sebuah kepemilikan pribadi yang dipelihara sebuah negara demokratik borjuis
bisa menghisap? Lenin dalam Negara dan Revolusi menyebutkan
bahwa: “Republik demokratis adalah selubung politik terbaik yang mungkin
bagi Kapitalisme dan karena itu kapital, setelah menguasai selubung yang
terbaik itu menegakkan kekuasaannya yang dengan begitu aman, begitu pasti,
sehingga tidak ada perubahan apapun baik perubahan orang, lembaga maupun partai
dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyang kekuasaan itu”.
Selubung
politik terbaik dapat menghancurkan kelas proletar yang mayoritas tersebut
secara perlahan. Kita melihat realita bahwa di Indonesia sendiri sebagai sebuah
negara borjuis yang mempunyai berbagai sumber daya alam yang berlimpah bahkan
mempunyai mayoritas rakyat yang terjerat kemiskinan, mengapa demikian? Itu
karena adanya kepemilikan pribadi yang dikuasai segelintir orang yang
dilindungi penguasa sebagai pemegang otoritas politik aset sumber daya
tersebut. Seperti kata Lenin tersebut, bahwa para penguasa di negeri kita
memberi pajak rendah pada para pengusaha asing maupun lokal yang menguasai aset
negara kita untuk memberikan devisa bagi negara kita.
Namun,
devisa tersebut tidaklah untuk rakyat, pajak yang rendah tersebut hanyalah
untuk memelihara kestabilan mekanisme pasar bebas yang berlangsung sebagai
bentuk Internasionalisme Liberal. Rakyat menanggung akibatnya sebagai pekerja
yang terus bekerja mengelola aset swasta tersebut tanpa memperoleh objek
produksinya. Untuk mendapatkan objek tersebut, rakyat bahkan terpaksa membayar
dari upah yang mereka terima. Sudah terima upah yang tidak sesuai, harus pula
membayar untuk objek yang dihasilkan upah tersebut. Itulah kekacauan yang
ditimbulkan akibat kepemilikan pribadi tersebut.
Marx,
Engels, dan Lenin sepakat dalam satu hal, yaitu bahwa Kapitalisme akan
mengalami kehancurannya suatu saat karena adanya suatu krisis over produksi.
Krisis yang disebabkan produksi barang dagangan secara berlebihan tanpa ada
penyeimbang konsumsi dari pekerja akibat kurangnya daya konsumsi kelas pekerja
itu sendir. Hal itu telah kita alami selama berkali-kali, yaitu pada tahun
1929, 1965, 1977, 1998, dan yang terakhir adalah tahun 2008. Namun, para ahli
ekonomi Liberal menutupi krisis tersebut dengan suatu terobosan yang luar
biasa, yaitu dengan menjual aset bank kepada swasta dan menerapkan program
hutang yang menjadi beban bagi setiap penduduk negara. Krisis memang
terselesaikan, namun setiap penduduk di bebani hutang per kepalanya, dan di
negeri kita bisa mencapai Rp. 8.000.000,- per kepalanya! Itulah keburukan
terdahsyat yang di alami kita selama kepemilikan pribadi masih ada.
Lalu solusinya haruskah kita
nasionalisasi semua aset negara?
“Proletariat
merebut kekuasaan negara dan pertama-tama mengubah alat-alat produksi menjadi
milik negara. Tetapi dengan ini ia mengakhiri dirinya sendiri sebagai
proletariat, dengan ini ia mengakhiri segala perbedaan kelas dan antagonisme
kelas, dan bersama itu juga mengakhiri negara sebagai negara.”
Kutipan
Engels tersebut memberikan jawaban bahwa adanya suatu keharusan untuk mengubah
alat produksi pribadi tersebut menjadi milik negara. Namun, adalagi suatu
permasalahan ketika negara menguasai alat produksi, apakah kaum birokrat akan
menguasainya dan proletar lagi-lagi hanya menjadi kelas pekerja yang tiada
menghasilkan objek bagi dirinya? Negara sosialis adalah representasi dari
sebuah wakil resmi masyarakat. Artinya, negara tersebut bukan menjadi fungsi
berkuasa lagi, namun menjalankan fungsi administrasi saja.
Negara
hanyalah menjadi kontrol atas aset-aset yang telah dinasionalisasi. Sedangkan
yang menjadi penguasa atas aset tersebut adalah jelas kelas pekerja. Fungsi
administrasi haruslah dijalankan oleh kelas pekerja secara bergiliran. Senada
dengan pernyataan Engels bahwa ketika semua orang menjalankan fungsi birokrasi
atas alat produksi secara bergiliran, maka tidak ada lagi yang namanya
birokrasi, dengan kata lain, perlahan negara tersebut pasti akan melenyap
seiring hilangnya antagonisme kelas akibat hilangnya kepemilikan pribadi. Mari
kita simak pernyataan Engels dalam Anti Duhringnya tersebut.
“Campur tangan kekuasaan negara dalam
hubungan-hubungan sosial menjadi tidak diperlukan lagi dari satu bidang ke
bidang yang lain dan ia berhenti dengan sendirinya. Pemerintahan atas
orang-orang diganti dengan pengurusan barang-barang dan pimpinan atas proses
produksi. Negara tidaklah dihapuskan, ia melenyap. Atas dasar ini harus
dinilai kata-kata ‘negara rakyat bebas’”
Apakah
itu benar-benar humanis bagi kita? Marx dan Engels tidaklah menginginkan
manusia bertarung akibat adanya kontradiksi yang dihasilkan oleh faktor ekonomi
akibat kepemilikan pribadi melainkan mereka menginginkan agar manusia
menjalankan hakikatnya sebagai manusia seutuhnya. Marx mengatakan :
“Kelas buruh dalam proses
perkembangannya akan menggantikan masyarakat lama borjuis dengan perserikatan
yang akan menyingkirkan kelas-kelas beserta pertentangannya, dan tidak akan ada
lagi kekuasaan politik apapun yang sebenarnya, karena kekuasaan politik adalah
justru pernyataan resmi dari antagonisme kelas dalam masyarakat borjuis.”
Dalam
bukunya, Kemiskinan Filsafat tersebut jelas Marx memberikan
gambaran bahwa ketika kelas pekerja menguasai negara, maka tidak akan ada lagi
kekuasaan politik apapun, bahkan terhadap alat produksi sekalipun. Pertentangan
antar kelas itu hilang seiring hilangnya kepemilikan pribadi tersebut. Kita
sebagai manusia akan kembali ke hakikat dasar kita sebagai makhluk yang hidup
berdasarkan kerja sesuai kemampuan dan hidup sesuai kebutuhan. Bisa dikatakan
bahwa fungsi uang sebagai alat tukar akan melenyap! Bukankah ini manusiawi?
Namun
apakah ini adil bagi para kaum tani atau borjuis kecil yang nasibnya tidak jauh
berbeda dengan kelas pekerja? Mari kita lihat perkataan Marx dalam Manifestonya
yang menjadi pedoman kita tersebut.
Kita
kaum Komunis telah dimaki bahwa kita ingin menghapuskan hak atas milik yang
diperdapat seseorang sebagai hasil kerja orang itu sendiri, milik yang dianggap
sebagai dasar dari semua kemerdekaan, kegiatan dan kebebasan seseorang.
Milik
yang diperoleh dengan membanting tulang, yang direbut sendiri, yang dicari
sendiri secara halal! Apakah yang tuan maksudkan itu milik si tukang kecil,
milik si tani kecil, suatu bentuk milik yang mendahului bentuk milik borjuis?
Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri telah menghancurkannya banyak
sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap harinya.
Ataukah yang tuan maksudkan itu milik
perseorangan borjuis modern?
Tetapi
adakah kerja-upahan, kerja si proletar, mendatangkan sesuatu milik untuk dia?
Sama sekali tidak. Ia menciptakan kapital, yaitu semacam milik yang menghisap
kerja-upahan, dan yang tidak dapat bertambah besar kecuali dengan syarat bahwa
ia menghasilkan kerja-upahan baru untuk penghisapan baru. Milik dalam bentuknya
yang sekarang ini adalah didasarkan pada antagonisme antara kapital dengan
kerja-upahan. Marilah kita periksa kedua belah segi dari antagonisme ini.
Untuk
menjadi seorang kapitalis, orang tidak saja harus
mempunjai kedudukan perseorangan semata-mata,
tetapi kedudukan sosial dalam produksi. Kapital adalah suatu hasil
kolektif, dan ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari banyak
anggota, malahan lebih dari itu, pada tingkatan terakhir, ia hanya dapat
digerakkan oleh tindakan bersama dari semua anggota masyarakat.
Oleh
karena itu kapital bukanlah suatu kekuasaan pribadi, ia adalah suatu kekuasaan
sosial. Jadi, jika kapital itu dijadikan milik bersama, menjadi milik
semua anggota masyarakat, dengan itu milik pribadi tidak diubah menjadi milik
sosial. Hanyalah watak sosial milik yang diubah. Watak kelasnya hilang.
Marx
menyebutkan bahwa milik pribadi para petani miskin dan borjuis kecil yang
nasibnya tidak berbeda dengan proletar tidaklah di nasionalisasi, atau bahkan
penghapusan kepemilikan pribadi si borjuis yang menghisap mayoritas proletar
akan menghilangkan watak kelasnya yang suka menghisap. Apakah itu tidak lain
bersifat humanistis bagi kita? Sifat politik yang dimiliki umat manusia di
hilangkan dan diganti dengan sifat administratif yang lebih humanis ketika
semua aset di nasionalisasi.
Keadilan
tersebut ternyata berpihak kepada rakyat yang tertindas, namun sampai saat ini
kita terdistorsi akan pernyataan bahwa Nasionalisasi aset akan menghancurkan
persaingan antar umat manusia. Persaingan tersebut tidaklah di hilangkan, namun
dipelihara dalam proses produksi. Kita tidak lagi bersaing dalam memperebutkan
alat produksi dan persaingan atas hukum permintaan dan penawaran, melainkan
bersaing atas proses produksi yang kita kerjakan.
Jelas,
nasionalisasi aset harus kita galakkan untuk kepentingan rakyat banyak sebagai
bentuk penghilangan kelas yang menghisap dan mendamaikan kelas-kelas yang
bertentangan. Kita juga harus menasionalissi harta warisan borjuis modern yang
dipelihara sebagai bentuk feodalistik atas alat produksi karena hal tersebut
akan menimbulkan sifat pertentangan lagi. Tidaklah sial bagi para borjuis
ketika hartanya di nasionalisasi karena bagi kita yang terpenting adalah rasa
kemanusiaan tersebut, bukan rasa ingin menindas kelas pekerja demi sebuah
kebutuhan perseorangan. Sedangkan para petani yang tidak di nasionalisi, berhak
untuk bekerja di tanahnya yang sempit itu dengan asumsi bahwa hasilnya akan di
bagi rata untuk keperluan kelas pekerja di kota. Sungguh humanis sistem yang
kita bangun ini!
0 comments:
Post a Comment