Pada masa Kapitalisme, maka pertentangan yang terjadi
adalah diantara 2 kelas yaitu borjuis (kaum pemilik modal) dan proletar (kaum
buruh). Kedua kelas ini bertentangan dikarenakan adanya kepemilikan pribadi
atas alat produksi. Selain itu, karena beredarnya uang yang mengandung nilai
tukar barang yang tidak sesuai membuat sifat kerja menjadi terasing. Adanya
nilai lebih yang menumpuk akibat kontrak kerja yang harus dipenuhi buruh secara
terpaksa juga menjadi alasan adanya pertentangan antara 2 kelas tersebut.
Selain dari 2 kelas tersebut, dimasa Kapitalisme juga terdapat 2 kelas lagi
yang kemudian sifatnya sangat fleksibel yaitu lumpenproletariat dan borjuis
kecil. Kedua kelas ini tidak termasuk diantara 2 kelas yang bertentangan
tersebut.
Lumpenproletar merupakan kelas orang yang tidak
berpunya modal namun tidak bekerja kepada kaum pemilik modal untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Seringkali, mereka menjadi tanggungan negara akibat
habisnya lapangan pekerjaan yang tersedia atau terbatasnya modal untuk
mengembangkan usaha. Kalau kita analisis sedemikian rupa, tahun 2010, Indonesia
memiliki 8,59 juta jiwa yang terkategorikan kelas lumpenproletar[1][1].
Mereka terdiri dari pengangguran, pengemis, pengamen, gelandangan, orang gila,
dan juga preman. Jumlah yang lumayan banyak tersebut seharusnya menjadi beban
tanggungan negara sesuai dengan pasal 34 UUD 1945, namun yang terjadi bukanlah
demikian.
Borjuis kecil merupakan kelas orang yang mempunyai
modal namun tidak sebesar modal kaum borjuis, masing-masing dari mereka hanya
mempunyai sedikit buruh, terkadang malah tidak mempunyai buruh sama sekali.
Sifat borjuis kecil sangatlah beragam tergantung dari sifat dasar usahanya. 34%
penduduk negara kita pada tahun 2010 adalah pengusaha, namun 70% dari mereka
adalah borjuis kecil[2][2].
Kelas borjuis kecil di Indonesia terdiri atas pengusaha kecil,
pedagang-pedagang kelontong, pedagang warung, pedagang kaki lima, pedagang
keliling, dan sebagainya. Mereka semua mempunyai modal, namun tidak berpotensi
menghisap tenaga kerja buruh secara berlebihan seperti yang dilakukan oleh para
borjuis. Namun, sama halnya dengan lumpenproletar, sifat mereka sangatlah
fleksibel, mereka bisa memihak pada kaum buruh ataupun pada kaum pemilik modal.
Namun, di masa Kapitalisme yang kejam ini, kebanyakan dari mereka pasti memihak
para kapitalis karena tergiur dengan nilai tukar yang menjadi uang tersebut.
Sifat kedua kelas tersebut haruslah di arahkan untuk
mendukung kaum buruh dalam perspektif perjuangan ekonomi politik karena hal
yang demikian bisa menghilangkan watak sosial mereka yang haus akan harta dan
tahta dan kembali ke hakikat manusia yang sebenarnya, yaitu bekerja semampunya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Mari kita lihat pernyataan Karl Marx mengenai
kedua kelas ini.
Kelas tengah rendahan, tuan pabrik kecil, tuan toko,
tukang, petani, semuanya ini, berjuang melawan borjuasi, untuk menyelamatkan
hidup mereka sebagai golongan dari kelas tengah hindar dari kemusnahan. Oleh
karena itu mereka tidak revolusioner, tetapi konservatif. Bahkan lebih dari
itu, mereka itu reaksioner, karena mereka mencoba memutar kembali roda sejarah.
Jika secara kebetulan mereka itu revolusioner, maka mereka berlaku demikian itu
hanyalah karena melihat akan bahaya mendekat berupa kepindahan mereka ke dalam
proletariat, jadi mereka tidak membela kepentingan-kepentingannya yang
sekarang, tetapi kepentingan-kepentingannya di masa datang, mereka meninggalkan
pendiriannya sendiri untuk menempatkan dirinya pada pendirian proletariat.
Proletariat-gelandangan, massa yang membusuk secara
pasif dari kalangan lapisan-lapisan terendah masyarakat lama, di sana-sini
terseret ke dalam gerakan oleh suatu revolusi proletar; akan tetapi
syarat-syarat hidupnya, menjadikan dia lebih condong untuk melakukan peranan
sebagai perkakas yang disuap untuk mengadakan huru-hara reaksioner.[3][3]
Dari pernyataan tersebut, kita bisa simpulkan bahwa
kedua kelas yang kita bicarakan ini sifatnya selalu terombang-ambing kesana
kemari untuk memenuhi kepentingan mereka. Borjuis kecil memang benar berperang
melawan borjuis, namun sebagian besar dari mereka terkadang berbeda kepentingan
dengan kaum buruh sehingga sifatnya malah menjadi reaksioner. Mereka ingin
mengembalikan masa kejayaan mereka dulu pada masa awal Revolusi Perancis
sehingga mereka bisa berkuasa sedemikian rupa dan akhirnya menindas kaum buruh
seperti yang dilakukan borjuis sekarang ini. Mereka tidak bisa menjamin bahwa
kaum proletar tidak akan lagi di peras tenaganya, karena seiring dengan
berkembangnya alat produksi, borjuis kecil pun akhirnya menjadi borjuis besar.
Mereka memperoleh perkembangan yang demikian dikarenakan adanya modal yang
berasal dari investasi, kredit, atau deposito tahunan yang membuat mereka
terjebak dalam alam Kapitalisme yang membunuh.
Dengan berkembangnya alat produksi, maka para borjuis
besar berkesempatan untuk meraih segala jenis jaringan yang ada untuk
menciptakan laba yang sebesar-besarnya. Salah satu cara mereka untuk melakukan
itu ialah merangkul segala bentuk kelas borjuis kecil untuk bekerja sama
mendapatkan keuntungan bersama sehingga borjuis kecil pun berkembang menjadi
mitra yang sesuai dengan borjuis. Dengan memanfaatkan kesempatan investasi yang
ditawarkan borjuis, maka borjuis kecil berkembang secara perlahan menjadi pemilik
modal yang berasal dari investasi. Seiring dengan pesatnya permintaan pasar,
maka ia merekrut kaum buruh untuk bekerja di perusahaannya. Dengan ini, borjuis
kecil mempunyai power untuk menjadi kaum modal dengan memanfaatkan investasi
perusahaan besar ataupun kredit dari bank-bank tertentu.
Sedangkan, para borjuis kecil yang berjuang bersama
proletar mempunyai maksud yang
reaksioner. Kaum buruh yang berjuang demi terhapusnya kelas-kelas yang
bertentangan akan di tumpangi oleh borjuis kecil dan lumpenproletar. Borjuis
kecil yang menumpang berjuang bersama proletar adalah kumpulan orang-orang yang
menuntut hak modal dari negaranya. Terkadang kaum borjuis kecil merasa takut
ketika proletar berkuasa akan menghapus hak miliknya yang sudah susah payah di
kembangkan. Padahal Marx mengatakan :
Kita kaum Komunis telah dimaki bahwa kita ingin
menghapuskan hak atas milik yang diperdapat seseorang sebagai hasil kerja orang
itu sendiri, milik yang dianggap sebagai dasar dari semua kemerdekaan, kegiatan
dan kebebasan seseorang. Milik yang diperoleh dengan membanting tulang, yang
direbut sendiri, yang dicari sendiri secara halal! Apakah yang tuan maksudkan
itu milik si tukang kecil, milik si tani kecil, suatu bentuk milik yang
mendahului bentuk milik borjuis ? Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan
industri telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya
setiap harinya.[4][4]
Jelas, kaum proletar yang berkuasa tidak akan
menasionalisasi aset mereka yang sedemikian tidak berpengaruhnya pada negara. Borjuis
kecil yang bergabung dengan proletariat untuk berjuang juga mempunyai maksud
lain, seperti menuntut kekuasaan dan mengembalikan kejayaan mereka di masa
akhir Feodalisme. Hal ini justru bertentangan dengan sikap proletar yang ingin
menghapus kelas. Namun, tujuan terselubung itu terkadang tidak diketahui sama
sekali oleh proletar karena yang mereka tahu adalah ketika borjuis kecil
bergabung bersama mereka untuk berjuang bersama, maka menurut mereka kesadaran
kelas dan simpati dari mereka telah muncul untuk bersama-sama menghapus
antagonisme kelas dan kepemilikan pribadi atas alat produksi.
Kesimpulannya adalah bahwa borjuis kecil dan
lumpenproletar merupakan 2 kelas yang memiliki sifat yang tidak konsisten.
Keduanya dalam perspektif perjuangan kelas bisa memihak kaum proletar atau
bahkan kaum borjuis. Faktor yang mempengaruhi konsistensi kedua kelas tersebut
adalah kepentingan terselubung yang direncanakan oleh kedua kelas tersebut.
Misalnya, ketika kaum lumpen proletar ingin hidup sejahtera dengan memanfaatkan
upah dari pengusaha, maka ia akan memihak kaum pengusaha tersebut. Berbeda lagi
kasusnya ketika kaum lumpenproletar akhirnya memihak kaum buruh dengan asumsi
bahwa kesejahteraan bisa diperoleh dengan usaha. Usaha yang dimaksud ialah
usaha yang revolusioner dengan menghapus kontradiksi-kontradiksi kelas
tersebut.
Kaum borjuis kecil akan memihak kaum borjuis ketika
adanya iming-iming yang mengalir dari kaum borjuis. Misalnya ialah ketika kaum
borjuis kecil ingin mencapai kesejahteraan dengan meminta modal dalam bentuk
kredit kepada kaum borjuis sehingga kesejahteraan tersebut bisa diraih dengan
memunculkan kasus baru yaitu fluktuasi laba akibat kredit. Berbeda lagi
kasusnya ketika kaum borjuis kecil memihak kaum proletar demi sebuah
kesejahteraan yang dicapai dengan usaha revolusioner pula. Watak sosial dari
kaum borjuis kecil tersebut perlahan menghilang akibat usaha revolusioner
tersebut.
Kedua golongan tersebut bisa digolongkan kedalam kelas
yang tertindas. Tentunya kita kaum Marxis yang membela kaum tertindas harus
mengarahkan mereka menuju perjuangan kelas sehingga keduanya bersama kaum
proletar bisa menghapus antagonisme kelas yang tercipta akibat adanya
kepemilikan pribadi.
Sumber:
[1] Sumber :
Bataviase.co.id
[2] Sumber :
Seminar Smartpreneur tahun 2014, Universitas Trilogi, Jakarta
[3] Karl Marx
& Friederick Engels. 1849. Manifesto Partai Komunis. Bagian 1 : Kaum
Borjuis dan Kaum Proletar.
[4] Karl Marx
& Friederick Engels. 1849. Manifesto Partai Komunis. Bagian II : Kaum
Proletar dan Kaum Komunis.
0 comments:
Post a Comment