Saturday, July 28, 2018 0 comments

(Semoga) Bukan Pertanyaan Yang Salah


Sudah tiba waktunya untukku melambaikan tangan. Padamu yang pernah mendekapku diam-diam dalam sebuah perasaan yang penuh arti. Mungkin kamu tidak tahu. Mungkin hanya aku yang menginginkannya begitu. Tetapi, percayalah, keberadaanku yang selaik mirat ini begitu nyata di semestamu.
Aku memanggil detik kembali pulang. Setelah sekian lama menjauh, membuat jeda di antara kita seperti selamanya. Pun dengan Tanggal yang kembali kububuhkan ke dalam perjalananku. Kita sudah sampai di satu titik di mana tiada lagi yang tersisa untuk dikenang. Tiga tahun aku menunggu, tidak peduli hujan kian menderas atau matahari membakar semua harapan menjadi debu-debu penyesalan.
Benarkah aku menyesal?
Thursday, July 26, 2018 0 comments

Kita Sudah Sama-Sama Dewasa


Kita sudah sama-sama dewasa; mengerti soal masa depan yang diinginkan masing-masing. Terkadang, jalan yang kelak kita pilih tidak melulu perihal siapa yang melukai dan siapa yang tersakiti. Lebih dalam daripada itu, seharusnya yang kita bicarakan ialah bagaimana cara mengusaikan ikatan yang pernah menyatukan itu.
Suatu waktu, kamu akan menyadari bahwa menangguhkan perasaan tidak pernah mengenakkan bagi sesiapa pun. Mungkin kamu, meskipun tanpa bicara, mencoba kembali pergi dan meninggalkan lembar-lembar pertanyaan di kepalaku. Mungkin kamu, meskipun tanpa pertemuan, mencoba menghapus segala kata-kata yang pernah kutuliskan untukmu.
Kita sudah sama-sama dewasa; dan menyisakan aku dan kenanganmu yang dulu terbakar menjadi abu bersama waktu. Menyisakan kebodohan yang meranggas dadaku, bahwa meskipun kamu kembali dan bukan untukku; aku selalu merasa kamu kembali karena kisah kita belum jua usai.
Saturday, July 21, 2018 0 comments

Seandainya Itu Kita


Setiap daripada kita sebagai manusia pasti pernah merasakan dekapan perasaan yang dalam; saat perlahan rindu membasuh hati yang sebelumnya mengering, dan menjadikan cinta itu ada. Membuat kita tak berhenti tersenyum dan tak terkata-kata. Kita mengakui kekuatan yang ada, namun satu hal yang tidak kita ketahui: kehilangan meringkuk bersembunyi di balik bahagia.
Kehilangan itu yang kemudian merobek-robek perasaan. Atau bahkan, seringkali menjatuhkan gerimis di mata. Meriak di pipi, dan terus mengalir hingga menjadi genangan penyesalan. Bukankah kita semua pernah merasakan fase ini di perjalanan pencarian?
Justru kehilangan ini yang kemudian menguatkan hati; menguatkan individu dari setiap kita. Hingga akhirnya, ada secercah cahaya meliuk ke dalam gelapnya pandangan kita, dan menunjukkan betapa indahnya langit senja. Akan ada seseorang yang nanti datang menghampiri, dan mengatakan, “Oh, langit senja adalah langit terindah yang pernah ada. Dan kini aku menemukannya juga di kedua bola matamu,”
Thursday, July 19, 2018 0 comments

Bila Benar Kamu Menginginkannya


Apakah benar kamu juga mencintaiku?
Katamu, tulisanku tidak menemui kematiannya sendiri. Ia sampai ke ambang jendela matamu dan menyelundup ke dalam ruang-ruang pikiranmu. Katamu, tulisan itu ialah pengantar dari rasa yang akhirnya terungkapkan. Pengantar dari rindu yang basah ketika akhirnya kamu belajar sesuatu dari kepergian dan mulai benar-benar mencari ke sekelilingmu.
Ada aku di sana.
Kamu hanya perlu melangkah lebih jauh lagi. Hanya perlu merasai hujan lebih lama lagi. Dengan begitu, aku jadi tahu bahwa kita mencintai sesuatu yang sama. Bahwa kita memang saling menuju tanpa kata. Tulisan-tulisan yang dulu aku begitu ketakutan untuk sampai kepadamu ternyata menjelma harapan baru yang hinggap di merah bibirmu yang basah oleh air mata-ketika akhirnya benar-benar membaca segala yang kurahasiakan dari angin dan hujan.
Bila benar kamu menginginkannya, aku akan berhenti sejenak. Berpaling padamu. Dan itu bila benar, kamu menginginkannya.
Wednesday, July 18, 2018 0 comments

Kesepian


Kesepian ini semakin menguasai. Enggan pergi meski aku takingin ia hadir di dalam hidupku. Ia tahu betul bahwa ruang di dalam dada ini telah lama berdebu serupa perpustakaan tua yang kehilangan pengunjungnya. Perlahan ia mulai menyembuhkan luka yang lama dengan caranya sendiri-melalui duka.
Aku memang telah berkata untuk memulai perjalanan kembali. Mungkin tidak lagi di jejalanan yang basah di kota ini. Mungkin tidak lagi denganmu yang rindunya begitu tertaut di kota itu. Berhenti adalah pilihan yang telah kuambil. Meski hujan berbisik padaku bahwa kamu telah keluar dari jalan yang kamu lalui sebelumnya.
Katanya, kamu mulai mencoba untuk mencari tahu di jalan mana aku pernah menjejak. Sejauh apa aku pernah menuliskan kenangan hingga hanya menjadi buku-buku tak tersentuh di perpustakaan kepalaku.
Aku tidak percaya itu. Hujan kini hanya datang sesekali. Bisa saja ia berbohong hanya untuk membuatku tersenyum lagi. Entahlah, aku merasa kekosongan ini semakin menyesakkan. Kupikir aku akan bahagia dengan kembali berjalan untuk menemukankamu yang sebenarnya.
Tetapi sayangnya, aku begitu salah. Aku begitu bodoh. Kesepian kian menguasai.
Saturday, July 14, 2018 0 comments

Hari Yang Tak Pernah Ada


Berpura-pura selalu punya batas. Membohongi perasaan sendiri dan berasumsi bahwa segalanya baik-baik saja setelah kepergianmu. Masih ada sisa luka yang menganga di dalam dada. Masih ada sisa kata yang harus dimakamkan dari dalam kepala. Tidak ada yang baik-baik saja selama hujan menderas.
Dan air mataku, tak reda-reda.
Bermain dengan asumsi terkadang memang menyesakkan. Mencipta semesta dan membangun tetiap harapan baik di dalamnya. Menyematkan namamu di tetiap langitnya; hingga kala aku mendongakkan kepala, selalu ada namamu di sana—berdoa suatu hari nanti nama itu luruh dari langit dan resap ke dalam wajahku. Ketika itulah, aku akan menunjukkan kepadamu di hari bahagia kita.
Hari yang tidak pernah tiba.
Hari yang tidak pernah ada. Bagaimanapun juga, asumsi tidak akan menolong apa pun. Tidak akan membawa langkahku hingga membuatmu mengetahuinya. Sehingga, dadaku yang paling tidak keruan. Kamu tidak salah apa-apa. Pernah mengatakan saja tidak, mengapa kamu harus bersalah? Sementara, jauh di dalam penyesalanku, ingin rasanya untuk menuduhmu.
Namun, aku sadar, segara rasa yang kualirkan menujumu telah mengering. Tidak ada lagi apa-apa yang menjembatani perasaan kita. Dan, aku, terus berpura-pura untuk tetap tersenyum dan berkata aku akan terus mencintaimu.
Persetan dengan perasaan. Berpura-pura ada batasnya. Namun, aku tidak pernah menahu, kapan aku harus berhenti berpura-pura.
Monday, July 2, 2018 0 comments

Padamu, Segala Yang Kuberi Nama Semesta


Kamu. Satu-satunya nama yang hidup di dalam kepalaku; menerbitkan harapan di dalam dada ketika hati kecamuk oleh badai. Lalu kamu. Datang sebagai hangat yang sejak kemarin tak lagi kudapati. Menawarkan segala apa yang kini sedang kucari. Kamu, hati yang ingin kuperjuangkan walau bukan untuk kumiliki.
Aku ingin melupa pada detik yang telah menderas—yang telah melumat segala bahagia yang pernah lahir. Luka ini terbuka, tenggelam pada akhir. Tiada yang mampu menambalnya, hingga suatu waktu takdir mempertemukan kita—sesuatu yang sangat kusyukuri. Bagiku, kamu adalah obat yang kucari selama ini. Aku pernah bermimpi. Tentang penyatuan dua tangan untuk melempar doa-doa pada dini hari. Sampai aku tahu, bukan dengankulah ia ingin dibersamai. Lalu denganmu, sepasang tangan kini telah kembali. Memohon kebaikan semesta untuk merestui pertemuan ini.
Raih tanganku. Karena di antara jemarimu, kuselusupkan tetiap harapan perihal masa depan kita: bersama. Di matamu, aku menemukan bahagia—mengobati luka. Di matamu, aku menemukan segara yang alir dan tenang; membuatku ingin menyelaminya lebih dalam lagi. Dunia tahu aku bersyukur bisa membalut kekalutanmu. Bahkan tahu aku tersenyum karena jemari itu adalah milikmu. Tetapi, dunia pun tahu bahwa seluruh ketulusan ini, kalah telak dengan apa yang sudah kujalin bersama seorang laki-laki.
 
;