Kamu.
Satu-satunya nama yang hidup di dalam kepalaku; menerbitkan harapan di dalam
dada ketika hati kecamuk oleh badai. Lalu kamu. Datang sebagai hangat yang
sejak kemarin tak lagi kudapati. Menawarkan segala apa yang kini sedang kucari.
Kamu, hati yang ingin kuperjuangkan walau bukan untuk kumiliki.
Aku
ingin melupa pada detik yang telah menderas—yang telah melumat segala bahagia
yang pernah lahir. Luka ini terbuka, tenggelam pada akhir. Tiada yang mampu
menambalnya, hingga suatu waktu takdir mempertemukan kita—sesuatu yang sangat
kusyukuri. Bagiku, kamu adalah obat yang kucari selama ini. Aku pernah
bermimpi. Tentang penyatuan dua tangan untuk melempar doa-doa pada dini hari.
Sampai aku tahu, bukan dengankulah ia ingin dibersamai. Lalu denganmu, sepasang
tangan kini telah kembali. Memohon kebaikan semesta untuk merestui pertemuan
ini.
Raih
tanganku. Karena di antara jemarimu, kuselusupkan tetiap harapan perihal masa
depan kita: bersama. Di matamu, aku menemukan bahagia—mengobati luka. Di
matamu, aku menemukan segara yang alir dan tenang; membuatku ingin menyelaminya
lebih dalam lagi. Dunia tahu aku bersyukur bisa membalut kekalutanmu. Bahkan
tahu aku tersenyum karena jemari itu adalah milikmu. Tetapi, dunia pun tahu
bahwa seluruh ketulusan ini, kalah telak dengan apa yang sudah kujalin bersama
seorang laki-laki.
Rindu.
Itu, kamu. Itu, yang kian melipat jarak di antara kita—perapian yang nyalang di
antara dingin kesendirian. Dengamu, aku ingin terus menautkan rasa. Denganku,
kamu bisa mewujudkannya. Lalu, buat apa ada penyangkalan?
Syukurlah.
Kau masih sama. Memaksa menang di atas seluruh ketidakmampuan kita untuk
berdua. Dan keras kepalamu, membuatku tergila-gila. Tetapi meski benar denganmu
aku jatuh cinta, ada satu kata yang masih belum bisa kupatahkan begitu saja:
setia. Bahkan ketika aku sudah jatuh terlalu dalam, ikatan itu tetap terbayang
setiap malam. Jangan biarkan apa pun menjadi dinding yang memisahkan;
memudarkan kenangan demi kenangan di kepala kita. Aku tidak ingin apa yang kita
jalani usai di kata pergi. Usai dengan punggungmu yang luruh oleh hujan di
mataku. Bertahanlah. Jangan pergi.
Seperti
kamu yang terus ingin tinggal di sini, aku pun sama. Ingin terus kaucari-cari
untuk setiap luka. Ingin terus kau datangi untuk bercerita lalu tertawa.
Denganmu semua yang kosong mulai terasa sempurna. Padamu berada, segala yang
kuberi nama semesta. Dan, di langit semestamu, aku menitipkan satu konstelasi
rasa yang teduh untuk kamu pandangi setiap malam—karena di waktu itulah, aku
bisa menyusup ke dalamnya, mencarimu. Tetapi, bila memang tidak ada aku di
sana, jangan menjadi luka yang baru untukku. Beri aku jawaban.
Bila
benar itu muara yang kita tuju di perjalanan ini, pilihankulah untuk tidak
terluka lagi, atau kita sama-sama bersikeras untuk takingin meninggalkan jejak
sakit di dalam dada. Padamu, aku menautkan segalanya; padamu aku mengakhiri
segalanya untuk kesekian kali. Sepucuk perpisahan yang kamu kirimkan cukup
sebagai jawaban—mungkin takdir yang harus kita jalani ialah berpisah jalan.
Semoga di suatu waktu, kelak kita kembali jumpa dalam keadaan berbeda. Tidak
seperti hari ini, esok, atau entah kapan. Semoga kamu bahagia selalu.
0 comments:
Post a Comment