Dadaku begitu riuh. Di antara keramaian meja di food
court sebuah pusat perbelanjaan, mataku tiba-tiba sampai di wajahmu. Gadis
berkacamata dengan ponsel abu-abu di tangan. Caramu bertopang dagu dan memakai
jilbab, sungguh menarik perhatianku yang tak menemukan fokusnya sedari tadi.
Kamu duduk sendirian entah menunggui siapa.
Tatapan matamu yang teduh, putih kulitmu, dengan sweter birumu
mengingatkanku pada seseorang di kota hujan yang (pernah) ditunggui selama dua
tahun. Kedatangnmu kala kota ini—bukan kota hujan—disergap oleh rinai-rinai
yang berjatuhan dari atas langit membuatku sadar bahwa dalam tetiap perjalanan
ada saja efek kejut yang bisa muncul kapan saja.
Aku tak mengharapkan kedatanganmu. Pun ketidaksengajaan yang
begitu kusukai ini. Sesaat, ramai sekelilingku menjadi hening yang menuntun
hati kita satu sama lain. Di keheningan kurasakan detak jantungmu yang semakin
lama semakin jelas iramanya di gendang telingaku.
Perlahan, jantungku mulai mencoba menyamakan irama itu. Aku suka
caramu menatap orang lain. Suka caramu tersenyum. Dalam hati aku berdoa andai
beberapa detik saja berlalu dan aku mendapat semua itu, alih-alih
dilemparkannya ke ruang publik. Dadaku semakin riuh bergemuruh.
Ketika perjalanan menemukan tulang rusuk ini kembali kumulai enam
bulan lalu, Hujan tidak seperti dulu yang begitu semangat menunjukkanku “kamu
yang kucari selama ini”. Mungkin Hujan lebih suka aku tertaut pada seseorang
dan bila tidak cocok barulah melanjutkan langkah lagi.
Tapi hari ini, Hujan sepertinya sedang berbaik hati: kali ini dia
menunjukkanku seseorang yang lain. Seseorang yang sedang kutatapi diam-diam
senyum dan matanya. Tanpa peduli sekelilingku, aku memutuskan untuk terus
menatapmu dari kejauhan.
Sampai-sampai ...
Mata kita beradu.
Dalam ketidaksengajaan yang direncanakan oleh Hujan, pandangan
kita saling bertemu. Ada debar-debar berbeda yang semakin menekan dada. Ada
rasa yang tumpah dari dalamnya. Selama beberapa detik mata kita saling
memandang seakan saling bersikeras salah satu di antara kita harus mengalah.
Dan akhirnya akulah yang mengalah. Di luar bangunan, hujan kian
menderas. Hari ini, aku bisa tersenyum.
Tuhan, sesorean ini aku begitu jatuh.
0 comments:
Post a Comment