Abor,
kutitipkan sepucuk kabar masa depan di jendela rumahmu—berita yang kutahu akan
mencabik dadamu. Tapi, inilah waktu dan takdir. Kita hanya harus menjalaninya
saja. Terhelak kutahan napasku dalamdalam, menyembunyikan perasaan pedih meradang
lalu kusembunyikan bulir itu seraya mengucapkan selamat telah menemukan
seseorang selain aku untuk menyempurnakan hidupmu.
Kamu
takperlu berpura-pura bahagia; ada masa lalu yang pernah menyemat kata
"kita". Segala yang rantas ketika keraguan yang ada hanya menunjukkan
sebuah jalan—tanpamu di dalamnya. "Kita", kata yang tak alpa
kusemogakan dalam munajat agar aku dan kamu bersatu, bersisian dalam kebaikan,
namun hari ini harapan itu luluh lantak berbias perjuanganku untuk meyakinkan
keraguanmu.
Tidak
ada yang mudah—pun atas apa yang telah kulakukan untukmu. Menjagamu, aku
selalu. Sampai aku sadar bahwa aku takpernah cukup untuk melakukannya lagi
untukmu. Cinta ini takpernah pudar. Aku hanya menyimpannya saja, sementara
orang lain hidup menggantikanmu di dalam hatiku. Hai tuan ... Bukankah itu
kejam? Bukankah di sini ada perempuan yang menunggu kedatanganmu sangat lama?
Berusaha menjaga komunikasi dan rindu yang menggebu? Lalu dengan mudahnya kau
berujar aku dapat digantikan? Apa semua laki laki seperti itu? Mudah sekali
berpaling-bak pepatah patah satu tumbuh seribu.
Tidak
seperti itu, bor. Aku hanya sadar bahwa itu aku—begitu dalam mencintaimu,
tetapi apa yang kita lalui hanya jadi pertanda: aku bukan milikmu. Bukan milik
bahagia yang dulu kita rencanakan. Maafkan aku harus pergi. Hatiku berkata, aku
tidak cukup untukmu. Kekhawatiranmu sudah cukup lama kudengar, lalu buat apa
kamu memberikan kebaikanmu untukku waktu itu? Membuatku berkeyakinan bahwa kamu
baik untuk menjadi penyempurnaku—jika kamu memang tak yakin dengan kemampuanmu
untuk apa kau mengusahakanku dengan penuh?
Maaf,
bila sepucuk kabar ini menyakiti. Yakinlah, pun denganku—begitu dalam dan
sesak. Aku berusaha terus menjadi aku di matamu—tapi, langkah yang kucipta
hanya bergerak mundur serupa waktu lupa ingatan. Mungkin begini, akhir yang
kita hadapi. Maaf, aku telah menemukan seseorang yang lain, yang tak melahirkan
ragu. Aku tahu, kamu pantas yang terbaik—bukan aku.
Keraguanmu
memang pantas untukku, aku mungkin belum layak menjadi penyempurnamu, tuan baik
hati nan lembut yang mampu merebut hati siapapun yg melihat senyum teduhmu.
Mungkin aku harus merelakanmu bersanding dengan yang lain, toh aku tetap harus
melanjutkan mimpi dengan atau tanpamu kan? Aku mendoakan kebaikan penuh
untukmu, meski bukan aku jawaban atas doa doamu.
Lanjutkan
tanpaku, bor. Mungkin, sulit untukmu menerima ini, tetapi semoga hari-harimu
kian baik tanpaku. Suatu waktu nanti, di sepasang matamu akan ada seorang
lelaki yang mengaguminya—seperti aku di masa lalu. Sampai jumpa, bor. Terima
kasih atas segala yang telah kita jalani bersama.
0 comments:
Post a Comment