Hey, aku pernah begitu takut akan kehilangan satu kali
lagi. Setelah berulang kali harus menatapi kepergian orang-orang yang bisa
menjadi pelipur kesepian, aku tidak ingin itu terjadi lagi. Perasaan tidak
diciptakan Tuhan untuk terluka. Tiada obat yang benar-benar bisa mengobatinya.
Dari utuh menjadi separuh, lalu separuh lagi hingga akhirnya tandas. Seperti
itu rasanya, bila akhirnya aku kehilangan kamu.
Tetapi, semakin aku menunggu, rasanya
kesempatan yang ada kian mengabu. Menjadi titik buta dari kebersamaan yang
dinantikan-meskipun bibir ini tidak mampu mengatakan lebih dari sekadar sapaan.
Aku tahu, kamu tidak akan pernah melihatku walau sekali, walau takdir rupanya
perlahan memisahkan. Aku tahu, kamu tidak akan memilihku lagi. Mungkin bagimu,
aku bukan siapa-siapa. Hanya lelaki yang pernah memimpikanmu sekali, teduh
wajah yang dibingkai oleh sepasang kaca di matamu. Memimpikan kita bisa
mendayung sampan di samudra yang sama, dengan kepalamu bersandar di bahuku dan
aku membelai lembut pipimu.
Di senja sore itu aku menyematkan semoga
pada Tuhan, agar memindahkan semesta nyata ke dalam bunga tidur ini. Aku ingin
membersamaimu. Walau itu hanya sebagian kecil dari ketidakmungkinan. Walau itu
hanya sedikit harap yang barangkali kamu akan menertawainya bila kelak
mengetahuinya. Mungkin, perasaanku hanya sekadar kelakar bagimu. Sekadar
perasaan sesaat yang paling hanya bertahan di bibir saja. Bertahan demi sebuah
pembuktian bahwa aku tidak akan pernah bisa dicintai oleh siapa pun-kecuali
oleh sepi yang hidup di kedua mataku.
Mungkin, bukan aku yang tidak berani
mengambil langkah lebih jauh; tetapi itu kamu, yang terus-menerus mencari
alasan untuk menjauh. Melupakan segala kata yang pernah kusisipkan di matamu
melalui sepasang buku yang menyematkan namamu di dalamnya. Mungkin, kamu memang
tidak butuh itu. Kamu tidak butuh aku; lelaki yang hanya bisa mencintai
kehilangannya sendiri. Lelaki yang tidak bisa menjejak lebih dari sekadar
jejalanan basah yang mengantar langkah pergimu. Bila saja, kamu mau membuka
kembali pintu hati dan membiarkanku bertamu ke sana walau sejenak, kamu tidak
akan menyesalinya. Toh, tidak akan lama.
Bila saja, kamu mau membaca keseluruhan semesta yang
hidup di dalam kata-kata; di sanalah aku membangun masa depan untuk kita. Masa
depan yang sebentar lagi dipenuhi debu karena tiada satu kata pun kamu utarakan
untuk mengiyakan.
Mungkin memang benar, aku tidak
benar-benar hidup di dalam hatimu.
0 comments:
Post a Comment