Kedai kopi eksotis itu tak pernah kehilangan peminumnya. Kecuali
pada hari itu. Di meja persegi panjang itu terletak secangkir kopimu dan
segelas melankoliku. Aku telah sangat siap untuk terjatuh pada pusaran pesona
matamu. Di mata ini pernah mengalir samudra perasaan di dalamnya-yang mengering
setelah langkah kepergian kian nyata. Aku menikmati secangkir kopi untuk
menikmati sepi, bukan membuka hati.
Aku melihat awan dari balik matamu, serupa langit yang terus
menahan hujan agar tak jatuh ke bumi, begitu pula rasa. Akhirnya, kamu
membuatku tahu; kedai kopi ini tak menyediakan apa-apa selain melankoli di
tangan kanan dan segenggam hati di tangan kiri. Kau tahu, kepergian seorang
wanita yang lalu telah mencabik beberapa lapis perasaanku; meninggalkan luka
yang dalam. Yang butuh waktu untuk menemukan obatnya. Dan kesendirian ini,
adalah caraku untuk menambalnya.
Ingin rasanya kupecahkan kelabu yang selalu membuatmu merasa boleh
untuk memanjakan kesedihan itu. Namun, kamu selalu berkata tidak. Dan aku
senantiasa menanti. Sungguh tak tertahankan, menatap mata yang tak menatapku
balik. Kesepian ini seperti memelukku selamanya. Masih terarsip di kepalau
tetiap kenangan lama-kenangan yang belum mengusaikan dirinya. Aku tidak ingin
kaujatuh di dalam dadaku di waktu yang salah. Aku ingin kau menemukanku di
waktu yang tepat-entah kapan.
Aku akan selalu di sini, menemani sepi yang merayapi tubuhmu. Tapi
kamu tak tahu bagaimana selalu memandangku tak mengerti. Sini, akan kuajari
kamu caranya menerima, bahwa yang tinggal hanya kenangannya, bukan nyatanya
dia. Dan dengan itu, aku masih bersedia mengulurkan hatiku sekali lagi. Bukannya
tak mengerti; aku tidak ingin hujan menderaskan wajahmu ketika ternyata luka
ini takpernah sembuh. Atau mungkin, aku yang salah-bahwa kamulah obat yang
kucari selama ini untuk mengutuhkam kembali perasaan?
Aku telah selalu berjudi, sepotong demi sepotong hati kutukarkan
untuk meyakini diriku sendiri jika tiada yang lebih tepat selain kamu. Aku
tersenyum. Lelah. Kedai kopi ini tak akan pernah sama lagi. Untuk satu itu aku
setuju; serupa kopi yang mendingin ini. Tetapi, seketika matamu berlabuh di
milikku, kopi ini terasa menghangat kembali; terasa abadi. Menurutmu mana yang
lebih baik, bertahan di sini dan berbincang denganmu sampai pagi atau beranjak;
membiarkan penyesalan mendera dadaku setiap hari?
Tidak keduanya. Karena untuk apa? Bisakah kamu memberitahu aku
dulu; rumus matematika seperti apa yang mesti kugunakan agar bisa membuka
tembok pertahananmu? Hati mulai menitik tak tentu. Perjudianku tak akan menang.
Dan aku menangis, bukan karena tahu aku kalah, melainkan tak kuasa mengiyakan
sejak dari dulu hingga sekarang, hatimu yang bisa mengisinya–bukan aku. Puan,
jangan mendahului takdir. Sepertinya aku lebih memilih untuk sendiri dulu-karena
itu dingin, seperti kopi ini. Cintailah aku di waktu yang tepat, cintailah aku
yang telah membenci kesendirian. Bukan penikmat sepi seperti hari ini-dan hari
setelahnya.
Baik, setelah ini, kamu akan tahu–tak akan ada yang lebih ikhlas
dari sesosok perempuan, dibiarkannya yang ia cinta berjalan pergi begitu saja.
Tanpa dicegah. Tanpa dihalang. Namun, tanpa sadar tetap diam-diam
menghidupkannya dalam hati.
0 comments:
Post a Comment