Aku masih di sini, kekasih. Patah tanpa alasan. Menunggu
keraguan hilang dari kepalaku—sampai waktu terus menderas bagai hujan dan masih
saja kau enggan memberi jawaban. Aku harus pergi. Aku tidak sedang meragu, kekasih.
Aku hanya tak ingin suatu saat nanti salah satu dari kita patah tak termaafkan.
Sedang aku memberi harga mahal tentang sebuah penantian. Meski begitu, langkah
mu pergi bukan lah yang aku harapkan.
Kita pernah menjadi sepasang bahagia yang lahir di
dada masing-masing. Detik yang kian gulir sementara takdir mulai menautkan
rasa. Ketika itu aku sadar, padamu aku merajut masa depan. Meski diantara kita ada
manusia yang menjadi tembok penghalang dari hubungan ini. Di tengah perjalanan
penantian aku menyadari, ? Entah siapa pemicunya, aku atau kamu yang mencipta
bahagia. Namun kian hari yang terasa malah saling yang ku rasa asing. Aku hanya
takut, hubungan ini di antara kita suatu saat kukut.
Seharusnya jangan kaubiarkan ketakutan memelukmu. Ia
hanya datang untuk melahirkan ragu, memberi kita jarak sebagai spasi pemisah.
Keterasingan itu ada karena kita mulai hilang arah. Bila padamu, taklagi ada
aku di hati, itu satu alasan kuat aku harus pergi. Jika langkah mu membawa mu
pergi jauh, lantas aku tak ada lagi cara untuk merengkuh mu kembali. Jika kita
berpikir hubungan ini harus dituntaskan, biarkan perasaan kita yang
dipersatukan. Namun biarkan waktu yang memberi jawaban, agar tulus yang jadi
alasan.
Pergi bukan berarti hilang. Aku hanya menunggu.
Barangkali, rindu itu masih ada. Barangkali masih tersisa kenanganku di
kepalamu. Bila saja kau mau melepas ketakutan dan membuka jalan, takbutuh waktu
memberitahu, aku akan ada di sana. Menyelami hidupmu. Itu bila kau
menginginkannya. Aku sedang memahami kabar semesta. Tentang perpisahan dengan
mu yang sempat sekian lamanya, antara aku dan kamu yang (mungkin) terjebak
rindu. Aku mencoba sampaikan, tapi bukan dengan lambaikan, melainkan doa yang
tak luput aku pajatkan. Sejenak aku bertanya, semesta berpihak kepada siapa?
Mungkinkah kepada kita?
Iya, kataku. Aku selalu percaya. Pada semesta yang
basah—hujan yang kian menderas setelah kamu mati di dalamnya. Ia ingin hidup
kembali sebagai perasaan baru. Sebagai kau. Buang segala ragu dan takut. Raih
tanganku, bor. Mari kita tulis lembar baru. Kau selalu menjadi sosok yang penuh
keyakinan, ragu ku mampu kau patahkan dengan sikap mu yang bertahan. Terima
kasih, tak terbesit lagi dalam diriku akan rasa takut, sebab aku telah yakin
pada mu hatiku terpaut. Pada lembaran baru, hubungan kita akan menjadi
kebersamaan yang panjang, menjadi sepasang hati yang bersama-sama merajut
kenang.
Kita tahu tentang muara yang dituju. Maka
berbahagialah, bahwa apa yang bentang di hadapan ialah kebersamaan yang baru.
Hangat. Di hatimu, aku ingin menjadi aku—yang selalu mencintaimu tanpa mengenal
detik dan tanggal.
0 comments:
Post a Comment