Mobilisasi gerakan rompi kuning menandai langkah
penting dalam perkembangan perjuangan kelas di Prancis. Selama beberapa minggu
terakhir ratusan ribu orang berpartisipasi dalam gerakan ini. Dituntun oleh
kemarahan atas harga BBM yang baru-baru ini naik, dari hari ke hari mereka
turun ke jalan dan berbenturan dengan polisi.
Tekad mereka merupakan refleksi dari penderitaan dan
kemarahan mereka. Kebijakan Presiden Emmanuel Macron menaikkan harga BBM adalah
serangan bagi kelas pekerja, sementara yang kaya mengambil manfaat dari segala
macam keringanan pajak, subsidi dan potongan harga lainnya. Gerakan ini
memahami bahwa argumen “peralihan ekologi” yang digunakan rejim Macron hanyalah
dalih lain untuk menjarah massa rakyat demi keuntungan bagi segelintir parasit
kaya.
Gerakan rompi kuning ini secara sosial dan politik
heterogen. Ini karena tidak hanya kelas pekerja yang terkena imbas. Kebijakan
pemerintah yang reaksioner ini telah memukul tidak hanya pekerja, tetapi juga
pengrajin, pedagang kecil, petani kecil, profesi kerah putih, pensiunan dan
lapisan sosial menengah lainnya. Heterogenitas sosial dan politik dari gerakan
rompi kuning menunjukkan bahwa gerakan ini memiliki akar yang dalam di
masyarakat. Ini bukan hanya mobilisasi garda depan kelas pekerja yang paling
sadar dan terorganisir. Ini adalah gerakan massa yang telah menarik lapisan
sosial lain ke dalamnya. Tentu saja, tidak ada yang bisa mengatakan seberapa
jauh ini akan berlangsung. Tetapi yang jelas bahwa gerakan ini adalah jalan
menuju situasi revolusioner.
Menurut laporan setidaknya 300 ribu orang turun ke
jalan dan memblokir jalan-jalan raya dan pompa bensin. Ada lebih dari 2000
titik aksi yang meluas di seluruh Prancis. Sebagian dari wilayah Prancis bahkan
berhenti beroperasi, terblokade oleh aksi-aksi gerakan ini. Blokade di
jalan-jalan pertama kali terjadi di wilayah Neubourg pada 10 November. Sekitar
2300 jalan diblokir selama sepekan. Para demonstran ini bahkan berasal dari
kota kecil di wilayah Prancis yang seolah terlupakan. Di Pulau La Reunion,
wilayah administratif Prancis, demo-demo yang ada bahkan telah berubah menjadi
berkarakter insureksional.
Dengan cepat aksi-aksi ini meluas ke kota-kota.
Demonstran berpusat di seputar Paris dan sebagian semakin bergerak mendekat ke
Istana Elysee tempat kediaman Presiden Macron. Mereka dihadang oleh
aparatus kekerasan lengkap dengan senjatanya. Mereka dipukuli dan
ditendangi dan ditembak dengan gas air mata. Untuk menghalau aksi demo yang
semakin meluas, Polisi mengerahkan ribuan anggotanya. Mereka memasang
penghalang logam di seputar Champs-Elysee untuk menghentikan langkah demonstran
mencapai tempat-tempat vital seperti kantor presiden dan majelis nasional. Di
wilayah yang lain, demonstran mengambil alih gerbang tol dan membiarkan
kendaraan lewat secara gratis dan ini menimbulkan kemacetan luas biasa yang
hampir melumpuhkan sebagian besar kota Paris.
Mengutip laporan dari BBC, selama 12 bulan terakhir
harga bahan bakar diesel telah meningkat sebanyak 23%. Harga ini mencapai titik
tertinggi sejak tahun 2000 di angka 1,5 euro atau setara dengan Rp. 24.000 per
liternya. Meski harga minyak dunia baru-baru ini telah turun, tapi pemerintah
Prancis tetap menaikkan pajak hidrokarbon menjadi 7,6 sen per liter untuk bahan
bakar diesel dan 3,9 sen untuk premium. Kebijakan ini diklaim demi mendukung
mobil dan bahan bakar yang ramah lingkungan. Namun masih segar di ingatan
rakyat Prancis, pada Januari lalu Macron juga menaikkan harga bahan bakar
diesel sebesar 6,5 sen dan untuk premium 2,9 sen. Kebijakan ekonomi ini sekali
lagi membebani kelas pekerja.
Saat Emmanuel Macron dilantik 18 bulan lalu, ia
berjanji untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap politik. Tetapi
berbagai demo yang berlangsung selama ini menunjukkan bagaimana kemarahan yang
meluas atas kebijakan pro-bisnisnya. Di antara para demonstran rompi kuning ini
ada juga kelompok yang dulunya mendukung Macron. Mereka kini turut turun ke jalan
dan mendukung aksi massa ini. Situasi ini merupakan sinyal bahwa Macron gagal
dalam mengembalikan kepercayaan publik terhadap politik maupun politikus.
Padahal baru 1,5 tahun sang presiden dilantik, tetapi segera setelah itu
meluncur berbagai kebijakan yang menyerang kelas pekerja.
Selama beberapa dekade Prancis telah diperintah oleh
berbagai macam latar belakang partai politik, baik yang kiri maupun kanan.
Namun pada akhirnya mereka memilih meletakkan beban krisis ke pundak kelas
pekerja. Sama seperti para pendahulunya, Macron mengambil pilihan yang sama.
Seperti yang Marx katakan bahwa Prancis adalah negeri dimana perjuangan kelas
selalu diperjuangkan sampai garis finis. Kebenaran dari pernyataan ini akan
segera menjadi jelas bagi semua orang. Kita akan saksikan demo-demo besar,
pemogokan dan pemogokan umum. Pengulangan dari revolusi 1968 bukan sesuatu yang
mustahil dan ini implisit dalam situasi hari ini.
0 comments:
Post a Comment