Monday, December 24, 2018

Prancis: Gerakan Rompi Kuning dan Rezim Macron yang Rapuh


Mobilisasi gerakan rompi kuning menandai langkah penting dalam perkembangan perjuangan kelas di Prancis. Selama beberapa minggu terakhir ratusan ribu orang berpartisipasi dalam gerakan ini. Dituntun oleh kemarahan atas harga BBM yang baru-baru ini naik, dari hari ke hari mereka turun ke jalan dan berbenturan dengan polisi. 
Tekad mereka merupakan refleksi dari penderitaan dan kemarahan mereka. Kebijakan Presiden Emmanuel Macron menaikkan harga BBM adalah serangan bagi kelas pekerja, sementara yang kaya mengambil manfaat dari segala macam keringanan pajak, subsidi dan potongan harga lainnya. Gerakan ini memahami bahwa argumen “peralihan ekologi” yang digunakan rejim Macron hanyalah dalih lain untuk menjarah massa rakyat demi keuntungan bagi segelintir parasit kaya.

Gerakan rompi kuning ini secara sosial dan politik heterogen. Ini karena tidak hanya kelas pekerja yang terkena imbas. Kebijakan pemerintah yang reaksioner ini telah memukul tidak hanya pekerja, tetapi juga pengrajin, pedagang kecil, petani kecil, profesi kerah putih, pensiunan dan lapisan sosial menengah lainnya. Heterogenitas sosial dan politik dari gerakan rompi kuning menunjukkan bahwa gerakan ini memiliki akar yang dalam di masyarakat. Ini bukan hanya mobilisasi garda depan kelas pekerja yang paling sadar dan terorganisir. Ini adalah gerakan massa yang telah menarik lapisan sosial lain ke dalamnya. Tentu saja, tidak ada yang bisa mengatakan seberapa jauh ini akan berlangsung. Tetapi yang jelas bahwa gerakan ini adalah jalan menuju situasi revolusioner.
Menurut laporan setidaknya 300 ribu orang turun ke jalan dan memblokir jalan-jalan raya dan pompa bensin. Ada lebih dari 2000 titik aksi yang meluas di seluruh Prancis. Sebagian dari wilayah Prancis bahkan berhenti beroperasi, terblokade oleh aksi-aksi gerakan ini. Blokade di jalan-jalan pertama kali terjadi di wilayah Neubourg pada 10 November. Sekitar 2300 jalan diblokir selama sepekan. Para demonstran ini bahkan berasal dari kota kecil di wilayah Prancis yang seolah terlupakan. Di Pulau La Reunion, wilayah administratif Prancis, demo-demo yang ada bahkan telah berubah menjadi berkarakter insureksional.
Dengan cepat aksi-aksi ini meluas ke kota-kota. Demonstran berpusat di seputar Paris dan sebagian semakin bergerak mendekat ke Istana Elysee tempat kediaman Presiden Macron. Mereka dihadang oleh  aparatus kekerasan lengkap dengan senjatanya. Mereka dipukuli dan ditendangi dan ditembak dengan gas air mata. Untuk menghalau aksi demo yang semakin meluas, Polisi mengerahkan ribuan anggotanya. Mereka memasang penghalang logam di seputar Champs-Elysee untuk menghentikan langkah demonstran mencapai tempat-tempat vital seperti kantor presiden dan majelis nasional. Di wilayah yang lain, demonstran mengambil alih gerbang tol dan membiarkan kendaraan lewat secara gratis dan ini menimbulkan kemacetan luas biasa yang hampir melumpuhkan sebagian besar kota Paris.
Mengutip laporan dari BBC, selama 12 bulan terakhir harga bahan bakar diesel telah meningkat sebanyak 23%. Harga ini mencapai titik tertinggi sejak tahun 2000 di angka 1,5 euro atau setara dengan Rp. 24.000 per liternya. Meski harga minyak dunia baru-baru ini telah turun, tapi pemerintah Prancis tetap menaikkan pajak hidrokarbon menjadi 7,6 sen per liter untuk bahan bakar diesel dan 3,9 sen untuk premium. Kebijakan ini diklaim demi mendukung mobil dan bahan bakar yang ramah lingkungan. Namun masih segar di ingatan rakyat Prancis, pada Januari lalu Macron juga menaikkan harga bahan bakar diesel sebesar 6,5 sen dan untuk premium 2,9 sen. Kebijakan ekonomi ini sekali lagi membebani kelas pekerja.
Saat Emmanuel Macron dilantik 18 bulan lalu, ia berjanji untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap politik. Tetapi berbagai demo yang berlangsung selama ini menunjukkan bagaimana kemarahan yang meluas atas kebijakan pro-bisnisnya. Di antara para demonstran rompi kuning ini ada juga kelompok yang dulunya mendukung Macron. Mereka kini turut turun ke jalan dan mendukung aksi massa ini. Situasi ini merupakan sinyal bahwa Macron gagal dalam mengembalikan kepercayaan publik terhadap politik maupun politikus. Padahal baru 1,5 tahun sang presiden dilantik, tetapi segera setelah itu meluncur berbagai kebijakan yang menyerang kelas pekerja.
Selama beberapa dekade Prancis telah diperintah oleh berbagai macam latar belakang partai politik, baik yang kiri maupun kanan. Namun pada akhirnya mereka memilih meletakkan beban krisis ke pundak kelas pekerja. Sama seperti para pendahulunya, Macron mengambil pilihan yang sama. Seperti yang Marx katakan bahwa Prancis adalah negeri dimana perjuangan kelas selalu diperjuangkan sampai garis finis. Kebenaran dari pernyataan ini akan segera menjadi jelas bagi semua orang. Kita akan saksikan demo-demo besar, pemogokan dan pemogokan umum. Pengulangan dari revolusi 1968 bukan sesuatu yang mustahil dan ini implisit dalam situasi hari ini.

0 comments:

Post a Comment

 
;