Pertemuan
menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa silam—setelah hati yang
remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai begitu lama. Dan di suatu
perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku denganmu. Penantian ini cukup
lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga cinta agar kelak aku mampu
dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang kelak akan menjadi
bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin
bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan
yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan
segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku,
bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang
terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang
kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk
diketahui—hati.
Itulah
kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara banyak tentang masa
depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama terasa. Seseorang
yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di dalam perpisahan
aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali. Biarkan perasaan ini
tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan tanpa seorang pun
tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah kaudatang dan
meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku.
Dan bukankah,
itu masa depan untuk kita? Aku yang pernah patah, tumbuh, dan patah lagi enggan
untuk jatuh di kenangan yang sama lagi. Kamu ialah rencana baik yang Tuhan
siapkan untukku. Jangan biarkan waktu memisahkan. Aku tertegun atas segala
rencana Tuhan untukku, pada setiap ketetapannya, pada setiap perjalanannya yang
kuyakini Tuhan mempersiapkan dirimu tuk membersamaiku. Dalam niat yang sama
untuk mencapai ridho-Nya. Kalau begitu, mari kita usaikan segala yang membuat
kita ragu—tatap langkah maju untuk saling menuju pada kebersamaan yang menunggu
kita. Jangan biar waktu membuatmu meragu, abor.
Langkah kita
semakin dekat, hal yang sama sama kita nanti semakin tiba. Meski ragu mendera,
ku harap ini hanya sebatas ketakutan dalam memenjarai rasa, yang tanpa seorang
pun tahu, aku masih melibatkan namamu dalam sepertiga malamku. Biarkan aku
memudarkan rasa takut itu, karena aku tidak ingin mengulang masa silam.
Melangkahlah bersamaku, bor. Bila aku bukan doamu, katakan saja. Aku tidak
ingin berada di pelabuhan hati yang salah—yang kelak melahirkan lagi luka. Entah
gejolak apa yang membuatku resah, tak menghilang meski kau jelaskan arah. Hanya
takdir-Nya yang hadir jawaban terpasti untuk, dan benar saja.. Kehendak-Nya
cukup membiarkanku mengenalmu saja tanpa berharap lebih untuk bersama.
Lucu bukan?
Kita yang dulu berkata bersama adalah baik-baik saja, kini malah bermuara pada
sesuatu yang takpasti. Teguhkan hatimu, bor. Katakan bila aku lelaki yang
pantas menjadi imammu atau mungkin aku hanya sebatas hampir pantas. Teramat
sesak kehilangan ini, terasa sulit untuk melepaskan. Mengapa Tuhan mentakdirkan
kita bertemu jika perpisahanlah yang menjadi jawabnya. Namun aku sadar, Tuhan
tak pernah salah dalam memberi, seperti dirimu, hanya saja bukan yang terbaik
untukku.
Mungkin kita
terlalu lelah untuk meyakinkan diri bisa bersama—terlalu jatuh untuk menyamakan
irama perasaan lagi. Bila saatnya ini aku harus pergi, mungkin inilah waktunya.
Terima kasih atas segala doa—semoga kita punya masa depan lagi di suatu waktu
nanti. Pertemuan menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa
silam—setelah hati yang remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai
begitu lama. Dan di suatu perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku
denganmu. Penantian ini cukup lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga
cinta agar kelak aku mampu dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang
yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin
bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan
yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan
segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku,
bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang
terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang
kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk
diketahui—hati. Itulah kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara
banyak tentang masa depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama
terasa. Seseorang yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di
dalam perpisahan aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali.
Biarkan
perasaan ini tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan
tanpa seorang pun tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah
kaudatang dan meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku. Dan bukankah, itu masa
depan untuk kita? Aku yang pernah patah, tumbuh, dan patah lagi enggan untuk
jatuh di kenangan yang sama lagi. Kamu ialah rencana baik yang Tuhan siapkan
untukku. Jangan biarkan waktu memisahkan. Aku tertegun atas segala rencana
Tuhan untukku, pada setiap ketetapannya, pada setiap perjalanannya yang
kuyakini Tuhan mempersiapkan dirimu tuk membersamaiku. Dalam niat yang sama
untuk mencapai ridho-Nya.
Kalau begitu,
mari kita usaikan segala yang membuat kita ragu—tatap langkah maju untuk saling
menuju pada kebersamaan yang menunggu kita. Jangan biar waktu membuatmu meragu, bor. Langkah kita semakin dekat, hal yang sama sama kita nanti semakin tiba.
Meski ragu mendera, ku harap ini hanya sebatas ketakutan dalam memenjarai rasa,
yang tanpa seorang pun tahu, aku masih melibatkan namamu dalam sepertiga
malamku. Biarkan aku memudarkan rasa takut itu, karena aku tidak ingin
mengulang masa silam. Melangkahlah bersamaku, Bor. Bila aku bukan doamu,
katakan saja. Aku tidak ingin berada di pelabuhan hati yang salah—yang kelak
melahirkan lagi luka. Entah gejolak apa yang membuatku resah, tak menghilang
meski kau jelaskan arah. Hanya takdir-Nya yang hadir jawaban terpasti untuk,
dan benar saja.. Kehendak-Nya cukup membiarkanku mengenalmu saja tanpa berharap
lebih untuk bersama.
Lucu bukan?
Kita yang dulu berkata bersama adalah baik-baik saja, kini malah bermuara pada
sesuatu yang takpasti. Teguhkan hatimu, Bor. Katakan bila aku lelaki yang
pantas menjadi imammu atau mungkin aku hanya sebatas hampir pantas. Teramat
sesak kehilangan ini, terasa sulit untuk melepaskan. Mengapa Tuhan mentakdirkan
kita bertemu jika perpisahanlah yang menjadi jawabnya. Namun aku sadar, Tuhan
tak pernah salah dalam memberi, seperti dirimu, hanya saja bukan yang terbaik
untukku. Mungkin kita terlalu lelah untuk meyakinkan diri bisa bersama—terlalu
jatuh untuk menyamakan irama perasaan lagi. Bila saatnya ini aku harus pergi,
mungkin inilah waktunya. Terima kasih atas segala doa—semoga kita punya masa
depan lagi di suatu waktu nanti.
0 comments:
Post a Comment