Friday, December 21, 2018

Mengikhlaskanmu Pergi


Pertemuan menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa silam—setelah hati yang remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai begitu lama. Dan di suatu perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku denganmu. Penantian ini cukup lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga cinta agar kelak aku mampu dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku, bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk diketahui—hati.
Itulah kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara banyak tentang masa depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama terasa. Seseorang yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di dalam perpisahan aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali. Biarkan perasaan ini tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan tanpa seorang pun tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah kaudatang dan meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku.

Dan bukankah, itu masa depan untuk kita? Aku yang pernah patah, tumbuh, dan patah lagi enggan untuk jatuh di kenangan yang sama lagi. Kamu ialah rencana baik yang Tuhan siapkan untukku. Jangan biarkan waktu memisahkan. Aku tertegun atas segala rencana Tuhan untukku, pada setiap ketetapannya, pada setiap perjalanannya yang kuyakini Tuhan mempersiapkan dirimu tuk membersamaiku. Dalam niat yang sama untuk mencapai ridho-Nya. Kalau begitu, mari kita usaikan segala yang membuat kita ragu—tatap langkah maju untuk saling menuju pada kebersamaan yang menunggu kita. Jangan biar waktu membuatmu meragu, abor.
Langkah kita semakin dekat, hal yang sama sama kita nanti semakin tiba. Meski ragu mendera, ku harap ini hanya sebatas ketakutan dalam memenjarai rasa, yang tanpa seorang pun tahu, aku masih melibatkan namamu dalam sepertiga malamku. Biarkan aku memudarkan rasa takut itu, karena aku tidak ingin mengulang masa silam. Melangkahlah bersamaku, bor. Bila aku bukan doamu, katakan saja. Aku tidak ingin berada di pelabuhan hati yang salah—yang kelak melahirkan lagi luka. Entah gejolak apa yang membuatku resah, tak menghilang meski kau jelaskan arah. Hanya takdir-Nya yang hadir jawaban terpasti untuk, dan benar saja.. Kehendak-Nya cukup membiarkanku mengenalmu saja tanpa berharap lebih untuk bersama.
Lucu bukan? Kita yang dulu berkata bersama adalah baik-baik saja, kini malah bermuara pada sesuatu yang takpasti. Teguhkan hatimu, bor. Katakan bila aku lelaki yang pantas menjadi imammu atau mungkin aku hanya sebatas hampir pantas. Teramat sesak kehilangan ini, terasa sulit untuk melepaskan. Mengapa Tuhan mentakdirkan kita bertemu jika perpisahanlah yang menjadi jawabnya. Namun aku sadar, Tuhan tak pernah salah dalam memberi, seperti dirimu, hanya saja bukan yang terbaik untukku.
Mungkin kita terlalu lelah untuk meyakinkan diri bisa bersama—terlalu jatuh untuk menyamakan irama perasaan lagi. Bila saatnya ini aku harus pergi, mungkin inilah waktunya. Terima kasih atas segala doa—semoga kita punya masa depan lagi di suatu waktu nanti. Pertemuan menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa silam—setelah hati yang remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai begitu lama. Dan di suatu perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku denganmu. Penantian ini cukup lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga cinta agar kelak aku mampu dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku, bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk diketahui—hati. Itulah kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara banyak tentang masa depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama terasa. Seseorang yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di dalam perpisahan aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali.
Biarkan perasaan ini tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan tanpa seorang pun tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah kaudatang dan meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku. Dan bukankah, itu masa depan untuk kita? Aku yang pernah patah, tumbuh, dan patah lagi enggan untuk jatuh di kenangan yang sama lagi. Kamu ialah rencana baik yang Tuhan siapkan untukku. Jangan biarkan waktu memisahkan. Aku tertegun atas segala rencana Tuhan untukku, pada setiap ketetapannya, pada setiap perjalanannya yang kuyakini Tuhan mempersiapkan dirimu tuk membersamaiku. Dalam niat yang sama untuk mencapai ridho-Nya.
Kalau begitu, mari kita usaikan segala yang membuat kita ragu—tatap langkah maju untuk saling menuju pada kebersamaan yang menunggu kita. Jangan biar waktu membuatmu meragu, bor. Langkah kita semakin dekat, hal yang sama sama kita nanti semakin tiba. Meski ragu mendera, ku harap ini hanya sebatas ketakutan dalam memenjarai rasa, yang tanpa seorang pun tahu, aku masih melibatkan namamu dalam sepertiga malamku. Biarkan aku memudarkan rasa takut itu, karena aku tidak ingin mengulang masa silam. Melangkahlah bersamaku, Bor. Bila aku bukan doamu, katakan saja. Aku tidak ingin berada di pelabuhan hati yang salah—yang kelak melahirkan lagi luka. Entah gejolak apa yang membuatku resah, tak menghilang meski kau jelaskan arah. Hanya takdir-Nya yang hadir jawaban terpasti untuk, dan benar saja.. Kehendak-Nya cukup membiarkanku mengenalmu saja tanpa berharap lebih untuk bersama.
Lucu bukan? Kita yang dulu berkata bersama adalah baik-baik saja, kini malah bermuara pada sesuatu yang takpasti. Teguhkan hatimu, Bor. Katakan bila aku lelaki yang pantas menjadi imammu atau mungkin aku hanya sebatas hampir pantas. Teramat sesak kehilangan ini, terasa sulit untuk melepaskan. Mengapa Tuhan mentakdirkan kita bertemu jika perpisahanlah yang menjadi jawabnya. Namun aku sadar, Tuhan tak pernah salah dalam memberi, seperti dirimu, hanya saja bukan yang terbaik untukku. Mungkin kita terlalu lelah untuk meyakinkan diri bisa bersama—terlalu jatuh untuk menyamakan irama perasaan lagi. Bila saatnya ini aku harus pergi, mungkin inilah waktunya. Terima kasih atas segala doa—semoga kita punya masa depan lagi di suatu waktu nanti.

0 comments:

Post a Comment

 
;