Thursday, December 20, 2018

Babak Baru Revolusi Prancis


Situasi sosial dan politik Prancis bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Selama satu bulan terakhir Perancis dihadapkan dengan mobilisasi sosial besar-besaran. Demonstrasi dan bentrokan terjadi di mana-mana. Blokade jalan berlangsung selama berminggu-minggu di jalanan kota Paris. Para demonstran tanpa lelah terus berhadapan dengan represi polisi.
Dalam satu bulan gerakan rompi kuning telah menempatkan negara ini di ambang krisis revolusioner. Situasi ini semakin menarik lebih banyak elemen gerakan lain, seperti serikat-serikat buruh, mahasiswa, pelajar-pelajar SMA dan juga pekerja kerah putih. Elemen-elemen gerakan yang awalnya hanya menonton kini terlibat dan mendukung gerakan ini. Gerakan ini tumbuh dalam skala dan intensitasnya.
Universitas Paris Nanterre adalah salah satu kampus yang secara radikal memobilisasi mahasiswa dalam merespon demo rompi kuning. Di kampus ini mereka mengadakan rapat akbar yang menghasilkan resolusi yang radikal. Mereka menyatakan bahwa universitasnya akan ikut mogok. Rapat akbar yang digelar di Universitas Nanterre pada tanggal 10 Desember ini dihadiri sekitar 2000 orang, baik mahasiswa maupun pekerja kampus.

Rapat akbar Universitas Nanterre juga menyerukan pada semua mahasiswa untuk bergabung dalam perjuangan yang sedang berlangsung untuk melawan kebijakan-kebijakan Macron yang anti kelas pekerja. Ini bukan lagi soal memerangi individu ini atau itu. Ini adalah bagaimana melawan kebijakan pemerintah yang menindas. Para mahasiswa ini juga merumuskan serangkaian tuntutan lain, termasuk melawan kebijakan reformasi pendidikan Macron. Mereka menyatakan dukungan pada Rompi Kuning dan mengutuk represi polisi, serta menyerukan agar Macron mundur dari jabatannya.
Di lain tempat, sejumlah mahasiswa di Universitas Paul Valery-Montepellier dan Toulouse yang tergabung dalam IMT (International Marxist Tendency) mengajukan resolusi yang  menyuarakan dukungan untuk Gerakan Rompi Kuning dan menyerukan aksi mogok terkoordinasi untuk menjatuhkan pemerintah. Resolusi ini mendapat dukungan luas. 
Para pelajar sekolah menengah mengikuti jalan yang sama. Bersama dengan mahasiswa di universitas, mereka menunjukkan dukungan mereka untuk berpartisipasi dalam Gerakan Rompi Kuning di seluruh Perancis. Universitas dan sekolah-sekolah menjadi tempat mobilisasi politik. Sebanyak 450 sekolah terlibat dalam demonstrasi. Sementara Kementrian Pendidikan Prancis mengatakan bahwa 60 sekolah menengah sepenuhnya ditutup karena ada “Black Tuesday”, atau selasa hitam, sebagai seruan oleh serikat siswa sekolah menengah (UNL) untuk terlibat aksi.

Serikat Buruh: Revolusi dari Bawah, Reformisme di Atas
Sejak awal sebagian besar kepemimpinan federasi serikat buruh telah mengambil kebijakan yang buruk dalam menanggapi rompi kuning. Para pimpinan ini menolak mendukung gerakan rompi kuning, dan bahkan mencelanya, sebelum akhirnya terseret oleh gelombang mobilisasi karena tekanan yang juga datang dari bawah. Kita saksikan semakin banyak lapisan kelas pekerja memasuki perjuangan dan berdiri bersama rompi kuning, termasuk para petugas pemadam kebakaran dan pekerja ambulans.
Bahkan para pekerja dari profesi yang secara tradisional apatis – seperti pekerja kantoran atau kerah putih – mulai bergerak. Misalnya, 160 pengacara memulai pemogokan total pada 4 Desember atas upayanya untuk mengkonter reforma terhadap sistem pengadilan. Para pengacara ini menyatakan solidaritas mereka pada rompi kuning dan melakukan protes bersama di luar pengadilan Beizers. Tindakan ini sangat signifikan mengingat peristiwa 1968, di mana pemogokan umum  revolusioner juga mencakup lapisan masyarakat yang sangat luas, termasuk juru tulis, administrator, pegawai negeri dan sebagainya.
Berbeda dengan radikalisme yang ada di akar rumput, para pimpinan dari enam konfederasi serikat buruh ini (tidak termasuk serikat buruh SUD) justru sangat moderat. Mereka menandatangani pernyataan bersama yang “menolak semua bentuk kekerasan dalam mengekspresikan tuntutan”, alih-alih mengutuk kekerasan brutal polisi dan juga kekerasan kapitalisme yang setiap hari mengunjungi kehidupan rakyat pekerja. Mereka menyambut negosiasi dari pemerintah dan tidak sedikitpun bicara tentang demonstrasi yang akan datang. Pernyataan yang memalukan ini dianggap sebagai sinyal persetujuan langsung terhadap seruan Macron untuk “bertemu dan berbicara”, alih-alih mendorong aksi pemogokan.
Tindakan para pemimpin serikat buruh ini membuat marah anggota akar rumput serikat buruh, yang berkoordinasi dengan rompi kuning sejak awal gerakan. Pernyataan bersama itu segera dikutuk oleh cabang-cabang lokal serikat buruh. Misalnya, serikat buruh CGT perhimpunan departemen 13 (di Toulouse) mengeluarkan pernyataan tegas yang mengecam pernyataan bersama yang ditandatangani para pimpinan federasi. Mereka mengatakan: “kami akan terus mengecam dan memerangi kekerasan yang sebenarnya datang dari kelas penguasa terhadap kelas pekerja”.
CGT perhimpunan departemen 31 di Marseille (sebuah cabang serikat buruh yang melindungi pelajar sekolah menengah dari represi polisi pada minggu yang sama) mengatakan bahwa pernyataan bersama itu “mengirimkan pesan yang katastropik kepada perjuangan. Tindakan ini menempatkan aktivis kita dalam bahaya”. Mereka lalu menyerukan pertemuan darurat serikat untuk meminta pertanggung jawaban para pemimpin mereka.
Federasi Industri Kimia Nasional CGT juga telah menolak pernyataan bersama itu dan mengatakan bahwa CGT tidak layak bertindak seperti itu. Mereka mengutuk kekerasan dari para bos, polisi dan penindasan serikat buruh. Mereka mengatakan: “jika ada kekerasan, penyebabnya ada di antara jajaran para penindas, bukannya yang tertindas.... peran CGT haruslah berdampingan dengan para pekerja dan bukan sebagai pembantu dari bos dan pemerintah”.
Anggota CGT yang ada di sektor energi, cabang Paris, juga mengutuk pernyataan bersama ini. Mereka akan bergabung dengan pekerja transportasi yang berafiliasi dengan CGT dengan mogok selama 48 jam. CGT perhimpunan departemen 59 di Lille juga telah bergabung dengan dalam memprotes pernyataan bersama tersebut. Mereka turut menuntut sebuah pertemuan darurat dari pimpinan nasional CGT.
Sungguh sangat kontras antara radikalisme di bawah dan reformisme di jajaran kepemimpinan, yang semakin jelas dari hari ke hari. Sementara anggota dan serikat-serikat di cabang  bergerak semakin dekat ke rompi kuning dan menarik kesimpulan yang berani dan bahkan revolusioner terhadap rezim Macron, para pemimpin federasi serikat ini justru takut terhadap radikalisme di bawah yang mungkin akan bergerak terlalu jauh, dan mencoba mengeremnya. Sangat mungkin kemarahan dan frustrasi atas tindakan kepemimpinan CGT ini akan menghasilkan pemberontakan melawan Philipe Martinez dan kepemimpinan CGT lainnya.
Sementara itu, dengan hari aksi yang direncanakan oleh CGT pada 14 Desember, sangat penting untuk serikat-serikat buruh di tingkatan lokal untuk terus terlibat dalam perjuangan dan merapat ke kelas pekerja yang terorganisir di lingkaran rompi kuning. Sebisa mungkin mereka harus meningkatkan kampanye pemogokan dan memilih secara demokratis kepemimpinan nasional untuk membawa gerakan ini ke depan. Saat ini ada bahaya bahwa tindakan kepemimpinan federasi serikat dalam pernyataan bersama itu akan memperdalam persepsi bahwa serikat buruh yang ada berdiri berdampingan dengan penguasa. Ini bisa membuat serikat buruh yang mendukung rompi kuning sebelumnya akan terisolasi dari gerakan.
Perjuangan Membesar, Represi Meningkat
Polisi bersenjata yang diturunkan guna melawan demonstran semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya tensi gerakan ini. Akhir pekan lalu sebanyak 500 ribu orang yang turun ke jalan direspons secara brutal oleh negara. 89.000 polisi bersenjata dikerahkan untuk menghadang gerakan ini.
Pada hari sabtu (8/12), Macron menggunakan taktik baru dalam merepresi demonstran. Pejalan kaki menjadi sasaran. Mereka diberhentikan dan digeledah kalau-kalau menyimpan rompi kuning di tasnya. Dengan tindakan ini setidaknya ada 1000 orang ditangkap di Paris. Orang-orang yang bergerombol, yang disinyalir akan bergabung dalam aksi, diblokir di sudut-sudut kota agar tidak bisa lewat.
Arie Alimi, seorang pengacara dan anggota Liga Hak Asasi Manusia mengomentari kebijakan ini: “Kami telah melihat orang-orang yang hanya ingin protes ditangkapi ... mereka (polisi) telah menangkap orang-orang yang bahkan tidak melakukan apa-apa, yang hanya disinyalir karena memiliki niat berbahaya.” Kenyataannya apa yang negara ini lakukan adalah menangkap orang ‘sebagai pencegahan’ sebelum mereka melakukan kejahatan apa pun, sehingga melanggar semua prinsip hukum borjuis.
Penindasan polisi di Perancis sungguh tidak berbelas kasihan. Gas air mata, proyektil busa, meriam air dan bahkan mobil lapis baja dikerahkan untuk membubarkan demonstran yang hanya ingin long march ke istana negara. Banyak gambar-gambar di media sosial beredar, di mana orang-orang terlempar karena meriam air. Banyak yang pingsan karena kesakitan setelah terkena peluru karet. Banyak luka mengerikan yang ditimbulkan oleh represi polisi. Para pelajar dan mahasiswa juga tidak luput dari represi ini. Sebanyak 150 siswa sekolah menengah ditangkap di Mantes-la-Jolie. Namun 99% liputan media fokus pada kekerasan oleh pengunjuk rasa. Sejauh ini total keseluruhan ada 700 orang terluka. Tapi banyak juga yang berhasil melewati bagian-bagian tertentu kota Paris dan beberapa di antaranya menyanyikan lagu-lagu revolusioner seperti Bella Ciao.
Siasat Macron
Pada senin malam (10/12), Macron memberikan pidato di televisi sebagai upaya untuk menenangkan rompi kuning yang sekarang mengancam pemerintahannya. Keesokan harinya isinya diteliti dan diperdebatkan oleh semua orang. Macron mengumumkan peningkatan upah minimum sebesar 100 Euro, tetapi ini tidak akan ditanggung oleh pengusaha. Bila para kapitalis ini tidak dibebani untuk berkontribusi, lalu siapa yang akan menanggung konsesi dari Macron ini? Jawabannya jelas. Bila bukan para kapitalis, maka para pekerjalah yang akan membayar, termasuk juga kelas menengah. Dalam bentuk apa? Macron sungguh berhati-hati untuk tidak memberikan detailnya.
Tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa massa rakyat pekerjalah yang akan menanggungnya dalam bentuk pemotongan anggaran sosial dan dalam bentuk berbagai pajak. Dengan kata lain, apa yang sudah diberikan oleh tangan kiri Macron akan diambil oleh tangan kanan esok harinya. Tentu saja tangan kanan akan mengambil lebih banyak daripada apa yang sudah diberikan oleh tangan kiri. Ini sejalan dengan agenda ke depan yang telah direncanakan untuk tahun-tahun mendatang: pemotongan tunjangan pensiun, tunjangan pengangguran, layanan sipil dan lain-lain.
Oleh karenanya, tidak heran bila rompi kuning tidak puas dan karena itu bertekad untuk melanjutkan mobilisasi mereka. Sedangkan untuk kaum muda pelajar dan mahasiswa, mereka memiliki alasan yang kecil untuk mendemobilisasi massa mereka, karena Macron sama sekali tidak menyebut mereka, seolah-olah mereka tidak ada dan tidak membuat tuntutan. Secara umum gerakan massa yang telah berkembang ini tidak cukup hanya diberikan beberapa remah di sana-sini. Kesulitan, penderitaan dan penghinaan tidak akan selesai hanya dengan mendistribusikan puluhan euro.
Sekarang apa?
Mobilisasi rompi kuning akan terus berlanjut di masa yang akan datang. Tetapi seperti yang tersirat dari pidato Macron, mereka akan terus mengalami penindasan brutal bila demo terus berlangsung. Kekuatan rompi kuning semakin membesar dari hari ke hari, semakin dalam dan sangat agresif. Tetapi jika gerakan ini tidak cepat berkembang menjadi kampanye pemogokan terorganisir, maka gerakan ini tidak akan menghasilkan pukulan mematikan pada pemerintah Perancis. Setelah berminggu-minggu mobilisasi, kelelahan dan keletihan mungkin akan mempengaruhi gerakan. Ini telah masuk dalam perhitungan kelas penguasa yang menunggu “gencatan senjata” menjelang Natal.
Setiap serangan baru oleh pemerintah kemungkinan akan memicu mobilisasi massa baru dan lebih kuat, pada level yang lebih tinggi daripada beberapa pekan terakhir. Situasi revolusioner sedang berkembang di Perancis.  Namun apa yang kurang adalah kepemimpinan dan program aksi yang jelas, yang berakar di kelas pekerja. Mulai sekarang gerakan harus melengkapi diri dengan organ-organ demokratik. Sidang terbuka untuk semua peserta dalam perjuangan harus memilih delegasi di tingkat lokal maupun nasional, guna mengorganisir pemogokan dan memperluasnya ke sebanyak mungkin tempat kerja. Tujuan langsungnya adalah kelumpuhan ekonomi dan penggulingan pemerintah. Pada saat yang sama organ-organ demokratik dari rakyat yang berjuang ini akan meletakkan fondasi bagi kekuasaan buruh. Karena jika pemerintah Macron digulingkan, maka pertanyaan mengenai siapa yang sesungguhnya berkuasa akan segera diajukan, dan ini akan membuka babak baru dalam revolusi Prancis.

0 comments:

Post a Comment

 
;