Situasi sosial dan politik Prancis bergerak dengan
kecepatan yang sangat tinggi. Selama satu bulan terakhir Perancis dihadapkan
dengan mobilisasi sosial besar-besaran. Demonstrasi dan bentrokan terjadi di
mana-mana. Blokade jalan berlangsung selama berminggu-minggu di jalanan kota
Paris. Para demonstran tanpa lelah terus berhadapan dengan represi polisi.
Dalam satu bulan gerakan rompi kuning telah
menempatkan negara ini di ambang krisis revolusioner. Situasi ini semakin
menarik lebih banyak elemen gerakan lain, seperti serikat-serikat buruh,
mahasiswa, pelajar-pelajar SMA dan juga pekerja kerah putih. Elemen-elemen
gerakan yang awalnya hanya menonton kini terlibat dan mendukung gerakan ini.
Gerakan ini tumbuh dalam skala dan intensitasnya.
Universitas Paris Nanterre adalah salah satu kampus
yang secara radikal memobilisasi mahasiswa dalam merespon demo rompi kuning. Di
kampus ini mereka mengadakan rapat akbar yang menghasilkan resolusi yang
radikal. Mereka menyatakan bahwa universitasnya akan ikut mogok. Rapat akbar
yang digelar di Universitas Nanterre pada tanggal 10 Desember ini dihadiri
sekitar 2000 orang, baik mahasiswa maupun pekerja kampus.
Rapat akbar Universitas Nanterre juga menyerukan pada
semua mahasiswa untuk bergabung dalam perjuangan yang sedang berlangsung untuk
melawan kebijakan-kebijakan Macron yang anti kelas pekerja. Ini bukan lagi soal
memerangi individu ini atau itu. Ini adalah bagaimana melawan kebijakan
pemerintah yang menindas. Para mahasiswa ini juga merumuskan serangkaian
tuntutan lain, termasuk melawan kebijakan reformasi pendidikan Macron. Mereka
menyatakan dukungan pada Rompi Kuning dan mengutuk represi polisi, serta
menyerukan agar Macron mundur dari jabatannya.
Di lain tempat, sejumlah mahasiswa di Universitas Paul
Valery-Montepellier dan Toulouse yang tergabung dalam IMT (International
Marxist Tendency) mengajukan resolusi yang menyuarakan dukungan untuk
Gerakan Rompi Kuning dan menyerukan aksi mogok terkoordinasi untuk menjatuhkan
pemerintah. Resolusi ini mendapat dukungan luas.
Para pelajar sekolah menengah mengikuti jalan yang
sama. Bersama dengan mahasiswa di universitas, mereka menunjukkan dukungan
mereka untuk berpartisipasi dalam Gerakan Rompi Kuning di seluruh Perancis.
Universitas dan sekolah-sekolah menjadi tempat mobilisasi politik. Sebanyak 450
sekolah terlibat dalam demonstrasi. Sementara Kementrian Pendidikan Prancis
mengatakan bahwa 60 sekolah menengah sepenuhnya ditutup karena ada “Black
Tuesday”, atau selasa hitam, sebagai seruan oleh serikat siswa sekolah menengah
(UNL) untuk terlibat aksi.
Serikat Buruh: Revolusi dari Bawah, Reformisme di Atas
Sejak awal sebagian besar kepemimpinan federasi
serikat buruh telah mengambil kebijakan yang buruk dalam menanggapi rompi
kuning. Para pimpinan ini menolak mendukung gerakan rompi kuning, dan bahkan
mencelanya, sebelum akhirnya terseret oleh gelombang mobilisasi karena tekanan
yang juga datang dari bawah. Kita saksikan semakin banyak lapisan kelas pekerja
memasuki perjuangan dan berdiri bersama rompi kuning, termasuk para petugas
pemadam kebakaran dan pekerja ambulans.
Bahkan para pekerja dari profesi yang secara
tradisional apatis – seperti pekerja kantoran atau kerah putih – mulai
bergerak. Misalnya, 160 pengacara memulai pemogokan total pada 4 Desember atas
upayanya untuk mengkonter reforma terhadap sistem pengadilan. Para pengacara
ini menyatakan solidaritas mereka pada rompi kuning dan melakukan protes
bersama di luar pengadilan Beizers. Tindakan ini sangat signifikan mengingat
peristiwa 1968, di mana pemogokan umum revolusioner juga mencakup lapisan
masyarakat yang sangat luas, termasuk juru tulis, administrator, pegawai negeri
dan sebagainya.
Berbeda dengan radikalisme yang ada di akar rumput,
para pimpinan dari enam konfederasi serikat buruh ini (tidak termasuk serikat
buruh SUD) justru sangat moderat. Mereka menandatangani pernyataan bersama yang
“menolak semua bentuk kekerasan dalam mengekspresikan tuntutan”, alih-alih
mengutuk kekerasan brutal polisi dan juga kekerasan kapitalisme yang setiap
hari mengunjungi kehidupan rakyat pekerja. Mereka menyambut negosiasi dari
pemerintah dan tidak sedikitpun bicara tentang demonstrasi yang akan datang.
Pernyataan yang memalukan ini dianggap sebagai sinyal persetujuan langsung
terhadap seruan Macron untuk “bertemu dan berbicara”, alih-alih mendorong aksi
pemogokan.
Tindakan para pemimpin serikat buruh ini membuat marah
anggota akar rumput serikat buruh, yang berkoordinasi dengan rompi kuning sejak
awal gerakan. Pernyataan bersama itu segera dikutuk oleh cabang-cabang lokal
serikat buruh. Misalnya, serikat buruh CGT perhimpunan departemen 13 (di
Toulouse) mengeluarkan pernyataan tegas yang mengecam pernyataan bersama yang
ditandatangani para pimpinan federasi. Mereka mengatakan: “kami akan terus
mengecam dan memerangi kekerasan yang sebenarnya datang dari kelas penguasa
terhadap kelas pekerja”.
CGT perhimpunan departemen 31 di Marseille (sebuah
cabang serikat buruh yang melindungi pelajar sekolah menengah dari represi
polisi pada minggu yang sama) mengatakan bahwa pernyataan bersama itu
“mengirimkan pesan yang katastropik kepada perjuangan. Tindakan ini menempatkan
aktivis kita dalam bahaya”. Mereka lalu menyerukan pertemuan darurat serikat
untuk meminta pertanggung jawaban para pemimpin mereka.
Federasi Industri Kimia Nasional CGT juga telah
menolak pernyataan bersama itu dan mengatakan bahwa CGT tidak layak bertindak
seperti itu. Mereka mengutuk kekerasan dari para bos, polisi dan penindasan
serikat buruh. Mereka mengatakan: “jika ada kekerasan, penyebabnya ada di
antara jajaran para penindas, bukannya yang tertindas.... peran CGT haruslah
berdampingan dengan para pekerja dan bukan sebagai pembantu dari bos dan
pemerintah”.
Anggota CGT yang ada di sektor energi, cabang Paris,
juga mengutuk pernyataan bersama ini. Mereka akan bergabung dengan pekerja
transportasi yang berafiliasi dengan CGT dengan mogok selama 48 jam. CGT
perhimpunan departemen 59 di Lille juga telah bergabung dengan dalam memprotes
pernyataan bersama tersebut. Mereka turut menuntut sebuah pertemuan darurat
dari pimpinan nasional CGT.
Sungguh sangat kontras antara radikalisme di bawah dan
reformisme di jajaran kepemimpinan, yang semakin jelas dari hari ke hari.
Sementara anggota dan serikat-serikat di cabang bergerak semakin dekat ke
rompi kuning dan menarik kesimpulan yang berani dan bahkan revolusioner
terhadap rezim Macron, para pemimpin federasi serikat ini justru takut terhadap
radikalisme di bawah yang mungkin akan bergerak terlalu jauh, dan mencoba
mengeremnya. Sangat mungkin kemarahan dan frustrasi atas tindakan kepemimpinan
CGT ini akan menghasilkan pemberontakan melawan Philipe Martinez dan
kepemimpinan CGT lainnya.
Sementara itu, dengan hari aksi yang direncanakan oleh
CGT pada 14 Desember, sangat penting untuk serikat-serikat buruh di tingkatan
lokal untuk terus terlibat dalam perjuangan dan merapat ke kelas pekerja yang
terorganisir di lingkaran rompi kuning. Sebisa mungkin mereka harus
meningkatkan kampanye pemogokan dan memilih secara demokratis kepemimpinan
nasional untuk membawa gerakan ini ke depan. Saat ini ada bahaya bahwa tindakan
kepemimpinan federasi serikat dalam pernyataan bersama itu akan memperdalam
persepsi bahwa serikat buruh yang ada berdiri berdampingan dengan penguasa. Ini
bisa membuat serikat buruh yang mendukung rompi kuning sebelumnya akan
terisolasi dari gerakan.
Perjuangan Membesar, Represi Meningkat
Polisi bersenjata yang diturunkan guna melawan
demonstran semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan ini seiring dengan
meningkatnya tensi gerakan ini. Akhir pekan lalu sebanyak 500 ribu orang yang
turun ke jalan direspons secara brutal oleh negara. 89.000 polisi bersenjata
dikerahkan untuk menghadang gerakan ini.
Pada hari sabtu (8/12), Macron menggunakan taktik baru
dalam merepresi demonstran. Pejalan kaki menjadi sasaran. Mereka diberhentikan
dan digeledah kalau-kalau menyimpan rompi kuning di tasnya. Dengan tindakan ini
setidaknya ada 1000 orang ditangkap di Paris. Orang-orang yang bergerombol,
yang disinyalir akan bergabung dalam aksi, diblokir di sudut-sudut kota agar
tidak bisa lewat.
Arie Alimi, seorang pengacara dan anggota Liga Hak
Asasi Manusia mengomentari kebijakan ini: “Kami telah melihat orang-orang yang
hanya ingin protes ditangkapi ... mereka (polisi) telah menangkap orang-orang
yang bahkan tidak melakukan apa-apa, yang hanya disinyalir karena memiliki niat
berbahaya.” Kenyataannya apa yang negara ini lakukan adalah menangkap orang
‘sebagai pencegahan’ sebelum mereka melakukan kejahatan apa pun, sehingga
melanggar semua prinsip hukum borjuis.
Penindasan polisi di Perancis sungguh tidak berbelas
kasihan. Gas air mata, proyektil busa, meriam air dan bahkan mobil lapis baja
dikerahkan untuk membubarkan demonstran yang hanya ingin long march ke istana
negara. Banyak gambar-gambar di media sosial beredar, di mana orang-orang
terlempar karena meriam air. Banyak yang pingsan karena kesakitan setelah
terkena peluru karet. Banyak luka mengerikan yang ditimbulkan oleh represi
polisi. Para pelajar dan mahasiswa juga tidak luput dari represi ini. Sebanyak
150 siswa sekolah menengah ditangkap di Mantes-la-Jolie. Namun 99% liputan
media fokus pada kekerasan oleh pengunjuk rasa. Sejauh ini total keseluruhan
ada 700 orang terluka. Tapi banyak juga yang berhasil melewati bagian-bagian
tertentu kota Paris dan beberapa di antaranya menyanyikan lagu-lagu
revolusioner seperti Bella Ciao.
Siasat Macron
Pada senin malam (10/12), Macron memberikan pidato di
televisi sebagai upaya untuk menenangkan rompi kuning yang sekarang mengancam
pemerintahannya. Keesokan harinya isinya diteliti dan diperdebatkan oleh semua
orang. Macron mengumumkan peningkatan upah minimum sebesar 100 Euro, tetapi ini
tidak akan ditanggung oleh pengusaha. Bila para kapitalis ini tidak dibebani untuk
berkontribusi, lalu siapa yang akan menanggung konsesi dari Macron ini?
Jawabannya jelas. Bila bukan para kapitalis, maka para pekerjalah yang akan
membayar, termasuk juga kelas menengah. Dalam bentuk apa? Macron sungguh
berhati-hati untuk tidak memberikan detailnya.
Tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa massa rakyat
pekerjalah yang akan menanggungnya dalam bentuk pemotongan anggaran sosial dan
dalam bentuk berbagai pajak. Dengan kata lain, apa yang sudah diberikan oleh
tangan kiri Macron akan diambil oleh tangan kanan esok harinya. Tentu saja
tangan kanan akan mengambil lebih banyak daripada apa yang sudah diberikan oleh
tangan kiri. Ini sejalan dengan agenda ke depan yang telah direncanakan untuk
tahun-tahun mendatang: pemotongan tunjangan pensiun, tunjangan pengangguran,
layanan sipil dan lain-lain.
Oleh karenanya, tidak heran bila rompi kuning tidak
puas dan karena itu bertekad untuk melanjutkan mobilisasi mereka. Sedangkan
untuk kaum muda pelajar dan mahasiswa, mereka memiliki alasan yang kecil untuk
mendemobilisasi massa mereka, karena Macron sama sekali tidak menyebut mereka,
seolah-olah mereka tidak ada dan tidak membuat tuntutan. Secara umum gerakan
massa yang telah berkembang ini tidak cukup hanya diberikan beberapa remah di
sana-sini. Kesulitan, penderitaan dan penghinaan tidak akan selesai hanya
dengan mendistribusikan puluhan euro.
Sekarang apa?
Mobilisasi rompi kuning akan terus berlanjut di masa
yang akan datang. Tetapi seperti yang tersirat dari pidato Macron, mereka akan
terus mengalami penindasan brutal bila demo terus berlangsung. Kekuatan rompi
kuning semakin membesar dari hari ke hari, semakin dalam dan sangat agresif.
Tetapi jika gerakan ini tidak cepat berkembang menjadi kampanye pemogokan
terorganisir, maka gerakan ini tidak akan menghasilkan pukulan mematikan pada
pemerintah Perancis. Setelah berminggu-minggu mobilisasi, kelelahan dan
keletihan mungkin akan mempengaruhi gerakan. Ini telah masuk dalam perhitungan
kelas penguasa yang menunggu “gencatan senjata” menjelang Natal.
Setiap serangan baru oleh pemerintah kemungkinan akan
memicu mobilisasi massa baru dan lebih kuat, pada level yang lebih tinggi
daripada beberapa pekan terakhir. Situasi revolusioner sedang berkembang di
Perancis. Namun apa yang kurang adalah kepemimpinan dan program aksi yang
jelas, yang berakar di kelas pekerja. Mulai sekarang gerakan harus melengkapi
diri dengan organ-organ demokratik. Sidang terbuka untuk semua peserta dalam
perjuangan harus memilih delegasi di tingkat lokal maupun nasional, guna
mengorganisir pemogokan dan memperluasnya ke sebanyak mungkin tempat kerja.
Tujuan langsungnya adalah kelumpuhan ekonomi dan penggulingan pemerintah. Pada
saat yang sama organ-organ demokratik dari rakyat yang berjuang ini akan
meletakkan fondasi bagi kekuasaan buruh. Karena jika pemerintah Macron
digulingkan, maka pertanyaan mengenai siapa yang sesungguhnya berkuasa akan
segera diajukan, dan ini akan membuka babak baru dalam revolusi Prancis.
0 comments:
Post a Comment