Kekasih, aku pernah
menyimpan sepotong kenangan di balik bingkai matamu yang teduh dan basah - yang
lantas gugur satu-satu bersama waktu. Sampai akhirnya aku berhenti melangkah.
Sampai akhirnya, aku hanya menitipkan sekumpulan kata di jendela kamarmu. Kata
yang kunamakan Aksara Hujan.
Menderu, parau kata-kata itu di sekujur tubuhku, setelah waktu demi waktu yang panjang; kukira kita telah lama hilang, sebab di sepasang
lengan seseorang kau akan menempuh perjalanan panjang. Namun di sana, cinta hanya
mementaskan tawa yang fana. Meremukkan segala padaku yang tersisa. Dan
kini aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan hati untuk memercayai kembali.
Di sanalah aku menjaga asa - cinta yang kau anggap fana dan remukkan
perasaan dari sebuah kata pergi. Setiap sesak dan lelah. Kini, melalui
kata-kata itu, aku menghidupkan jasad kenangan yang telah mati; yang telah baur
di udara menjadi abu. Aku menghidupkan segala yang telah kubunuh ketika di
sebuah persimpangan jalan, lelah itu bermuara pada kalah. Jalan di mana, kini
aku melihatmu kembali berdiri di salah satu sisinya. Haruskah aku kembali
memungut rindu yang telah gugur itu?
Kata-kata selalu punya cara untuk mengingatkanku tentang kita.
Barangkali karena setiap duka dan mesra pernah kaujaga di dalamnya. Sehingga
ketika kita telah terlalu larut berjauh-jauhan, kata-kata menjelma segala
sesuatu di antara perjalanan; pertanda yang embus sebagai kenangan. Ingin
rasanya kubenahi satu per satu tentang kita di sana, sambil menyembuhkan luka
yang lama menganga. Haruskah kujawab bahwa padaku sesungguhnya tak pernah ada
yang gugur?
Mungkin, di detik yang (pernah) menjauhiku, aku selalu yakin bahwa
suatu waktu nanti segalanya akan berbeda - kita samasama sendiri dan kamu sadar
bahwa perasaan ini nyata. Tidak sebatas kata yang kutuliskan saja. Hingga jarak
yang menjadi dinding ialah sebatas kata iya atau tidak. Meskipun ketika tanggal
yang telah tanggal itu melahirkan luka menganga di dada - kehadiranmu kembali,
menambalnya seketika. Bila padamu tiada yang gugur, bisakah meniupkan nyawa ke
dalam harapan itu lagi?
Setelah lama kehilangan, tersesat dalam segala yang sesaat, aku
mungkin telah melupakan bagaimana mencintai tanpa terluka - tetapi mengapa luka
kauhias begitu mesra? Seakan setiap baris dalam aksara hujan ialah hadiah
perasaan. Aku tak ingin meragu. Bila padamu ternyata aku menemukan kata pulang,
maka bawalah napasku ke mana kau ingin berharap.
Padamu, aku ingin menjadi segalanya. Perihal semesta yang katamu
begitu dingin - aku ada sebagai penghangatmu. Luka itu hadir sebagai pengingat;
dulu sekali aku pernah mencoba untuk memintal kata “kita”. Kata yang kemudian
terbakar oleh waktu di dadamu. Kini, bila padaku kamu menemukan kata pulang,
padamu, aku takingin hilang. Mendayunglah di diam samudra perasaanku. Agar aku
mengerti, memang hatiku ialah pelabuhan yang (kelak) kau singgahi.
Padamu, aku ingin menemukan segalanya. Tentang waktu yang hilang
di antara lengang, meresap tanpa derap menjadi kesakitan yang tak sesiapa pun
mengharap. Aku ingin kembali menjaga hal-hal yang begitu berharga; yang juga
menjadikanku sebuah makna. Ke luas perasaanmu itu, aku akan bermuara.
Menafsirkan rindu di sisa-sisa usia; menjadikanmu satu, di antara segalanya.
Itulah alasan, aku terlalu resap untuk melepasmu. Terlalu jauh
untuk berhenti. Meskipun aku yang pergi. Aku yang menyesali. Jejakmu masih
tinggal di samudra perasaan ini - bersandar di tepian sampan menikmati senja
yang hidup di matamu. Biarkan aku tenggelam lebih dalam lagi. Bertahan lebih
lama lagi. Mencintaimu, aku cukup menjadi aku - yang beruntung bisa menjalani
sisa perjalanan hidupku bersamamu.
0 comments:
Post a Comment