Lelah.
Itu kata yang tepat, setelah tetiap langkah yang kuciptakan, takpernah
benar-benar sampai padamu. Kau hanya bergeming—membuta. Bagaimana bisa kata itu
ada, sedang rautmu tak henti buktikan kegigihan. Jika saja kau tahu segala
jerih payahmu selalu sampai padaku. Hanya saja hatiku yang belum terbuka untuk
itu. Lalu, apa yang bisa menjelma kunci? Padaku kau hanya seperti malam—diam dan dingin. Tidak hanya katakata,
segala telah kulakukan. Tetapi, apa yang terjadi? Ketiadaan. Itu yang
kauberikan padaku.
Bukan maksudku membuat anganmu terusik dengan pribadiku.
Aku tetap seperti ini tanpa ubah. Dirimu sendiri yang menjadikanku tampak
berbeda. Tiada yang berbeda—pada sepasang bahagia yang kusematkan di matamu.
Pada samudra, yang alir dan tenang. Di sana, aku menanti senja—merah terbakar,
serupa harapanku, yang menjadi abu ketika tiada kejelasan yang kudapatkan.
Katakan padaku, bagaimana caranya aku bisa memilikimu?
Kehilanganmu setelah kau bersamaku adalah ketakutan yang
selama ini menghantuiku. Bukankah lebih baik kita bersama tanpa harus terikat
jalinan kasih? Memilikiku tidak harus kau cintai, sebab merindumu saja sudah
terasa dimilikimu. Bagiku, rindu bisa menguap kapan saja-seperti kopi,
mendingin. Aku ingin mencintaimu dengan penuh dan utuh. Butuh
lebih dari sekadar rindu untuk itu.
Bila kaubilang, selalu terbuka pintu untukku, biarkan aku
membangun jembatan menuju hatimu. Berikan aku jawabannya, Bor? Jawaban apakah
yang kau butuhkan? Aku menerimamu dengan segala cara yang telah kau lakukan.
Namun maaf saja jika hatiku tertutup sebab sudah ada seseorang yang telah
membuka hatiku terlebih dahulu. Pada akhirnya, segala langkah ini menemui
kematiannya sendiri. Kata "Terlambat" selalu jadi luka—kalah oleh
waktu yang berpihak padamu. Meskipun hari ini tidak hujan, di langit dadaku,
begitu menderas. Terima kasih, bor, atas segala jawaban itu.
Maaf, bor. Bukan keterlambatan penyebab akhir
perjuanganmu. Maafkan atas ketidakmampuanku untuk segera memilihmu karena jika
saja kau sadari akulah sebab dan akibat atas dukamu.
Pada akhirnya, kita berpisah jalan, menikmati sesal itu
sendiri-sendiri.
0 comments:
Post a Comment