DALAM riuh rendah perdebatan sosial politik menjelang
pemilihan umum 2019 ini, salah satu tema yang menjadi perbincangan cukup serius
adalah isu lingkungan hidup. Dalam debat pasangan calon presiden dan wakil
presiden, jual beli serangan satu kubu terhadap kubu yang lain juga menyangkut
persoalan ketimpangan kepemilikan lahan di beberapa wilayah (kebanyakan di
Pulau Sumatera dan Kalimantan). Setiap capres-cawapres berupaya mempersalahkan
paslon lain atas ketidakadilan dalam kepemilikan dan pengelolaan lahan
tersebut. Para penonton, pemirsa, pendengar, pembaca, dan pendukung bersorak
sorai setelah paslon dukungannya berhasil memaparkan data-data lahan milik
paslon lawan di depan publik.
Sayangnya, tidak banyak orang memahami bahwa pemilu
hanyalah skenario politik pembohongan yang sistematik tentang realitas
ketidakadilan struktural. Hanya sedikit dari warga negara Indonesia yang
mengetahui betapa besar ketimpangan kepemilikan lahan, bukan antara kubu paslon
yang satu dengan paslon yang lain, melainkan antara dua kubu paslon dengan
masyarakat lokal yang kian tersisih. Sangat sedikit warga yang memahami
aksi ngibul di panggung sandiwara debat pilpres sebagai upaya
menutupi kenyataan bahwa kedua kubu paslon sama-sama merupakan tuan atas tanah
yang jumlahnya berhektar-hektar di Kalimantan dan Sumatera.
Lebih dari sekadar ketimpangan kepemilikan lahan,
persoalan mendasar yang penting ditinjau adalah krisis ekologi oleh infiltrasi
industri ekstraktif, terutama pertambangan. Dalam diskusi Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta, 11 Februari lalu,
Koordinator Jatam, Merah Johansyah mengangkat fakta bahwa 86 persen dari total
sumbangan dana kampanye pasangan Jokowi-Ma’ruf bersumber dari Perkumpulan
Golfer TBIG yang diduga adalah PT Tower Bersama Infrastructure Group dan
Perkumpulan Golfer TRG yang diduga adalah PT Teknologi Riset Global Investama
Pendiri kedua
perusahaan tersebut adalah Wahyu Sakti Trenggono, yang dalam TKN Jokowi-Ma’ruf
memegang posisi bendahara. Sementara itu, di kubu Prabowo-Sandi, paslonnya
sendiri adalah pemain lama di sektor pertambangan. Prabowo memiliki Nusantara
Energy Resources yang menaungi 17 anak perusahaan, di mana beberapa di
antaranya bergerak di bidang kelapa sawit dan tambang batu bara. Sedangkan
Sandiaga Uno tercatat di sejumlah perusahaan tambang, yaitu Saratoga Group yang
terhubung dengan Interra Resources Limited yang bergerak di bidang migas. Di
kubu Prabowo-Sandi juga ada Hutomo Mandala Putra sebagai pemilik PT Humpuss
Group.
Ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi adalah buah
dari kendali sistem ekonomi kapitalisme yang membuka kran bagi liberalisasi,
privatisasi dan deregulasi. Ideologi kapitalisme de facto mengandung
wacana pembangunan yang melegitimasi aktivitas penguasaan lahan, perusakan
kekayaan alam, dan pemiskinan sistemik terhadap masyarakat lokal. Dalam kaidah
kapitalisme, pembangunan adalah upaya penguasa untuk memperbaiki kondisi
kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat.
Masyarakat lokal yang tradisional harus beranjak
menuju masyarkat modern yang maju dalam berbagai aspek. Problem kemudian muncul
ketika pembangunan yang mengusung panji pertumbuhan ekonomi dipandu oleh kaidah
pasar bebas sehingga terjadi kompetisi tidak seimbang antra orang-orang kaya
dan kaum miskin. Alhasil,yang terjadi bukannya pembangunan yang memerdekakan,
melainkan kontrol dan dominasi terhadap kaum miskin yang kalah dalam
pertarungan berciri hukum rimba survival of the fittest.
Sebagaimana lazimnya dalam sebuah rezim ekstraktif,
politik dan ekonomi memang merupakan dua domain yang tak terpisahkan bagai dua
sisi mata uang. Relasi antara keduanya adalah relasi kuasa (power
relation) yang mana di dalamnya bergelimang kepentingan-kepentingan
parsial antara pemegang kuasa ekonomi di satu pihak dan pemegang kuasa politik
di pihak lain. Secara sederhana, relasi penguasa politik dan pengusaha ekonomi
(kapitalis) adalah relasi mutualistik yang saling menyokong. Pengusaha memiliki
basis finansial yang mumpuni, yang bertugas menyokong kepentingan elektoral
dari kandidat penguasa. Surplus modal ekonomi ini menjamin bahwa seorang
kandidat bisa memenangkan pertarungan elektoral untuk selanjutnya menjadi alat
bagi penguasaan kekayaan negara oleh kelompok kapitalis.
Sementara itu, penguasa politik memiliki basis massa
dan kuasa politik yang berkepentingan menjamin stempel legal bagi pengerukan
SDA oleh korporasi kapitalis. Untuk meraup dukungan massa yang termobolisasi,
seorang kandidat harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit. Tugas pengusaha
adalah menyuplai modal finansial guna memenangkan kandidat tersebut dengan
kontrak politik bahwa setelah berkuasa si penguasa memegang kontrol atas SDA di
wilayah tersebut. Alhasil, kekuasaan politik berada di bawah kendali regulatori
kaidah-kaidah kapitalisme dengan uang sebagai register yang memandunya. Oleh
kekuatan uang, regulasi menjadi deregulasi sehingga tidak ada batasan legal
bagi aktivitas pengerukan SDA, kendatipun itu secara sangar merugikan alam dan
menyengsarakan masyarakat lokal.
Dalam pandangan Winters (2011), relasi politik dan
ekonomi tidak lain adalah relasi pertahanan kekayaan (wealth defense).
Pola relasi pertahanan kekayaan adalah kompetisi antarelite dalam merebut
kontrol atas kekayaan negara yang pertama-tama mengendalikan kekuasaan politik.
Inilah yang disebut sebagai oligarki, yaitu pemerintahan oleh para oligark atau
orang-orang kaya. Pasar atau ekonomi menjadi register yang memandu sistem kerja
kekuasaan politik sehingga dalam nalar kapitalisme, kekayaan negara diakumulasi
habis-habisan demi kepentingan oligark. Perebutan kekuasaan politik
antaroligark adalah perebutan kendali atas SDA. Ibarat dua gajah yang sedang
bertarung, akar rumput tetap menjadi korban yang diinjak-injak.
Apa Guna Agama-agama?
Selain penguasa politik, agamawan juga memiliki
pengaruh yang signifikan dalam hal mobilisasi massa keagamaan. Otoritas yang
dimiliki para pemimpin agama menjadi senjata ampuh yang bahkan mampu mengontrol
preferensi politik umat. Jika demikian, apa pentingnya agama di bumi oligarki?
Apakah agama-agama menjadi corong kekuasaan kaum oligark dengan cara menyokong
akumulasi kapital dari kekayaan negara? Apakah agama-agama justru menjadi
pemeran yang bekerja sama dengan kekuasaan dalam aksi predatoris rezim
ekstraktif dengan menjadi stempel religius bagi aktivitas tersebut? Dalam
konteks pilpres kali ini, apakah agama-agama berdiri pada posisi salah satu
kandidat guna mencari tempat yang nyaman?
Jika agama-agama mau memilih tempat nyaman, maka
satu-satunya cara adalah menyembah kekuasaan politik sebagai “tuhan” yang lain
supaya tidak masuk dalam “neraka” kemiskinan. Pertanyaan yang mencuat kemudian
adalah, untuk siapa agama hadir? Untuk minoritas orang kaya atau mayoritas
masyarakat miskin di daerah lingkar tambang?
Pada tahun 1960-an, ketika Gereja Katolik di Amerika
Latin menjadi penyembah kekuasaan dan mengorbankan nasib umat miskin, Gustavo
Gutierrez melahirkan sebuah paradigma teologi kritis yang disebut teologi
pembebasan. Teologi yang vis a vis dengan teologi tradisional ini
kala itu hadir membongkar kemapanan doktrinal Gereja yang terlampau nyenyak
dalam ortodoksi ajaran-ajaran ketuhanan, lantas lupa dengan kondisi
ketertindasan, kemelaratan, dan pelecehan martabat manusia, yang terjadi di
depan. Gutierrez tampil dengan sabda yang menggugah dan mengatakan, “If
faith is a commitment to God and to human beings, it is not possible to believe
in today world without a commitment to the process of liberation” (Hannelly,
1995 dikutip Kristeva, 2015: 323).
Dalam pandangan Gutierrez, teologi seharusnya
merupakan senjata liberasi umat miskin dari belenggu pemiskinan struktural oleh
rezim yang berkuasa. Melalui teologi pembebasan, Gereja membuka kedok
pembohongan yang disebarkan rezim penguasa lalu menawarkan jalan keluar
alternatif sebagai upaya eksodus dari tatanan dominatif tersebut.
Tampilnya agama-agama di bumi oligarki mestinya tidak
menjadi relawan pendukung kaum oligark, tetapi menjadi kelompok kritis yang
menyediakan alternatif bagi umat dalam rangka eksodus dari ketertindasan.
Dengan kata lain, paradigma teologi agama-agama tidak boleh melayani
kepentingan kelompok oligarki tetapi menjadi opsi penyelamatan, baik bagi
lingkungan hidup yang dirusak oleh eksploitasi industri ekstraktif (tambang)
maupun bagi manusia yang daya hidupnya dikurangi perlahan-lahan.
Teologi agama-agama sudah seharusnya berbenah untuk
melihat secara serius persoalan yang sedang terjadi di bumi oligarki ini.
Liberasi umat dari pemiskinan akibat kesenjangan sosial, politik dan ekonomi
yang timbul dari predatorisme rezim ekstraktif tidak lagi secara naïf
diagendakan dengan menyokong penguasa. Pembebasan, dalam pengertian historis
adalah keyakinan bahwa manusia memiliki kesadaran tanggung jawab atas nasibnya
sendiri (Fakih, 2001). Dengan demikian, biarkanlah umat menentukan nasibnya
sendiri dengan cara membangun keterputusan (de-linking) dengan
tatanan oligarki yang dominatif. Alkitab sudah memberikan teladan eksodus,
yaitu penentuan nasib sendiri umat Israel dengan memutuskan rantai penindasan
Firaun di Mesir.***
0 comments:
Post a Comment