Friday, June 28, 2019

Fungsi Agamawan di Bumi Oligarki



DALAM riuh rendah perdebatan sosial politik menjelang pemilihan umum 2019 ini, salah satu tema yang menjadi perbincangan cukup serius adalah isu lingkungan hidup. Dalam debat pasangan calon presiden dan wakil presiden, jual beli serangan satu kubu terhadap kubu yang lain juga menyangkut persoalan ketimpangan kepemilikan lahan di beberapa wilayah (kebanyakan di Pulau Sumatera dan Kalimantan). Setiap capres-cawapres berupaya mempersalahkan paslon lain atas ketidakadilan dalam kepemilikan dan pengelolaan lahan tersebut. Para penonton, pemirsa, pendengar, pembaca, dan pendukung bersorak sorai setelah paslon dukungannya berhasil memaparkan data-data lahan milik paslon lawan di depan publik.
Sayangnya, tidak banyak orang memahami bahwa pemilu hanyalah skenario politik pembohongan yang sistematik tentang realitas ketidakadilan struktural. Hanya sedikit dari warga negara Indonesia yang mengetahui betapa besar ketimpangan kepemilikan lahan, bukan antara kubu paslon yang satu dengan paslon yang lain, melainkan antara dua kubu paslon dengan masyarakat lokal yang kian tersisih. Sangat sedikit warga yang memahami aksi ngibul di panggung sandiwara debat pilpres sebagai upaya menutupi kenyataan bahwa kedua kubu paslon sama-sama merupakan tuan atas tanah yang jumlahnya berhektar-hektar di Kalimantan dan Sumatera.

Lebih dari sekadar ketimpangan kepemilikan lahan, persoalan mendasar yang penting ditinjau adalah krisis ekologi oleh infiltrasi industri ekstraktif, terutama pertambangan. Dalam diskusi Jaringan Advokasi Tambang  (Jatam) di Jakarta, 11 Februari lalu, Koordinator Jatam, Merah Johansyah mengangkat fakta bahwa 86 persen dari total sumbangan dana kampanye pasangan Jokowi-Ma’ruf bersumber dari Perkumpulan Golfer TBIG yang diduga adalah PT Tower Bersama Infrastructure Group dan Perkumpulan Golfer TRG yang diduga adalah PT Teknologi Riset Global Investama
 Pendiri kedua perusahaan tersebut adalah Wahyu Sakti Trenggono, yang dalam TKN Jokowi-Ma’ruf memegang posisi bendahara. Sementara itu, di kubu Prabowo-Sandi, paslonnya sendiri adalah pemain lama di sektor pertambangan. Prabowo memiliki Nusantara Energy Resources yang menaungi 17 anak perusahaan, di mana beberapa di antaranya bergerak di bidang kelapa sawit dan tambang batu bara. Sedangkan Sandiaga Uno tercatat di sejumlah perusahaan tambang, yaitu Saratoga Group yang terhubung dengan Interra Resources Limited yang bergerak di bidang migas. Di kubu Prabowo-Sandi juga ada Hutomo Mandala Putra sebagai pemilik PT Humpuss Group.
Ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi adalah buah dari kendali sistem ekonomi kapitalisme yang membuka kran bagi liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Ideologi kapitalisme de facto mengandung wacana pembangunan yang melegitimasi aktivitas penguasaan lahan, perusakan kekayaan alam, dan pemiskinan sistemik terhadap masyarakat lokal. Dalam kaidah kapitalisme, pembangunan adalah upaya penguasa untuk memperbaiki kondisi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat.
Masyarakat lokal yang tradisional harus beranjak menuju masyarkat modern yang maju dalam berbagai aspek. Problem kemudian muncul ketika pembangunan yang mengusung panji pertumbuhan ekonomi dipandu oleh kaidah pasar bebas sehingga terjadi kompetisi tidak seimbang antra orang-orang kaya dan kaum miskin. Alhasil,yang terjadi bukannya pembangunan yang memerdekakan, melainkan kontrol dan dominasi terhadap kaum miskin yang kalah dalam pertarungan berciri hukum rimba survival of the fittest.
Sebagaimana lazimnya dalam sebuah rezim ekstraktif, politik dan ekonomi memang merupakan dua domain yang tak terpisahkan bagai dua sisi mata uang. Relasi antara keduanya adalah relasi kuasa (power relation) yang mana di dalamnya bergelimang kepentingan-kepentingan parsial antara pemegang kuasa ekonomi di satu pihak dan pemegang kuasa politik di pihak lain. Secara sederhana, relasi penguasa politik dan pengusaha ekonomi (kapitalis) adalah relasi mutualistik yang saling menyokong. Pengusaha memiliki basis finansial yang mumpuni, yang bertugas menyokong kepentingan elektoral dari kandidat penguasa. Surplus modal ekonomi ini menjamin bahwa seorang kandidat bisa memenangkan pertarungan elektoral untuk selanjutnya menjadi alat bagi penguasaan kekayaan negara oleh kelompok kapitalis.
Sementara itu, penguasa politik memiliki basis massa dan kuasa politik yang berkepentingan menjamin stempel legal bagi pengerukan SDA oleh korporasi kapitalis. Untuk meraup dukungan massa yang termobolisasi, seorang kandidat harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit. Tugas pengusaha adalah menyuplai modal finansial guna memenangkan kandidat tersebut dengan kontrak politik bahwa setelah berkuasa si penguasa memegang kontrol atas SDA di wilayah tersebut. Alhasil, kekuasaan politik berada di bawah kendali regulatori kaidah-kaidah kapitalisme dengan uang sebagai register yang memandunya. Oleh kekuatan uang, regulasi menjadi deregulasi sehingga tidak ada batasan legal bagi aktivitas pengerukan SDA, kendatipun itu secara sangar merugikan alam dan menyengsarakan masyarakat lokal.
Dalam pandangan Winters (2011), relasi politik dan ekonomi tidak lain adalah relasi pertahanan kekayaan (wealth defense). Pola relasi pertahanan kekayaan adalah kompetisi antarelite dalam merebut kontrol atas kekayaan negara yang pertama-tama mengendalikan kekuasaan politik. Inilah yang disebut sebagai oligarki, yaitu pemerintahan oleh para oligark atau orang-orang kaya. Pasar atau ekonomi menjadi register yang memandu sistem kerja kekuasaan politik sehingga dalam nalar kapitalisme, kekayaan negara diakumulasi habis-habisan demi kepentingan oligark. Perebutan kekuasaan politik antaroligark adalah perebutan kendali atas SDA. Ibarat dua gajah yang sedang bertarung, akar rumput tetap menjadi korban yang diinjak-injak.

Apa Guna Agama-agama?
Selain penguasa politik, agamawan juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal mobilisasi massa keagamaan. Otoritas yang dimiliki para pemimpin agama menjadi senjata ampuh yang bahkan mampu mengontrol preferensi politik umat. Jika demikian, apa pentingnya agama di bumi oligarki? Apakah agama-agama menjadi corong kekuasaan kaum oligark dengan cara menyokong akumulasi kapital dari kekayaan negara? Apakah agama-agama justru menjadi pemeran yang bekerja sama dengan kekuasaan dalam aksi predatoris rezim ekstraktif dengan menjadi stempel religius bagi aktivitas tersebut? Dalam konteks pilpres kali ini, apakah agama-agama berdiri pada posisi salah satu kandidat guna mencari tempat yang nyaman?
Jika agama-agama mau memilih tempat nyaman, maka satu-satunya cara adalah menyembah kekuasaan politik sebagai “tuhan” yang lain supaya tidak masuk dalam “neraka” kemiskinan. Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah, untuk siapa agama hadir? Untuk minoritas orang kaya atau mayoritas masyarakat miskin di daerah lingkar tambang?
Pada tahun 1960-an, ketika Gereja Katolik di Amerika Latin menjadi penyembah kekuasaan dan mengorbankan nasib umat miskin, Gustavo Gutierrez melahirkan sebuah paradigma teologi kritis yang disebut teologi pembebasan. Teologi yang vis a vis dengan teologi tradisional ini kala itu hadir membongkar kemapanan doktrinal Gereja yang terlampau nyenyak dalam ortodoksi ajaran-ajaran ketuhanan, lantas lupa dengan kondisi ketertindasan, kemelaratan, dan pelecehan martabat manusia, yang terjadi di depan. Gutierrez tampil dengan sabda yang menggugah dan mengatakan, “If faith is a commitment to God and to human beings, it is not possible to believe in today world without a commitment to the process of liberation” (Hannelly, 1995 dikutip Kristeva, 2015: 323).
Dalam pandangan Gutierrez, teologi seharusnya merupakan senjata liberasi umat miskin dari belenggu pemiskinan struktural oleh rezim yang berkuasa. Melalui teologi pembebasan, Gereja membuka kedok pembohongan yang disebarkan rezim penguasa lalu menawarkan jalan keluar alternatif sebagai upaya eksodus dari tatanan dominatif tersebut.
Tampilnya agama-agama di bumi oligarki mestinya tidak menjadi relawan pendukung kaum oligark, tetapi menjadi kelompok kritis yang menyediakan alternatif bagi umat dalam rangka eksodus dari ketertindasan. Dengan kata lain, paradigma teologi agama-agama tidak boleh melayani kepentingan kelompok oligarki tetapi menjadi opsi penyelamatan, baik bagi lingkungan hidup yang dirusak oleh eksploitasi industri ekstraktif (tambang) maupun bagi manusia yang daya hidupnya dikurangi perlahan-lahan.
Teologi agama-agama sudah seharusnya berbenah untuk melihat secara serius persoalan yang sedang terjadi di bumi oligarki ini. Liberasi umat dari pemiskinan akibat kesenjangan sosial, politik dan ekonomi yang timbul dari predatorisme rezim ekstraktif tidak lagi secara naïf diagendakan dengan menyokong penguasa. Pembebasan, dalam pengertian historis adalah keyakinan bahwa manusia memiliki kesadaran tanggung jawab atas nasibnya sendiri (Fakih, 2001). Dengan demikian, biarkanlah umat menentukan nasibnya sendiri dengan cara membangun keterputusan (de-linking) dengan tatanan oligarki yang dominatif. Alkitab sudah memberikan teladan eksodus, yaitu penentuan nasib sendiri umat Israel dengan memutuskan rantai penindasan Firaun di Mesir.***

0 comments:

Post a Comment

 
;