Gelombang Revolusi
Amerika Latin sekali lagi menerima pukulan telak dengan lengsernya Presiden
Bolivia Evo Morales pada 10 November. Jatuhnya Evo Morales adalah kulminasi
dari usaha kudeta yang telah bergulir selama beberapa minggu terakhir. Walau
bukan untuk pertama kalinya kekuatan reaksi mencoba menggulingkan
pemerintahannya, kali ini mereka berhasil. Pembangkangan polisi, penembak jitu
yang menembaki buruh tambang, laporan dari OAS (Organisasi Negara-negara
Amerika) yang mempertanyakan validitas pemilu, dan akhirnya, jerami yang
mematahkan punggung onta, angkatan bersenjata yang meminta agar Evo Morales
turun, semua ini menjurus ke babak terakhir dari drama ini.
Ketika artikel ini
ditulis, Evo Morales telah menerima suaka politik di Meksiko. Ini jelas karena
kekuatan oligarki Bolivia, kaum tuan tanah dan kapitalis, tidak akan memaafkannya
dan berniat menjebloskannya ke penjara – bahkan menggantungnya bila perlu –
karena telah memimpin Revolusi rakyat pekerja Bolivia yang mempermalukan para
tuan-nyonya terhormat ini. Reaksi menginginkan balas dendam yang
berdarah-darah.
Kita semua patut, dan
harus, bertanya bagaimana Revolusi Bolivia bisa berakhir dengan kekalahan ini.
Tidak cukup mengutuk kudeta reaksioner ini. Menjawab pertanyaan ini akan
mempersenjatai kita dengan perspektif, strategi dan taktik untuk mematahkan
reaksi yang kini tengah menunjukkan taringnya dan siap membatalkan
pencapaian-pencapaian besar yang telah diraih oleh rakyat pekerja Bolivia
selama dekade terakhir.
Bagaimana ini dimulai
Semua ini dimulai dengan
hasil pemilu 20 Oktober, yang walaupun memberikan kemenangan pada Evo Morales
tetapi menunjukkan anjloknya dukungan untuknya dan partainya MAS (Movimiento al
Socialismo; Gerakan Menuju Sosialisme). Sebenarnya, kekalahan yang dideritanya
pada referendum konstitusi 2016 (untuk menghapus batas masa jabatan presiden, agar
Evo Morales bisa bersaing kembali di pilpres selanjutnya) telah menjadi
peringatan. Alih-alih mencermati peringatan ini, MAS menggunakan mekanisme
Mahkamah Agung untuk memaksakan perubahan konstitusi ini.
Melihat fakta bahwa
dukungan rakyat terhadap Evo Morales telah anjlok, kubu oposisi kanan
menggunakan kesempatan ini untuk meluncurkan kudeta. Kudeta ini mencapai
puncaknya dengan pembangkangan polisi pada Jumat, 8 November. Dimulai dengan
UTOP (polisi huru-hara) di kota Cochabamba, pada Sabtu, 9 November,
pembangkangan ini menyebar ke 8 dari 9 departemen kepolisian di seluruh
Bolivia. Polisi memberontak dan menolak menjalankan perintah pemerintah, dan
lalu mengunci diri mereka di barak-barak.
Komandan nasional
kepolisian mencoba mengelak dan mengatakan bahwa tidak ada pemberontakan, dan
polisi hanya “pergi masuk ke barak mereka saja.” Tidak lama kemudian, angkatan
bersenjata menyatakan kalau mereka “tidak akan turun ke jalan”. Mereka saat itu
belumlah menyerukan agar Evo Morales turun, tetapi jelas mereka tidak siap
membelanya. Pemerintah telah kehilangan kendali atas kekuatan represi negara.
Negara pada akhirnya adalah badan orang-orang bersenjata, dan ketika badan ini
sudah tidak lagi menuruti perintah rejim yang berkuasa, maka inilah awal dari
akhir rejim tersebut.
Lalu, pada pukul 2 tengah
malam, hari Minggu, 10 November, OAS mengumumkan hasil audit pemilu, bahwa
hasil pemilu ini tidak bisa divalidasi dan “merekomendasikan” agar pemilu yang
baru diselenggarakan dan KPU diganti. Ini adalah pukulan besar bagi Evo Morales
yang sebelumnya telah menggantungkan harapannya pada OAS. Dia telah meminta
agar kubu oposisi yang telah mengguncang Bolivia selama 2-3 minggu terakhir
untuk menunggu hasil audit OAS dan dia sendiri akan menghormati hasil audit OAS
itu. OAS, yang adalah klub imperialis, jelas-jelas mengeluarkan pernyataan ini
untuk mendorong jatuhnya Morales.
Morales kemudian
memanggil konferensi pers pada pukul 7 pagi. Pada saat yang sama dia telah
kehilangan dukungan dari para pemimpin serikat buruh COB (Central Obrera
Boliviana; Sentra Buruh Bolivia). Dia mengumumkan dibatalkannya hasil pemilu 20
Oktober dan akan menyelenggarakan pemilu baru. Tetapi reaksi telah menjadi
semakin percaya diri dan menolak pernyataan Morales. Camacho, pemimpin oposisi
sayap-kanan, menolak apa yang ditawarkan oleh Evo Morales. Setelah memobilisasi
demo-demo besar, dan terutama memenangkan polisi dan angkatan bersenjata ke
sisi mereka, reaksi menuntut turunnya Morales dengan segera dan mereka siap
melakukan apapun untuk mencapai tujuan ini. Reaksi menjadi semakin percaya diri
dan tahu apa yang perlu dilakukannya, sementara Evo Morales dan pemerintah
bimbang, mundur, menawarkan konsesi demi konsesi, dan terjebak dalam kekusutan
konstitusional mereka sendiri.
Siang harinya, angkatan
bersenjata mengumumkan bahwa mereka akan mengintervensi situasi ini, guna
mencegah “kelompok-kelompok bersenjata yang tak jelas dari menyerang penduduk”.
Ini merujuk pada penembak jitu yang menembaki buruh tambang Potosi yang berdemo
menentang Morales. Jelas angkatan bersenjata sudah mematahkan hierarki komando
dan tidak lagi mematuhi perintah presiden. Tidak lama kemudian, dalam
pernyataan resmi, para petinggi militer “meminta” agar Morales turun. Dengan
ini selesailah kudeta ini.
Mengapa Evo Morales bisa kalah
Sejak hari pertama kaum
Marxis Bolivia (organisasi Lucha de clases) dan International Marxist Tendency
telah menentang usaha kudeta ini. Kami tekankan dengan keras bahwa satu-satunya
cara untuk mematahkan kudeta ini adalah dengan aksi revolusioner, bukan dengan
mengandalkan saluran-saluran legal seperti yang coba dilakukan oleh Morales
dengan menggantungkan harapannya pada OAS.
ada pemilu 2014, Evo
Morales masih meraih 61 persen suara, tetapi kali ini ia hanya meraih 47
persen. Anjloknya dukungan rakyat terhadap partai MAS (Movimiento al
Socialismo; Gerakan Menuju Sosialisme) dan Morales adalah karena kebijakan
konsiliasi kelas dan konsesi pada kapitalis, tuan tanah, dan korporasi
multinasional. Ini menggerus dukungan dari buruh dan tani terhadap pemerintahan
Morales. Kendati Revolusi Bolivia sudah berlangsung selama lebih dari 13 tahun
dan semua retorika mengenai sosialisme, kenyataannya rakyat pekerja Bolivia
masih hidup di bawah penindasan kapitalisme. Rakyat tidak bisa hanya hidup dari
janji tanpa perubahan fundamental dalam kehidupan mereka.
MAS dan Evo Morales naik
ke tampuk kekuasaan dari gerakan revolusioner rakyat pekerja pada 2003-05,
sebagai bagian dari gelombang revolusi yang menyapu Amerika Latin. Sosialisme
ada di agenda, tetapi tidak pernah tercapai. Rejim Evo Morales menjalankan
banyak reforma yang pro-rakyat, yang memperbaiki taraf hidup jutaan rakyat
miskin Bolivia. Selain itu, sebagai presiden Indian pertama di Bolivia, dalam
negeri dimana lebih dari 60 persen rakyat adalah kaum Indian yang telah lama
termarjinalisasi dalam perpolitikan, ini adalah sebuah pencapaian besar yang
memberikan kembali harga diri kaum Indian.
Tetapi sistem kapitalisme
masih berlaku di Bolivia, yakni dimana tuas-tuas ekonomi masih dikuasai oleh
segelintir kapitalis dan tuan tanah, dimana pasar bebas masih mendominasi,
dimana kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi masih menjadi norma ekonomi.
Benar kalau ruang gerak kapitalis telah menjadi lebih sempit semenjak Morales
menjadi presiden karena reforma-reforma pro-rakyat yang diluncurkan oleh
pemerintahannya, dan inilah mengapa dia dibenci oleh oligarki. Tetapi logika
kapitalisme masih mendikte ekonomi, dan akhirnya mendikte politik. Inilah yang
mendorong politik konsiliasi kelasnya Morales, yang terus memberi konsesi pada
kelas kapitalis dan tuan tanah. Ini tak terelakkan selama kapitalisme masih
utuh di Bolivia. MAS dan Morales mencoba mempertahankan kapitalisme sementara
melayani kepentingan rakyat kecil yang mendukungnya, dan ini adalah sebuah
kemustahilan.
Untuk memberi beberapa
contoh saja. Morales memberi berbagai konsesi pada agribisnis Santa Cruz,
dengan membatalkan larangan penanaman tanaman pangan rekayasa genetika,
memperbolehkan penebangan hutan lebih lanjut, membuat perjanjian dagang ekspor
daging ke Tiongkok. Begitu percaya dirinya dia, sampai-sampai pada pembukaan
kampanye pemilu di Santa Cruz dia menyelamati “para pengusaha Santa Cruz ...
yang selalu menawarkan solusi untuk seluruh Bolivia”.
Di Potosi, kita saksikan
mobilisasi massa menentang Evo Morales. Rakyat menentang Morales karena kecewa
dengan kontrak tambang lithium yang diberikan pemerintah kepada perusahaan
multinasional Jerman, ACI Systems. Perusahaan ini diberi kontrak 70 tahun,
padahal standarnya biasanya 30 tahun di banyak negeri Amerika Latin lainnya.
Perusahaan ini juga diberi kontrol penuh atas tambang, walaupun ini adalah
proyek bersama dengan negara. Pemberian kontrak ini dipandang oleh rakyat
Potosi seperti menyerahkan kekayaan alam bangsa ke perusahaan asing, oleh
sebuah pemerintah yang mengklaim dirinya anti-imperialis.
Selain itu rakyat Potosi
hanya menerima keuntungan kecil dari ini. Pemberian kontrak ini adalah salah
satu alasan meledaknya protes anti-pemerintah, yang telah berlangsung bahkan
sebelum pemilu. Akhirnya pada 9 November Evo Morales mengeluarkan dekrit untuk
membatalkan kontrak ini, tetapi jelas ini sudah terlalu terlambat dan dilakukan
oleh Morales hanya untuk menyelamatkan dirinya, yang lengser esok harinya.
Yang membuat rakyat
Potosi lebih geram lagi adalah Morales menunjuk Orlando Careaga sebagai
kandidat utama untuk posisi senator Potosi. Orlando Careaga adalah politisi
sayap-kanan dan pengusaha tambang. Dia adalah bagian dari partai MNR-nya mantan
Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada yang dilengserkan oleh gerakan revolusioner
buruh dan tani pada 2003, yakni gerakan revolusi yang membuka jalan bagi Evo
Morales dan MAS pada 2005. Penunjukan Careaga ditentang oleh anggota akar
rumput MAS, tetapi petinggi MAS tidak menggubris.
Di Chuquisaca, partai MAS
memajukan kandidat Martha Noya Laguna, yang adalah mantan wakil-menteri di
bawah rejim Gonzalo Sanchez. Ini hanya beberapa contoh saja dari banyak kasus
bagaimana MAS, setelah menjadi partai penguasa, mulai bergerak ke kanan dan
dimasuki politisi-politisi borjuis. Kekecewaan ini terus menggerogoti dukungan
rakyat pada Morales dan MAS, dan menciptakan kebimbangan, apati, demoralisasi
terutama di antara lapisan-lapisan rakyat pekerja yang kesadaran kelasnya lebih
terbelakang, yang membuat mereka rentan pada demagogi dan propaganda hitam kaum
oligarki.
Perang Kelas
Evo Morales memberitahu
kita semua kalau dia memutuskan turun dari jabatannya demi menghindari
pertumpahan darah, demi menghindari perang saudara. Tetapi pada kenyataannya
perang saudara di Bolivia – yakni perang kelas, antara buruh dan tani di satu
sisi, dan tuan tanah dan kapitalis di sisi lain – telah dimulai semenjak rakyat
pekerja mendorong MAS dan Evo Morales ke tampuk kekuasaan pada 2005. Masalahnya
perang kelas ini harus menemui kesimpulan akhirnya -- kemenangan penuh buruh
dan tani atau kembalinya oligarki. Para pemimpin MAS melakukan segalanya untuk
terus menghindari perang kelas ini dan kesimpulan yang mengalir darinya.
Pada 2005, kaum oligarki
kehilangan kendali atas mesin politik mereka, yakni kekuasaan negara. Kekuatan
revolusioner buruh dan tani menendang keluar mereka dari koridor kekuasaan,
tetapi tidak memiliki kontrol terhadap tuas-tuas ekonomi, dan karenanya kaum
oligarki tidak pernah kehilangan kekuatan mereka.
Pertama, tuas-tuas
ekonomi utama masih dikuasai kapitalis dan tuan tanah, walaupun mereka harus
menerima situasi baru dimana mereka tidak bisa lagi seenaknya memobilisasi
kapital mereka untuk menindas rakyat pekerja. Ruang gerak kapital menjadi
sempit ketika rakyat pekerja meregangkan otot-ototnya pada Revolusi 2003-05.
Pemerintah MAS yang merupakan hasil revolusi tersebut menelurkan
regulasi-regulasi yang lebih ketat dalam mengatur bagaimana perusahaan dapat
berjalan, sehingga tidak sewenang-wenang dalam praktiknya: UU ketenagakerjaan
pro-buruh, upah yang lebih baik, dsb.
Semua ini baik, tetapi
relasi kerja-upahan dan kapital masih utuh, yang berarti eksploitasi buruh
masih berlangsung dan kekuatan modal masih menentukan jalannya roda ekonomi.
Ini berarti, cepat atau lambat, logika kapitalisme mendikte kebijakan
pemerintah. Ruang gerak kapital memang menyempit, tetapi ruang tersebut
masihlah milik kapital. Inilah yang mendorong rejim Evo Morales membuat
konsesi-konsesi kepada pemilik modal seperti yang ditunjukkan dalam beberapa contoh
di atas.
Pada akhirnya kita tidak
bisa mengontrol apa yang tidak kita miliki. Usaha meregulasi kapitalisme, yang
merupakan esensi dari reforma-reforma pemerintahan MAS, pada akhirnya
berbenturan dengan tembok. Kapitalis tidak akan menanamkan modalnya di negeri
dimana ada terlalu banyak UU pro-buruh dan pro-tani yang akan menggerus
profitnya. Dia akan memilih memboyong modalnya ke negeri lain dengan iklim
investasi yang lebih baik.
Menghadapi fakta ini,
sebuah rejim memiliki dua pilihan: pertama, pecah dengan kapitalisme, dengan
mengekspropriasi kapitalis besar dan menjalankan ekonomi seturut rencana
demokratik; kedua, tunduk pada logika kapitalisme dan memberikan konsesi
kemudahan berbisnis bagi kapitalis. MAS memilih melakukan yang belakangan, dan
inilah awal dari kekalahan mereka dalam perang kelas ini, yang di setiap
persimpangan yang menentukan terus mereka hindari.
Kedua, kaum oligarki
masih punya kontrol atas media-media massa, yang mereka gunakan dengan bebas
untuk terus menggiring opini publik ke arah mereka. Dalam perang kelas, media
massa dan kontrol atas informasi adalah senjata yang luar biasa kuat. Merebut
senjata ini dari tangan musuh dan tidak membiarkan mereka menggunakannya harus
menjadi langkah setiap revolusi yang sungguh-sungguh ingin menang. Tidak ada
“kebebasan berekspresi” ketika segelintir kapitalis lewat modal mereka
mendominasi media massa.
Kaum revolusioner tidak
boleh terjebak dalam argumen “kebebasan berekspresi”-nya kaum liberal
borjuis-kecil, yang gemar mengutip Voltaire: “Saya tidak setuju dengan apa yang
kamu katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak kamu untuk mengatakan
itu.” Dalam perang manapun yang kita tengok dalam sejarah, hanya jendral yang
bodoh yang akan membiarkan musuhnya bebas menerbitkan koran di wilayahnya
sendiri, dan perang kelas adalah perang yang paling sengit, kejam, dan tak
mengenal belas kasihan dari semua perang.
Ketiga, mesin kekuasaan
negara yang lama masih utuh. MAS dan Evo Morales naik ke tampuk kekuasaan
negara dan menendang keluar para perwakilan politik oligarki, tetapi mereka
memerintah dengan aparatus negara yang sama. Banyak sekali pembicaraan mengenai
“demokrasi adat” (“indigenous democracy”) setelah Evo Morales menang.
Konstitusi 2009 yang baru memperkenalkan konsep pemerintahan yang baru, yang
“representatif, partisipatoris, dan komunitarian”, dengan perluasan otonomi dan
self-governance bagi beragam kelompok adat. Namun pada akhirnya ini hanya
secarik kertas, yang membungkus mesin negara yang lama, membuatnya tampak
mengkilap dan menarik di permukaan saja tetapi tanpa perubahan fundamental di
dalamnya.
Marx dan Engels, dan
terutama Lenin, telah mengajarkan bahwa kita harus menghancurkan negara
borjuasi yang lama. Kita tidak bisa menggunakan mesin yang lama untuk membangun
masyarakat yang baru, karena keseluruhan sistem negara borjuis telah dibangun
dan disempurnakan selama puluhan dan bahkan ratusan tahun oleh kelas penguasa
sebelumnya untuk satu tujuan: menindas rakyat pekerja. Ini harus digantikan
dengan tipe negara yang secara kualitatif berbeda, bukan dengan secarik
Konstitusi, tetapi dengan organ-organ kekuasaan baru yang sungguh lahir dari
perjuangan kelas, yang memenetrasi semua sendi kehidupan masyarakat dari atas
hingga bawah. Revolusi Rusia 1917 memberi contoh terbaik.
Selama Revolusi Rusia
dewan-dewan rakyat (yang disebut Soviet) dan komite-komite rakyat terbentuk di
semua tempat dimana bisa kita temui rakyat pekerja: pabrik, kantor, kampung
buruh, desa-desa, barak, armada laut, di antara ibu-ibu rumah tangga, di antara
pelajar, dsb. Seorang sosialis dari Belgia, Jules Destree, bahkan bercerita
bagaimana ketika dalam perjalanan kereta api dari Petrograd ke Moskow para
penumpang di keretanya membentuk “komite perjalanan”. Dewan-dewan dan
komite-komite rakyat inilah yang harus menjadi basis kekuasaan negara yang
baru.
Selain itu, semua
pembicaraan mengenai “demokrasi partisipatoris” hanya menjadi retorika hampa
ketika ekonomi – yang mendominasi bagian besar dan penting dari kehidupan semua
orang – masih ada di tangan kapitalis. Partisipasi macam apa yang bisa
dilakukan oleh buruh di tempat kerjanya selain bekerja di bawah perintah
majikannya? Di bawah sistem kapitalisme, rakyat pekerja hanya bisa
berpartisipasi dalam ekonomi sebagai pekerja-upahan dan konsumen, lewat
transaksi uang semata. Mereka tidak punya suara sama sekali dalam bagaimana
menjalankan masyarakat, yang pada esensinya adalah ekonomi.
Kegagalan Reforma Agraria
Reforma agraria merupakan
tuntutan utama kaum tani, terutama kaum Indian. Selama bergenerasi mereka hidup
dalam kondisi yang menyerupai perhambaan dan perbudakan. Ignacia Patude,
seorang Indian Chiquitano, menceritakan kehidupannya sebelum Evo Morales: “Di masa lalu, ada
pemilik [tanah] yang memanggil kami pembantunya. Dia menyuruh-nyuruh kami,
memberi perintah, memberitahu apa yang harus kami lakukan. Kehidupan kami
setiap harinya adalah menyadap karet dan bekerja di ladang.” Abram Stejas,
seorang petani tak bertanah yang dulu bekerja di ladang tebu milik tuan tanah
besar, berbagi kisah yang serupa: “[kami] tidak diupah cukup untuk membeli
tanah ... momen yang paling parah adalah ketika kami harus berjalan panjang,
mencari tanah, ketika tidak ada satupun tempat bagi kami, tidak ada tempat
teduh, tidak ada yang bisa kami makan. Tidak ada seorangpun yang membantu kami.
Tidak ada.” Kini Abram dan Ignacia, dan ratusan ribu kaum tani seperti mereka,
telah memiliki tanahnya sendiri.
Sejak 2005, pemerintahan
MAS telah meluncurkan reforma agraria yang agresif, dengan membagi-bagikan
setidaknya 12 juta hektar tanah pada kaum tani miskin. Bila sebelumnya 70%
tanah dikuasai oleh 5% tuan tanah (100 keluarga memiliki 25 juta hektar tanah,
sementara 2 juta kaum tani kecil hanya memiliki akses ke 5 juta hektar tanah,
menurut laporan UNDP), kini pemilik tanah kecil mengontrol 55% tanah. Namun
kebanyakan tanah yang didistribusikan ke petani kecil adalah tanah milik
negara, dan bukan disita dari tuan tanah besar (latifundia). Segelintir
latifundia masih mendominasi kepemilikan tanah yang produktif dan dengan
demikian mendominasi sektor pertanian dan perkebunan.
Dalam UU agraria yang
baru, limit kepemilikan tanah ditetapkan sebesar 5 ribu hektar, yang jelas
adalah konsesi untuk tuan tanah besar karena mayoritas petani kecil biasanya
memiliki lahan kurang dari 5 hektar. Terlebih lagi, limit 5-ribu-hektar ini
tidak berlalu secara retroaktif, dalam artian kaum tuan tanah yang sebelum UU
ini berlaku memiliki lebih dari 5000 ribu hektar tetap diperbolehkan mempertahankan
kepemilikannya. Limit ini juga tidak berlaku kalau pemilik tanah dapat
menunjukkan kalau tanahnya produktif.
Tidak hanya itu, reforma
agraria mulai melambat pada 2011 dan administrasi Evo Morales mulai mengubah
prioritasnya untuk mengekspansi sektor agribisnis, yang didominasi oleh
latifundia. Sistem produksi perorangan kaum tani kecil yang level produksinya
rendah tidak dapat bersaing dengan latifundia dengan produksi skala besar dan
teknologi tinggi. Selain itu petani kecil juga jadi bulan-bulanan pasar bebas,
kalah bersaing dengan pasar dunia yang tingkat produksinya lebih tinggi dan
oleh karenanya harganya lebih murah. Inilah yang mendorong banyak petani kecil
melakukan praktik slash-and-burn untuk membersihkan lahan secara cepat dan
murah, yang menyebabkan krisis kebakaran hutan belum lama ini.
Reforma agraria yang
sungguh dapat membebaskan kaum tani oleh karenanya tidak bisa dilakukan
sepotong-sepotong. Pertama, tanah kaum latifundia harus disita, yang lalu
pertanian dan perkebunan skala besar mereka dikelola secara demokratis.
Pertanian dan perkebunan skala besar ini dikelola secara kolektif bukan untuk
bersaing dengan para petani kecil perorangan, tetapi untuk menopangnya,
meningkatkan level produksinya dan memandunya ke arah kolektivisasi. Kedua,
seluruh industri yang berkaitan dengan pertanian, dari hulu hingga hilir
(bioteknologi, kimia, mesin-mesin pertanian, pengelolaan, dan bahkan perbankan
untuk pemberian kredit bagi petani) harus dikerahkan untuk meningkatkan
produktivitas kaum tani dan mengejar ketertinggalannya.
Ini hanya bisa dilakukan
melalui nasionalisasi dan sistem ekonomi terencana, karena sistem pasar bebas
kapitalis tidak akan mengizinkan ini. Ketiga, monopoli perdagangan asing untuk
melindungi kaum tani dan industri pertanian dari gempuran pasar dunia, bukan
dengan tujuan menciptakan ekonomi yang self-sufficient dan shut-in, tetapi
untuk memperkuat industri dalam negeri agar mampu bersaing di tingkat dunia.
Pendeknya, reforma agraria yang sejati hanya bisa diraih dengan merobohkan
pilar-pilar kapitalisme dan melangkah menuju sosialisme, sesuatu yang tidak
dilakukan oleh administrasi Evo Morales.
Kebuntuan “Sosialisme Abad ke-21”
Jatuhnya Evo Morales, dan
juga krisis ekonomi dan politik di Venezuela dengan semakin lemahnya pemerintahan
Bolivarian di bawah Maduro, menunjukkan kegagalan dari apa-yang-disebut
Sosialisme Abad ke-21. Sejak Revolusi Venezuela dan Bolivia meledak lebih dari
satu dekade yang lalu, banyak Kiri yang begitu terpesona oleh gagasan
Sosialisme Abad ke-21 – dan berbagai variannya, yang di Bolivia misalnya
disebut “Sosialisme Komunitarian” atau “Sosialisme Adat” (Indigenous Socialism)
– yang disematkan pada kedua Revolusi ini. Tetapi apa itu sebenarnya
“Sosialisme Abad ke-21” ini?
Alan Woods, yang menulis
buku “Reformism or Revolution. Marxism and Socialism of the
21st Century”, memberikan penjelasan yang paling cocok mengenai gagasan ini ketika dia berbicara di hadapan ratusan mahasiswa di Bolivia:
“Teori Sosialisme Abad
ke-21 memiliki keunggulan atas semua gagasan lain: yakni tidak ada seorang pun
yang tahu apa artinya. Gagasan ini adalah seperti botol kosong, yang diisi
dengan frase-frase akademik yang kacau balau, yang sebenarnya adalah
reformisme.”
Sosialisme abad ke-21
digadang-gadang sebagai alternatif baru dari Sosialisme Abad ke-20, dengan
berbagai skema pintar yang dibungkus dengan ujar-ujar yang terdengar
revolusionerrrrrr..... Banyak kaum Kiri yang begitu mudah terbuai dengan
gagasan baru ini, yang ternyata kalau diperiksa secara seksama adalah gagasan
usang yang telah lama dibantah oleh Marx, Engels dan Lenin. Sosialisme abad
ke-21 berbicara banyak mengenai sosialisme tanpa sekalipun melangkah secara
tegas ke sosialisme, sesuatu yang memuaskan perasaan banyak Kiri borjuis-kecil
dan para akademisi radikal tanpa harus berkomitmen menumbangkan kapitalisme. Bila
dikupas lebih dalam dan lebih kritis, gagasan ini terungkap sebagai reformisme,
yang menyamar bak bunglon dan licin seperti ular.
Kebingungan dari
Sosialisme abad ke-21 ini bisa dibaca dari wawancara dengan Alvaro García
Linera, wakil presiden Bolivia sejak 2006 sampai 2019, dan tokoh intelektual
terkemuka dan teoretikus “Marxis” MAS. Wawancara ini terbit pada 26 Oktober
2019, dua minggu sebelum kudeta. Dalam wawancara ini, dan kami berterima kasih
pada Indoprogress yang telah menerbitkannya ke dalam Bahasa Indonesia sehingga pembaca bisa menilainya
langsung, dia hanya berputar-putar secara abstrak tanpa memberikan program yang
jelas mengenai apa yang harus dilakukan.
Intinya Linera berbicara
mengenai “wacana perjuangan sosial kaum Kiri klasik” (baca: sosialisme abad
ke-20 atau Marxisme) yang menurutnya “tidak memadai”, dan bagaimana dia
menemukan Marx yang baru, “Marx di pinggiran”, yang “lebih plural”, yang
“memasukkan tema-tema adat”, yang “berbicara ... tentang identitas sosial
hibrida.” Berbekal ini, dia mengklaim telah mampu “membaca secara berbeda
Grundrisse, Manuskrip tahun 1861-1863 dan Capital dan
menemukan elemen-elemen logika genetika kapitalisme yang gagal dipahami oleh
penulis lain, sebelum dan sesudah Marx.” Tentunya ketika dia berbicara mengenai
“penulis lain” ini dia juga merujuk pada Lenin dan Trotsky, dua pemimpin utama
Revolusi Rusia.
Lantas, apakah penemuan
“elemen-elemen logika genetika kapitalisme” ini mampu membantunya menumbangkan
kapitalisme lebih baik daripada “penulis lain”? Setelah 13 tahun menjabat
sebagai wakil presiden Bolivia, yakni dari awal Revolusi Bolivia sampai hari H
kudeta, Linera telah diberi kesempatan dan posisi terbaik untuk menerapkan
pemahamannya mengenai “elemen-elemen logika genetika kapitalisme”, dan kita
berharap kalau tujuannya untuk memahami ini adalah untuk menumbangkan
kapitalisme. Hasilnya: kapitalisme masih utuh di Bolivia; reaksi menang; dia
dan Evo Morales tersingkirkan.
Dalam wawancara yang
sama, Linera ditanya “apa yang harus dilakukan kaum Kiri Amerika Latin?” dan
jawabannya menunjukkan hanya ambiguitas, yang memang merupakan fitur Sosialisme
abad ke-21: “Tugas terbesar kaum Kiri, dalam mengatasi batasan dan
kesalahan-kesalahan sosialisme abad kedua puluh, adalah memetakan cakrawala
baru yang menawarkan solusi untuk masalah-masalah aktual yang menyebabkan
penderitaan bagi mayoritas penduduk.”
Begitu merdu di telinga
jawaban tersebut. Tetapi dalam praktik “solusi untuk masalah-masalah aktual”
yang ditawarkan Linera dan pemimpin MAS lainnya, seperti yang telah kita kupas
di atas, tidak membawa Bolivia sama sekali ke sosialisme. “Cakrawala baru” yang
dijanjikan ternyata berakhir ke kekalahan yang pahit ini.
Untuk benar-benar
melangkah ke sosialisme, untuk sungguh-sungguh “menawarkan solusi untuk
masalah-masalah aktual yang menyebabkan penderitaan bagi mayoritas penduduk”,
tugas yang perlu dituntaskan adalah mengekspropriasi tanpa ganti rugi semua
kekayaan kaum kapitalis dan tuan tanah, meletakkannya di bawah kontrol
demokratis buruh dan tani, dan menjalankannya seturut ekonomi terencana. Dalam
kasus Bolivia terutama, Revolusi Agraria dengan menyita semua tanah kaum
latifundia, untuk dikelola seturut aspirasi demokratik komite-komite tani
miskin; bukan reforma agraria tambal-sulam, setengah-jalan setengah-hati, yang
masih mempertahankan relasi kapitalis.
Untuk melakukan ini
dibutuhkan instrumen kekuasaan yang sepenuhnya berbeda, bukan dengan merombak
atau memperbaiki mesin negara lama tetapi dengan menghancurkannya dan membangun
yang sepenuhnya baru, yang pilar-pilarnya adalah dewan-dewan rakyat pekerja.
Pemilihan semua pejabat yang bisa di-recall kapanpun; semua pejabat mendapat
gaji tidak lebih dari buruh terampil; semua tugas administrasi negara digilir;
dan pembubaran semua badan bersenjata (polisi dan tentara), yang digantikan
dengan rakyat bersenjata; inilah sejumlah fitur utama dari negara yang baru
ini. Inilah sosialisme yang sesungguhnya, yang jauh dari apa yang dilakukan
oleh pemerintahan Evo Morales dan MAS selama 13 tahun terakhir.
Kita membutuhkan bukan
Sosialisme Abad ke-21, bukan “Marx di pinggiran”, bukan “cakrawala baru,”
tetapi sosialisme yang punya keberanian dan ketegasan untuk menuntaskan
tugas-tugas historis mengakhiri kapitalisme. Sosialisme ini bisa ditemui di
lembar-lembar karya Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky, dan dapat disaksikan
secara praktis dalam sejarah Bolshevisme dan Revolusi Oktober. Tetapi semua ini
tertutup rapat-rapat bagi para pemimpin reformis MAS.
Tugas ke depan
Buruh dan tani Bolivia
telah menunjukkan elan revolusioner yang menakjubkan. Pada Kamis kemarin
(15/11), puluhan ribu rakyat pekerja di kota El Alto turun ke jalan untuk
memprotes kudeta reaksioner ini. Ini disusul di La Paz, Potosi, dan banyak kota
lainnya, dengan demo-demo besar yang telah memakan korban jiwa. Buruh dan tani
Bolivia tahu masa depan seperti apa yang menanti mereka di bawah rejim Kanan
hasil kudeta ini, dan mereka tidak akan menerima ini tanpa perlawanan sengit.
Untuk bisa melawan reaksi
yang sedang bergulir ini, rakyat pekerja Bolivia – terutama lapisan termajunya
– harus menarik pelajaran penting dari kekalahan ini. Klarifikasi ideologi,
program dan metode perjuangan harus menjadi prioritas bagi gerakan hari ini.
Kita tidak bisa biarkan kesalahan-kesalahan para pemimpin MAS seperti Morales
dan Linera tidak terjawab. Mereka kini berteriak keras mengecam: “Ini kudeta!
Ini tidak demokratis! Ini otoriter! Ini ulah imperialis AS! Ini fasisme!”
Tetapi kecaman-kecaman ini terdengar hampa ketika datang dari mereka-mereka
yang bertanggung jawab atas kekalahan ini. Mereka berteriak keras untuk
menutupi kesalahan mereka.
Perjuangan ideologi untuk
kembali ke Marxisme harus diluncurkan untuk mempersenjatai ulang gerakan
Bolivia dengan gagasan, program, strategi dan taktik yang tepat. Ini adalah
perjuangan ideologi yang tidak hanya menyangkut masa depan rakyat pekerja
Bolivia tetapi juga seluruh dunia, karena jutaan kaum muda dan buruh di luar Bolivia
telah dan tengah mengikuti dengan dekat peristiwa-peristiwa di Bolivia. Kami
yakin perjuangan ini sedang berlangsung dengan sengit di antara buruh dan tani
Bolivia, untuk menarik garis demarkasi jelas antara Revolusi dan Reformisme.
Sosialisme abad ke-21 dan
berbagai variannya sudah terbukti gagal. Gagasan ini telah terungkap tidak
lebih dari gagasan reformisme yang usang, yakni jiplakan Reformisme abad ke-20.
Tidak ada jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Venezuela dan Bolivia
telah menunjukkan fakta pahit ini, bahwa Anda tidak pernah bisa membuat
setengah revolusi.
0 comments:
Post a Comment