Thursday, February 27, 2020 0 comments

Ambiguitas Negara dalam Sexy Killers


Film Sexy Killers (selanjutnya disebut SK) dalam beberapa hari terakhir benar-benar menyedot perhatian banyak orang. Saya sangat terkejut ketika di social media, seperti facebook dan instagram, muncul orang-orang yang sebelumnya tidak pernah update isu-isu sosial yang spesifik, seperti tambang ini, turut memberikan apresiasi terhadap film tersebut. Setidaknya ada 3 tanggapan utama sepanjang pengamatan saya di twitter, instagram, dan facebook. Pertama adalah orang-orang yang sebenarnya bukan pendukung kedua pasangan calon pemimpin negara yang kemudian memutuskan untuk menjadi golput.
Kedua adalah mereka yang muncul sebagai enviromentalis nanggung cum dadakan, yang menghimbau untuk mengurangi penggunaan listrik. Ketiga adalah pro-kontra soal kesejahteraan orang-orang yang tinggal pada pemukiman di kawasan tambang. Reaksi ini membuktikan bahwa SK berhasil membawa polemik industri energi ini ke audience yang lebih luas dibandingkan hanya keributan di antara para aktivis, pengusaha, dan negara.
SK bagi saya sendiri memberikan pesan yang begitu mendalam dan bukan hanya soal pemilu saja. Ia bukanlah semata-mata sebagai kampanye golput, tetapi dapat dilihat dengan tujuan untuk membangun wacana kritis, terutama dalam industri energi serta pertambangan.
Thursday, February 20, 2020 0 comments

Islam Progresif sebagai jalan menuju Sosialisme



Sudah saatnya menceraikan liberalisme Islam dari kata “progresif”. Kelemahan utama studi yang dilakukan oleh Martin van Bruinessen dkk dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014) adalah masih mempertahankan istilah ini untuk menggambarkan dinamika keterbukaan pada kelas menengah Muslim terdidik Indonesia terhadap ide-ide pembaruan Islam. Suatu kelemahan yang juga diulangi oleh Laode Ida baru-baru ini, yang melihat kebangkitan kaum moderat Nahdliyin sebagai produk dari “liberalisme politik” pasca-Reformasi.
Dengan pemetaannya yang sangat problematis, Martin van Bruinessen dkk meletakkan “Islam Indonesia” secara diametral dengan tren konservatif pada sebagian umat Muslim, yang disebutnya dengan “Islam radikal”. Dan “Islam liberal dan progresif” dilihat sebagai antitesis bagi “Islam radikal” tersebut, sekaligus sebagai instansi paling legitim dari “Islam Indonesia” yang sedang berada dalam ancaman kelompok-kelompok konservatif.
Dalam prakatanya, Bruinessen menulis: “Saya menyebut ‘liberal dan progresif’ untuk mengacu kepada semua pemikir dan aktivis yang mengemukakan penafsiran nonliteral atas konsep-konsep Islam” (h. 48). Dengan konsepsi ini, ia memasukkan berbagai faksi pemikiran keislaman dari Jaringan Islam Liberal (JIL), “neomodernisme Islam”-nya Cak Nur, “tradisionalisme” Gus Dur, hingga “Islam emansipatoris”-nya mereka yang concern pada “hak asasi manusia” dan “pemberdayaan kaum lemah dan tertindas”. Dengan kata lain, ia memasukkan apa yang dulu disebut Hassan Hanafi sebagai “Kiri Islam”bersama-sama lawannya, para liberal modernis, dalam satu kategori yang sama. Latar belakang bagi keperluan kategoris ini, sebutnya, adalah absennya “istilah yang lebih baik”. Dengan kata lain, kegagalan menemukan satu istilah yang memuaskan untuk membedakan dan memilah berbagai tendensi di dalam “Islam liberal dan progresif” sendiri.
Thursday, February 13, 2020 0 comments

Pendidikan Indonesia Di Bawah Kuasa Kapitalisme



Kapitalisme merupakan sistem yang serakah. Segala sesuatu diperdagangkan. Apa yang bisa dijadikan keuntungan akan dihisap, tidak peduli itu menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Bahkanseringkali kepentingan ini mengabaikan unsur kemanusiaan. Kapitalisme sadar bahwa manusia tidak hanya hidup dengan makanan dan minuman. Ada kebutuhan-kebutuhan lain seperti kesehatan dan pendidikan. Mereka paham kalau dalam dunia modern sekarang, manusia butuh pendidikan untuk memenuhi tuntutan kerja. Kebutuhan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggungjawab masyarakat dibebankan pada rakyat pekerja.
engan membebankan biaya pendidikan pada rakyat pekerja, kelas kapitalis membuat pasar atas kebutuhan pokok masyarakat ini, sehingga pendidikan menjadi kebutuhan komersil yang menghabiskan jutaan rupiah untuk menebusnya. Tidak heran bila setiap tahun terjadi peningkatan biaya pendidikan. Menurut Badan Pusat Statistik kenaikan ini mencapai 10 persen. Hal sama juga disebutkan oleh lembaga ZAP Finance yang mengatakan bahwa peningkatan ini mencapai 20 persen. Hal ini menjadi parah ketika kenaikan gaji buruh tidak sebanding dengan kenaikan biaya pendidikan.Saat ini kenaikan gaji berkisar antara 7 sampai 10 persen tiap tahunnya.
Para pakar pendidikan berkomentar mengenai ini. Mereka menyalahkan rakyat karena memiliki kesadaran yang rendah mengenai pendidikan. Seperti  yang dituturkan oleh Arief Rachman, salah satu tokoh pendidikan Indonesia:
“Kesadaran berencana rendah, semua tindakan dilakukan serba spontan. ... Begitu mau bayar uang masuk kuliah, baru mikir mau jual perhiasan atau tanah,” begitulah komentar Arief Rachman.
Thursday, February 6, 2020 0 comments

Partai Alternatif Harus Percaya Pada Kekuatan Massa, Bukan Elit!



Awalnya kita tentu harus menyambut baik seruan beberapa organisasi serikat buruh menjelang May Day 2015 lalu untuk mendirikan partai politik. Selain baru pernah terjadi dalam sejarah gerakan buruh sejak reformasi, namun juga karena semakin gagalnya partai-partai yang sekarang ada dalam membangun perubahan sejati bagi rakyat. Kita sudah cukup tahu siapa saja pendiri dan pemimpin partai-partai politik yang sekarang sedang menyusun kekuasaan negara. Seluruhnya adalah para pemodal, mewakili kepentingan modal, bukan kaum buruh yang mewakili kepentingan buruh dan rakyat. Organisasi-organisasi yang menyerukan saat itu kemudian membangun aliansi bernama GBI.
Setelah sebelumnya sebagian organisasi dalam GBI mendukung Jokowi dan sebagiannya lagi mendukung Prabowo dalam Pemilu 2014 lalu, seruan membangun partai dapat berarti belajar dari kesalahan “menjadikan kekuatan besar kelas buruh sebagai mainan” ditangan para pemodal. Perubahan memang tidak bisa disandarkan pada partai-partai dan elit pemodal itu, atau pada ‘perwakilan buruh’ yang telah berada dalam rejim atau partai-partai pemodal. Itu mengapa dalam Pemilu 2014 lalu, sebagian gerakan (yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif) telah menyerukan pembangunan partai alternatif. Itu juga alasan mengapa seruan membangun partai (oleh GBI) juga perlu disambut bagi semangat kaum buruh menegakkan kekuatan dan kemandirian politiknya sebagai sebuah kelas bersama rakyat.
Namun saat May Day berlangsung, usaha memandirikan politik kaum buruh dalam deklarasi “komitmen membangun partai” langsung mendapat ganjalan. Di depan Istana, tempat dimana deklarasi GBI dibacakan, organisasi yang menyerukan pembangunan partai justru (masih) memberi ruang kepada perwakilan pemerintah untuk mengilusi massa agar percaya pada pemerintah. Sedangkan di GBK, (faksi) elit pemodal lain yang mewakili DPR juga diundang hadir dan berpidato untuk mempercayai mereka sebagai ‘perwakilan’ yang berpihak pada buruh. Siapa yang berpikiran maju tentu sudah tahu apa yang dikatakan elit-elit partai pemodal itu adalah omong-kosong.
 
;