Monday, April 27, 2020 0 comments

Bagimu Kejulidanmu, Bagiku Monetisasiku

 

            RIA Ricis pamit. Ria Ricis kembali. Selanjutnya apa? Ria Ricis pamit sambil sumpah pocong tak akan kembali lagi? Lakukanlah. Dan kembalilah lagi tanpa tahu malu.

Saya jamin, penonton Ria Ricis tetap membeludak.

Kita hidup di hari-hari yang menjengkelkan. Ria Ricis bukan satu-satunya influencer kondang yang lidahnya lebih licin ketimbang arena ice skating. Kita punya Awkarin yang, wow, pernah menghadiahkan akun media sosialnya kepada dirinya sendiri. Ada pula Atta Halilintar yang mengelabui warganet dengan keisengan yang seolah-olah spontan namun sudah disiapkan di muka.

Kalau ketiganya sudah pensiun kelak—yang, sayangnya, mungkin bisa lebih lama dari hidup Anda—kita dipastikan punya banyak penggantinya.

Berulang kali saya mendapati teman-teman saya geleng-geleng dengan cita-cita entah keponakan, entah anak tetangga mereka. Anda, pasti, sudah bisa menebaknya. Pangkal masalahnya selalu sama: anak-anak ini bercita-cita menjadi YouTuber.

“Adek, mau jadi apa kalau sudah besar nanti?” teman saya suatu hari bertanya kepada keponakannya.

“YouTuber!” sang keponakan membalas tanpa tedeng aling-aling.

Teman saya kontan kecewa—mungkin dia awalnya berharap mendapati cita-cita klise ingin menjadi pilot, dokter, insinyur, atau SJW.

Persoalannya, di hari-hari ini, kejengkelan kita dengan YouTuber pengemis perhatian sama sekali tidak punya arti. Anda bisa merampas masa depan seseorang di kantor atau bidangnya dengan kejulidan—dengan menggunjingkan penuh dengki keburukan-keburukannya bersama para kolega. Anda, sekurang-kurangnya, dapat merampas ketenangan hidupnya. Akan tetapi, hal yang sama tak berlaku untuk para selebritas digital. Kejulidan justru mengganjar mereka dengan reputasi dan, pada akhirnya, mempertebal koceknya.  

Berapa banyak, toh, orang yang tetap memutar video Ria Ricis, Awkarin, Atta Halilintar meski sekadar untuk marah-marah belaka? Di antara kita saja, saya yakin, tak sedikit, dan dengannya kita sudah menyumbangkan secuil umur kita untuk menonton iklan di lamannya. Anda julid dan merasa sudah melakukan sesuatu dengan memaki-maki para selebritas digital? Mereka, bisa jadi, malah punya prinsip hidup digital yang jauh mengangkangi segenap kejulidan Anda—“bagimu kejulidanmu, bagiku monetisasiku.”

Ada beberapa orang yang saya benci hingga ke ubun-ubun di jagat Twitter. Salah satunya ialah Tengku Zulkarnain. Kombinasi rutin antara ujaran kebenciannya dengan kesemerawutan berbahasanya benar-benar membuat saya ngegas. Dan terka saja apa yang terjadi: Twitter terus-menerus menjejalkan cuit-cuitnya ke linimasa saya terlepas saya tak mengikutinya.

Twitter, saya yakin, membaca durasi waktu saya membaca cuitnya yang lebih lama ketimbang cuit-cuit lain. Tak ingin membuat laman awal YouTube saya cemar dengan video para influencer tak bermutu, saya biasanya sekuat tenaga menghindari memencet unggahan mereka. Begitu YouTube mendapati saya singgah ke laman video Atta Halilintar, katakanlah, ia takkan henti menjajakan video-videonya yang tak saya perlukan (persis telemarketing asuransi Sukatelpon).

Rupanya, di Twitter saya lengah. Saya secara naluriah terpantik, membaca cuit Tengku Zulkarnain dengan saksama, marah, lalu membacanya lagi, lalu ingin mendebatnya, lalu lagi-lagi membacanya. Meskipun pada akhirnya saya hanya membalasnya dengan peta sebuah daerah di Prancis, algoritme Twitter sudah telanjur membaca kecenderungan saya berkutat dengan provokasi Tengku Zulkarnain. Mereka, mungkin, langsung menerka saya akan berlama-lama dengan penuh sukacita di Twitter bila saya terpapar terus-menerus cuit semacam.

Dan Twitter, saya mesti mengakui dengan berat hati, tak sepenuhnya keliru. Cuit-cuit yang diselundupkannya secara gelap ke linimasa saya acap berhasil membuat saya berlama-lama di platformnya (meski tidak dengan penuh sukacita). Menyusul Tengku Zulkarnain, linimasa saya pun disusupi dengan cuitan-cuitan Haikal Hassan Baras dan Mustofa Nahrawardaya. Nyaris semuanya sukses memancing emosi dan perhatian penuh saya yang mahal.

Dan, bukan kebetulan seharusnya bertepatan dengan penerapan siasat algoritmik semacam ini, Twitter mulai mencetak keuntungan. Keuntungan di dunia media baru setara dengan waktu yang dihabiskan pengguna—tak peduli mereka menghabiskannya dengan kerelaan hati atau tidak. Kini saya memang berkubang di Twitter lebih lama—acapkali sambil murka menyaksikan influencer bermulut limbah. Mungkin demikian juga dengan Anda.

Di hari-hari yang menjengkelkan ini, Anda sebenarnya tak bisa membanggakan kejulidan sebagai benteng perlawanan warganet. Sistem pertahanan dan keamanan berbasis kenyinyiran warganet? Omong kosong. Kelakuan semacam justru menjadikan warganet mangsa empuk para influencer, perusahaan platformnya namun, lebih tepatnya lagi, kapitalisme surveilans. Untuk apa membaca pesan muak warganet kalau persekongkolan gawat ini punya akses membaca segenap aktivitas warganet di dunia maya—durasi melihat, jumlah kunjungan, kata kunci kegemaran, dan lain-lain? Untuk apa meratapi pedasnya kritik warganet kalau ia justru bisa dieksploitasi guna menagih perhatian konstan mereka?

Dalam struktur yang demikian, Atta Halilintar sesungguhnya berhak sesumbar menggoda Anda menggunakan kata-kata Thanos, sang titan ungu. “I am inevitable.” Atta akan mendatangi kehidupan Anda, yang sebagian besar akan dihabiskan di depan layar, lagi dan lagi. Semakin besar keinginan Anda untuk menyingkirkannya, ia semakin tak mungkin tersingkir dari kehidupan Anda. Tengku Zulkarnain takkan hilang dari kehidupan saya di masa mendatang. Semakin banyak kritik dan kecaman yang diterimanya, semakin santer namanya. Ia semakin merasa diperlakukan bak pahlawan dan calon martir—sementara para pembencinya tergulung dalam ekosistem digital Twitter.

Kita tak sendirian. Warganet di mana-mana sedang berlari dalam roda hamster yang sama. Roda hamster yang membesarkan influencer yang mengecer keisengan provokatif dan tipu muslihat. Roda hamster yang boleh jadi telah mendudukkan Donald Trump di kursi kepresidenan.

Fakta menyedihkan untuk menutup tulisan yang sudah di pengujung paparannya ini? Kita belum punya Iron Man yang dapat merampas dari tangan kekuatan jahat ini kuasa atas eksistensi daring kita.

Yang kita punya adalah kejulidan semata

.***

Thursday, April 23, 2020 0 comments

Apa Sekarang Kita Sudah Jadi Marsose di Papua?

 

DALAM sebuah foto yang legendaris, pasukan infanteri Reich Ketiga melintasi Arc de Triomphe di hari kejatuhan Paris. Pemerintah republik kabur kocar-kacir ke negeri jiran. Teritori utara Prancis diduduki tentara Reich Ketiga dan belahan selatan diurus pemerintahan kacung di bawah Maréchal Philippe Pétain.

Sementara itu, gerakan bawah tanah terorganisir bekerja secara kucing-kucingan dari intaian Gestapo yang luar biasa durjana. Tak sedikit pula penduduk koloni-koloni Prancis yang menyandang senjata (boleh jadi dengan terpaksa), menyabung nyawa untuk membebaskan “negeri induk” mereka dari okupasi.

Friday, April 17, 2020 0 comments

Kritik Marx terhadap Sosialisme Awal


I. Sumbangsih Kaum Sosialis Awal
MENYUSUL terjadinya Revolusi Prancis, sejumlah teori mulai beredar di Eropa yang berusaha menjawab tuntutan keadilan sosial yang tak terjawab oleh Revolusi Prancis dan untuk mengoreksi ketidakseimbangan ekonomi dramatis yang ditimbulkan oleh penyebaran revolusi industri. Kemajuan demokratis setelah pendudukan, Bastille, memberikan pukulan yang menentukan bagi aristokrasi. Tapi situasi baru itu hampir tidak mengubah ketidaksetaraan kekayaan antara kelas populer dan kelas dominan. Ambruknya monarki dan pendirian republik, ternyata tidak mencukupi untuk mengurangi kemiskinan di Prancis.
Inilah konteks dimana teori-teori sosialisme ‘utopis-kritis’, sebagaimana didefinisikan oleh Marx dan Engels dalam Manifesto Partai Komunis (1848), menjadi terkenal. Keduanya menganggap mereka ‘utopis’ karena dua alasan: pertama, para eksponennya, dengan cara yang berbeda, menentang tatanan sosial yang ada dan melengkapinya dengan  teori yang mengandung apa yang mereka yakini sebagai ‘elemen paling berharga untuk pencerahan kelas pekerja’; dan, kedua, para eksponen itu mengklaim bahwa bentuk alternatif organisasi sosial dapat dicapai hanya melalui identifikasi teoritis ide-ide dan prinsip-prinsip baru, ketimbang melalui perjuangan konkret kelas pekerja. Menurut Marx dan Engels, para pendahulu sosialis itu percaya bahwa
tindakan historis (harus) tunduk pada tindakan inventif pribadi mereka, yang secara historis menciptakan kondisi-kondisi  emansipasi pada yang fantastis, dan organisasi kelas proletariat berkembang secara bertahap dari yang spontan ke organisasi masyarakat yang secara khusus dirancang oleh para penemu ini. Sejarah masa depan menyelesaikan dirinya sendiri, dalam pandangan mereka, ke dalam propaganda dan tindakan praktis dari rencana sosial mereka.
Thursday, April 9, 2020 0 comments

30 Tahun Runtuhnya Tembok Berlin: Selamat Datang Kembali Lenin!


Setelah runtuhnya Tembok Berlin borjuasi merayakan apa yang disebut sebagai “Akhir dari Sejarah”. Mereka mencoba meyakinkan semua orang bahwa kontes ideologi telah dimenangkan kapitalisme. 30 tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin semua dengan cepat berubah. Euforia segera menjadi suasana pesimisme. Peringatan akan bahaya-bahaya krisis yang lebih besar di hari mendatang mulai bersahutan, bukan dari seorang Marxis, tapi dari para pakar ekonomi borjuis dan para ideolog pembelanya. Di mana-mana kita menyaksikan bahwa tahun mendatang akan jauh lebih buruk dari tahun kemarin. "Aku berkata kepadamu, jangan tertipu oleh setiap berita baik dan jangan euphoria”. Begitu kata mereka.
Krisis 2008 belum terselesaikan sampai hari ini menimbulkan konsekuensi yang menyakitkan. Kapitalisme hanya hidup melalui suntikan uang seperti seorang yang ada di ruang pesakitan yang tergantung pada peralatan medis. Pertumbuhan dan minat ekspor yang rendah berkepanjangan adalah indikator bahwa sistem ini telah kehilangan semua kekuataannya untuk hidup. Di puing-puing reruntuhan Tembok Berlin sekarang berdiri ancaman reruntuhan yang baru. Di Jerman sendiri meskipun bisa menghindari krisis Euro masih menyimpan potensi krisis yang dalam. Keterikatan antara bank-bank dan industri Jerman terhadap negara-negara yang sedang krisis sangat tinggi, sehingga membuat tidak mungkin bagi Jerman untuk lepas dari krisis ini.
Saturday, April 4, 2020 0 comments

Islam dan COVID-19: Antara yang “Utopis” dan yang “Ilmiah”


Dalam salah satu teks klasiknya, Frederick Engels membedakan dua jenis ‘sosialisme’, yang ia sebut ‘utopis’ dan ‘ilmiah’. Sosialisme utopis, menurut Engels, muncul di Eropa akhir abad ke-18. Mereka –orang-orang seperti Saint-Simon, Owen, atau Fourier, adalah orang-orang yang ‘mengecam’ aristokrasi dan mendorong untuk mengakui hak-hak ‘rakyat’; menyerukan masyarakat tanpa kelas, dan mendorong solidaritas serta revolusi.
Tapi ada satu kesamaan mereka: tidak jelas siapa yang mereka wakili dan tidak jelas apa yang ingin mereka ubah. Pemikiran mereka tidak mewakili kondisi kaum proletariat yang masa itu sedang bangkit untuk melawan aristokrasi kerajaan yang korup dan kaum borjuis yang berkolaborasi dengan mereka. Pemikiran mereka, menurut Engels, bagai menurunkan “kerajaan akal-pikiran” dari surga ke bumi, tenggelam dalam pikiran-pikiran dan cita-cita, dan dan akhirnya, membangun “utopia”.
Salahkah jalan pikiran semacam ini? Tidak sepenuhnya. Konon menurut Erik Olin Wright dua abad kemudian, utopia penting untuk membangun imajinasi bersama tentang ‘keadilan’ dan membangkitkan kesadaran tentang ketidakadilan. Yang terpenting menurut Engels, utopia semacam ini harus disandarkan bukan atas akal-pikiran semata, tapi juga kenyataan. Ia harus dilandaskan pada pemahaman bahwa ada kontradiksi dalam masyarakat, ada kekuatan yang selama ini berkuasa dengan sewenang-wenang.
Dan untuk itu, sosialisme harus didasarkan atas pemahaman yang bersifat ‘Ilmiah’.
 
;