Wednesday, October 21, 2020

Ilusi Nawacita dan Kegagapan Kaum Intelektual Kiri

BERBAGAI analisis telah menunjukkan mengenai kecil dan insignifikannya gerakan kiri di Indonesia sejak 1965 dan karena itu pula agenda politik yang progresif menjadi marginal. Dalam debat mengenai posisi politik untuk pemilu 2019, para penulis IndoPROGRESS juga bersepakat pada kesimpulan serupa. Pokok perdebatan terletak pada bagaimana membangun kekuatan politik alternatif serta mengonsolidasikannya sebagai gerakan yang mampu secara signifikan mendesakkan agenda politik yang progresif.

Ada dua posisi yang bisa dikata saling bertentangan dalam debat itu. Posisi pertama, mendorong perubahan dari dalam dengan mendukung atau beraliansi dengan salah satu kekuatan politik yang bertarung dalam pemilu. Posisi kedua, mengampanyekan agar konsolidasi gerakan alternatif dilakukan tanpa beraliansi dengan kekuatan politik mana pun yang tidak mengutamakan agenda kerakyatan. Saya termasuk yang bersepakat dengan posisi kedua sebagaimana telah saya kemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya.

Menurut saya, persoalan pokok posisi politik pertama terletak pada inkonsistensi dan kontradiksi internal dalam argumen yang menjadi basis justifikasi pilihan politik tersebut. Argumen-argumen yang kontradiktif dan inkoheren itu dengan sendirinya membuktikan lemahnya pengorganisasian gerakan salah satunya akibat kegagapan para intelektualnya membaca situasi politik yang materiil dan empiris. Banyak di antara mereka yang tampak gagah berfilsafat, namun sebenarnya hanya menjadi penerjemah karya-karya filsuf terkemuka. Saat dihadapkan pada situasi konkret, berbagai teori filsafat, terutama dari tradisi kir,i lenyap begitu saja dan tergagap menganalisis kondisi empiris itu menjadi hanya berdasarkan pada pandangan umum (common sense), pengharapan dan imajinasi yang lemah dalam substansiasi.

Martin Suryajaya, misalnya, merasionalisasi dukungannya kepada petahana dalam kontestasi elektoral 2019 dengan mengimajinasikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai representasi kekuatan politik yang dianggap paling dekat genealoginya dengan gerakan kiri. Ia mengasumsikan secara ilusif bahwa karena ditopang oleh mesin politik Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) yang diketuai oleh Megawati, anak dari proklamator Sukarno, maka Jokowi dengan sendirinya merepresentasikan marhaenisme, ideologi yang berpihak pada kepentingan petani tak bertanah.

Sederhananya, Martin menyimpulkan bahwa dukungan kepada petahana adalah bentuk dukungan kepada Sukarnoisme, ideologi politik “yang direpresentasikan oleh Jokowi dan partai penyokongnya” sebagai aliansi taktis yang paling memungkinkan memberi ruang politik bagi gerakan kiri. Jika tidak hati-hati, Martin sebenarnya sedang membuka jalan bagi dirinya untuk mengikuti trajektori yang ditempuh oleh Budiman Sujatmiko—mantan ketua partai kiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang bergabung dengan PDIP tidak lama setelah Reformasi—menjadi seperti politisi kebanyakan yang selalu bisa menjustifikasi sikap politiknya sekalipun bertentangan dengan prinsip-prinsip yang pernah diperjuangkannya, setidaknya melalui tulisan. Padahal, berbagai studi telah menunjukkan spektrum ideologi partai politik di Indonesia sejak Reformasi tidak bisa dibedakan satu sama lain, lalu atas dasar apa Martin mengklaim adanya distingsi ideologi PDIP dari partai lainnya jika tidak berdasarkan pengharapan dan imajinasi yang ilusif?

Nawacita, rumusan program politik Jokowi yang juga dianggap sebagai wujud dari Sukarnoisme sebenarnya juga tidak lebih dari sekadar kontrak politik pada umumnya, seperti yang kerap dibuat antara masyarakat yang hendak dimobilisasi suaranya dengan para politisi oportunis. Sebagai kontrak politik, Nawacita adalah bagian dari apa yang disebut oleh Savirani dan Aspinall sebagai wujud dari hubungan adversarial, perpaduan antara hubungan yang bersifat programatik dan klientelistik yang dipertukarkan sebagai dukungan politik. Perumusan Nawacita dalam sejarahnya juga dibangun dalam rangka mengonsolidasikan dukungan relawan, termasuk aktivis dan akademisi dari kalangan gerakan kiri.

Meskipun tidak secara langsung memperoleh keuntungan materiil seperti dalam praktik politik uang, beberapa tokoh relawan menempati posisi politik sebagai komisaris Badan Usaha milik Negara (BUMN), pejabat kementerian maupun pejabat pada lembaga negara setingkat kementerian, seperti Kantor Staf Kepresidenan (KSP), atau minimal memperoleh proyek di kementerian seperti yang dialami oleh Martin sendiri, sebagai wujud pertukaran dukungan. Tanpa kekuatan politik signifikan, posisi para aktivis relawan di berbagai jabatan strategis birokrasi negara tidak berdampak apa pun selain bagi diri mereka sendiri sebagai pijakan dalam melakukan mobilitas sosial vertikal.

Argumen Airlangga Pribadi juga tidak kalah absurdnya dengan mengklaim bahwa kekuatan politik alternatif dapat dikonsolidasikan dengan mereorganisasi dukungan kepada Nawacita. Bagaimana mungkin Nawacita, sebagai kontrak politik yang mudah dimanipulasi dan diapropriasi oleh kekuatan predatoris dalam ruang politik transaksional, diandaikan sebagai basis yang dapat mengonsolidasikan kekuatan politik alternatif? Ini sama saja membayangkan adanya produk hukum yang progresif dengan sendirinya bisa mengonsolidasikan kekuatan politik yang progresif: sebuah pandangan yang sangat institusionalis, seperti yang sangat jelas dikemukakan oleh Ken Budha Kusumandaru. Faktanya, kontrak politik dan produk hukum apa pun adalah arena pertarungan yang hanya bisa dijalankan untuk memenangkan agenda politik progresif jika disokong oleh kekuatan politik progresif yang terkonsolidasi. Bukan sebaliknya.

Pandangan institusionalis Ken Budha dapat dilihat dari bagaimana ia mendefinisikan negara yang diukur dari derajat kapasitasnya memenuhi hak warganya. Secara genealogis, definisi ini berpijak pada asumsi Weberian yang mengandaikan negara sebagai institusi yang otonom dari kekuatan-kekuatan politik yang saling bertentangan dan sebagai organisasi yang secara otoritatif dengan sendirinya dapat mengarahkan tindakan-tindakan aktor di dalamnya. Menurut Ken Budha, tidak adanya pemenuhan hak asasi manusia (HAM) disebabkan oleh lemahnya kapasitas negara maupun aparaturnya. Seperti halnya Martin yang bersabda layaknya teknokrat Bank Dunia dengan menganjurkan elemen gerakan kiri agar menjadi birokrat yang reformis, Ken Budha juga menyerukan hal serupa dengan mendorong peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatusnya untuk mewujudkan negara yang dapat memenuhi hak warganya.

Dari asumsi yang problematis ini, Ken Budha juga tidak menunjukkan argumen yang koheren sampai pada kesimpulan bahwa Jokowi perlu didukung dan dengan itu partai politik alternatif dapat dibangun. Pertanyaannya, bagaimana dapat membangun partai politik alternatif jika sikap politik yang diajukan justru memaklumi predatorisme dengan mendukung salah satu aliansi oligarkis?

Upaya membangun kekuatan politik alternatif justru mesti ditopang oleh sikap politik yang radikal, bukan oleh kompromi dan berbagai bentuk moderasi terhadap elemen kekuatan predatoris. Golput adalah representasi sikap politik radikal itu, yang secara aktif menolak tunduk dan menolak berbagai pemakluman atas bentuk-bentuk marginalisasi kepentingan rakyat. Ini tidak bisa dikerjakan dalam satu dua periode pemerintahan seperti mengerjakan proyek di kementerian. Dan karena itu pula sikap politik radikal sebenarnya tidak bergantung pada momen kompetisi elektoral lima tahunan. Namun, mengemukakan sikap radikal secara terbuka pada momen itu penting sebagai investasi untuk mengonsolidasikan gerakan.

Jangankan memenuhi agenda politik progresif yang berkontradiksi dengan kepentingan kapital, perwujudan demokrasi liberal yang dapat memberi jalan bagi perkembangan kapitalisme juga masih menjadi persoalan meski Reformasi telah berjalan selama dua dekade. Beberapa studi telah menunjukkan gejala itu sejak awal Reformasi, sementara akademisi lainnya terlambat mengambil kesimpulan serupa, tapi mereka kini bersepakat bahwa demokrasi di Indonesia bergerak menuju pendalaman illiberalisme atau dalam istilah pendekatan institusionalis sebagai terdekonsolidasi.

Gejala itu menunjukkan bahwa yang kecil, tercerai berai, tidak terorganisir dan insignifikan bukan hanya gerakan kiri, tetapi juga gerakan liberal, yakni kelompok yang mengadvokasi agenda demokratisasi, penegakan supremasi hukum (rule of law) dan HAM. Persoalannya bukan semata-mata bahwa aktor dari gerakan ini tersegmentasi dalam berbagai isu yang direpresentasikan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), sehingga tidak bisa menjadi kekuatan politik signifikan yang dapat menantang kronisme politik, tetapi juga karena agenda demokratisasi sendiri telah lama diapropriasi dan dikooptasi oleh agen kapitalisme neoliberal, seperti Internasional Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Elemen gerakan kiri semestinya bisa belajar dari kegagalan gerakan liberal itu untuk terhindar dari kepercayaan diri yang terlalu tinggi, padahal sebenarnya hanya dikelabui oleh para politisi oportunis. Kita bisa melihat kecenderungan ini pada para aktivis ‘kiri’ yang begitu bersemangat menempatkan Nawacita sebagai basis untuk mewujudkan agenda politik progresif, padahal ia hanya menjadi macan kertas.

Elemen gerakan kiri juga bisa belajar pada kegagalan gerakan Islam politik yang juga kecil, tercerai-berai, tidak terorganisir dan insignifikan yang sejak era Orde Baru menjadi bulan-bulanan dan kerap diakalbulusi oleh militer dan politisi oportunis. Dengan kepercayaan diri yang besar—padahal secara empiris terfragmentasi dan tidak terkonsolidasi—kelompok Islam politik atau Muslim konservatif seringkali berupaya membangun aliansi dengan tentara dan politisi oportunis seolah bisa mengendalikan mereka, padahal yang terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, saya setuju dengan penjelasan Martin bahwa aktivis ‘kiri’ seringkali “mengidap waham kebesaran” yang buktinya justru ditunjukkan oleh argumen dan trajektori Martin sendiri.***

 


0 comments:

Post a Comment

 
;