Thursday, October 29, 2020

Judicial Review: Cara Penguasa Menjinakkan Gerakan Anti-Omnibus Law

 

PENGESAHAN Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja pada 5 Oktober silam telah memicu lahirnya gelombang demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia. Undang-undang yang hingga kini naskah akhirnya tidak kunjung dapat ditunjukkan baik oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memuat banyak ketentuan bermasalah.

Banyak kajian akademik dan hasil penelitian berbagai lembaga independen telah mengupas pokok-pokok persoalan dari setiap kluster topik undang-undang tersebut. Namun, pemerintah dengan gigih membantah berbagai kritik terhadap UU Cipta Kerja sebagai hoaks dan disinformasi. Kritik terhadap kecacatan proses penyusunan undang-undang terkait partisipasi juga telah dibantah dengan mengklaim bahwa pemerintah dan DPR telah mengakomodasi representasi kelompok kepentingan yang berbeda.

Penting dicatat, pemerintah memiliki instrumen yang lebih memadai dan canggih dalam memanipulasi kesadaran publik: membantah berbagai bentuk kritik serta mendomestifikasi dan mengerdilkan perlawanan dengan mengarahkan tuntutan ke jalur-jalur yang telah direkayasa untuk memperlemah gerakan.

Strategi Manipulasi Pertama: Disinformasi

Senjata utama penguasa dalam memanipulasi kesadaran publik adalah dengan menciptakan disinformasi. Dengan disinformasi, publik akan kebingungan karena berhadapan dengan banyaknya ragam kebenaran. Tidak hanya itu, disinformasi juga diciptakan agar publik hanya mengakui kebenaran versi penguasa. Ini dapat dilakukan karena penguasa memiliki instrumen informasi yang jauh lebih memadai dari apa yang dapat digunakan oleh masyarakat.

Pemerintah menguasai akses dan perangkat distribusi informasi. Melalui penguasaan ini, pemerintah dapat mengontrol, memblokir dan menghapus konten informasi yang dianggap tidak menguntungkan. Pemerintah juga dapat memotong saluran informasi seperti yang terjadi pada kasus pemutusan internet dan akses media di Papua. Dengan perangkatnya, pemerintah juga dapat memanipulasi informasi untuk menjebak dan mengkriminalisasi pengkritik seperti terjadi pada kasus Ravio Patra.

Birokrasi juga perangkat yang dapat dimobilisasi oleh penguasa untuk menyebarluaskan disinformasi. Tak lama setelah muncul banyak penolakan pasca disahkannya RUU Cipta Kerja, misalnya, beberapa pejabat kementerian terkait membuat pernyataan bersama membalik hampir semua kritik publik terhadap UU Cipta Kerja. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memobilisasi kepala daerah untuk mendukung UU Cipta Kerja, terutama setelah beberapa di antara mereka sempat menyampaikan penolakan terhadap undang-undang ini. Jokowi juga telah menginstruksikan aparat keamanan untuk menindak tegas demonstran penolak UU Cipta Kerja. Merespons instruksi ini, Kapolri juga telah menerbitkan telegram yang memerintahkan anggotanya tidak hanya bertindak keras terhadap demonstran, tetapi juga untuk membuat narasi tandingan, tugas yang jelas tidak berhubungan dengan fungsi pokok kepolisian.

Lembaga pengetahuan pun ikut dimobilisasi untuk menciptakan disinformasi. Tak lama setelah aksi protes yang melibatkan gerakan mahasiswa dari berbagai kampus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran kepada seluruh perguruan tinggi untuk mencegah mahasiswa turun ke jalan. Surat edaran ini juga mengimbau kepada perguruan tinggi agar menjadi corong penguasa untuk mensosialisasikan UU Cipta Kerja, alih-alih mendorong evaluasi dan memfasilitasi kritik yang seharusnya menjadi tugas lembaga pengetahuan yang otonom.

Strategi Manipulasi Kedua: Mengerdilkan Perlawanan

Upaya lainnya yang digunakan oleh pemerintah dalam memanipulasi kesadaran publik terkait pengesahan UU Cipta Kerja adalah dengan mengerdilkan perlawanan publik dan gerakan sosial. Ini dilakukan dengan mendorong agar penyelesaian masalah dilakukan dengan menempuh jalur hukum. Pemerintah dan DPR, pihak yang paling bertanggung jawab atas disahkannya UU Cipta Kerja, paling getol mendorong gerakan penolakan disalurkan melalui gugatan hukum di Mahkamah Konstitusi. “Anjuran” ini semakin gencar dipromosikan setelah sebagian publik menolak demonstrasi lanjutan karena aksi protes di berbagai tempat diwarnai kekerasan dan perusakan fasilitas umum dan karenanya mendorong agar membawa penyelesaian masalah melalui jalur hukum yang tersedia.

Patut dicatat, satu bulan sebelum disahkannya UU Cipta Kerja, DPR telah mengesahkan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Dengan UU baru ini, Mahkamah Konstitusi telah kehilangan sebagian besar imparsialitas dan independensinya. Pasalnya, ketentuan ini memberi semacam hadiah kepada hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat untuk dapat tetap memegang jabatannya hingga maksimal 15 tahun atau hingga batas usia 70 tahun. Sebelumnya, hakim konstitusi hanya dapat menjabat selama 5 tahun atau maksimal berusia 60 tahun. Pada awal tahun 2020, Jokowi juga pernah membuat pernyataan yang meminta dukungan Mahkamah Konstitusi untuk mendukung UU Cipta Kerja.

Kita boleh mencurigai bahwa perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi merupakan bagian dari transaksi untuk memuluskan berlakunya UU Cipta Kerja dan UU bermasalah lainnya. Artinya, kecil kemungkinan gugatan hukum terhadap UU Cipta Kerja, baik melalui uji formil maupun materiil, dapat dimenangkan.

Banyak fakta yang dapat ditunjukkan mengenai cacat formil pembentukan UU Cipta Kerja terutama terkait dengan tidak terpenuhinya asas transparansi dan partisipasi publik baik dalam proses perumusan oleh pemerintah maupun proses pembahasan di DPR. Namun, seperti yang selama ini telah ditunjukkan, pemerintah dan DPR selalu dapat berkelit. Dalihnya, jika dianggap tidak partisipatif, pemerintah dan DPR berkelit dengan mengklaim bahwa mereka telah melibatkan wakil buruh dan akademisi dalam proses penyusunan UU. Tetapi, di saat bersamaan, pemerintah dan DPR menolak usulan dan kritik dari banyak wakil buruh, akademisi, gerakan sosial, dan publik luas yang menyatakan oposisi dan kritik komprehensifnya atas UU tersebut. Ini menunjukkan betapa mudah pemenuhan syarat formil representasi dan partisipasi dimanipulasi oleh para elit negara.

Selain tingkat keberhasilannya yang kecil, uji materiil UU Cipta Kerja juga akan menguras energi perlawanan, mengingat pasal-pasal bermasalah yang harus dianalisis berjumlah ratusan. Sementara pengujian hanya kepada sebagian pasal justru menunjukkan penerimaan sebagian pasal lainnya, padahal secara keseluruhan undang-undang tersebut bermasalah. Yang lebih penting dari itu, gugatan hukum semacam ini juga dapat memperlemah gerakan perlawanan karena seolah jawaban atas pokok persoalan dapat dipenuhi melalui putusan hakim konstitusi.

Persoalannya tidak selesai sampai di situ. Meskipun misalnya putusan hakim memenangkan gugatan, belum tentu putusan tersebut dapat dieksekusi atau dijalankan oleh pihak yang berkaitan. Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan bahwa sebesar 22 persen putusannya tidak dipatuhi. UU Mahkamah Konstitusi yang baru bahkan telah menghapus kewajiban pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti keputusan terkait perubahan undang-undang.

Kemungkinan Strategi Alternatif Lainnya

Sejumlah pihak mendorong agar pembatalan UU Cipta Kerja dilakukan dengan mendesak presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Desakan ini berdasarkan preseden tuntutan pembatalan UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Saat itu memang terjadi perlawanan yang sengit dari kalangan buruh hingga dihasilkan Perppu No. 3 Tahun 2000. Namun, perppu ini tidak membatalkan UU 25/1997 melainkan hanya menunda pelaksanaannya hingga tahun 2002. Sebelumnya juga telah diterbitkan UU 11/1998 yang menunda pelaksanaan UU 25/1997. Penundaan semacam ini adalah bagian dari cara untuk meredam perlawanan.

Artinya, belum ada preseden mengenai pembatalan undang-undang melalui Perppu. Memang, setelah berakhirnya masa penundaan pelaksanaan UU 25/1997 itu pada tahun 2002, Presiden dan DPR mengadakan sidang paripurna yang mencabut berlakunya peraturan tersebut. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan bermasalah dalam UU 25/1997 itu kembali dimuat dalam rancangan undang-undang lainnya.

Patut diingat, kondisi politik pada saat itu—tidak lama setelah reformasi 1998—jauh lebih berpihak pada gerakan pro-demokrasi, ketika aliansi oligarki jauh lebih tidak terkonsolidasi seperti saat ini. Namun, hasil maksimal yang dapat dicapai melalui perppu hanya penundaan, bukan pembatalan undang-undang. Saat ini, aliansi oligarki lebih terkonsolidasi, sementara gerakan pro-demokrasi jauh lebih terfragmentasi terutama setelah banyak tokohnya terkooptasi oleh penguasa.

Kepercayaan buta terhadap Jokowi sebagai ‘orang baik’ yang dianggap dapat memperkuat terwujudnya agenda demokratisasi serta menguatnya politik identitas yang cenderung membenturkan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda lain (alih-alih menyatukannya dalam cita-cita politik kelas) berkontribusi memperlemah konsolidasi gerakan kerakyatan. Terlebih, presiden adalah pihak yang mengusulkan dan bersikeras menerbitkan UU Cipta Kerja. Dalam konteks demikian, tuntutan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja juga bukan pilihan yang realistis. Tuntutan yang kurang realistis semacam ini juga dapat memperlemah perlawanan seolah masalah dapat diselesaikan dengan dijanjikannya perppu. Ini telah terjadi pada gerakan #ReformasiDikorupsi tahun 2019 lalu. Namun, tak lama setelah aksi penolakan UU Cipta Kerja di berbagai daerah, pemerintah melalui jubirnya juga telah menegaskan untuk tidak akan menerbitkan perppu.

Beberapa elemen seperti Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mendorong presiden agar menunda berlakunya UU Cipta Kerja untuk membuka ruang dialog dengan pihak-pihak terkait. Seperti telah disinggung di atas, penundaan adalah bagian dari mekanisme untuk meredam perlawanan. Sementara itu, dorongan untuk membuka ruang dialog pasca aksi protes yang meluas mengisyaratkan seolah tidak ada masalah dalam proses penyusunan undang-undang ini. Sebab, dialog yang intensif seharusnya dilakukan sejak awal, saat draf pertama dirumuskan.

Tuntutan pelibatan dalam proses perumusan telah disuarakan sejak awal, tapi pemerintah tidak menghiraukan. Tim perumus undang-undang ini bahkan bekerja dengan sangat rahasia. Mereka diwajibkan membuat pernyataan di atas materai dan berjanji untuk tidak membuka apa pun hasil pembicaraan di dalam tim ke luar. Dialog yang dilakukan pasca aksi protes, dengan demikian, sangat bermasalah. Dalam banyak kasus, dialog dengan pemerintah hampir tidak pernah setara. Cara ini justru menjadi bagian dari mekanisme untuk mengooptasi dan memecah gerakan seperti yang dilakukan Jokowi terhadap kelompok Islam konservatif 212.

Refleksi untuk Gerak Langkah ke Depan

Pengesahan UU Cipta Kerja telah membuka kedok betapa sistem hukum dan institusi demokrasi di Indonesia telah dibajak secara sistematis oleh aliansi bisnis-politik. Saluran-saluran legal formal untuk menggugat dan membatalkan undang-undang bermasalah telah buntu. Aliansi oligarki berisikan gerombolan plutokrat tamak dapat leluasa memanipulasi institusi hukum dan demokrasi seolah mereka adalah demokrat. Ini dimungkinkan karena memang tidak ada tantangan yang signifikan terhadap upaya manipulasi itu.

Seperti telah saya paparkan, sejauh ini gelombang baru gerakan rakyat sejak tahun lalu tak kunjung menjadi kekuatan yang dapat diperhitungkan oleh aliansi bisnis-politik perampok kekayaan negara yang semakin terkonsolidasi. Artinya, persoalan yang saat ini tengah dihadapi gerakan sosial lebih dari sekadar bagaimana membatalkan UU Cipta Kerja dan paket UU bermasalah lainnya. Ini adalah persoalan konsolidasi dan marathon politik di level mobilisasi massa dan politik negara.

Karenanya, tidak ada pilihan: gerakan kerakyatan mesti mentransformasikan dirinya menjadi kekuatan signifikan yang dapat menantang kepentingan predatorisme untuk merevitalisasi demokrasi. Ini mensyaratkan kita untuk tetap berpegang dan memperjuangkan ‘tuntutan maksimalis’ (pembatalan UU Cipta Kerja), terus mendorong mobilisasi rakyat, dan merumuskan program alternatif yang dapat memikat dukungan politik publik.***

 

0 comments:

Post a Comment

 
;