Keputusan rejim Jokowi-Ma’ruf membuat payung hukum sapu jagat atau Omnibus Law cilaka (Cipta Lapangan Kerja) hendaknya dipahami sebagai sikap kepatuhan terhadap kepentingan pasar bebas atau neoliberalisme. Eksplisit, sikap itu terefleksi dalam pernyataan presiden di pelbagai kesempatan, bahwa perkembangan pasar yang begitu dinamis, mengharuskan para pemangku kebijakan mengambil keputusan-keputusan kepentingan yang cepat. Hal itu hanya dimungkinkan manakala problem obesitas regulasi yang tumpang tindih, segera diatasi lewat kebijakan omnibus law.
RUU Omnibus Law dibuat dalam rangka merampingkan, menyederhanakan dan menghapus regulasi setingkat UU guna menarik investasi sebesar-besarnya demi terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional dapat meningkat. Betapapun agenda ini sangat problematik. Bila berkaca pada kebijakan Jokowi sebelumnya, tak jarang kebijakan yang dibuat berujung pada pengebirian hak-hak warga negara.
Sebut saja mega proyek pembangunan infrastruktur yang tertuang dalam RPJMN yang berkontribusi terhadap perampasan dan penjarahan atas ruang-ruang hidup. Belum lagi, kasus pemberian izin konsesi lahan pertambangan dan perkebunan kerap mendorong pemangku kebijakan melakukan alih fungsi lahan. Ini belum termasuk kebijakan tax amnesty dan subsidi lain bagi kelas kapitalis.[1] Terlampau banyak kasus di mana kebijakan rejim mencederai rasa keadilan, mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi dan hukum hingga ekologis.
Keistimewaan yang diperoleh pemodal semasa pemerintahan Jokowi (dan rejim terdahulu, tentunya) mencerminkan keberpihakan negara hanya semata-mata untuk kepentingan kapital, sekaligus mempertegas posisi Jokowi sebagai bagian dari kelas kapitalis – alih-alih wong cilik, sebagaimana dipropagandakan oleh para pendukung setia.
Kondisi negara yang semacam itu sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh pemikir Marxis, Rosa Luxemburg. Menurutnya, manakala politik kenegaraan dimenangkan faksi kapitalis, maka sudah barang tentu negara akan menjelma menjadi negara kapitalis. Maka tak heran tatkala mereka berkuasa, hak-hak kelompok rentan (buruh, petani, nelayan, dan lainnya) diabaikan begitu saja. Baik itu masa Orde Baru hingga Orde Reformasi, khususnya era Jokowi, dilakukan serangkaian re-institusionalisasi lewat kebijakan publik yang sekadar ditujukan untuk menyediakan kerangka kelembagaan yang memungkinkan akumulasi dan sentralisasi kapital terlaksana.
Maka tepat apa yang dikatakan Arianto Sangadji bahwa politik sesungguhnya adalah soal kelas. Bukan sekadar siapa yang memerintah, tetapi kelas yang memerintah di dalam sebuah masyarakat berkelas.[2] Bukan seperti pandangan Habermas yang melihat politik tak lain dan tak bukan sebagai komunikasi yang tujuannya adalah mencapai konsensus lewat jalan rasional. (Sindhunata, 2004: 59) Jadi, kekuasaan merupakan aspek esensial dalam politik, bukan komunikasi yang notabene merupakan instrumen kelas kapitalis membangun dominasi dalam kehidupan publik.
Narasi-narasi klise pemerintah–baik itu yang terkait obesitas regulasi, lapangan kerja, pertumbuhan, dan sebagainya–patut dilawan. Sebab, hemat saya, kebijakan tersebut tidak lebih dari wujud loyalitas seorang hamba (politisi-birokrat) pada tuhan-Nya (pemodal) yang mengingini agar segala hambatan politik dan administratif yang mengancam dan mengganggu kepentingan kapital mesti dihapus.
Dengan keberpihakan pemerintah pada kepentingan pemodal yang dipertontonkan secara telanjang, segala tawaran atau solusi pemerintah kepada kelompok yang kepentingan ekonomi politiknya termarginalkan merupakan bentuk pembodohan belaka. Protes kelas pekerja yang menolak omnibus law cilaka, bukan semata-mata karena kurangnya transparansi dan “tertutupnya” ruang partisipasi, tetapi perselingkuhan bisnis-politik telah melahirkan keputusan destruktif bagi kepentingan kelas pekerja.
Siasat Pemerintah dan Pemodal
RUU Omnibus yang mengamputasi kepentingan kelas pekerja hendak disiasati dengan jalan kompromi: dialog. Pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud MD, menghendaki itu. Menurutnya, bagi pihak-pihak yang tak setuju dengan sejumlah pasal (bermasalah) dalam omnibus law hendaknya disampaikan langsung ke DPR guna ada perbaikan terhadap pasal tersebut. Pandangan ini sesungguhnya mewakili suatu kesadaran yang disebut Paulo Freire sebagai kesadaran naif.
Kenaifan pemerintah berangkat dari kecenderungan mensimplifikasi–untuk tidak mengatakan abai–relasi sosial kapitalis yang begitu dominan. Dalam laporan riset kolaboratif Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo, semisal, ditemukan bila mayoritas anggota DPR periode 2019-2024 terafiliasi dengan ribuan korporasi.[3] Ini hendak merefleksikan aliansi predatorial antara politisi-birokrat dengan pemodal dalam rangka akumulasi kapital. Terbentuknya aliansi ini tak terlepas dari hubungan ketergantungan antara politisi yang butuh sumber daya ekonomi serta pengusaha yang butuh akses politik untuk proteksi serta memuluskan ekspansi bisnisnya.[4]
Maka, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin mendamaikan dua kepentingan yang begitu kontras melalui DPR, di tengah-tengah kenyataan DPR sendiri terkooptasi oleh kepentingan modal? Jawabannya sudah tentu sangat mustahil terjadi proses diskursif yang memungkinkan terwujudnya legitimasi terhadap suatu keputusan.
Bahkan kalau ditilik dari konsepsinya (yang utopis) Jurgen Habermas mengenai ruang publik, yang berangkat dari idealisasi atas rasionalitas ruang publik borjuis di abad 18 lalu, maka RUU omnibus yang dibuat pemerintah-DPR mengalami krisis legitimasi. Bagi Habermas, legitimasi bukan soal berapa jumlah yang setuju, tetapi cara-cara memperolehnya haruslah fair dan adil. (Hardiman, 2004:18) Selama penguasa memakai cara-cara licik dalam proses pembuatan kebijakan maka ia hanya punya legalitas, tetapi nir-legitimasi. Pemerintah sendiri memang “sengaja” mengabaikan aspek legitimasi omnibus law, utamanya di kalangan kelas pekerja.
Sejak omnibus law menjadi prioritas rejim Jokowi, pemerintah rupanya lebih menghendaki keterlibatan pengusaha ketimbang buruh. Tidak begitu mengherankan bila RUU ini memiliki legitimasi di kalangan pengusaha. Betapapun tidak, salah satu klan pemodal yang terlibat langsung dalam penyusunan dan konsultasi publik adalah KADIN, di bawah pimpinan Roeslan Roeslaini. Perlu dipahami bahwa Roeslaini merupakan pendukung Jokowi dari kalangan pengusaha yang punya andil besar dalam menggalang dukungan di internal KADIN dan HIPMI (bersama Bahlil Lahadalia, kepala BKPM) pada pemilu 2019. Artinya, anggapan bahwa regulasi sapu jagat adalah balas budi Jokowi kepada pemodal yang telah mendukungnya sulit dipungkiri.
Cara licik pemerintah untuk menyukseskan omnibus law bukan hanya isapan jempol belaka. Setidaknya, ini terefleksi dari langkah Jokowi yang menghendaki keterlibatan—tak hanya kementerian—Kapolri, BIN dan Jaksa Agung agar melakukan pendekatan serta menjalin komunikasi dengan organisasi-organisasi yang menolak omnibus law. Ini merupakan upaya penggembosan bagi perjuangan kelas buruh. Langkah pemerintah ini berpotensi mengubur cita-cita perjuangan kelas: perjuangan yang tidak sekadar berkutat dalam interes ekonomi, tetapi juga interes politik.
Taktik licik pemerintah dalam menggembosi perjuangan kelas buruh pada kenyataannya cukup ampuh: mulai dari tuntutan yang tekhnokratis hingga pernyataan sikap mendukung kebijakan omnibus law. Di satu sisi, perjuangan kelas pekerja dibuat sedemikian rupa untuk terserap dalam elitisme. Pada sisi lain, perjuangan pekerja dikonstruksikan pragmatisme lantaran membuka diri terhadap transaksi politis.
Salah satu contohnya adalah apresiasi terhadap regulasi sapu jagat yang datang dari kalangan pekerja, yakni Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Percetakan Penerbitan dan Media Informasi (PP FSP PPMI)[5] yang diketuai Arnod Sihite. Arnod sendiri pernah tercatat sebagai caleg partai Golkar.[6] Tentu dukungan ini tak lepas dari relasinya dengan kelompok dominan, utamanya ketum partai Golkar yang notabene Menko Ekonomi, Airlangga Hartarto. Hal serupa juga datang dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pusat yang saat ini diketuai Noer Fajrieansyah. (Tirto.id, 23/02/2019)
Betapapun dukungan KNPI patut dicurigai. Mengapa? Sebab elite-elite dalam organisasi kepemudaan (OKP) atau organisasi massa (Ormas) masih cenderung terjajah oleh kultur feodalistik yang terwujud dalam hubungan patron-clien. Orang seperti Noer Fajrieansyah yang notabene pernah menduduki jabatan ketua PB HMI tentunya punya koneksi kuat dengan lingkaran elite ibu kota, khususnya para alumni HMI. Sulit untuk tidak mengatakan dukungan tersebut adalah buah dari transaksi politik klientelistik.
Dua kasus itu merefleksikan siasat busuk pemerintah-pemodal dalam membangun persepsi buruk di mata publik akan perjuangan kelas buruh yang ternodai oleh kepentingan sempit. Ini belum termasuk taktik kuda troya yang terwujud dalam pembungkaman dan kompromi yang ditujukan agar perjuangan kelas pekerja terseret masuk dalam elitisme.
Upaya pembungkaman terhadap perjuangan kelas buruh dilakukan menggunakan cara menghadirkan kelompok massa “bayaran” yang memanfaatkan sentimen nasionalisme sempit (hyper nasionalis), kepada salah satu organisasi buruh. Sikap Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang tegas menolak omnibus law dipandang oleh sekelompok massa yang melakukan demonstrasi di depan kantor KASBI sebagai bentuk intervensi kepentingan asing.[7] Ini merupakan cara usang, cenderung kolot, tetapi cukup ampuh dalam menggembosi perjuangan kelas buruh dan membentuk persepsi buruk di mata masyarakat.
Baru-baru ini, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) telah membentuk Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), namun sulit tercipta suatu perjuangan yang progresif dimana demarkasi dengan elite diperlihatkan dengan jelas–tak sekadar isapan jempol belaka. Ada satu hal penting yang mesti dipahami dari ketiga organisasi buruh tersebut, yakni ambivalensi sikap para elite organisasi tersebut.
Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, semisal, sejumlah serikat buruh tanpa malu terlibat dalam politik praktis dengan menyatakan sikap dukungan terhadap kandidat yang tengah berlaga dalam arena elektoral. Yang paling mencolok adalah dukungan KSPSI dan KSBSI pada Jokowi-Maruf dan dukungan KSPI kepada Prabowo-Sandi. Dukungan ini sesungguhnya tak terlepas dari sikap partisan elite-elite dalam serikat buruh.
Afiliasi politik elite serikat buruh dengan partai politik tak bisa dinafikan.[8] Di dalam KSPSI, ada sosok Andi Gani Nena Wea yang notabene kader PDIP dan Yoris Raweyai kader Golkar. Dalam perayaan Hut ke-47, KSPSI tegas menyatakan bahwa mereka adalah loyalis presiden Jokowi. Begitu pula dengan KSPI/FSPMI di bawa pimpinan Said Iqbal yang miliki kedekatan dengan ketum sekaligus pembina Gerindra, Prabowo Subianto, yang tercermin dari sikap politiknya di pemilu 2019 dan 2014. Bahkan, Said juga tercatat pernah ikut pemilihan legislatif tahun 2009 yang diusung PKS (meski ia bukan kader resmi partai).
Dukungan itu tentu akan membawa konsekuensi bagi perjuangan kelas pekerja, setidaknya di ketiga serikat tersebut. Kendati hingga kini tuntutan mereka sama seperti serikat buruh lainnya: menolak omnibus law. Tetapi ada perbedaan yang cukup nyata, yaitu ketiga serikat itu masih menghendaki untuk dilibatkan dalam pembahasan omnibus law. Keinginan ini mencerminkan suatu pola perjuangan yang cenderung elitis di mana kepentingan kelas buruh dengan kepentingan kelas kapitalis perlu didialogkan dan dinegosiasikan agar ada titik temu diantara mereka.
Tentu tidak semua pekerja yang tergabung dalam serikat menghendaki kompromi. Namun, sikap elite yang cenderung partisan harus dicurigai dan ditentang. Bila tidak, bukan tidak mungkin elite serikat buruh tersebut memakai isu penolakan omnibus law sebagai bargaining power untuk transaksi interes sempit dengan pemerintah-pengusaha.
Menolak Untuk Kompromi
Sosiolog asal Jerman, Ulrich Beck, pernah berkata bila dalam iklim globalisasi membuat tidak ada lagi kepastian dalam hal kerja. Ketidakpastian ini bukan saja menimpa kelas bawah, tapi kalangan profesional turut terkena imbasnya. Tidak ada jaminan bagi pekerja yang produktif dan patuh akan selamanya dipertahankan oleh pemodal. Manakala iklim bisnis terjadi masalah seperti krisis, semisal, pemodal hanya punya dua pilihan: mempertahankan para pekerja atau memecatnya. Dengan demikian, kapitalisme sudah tak memberlakukan “kerja seumur hidup” hingga pensiun.
Seperti Beck, Anthony Giddens juga memperingatkan bahwa dalam abad globalisasi negara tidak mungkin menyelesaikan seluruh persoalan. Meski begitu, bukan berarti seluru persoalan harus diserahkan pada pasar. Pasar sendiri punya problem mendasar yang terkait dengan urusan-urusan sosial-ekologis. Artinya, negara sudah tidak jadi pusat kedaulatan, tetapi sudah bergeser.
Dewasa ini posisi negara nyaris setara dengan lembaga multilateral, seperti Word Trade Organization (WTO), Organisation of Petrol Exporting Countries (OPEC), Internasional Tin Council (ITC), International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan lainnya. Lembaga tersebut bisa lakukan intervensi (mendikte) kebijakan negara, sebagaimana kasus Indonesia saat krisis moneter 1997. Tidak hanya lembaga, kelas kapitalis juga dapat melakukan hal serupa. Dalam kondisi tertentu, lembaga multilateral dan segelintir kelas kapitalis posisinya lebih dominan dibanding negara.
Omnibus law pada dasarnya mencerminkan hal itu. Negara dalam abad globalisasi, seperti ditandaskan Giddens, harus fleksibel dan cepat bereaksi, persis seperti yang dilakukan oleh para pengusaha atau pelaku bisnis. Pada titik ini, tentunya kelas pekerja akan dihadapkan akan ancaman bahaya dan risiko. Beck menyebut bahaya sebagai sesuatu yang tak dapat dikontrol, sedangkan risiko adalah bahaya yang dapat dikontrol. RUU Omnibus dalam pandangan ini tak hanya potensial melahirkan risiko, tetapi juga bahaya.
Destruktifnya kebijakan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara kompromi: masing-masing pihak duduk bersama, membahas kepentingan kedua belah pihak agar ditemukan solusi yang tak saling merugikan antara satu dengan yang lain. Sebaliknya, solidaritas adalah kunci bagi kelas pekerja dalam membangun perjuangan kelas. Seperti ditandaskan Arianto Sangadji bahwa politik adalah soal kelas. Maka perjuangan kelas adalah perjuangan yang berorientasi untuk menumbangkan kelas yang memerintah dan menggantinya untuk membangun sistem alternatif.***
Catatan kaki
[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180116202504-92-269411/lima-konglomerat-sawit-disuntik-subsidi-mega-rp75-triliun.
[2] Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh (Ed). Oligarki: Teori dan Kritik. (Serpong: Marjin Kiri dan IndoPROGRESS, 2020). Hal, 96
[3] https://grafis.tempo.co/read/1838/mayoritas-pimpinan-dpr-terafiliasi-dengan-korporasi.
[4] Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh (Ed). Oligarki: Teori dan Kritik. (Serpong: Marjin Kiri dan IndoPROGRESS, 2020). Hal, 43-44
[5] https://mediaindonesia.com/read/detail/289342-dilibatkan-bahas-omnibus-law-buruh-apresiasi-pemerintah.
[6] https://kumparan.com/berita-caleg/profil-caleg-pemilu-2019-arnod-sihite-caleg-dpr-ri-dapil-banten-iii-dari-golkar-1544811178219231358. [7] https://metro.tempo.co/read/1308908/kronologi-demonstrasi-massa-pro-omnibus-law-di-depan-kantor-kasbi.
[8] https://tirto.id/ketika-para-elite-serikat-buruh-berselingkuh-dengan-parpol-cogw.
0 comments:
Post a Comment