Virus Covid-19 tak hanya cepat menular dan membunuh manusia. Ia juga dengan gesit menggerogoti jantung perekonomian kapitalisme. Imbasnya, kapitalis tidak mempunyai jalan lain selain memecat sepihak buruhnya demi mengantisipasi kebangkrutan. Mayoritas buruh dipecat tanpa diberi pesangon. Mereka kemudian berduyun-duyun ke jalan, menggalang aksi menuntut pesangon serta nasib mereka kelak.
Dalam situasi kalut itu, pemerintah lalu meluncurkan kartu prakerja, yang sebenarnya merupakan program Jokowi dalam kampanyenya setahun silam. Kartu ini diharapkan menjadi solusi mengentaskan masalah para buruh sekarang.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga mengesahkan RUU Minerba yang telah dibahas oleh panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI dari Februari-Mei. Selain itu, pemerintah juga membahas RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) atau Cika. Kedua RUU tersebut ditargetkan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan guna mengatasi pengangguran.
Pertanyaannya, benarkah implementasi Kartu Prakerja, RUU Minerba dan RUU Cilaka akan sesuai dengan janji dan iming-iming pemerintah? Tulisan ini akan menelisiknya melalui film “Kerja, Prakerja, Dikerjai.” Film garapan Watchdoc dan Greenpeace ini hendak membuka tabir semu yang menyelimuti kebijakan kartu Prakerja, RUU Minerba, dan RUU Cilaka. Ia akan memberikan kita gambaran bagaimana watak asli negara di tengah kian ganasnya wabah ini.
Kartu Penipu Kelas Pekerja
Kartu Prakerja yang diluncurkan pada 20 Maret silam oleh pemerintah berisi kejanggalan-kejanggalan yang ditelanjangi secara vulgar dalam film ini. Penonton pasti akan geleng-geleng karena paparan data dan fakta yang ditunjukkan. Betapa tidak, dari 20 triliun yang dikucurkan pemerintah, 5,6 triliunnya digunakan untuk mendanai kursus online yang digawangi platform digital milik pengusaha-pengusaha dalam lingkaran istana.
Ada 8 platform digital yang dimandati wewenang ini, antara lain Ruang Guru, Tokopedia, Pintaria, Maubelajarapa, Bukalapak, Vokrof, Sekolahmu dan Pijar Mahir. Padahal, persoalan urgen dan fundamental yang dihadapi pekerja sekarang ialah kebutuhan pokok sehari-hari yang kian mencekik.
Menu-menu yang dihidangkan dalam kursus online itupun sesungguhnya hanyalah video nirmanfaat. Seperti “Promosi Bisnis dengan Instagram,” “Pelatihan Berbahasa Inggris,” “Cara Beriklan di Youtube, Membuat Iklan di Twitter” dan menu-menu tak bermutu lain.
Untuk mengikuti kursus itu, tentunya harus mengakses internet terlebih dahulu. Para pekerja yang berdomisili di daerah-daerah yang tidak mempunyai fasilitas internet memadai pasti tidak akan dapat mengaksesnya. Hal ini terjadi pada Wiwit, seorang buruh pabrik garmen. Saat diwawancarai, ia mengaku bahwa perangkat HP-nya tak memungkinkan untuk mengoperasikan program kartu Prakerja. Konsekuensinya ialah seperti yang ditunjukkan oleh film ini pada sejumlah warga Sampit, Kalimantan Tengah. Mereka berbondong-bondong menuju kantor Pendidikan dan Pelatihan. Mirisnya, mereka diharuskan merogoh kocek sebesar Rp 100.000,00 jika ingin mendaftar program tersebut. Menurut Farid Gaban, praktek kebijakan ini hanya akan memperlebar kesenjangan antara mereka yang memiliki akses serta melek internet dengan yang tidak.
Program pemerintah ini juga sarat konflik kepentingan. Platform digital (badan yang menyeleksi video yang layak ditampilkan) dan lembaga pelatihan (badan yang memberikan materi pelatihan) merangkap jadi satu pemilik sekaligus. Misalnya, Belva Devara tak hanya memiliki platform digital Ruang Guru, melainkan juga memiliki lembaga pelatihan skillacademy. Padahal itu melanggar regulasi yang ditetapkan pemerintah. Sekalipun ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Staf Khusus Milenial, uang yang digelontorkan untuk program pemerintah ini tetap akan mengalir deras ke kantongnya.
Agustinus, seorang wiraswasta yang mendaftar program ini, saat diwawancarai, menegaskan bahwa Wishnutama tidak hanya memegang jabatan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, melainkan juga Komisaris Tokopedia. Padahal dalam UUD Kementerian Negara, melarang dengan tegas seorang menteri merangkap menjadi komisaris, direksi, maupun pengurus. Ia juga menambahkan bahwa jika program ini dikuliti satu per satu, kita akan menemukan kebobrokan yang lebih dahsyat daripada kasus Hambalang dan e-KTP.
Klimaksnya terpersonifikasi dalam uang insentif kepada buruh sebesar Rp 600.000,00 per bulan, yang faktanya sangat sulit dicairkan. Banyak pekerja mengaku bahwa mencairkan uang insentif itu akan berurusan dengan persyaratan administratif yang ribet.
Singkatnya, pemerintah sengaja menaburkan kabut-kabut penghalang dalam gelontoran dana yang menggelembung guna mengaburkan pandangan pekerja. Agar melihat program Kartu Prakerja ini sebagai sebuah terobosan jitu yang akan memperbaiki keadaannya. Padahal dibalik kabut-kabut itu terselip kepentingan terselubung pemerintah untuk memakmurkan benalu-benalunya (para oligark) yang sudah makmur. Sementara pada saat yang sama, menindas buruh yang kian terpuruk keadaannya.
Absurditas RUU Minerba dan RUU Cilaka
Di tengah pandemi ini, alih-alih mengerahkan daya dan pikiran untuk menangani wabah, pemerintah justru gandrung membahas RUU Cilaka (Omnibus Law) dan mengesahkan RUU Minerba. Isi kedua RUU tersebut sangat berpotensi menciptakan diferensiasi sosial yang kian melebar. Kelihatan jelas, keduanya sengaja dibahas dan disahkan sekarang agar terhindar dari rintangan atau hambatan dalam bentuk apapun.
Film ini juga tak ketinggalan untuk mengkritik isi kedua RUU tersebut. Kritikannya diperlihatkan dengan benderang tanpa ada kesangsian. Dari awal hingga akhir, film ini menegaskan bahwa kedua RUU tersebut tak kalah bobroknya dengan program kartu Prakerja.
Bukan tanpa alasan, RUU Cilaka yang sedang dibahas akan menghapuskan segala regulasi yang merintangi investasi. Logikanya, “jika investasi kian mulus maka lapangan pekerjaan kian lebar, jika lapangan pekerjaan kian lebar maka rakyat akan hidup sejahtera.” Padahal, asumsi itu terlampau usang dan jauh dari kenyataan. Investasi yang masuk faktanya tak serta merta memberikan lapangan pekerjaan. Sekarang sudah ada mesin-mesin canggih yang lebih efisien daripada tenaga kerja. Singkatnya, tenaga kerja akan dikalahkan oleh mesin.
Sebenarnya, Marx jauh hari sudah memperingatkan bahwa masifnya penggunaan teknologi akan mengakibatkan tenaga kerja terdepak dari proses produksi.[1] Terlebih lagi, masuknya investasi tanpa ada hambatan juga akan meningkatkan laju proses proletarisasi (pemisahan secara brutal petani dari sarana produksi). Dengan begitu, apa yang disebut oleh Marx sebagai surplus populasi relatif[2] pasti akan membludak. Muhtar Habibi menandaskan, situasi demikian tidak hanya merupakan konsekuensi logis dari akumulasi kapital. Melainkan juga situasi yang diperlukan untuk mempermulus ekspansi kapital dan menekan permintaan upah pekerja.[3]
Farid Gaban menegaskan, setidaknya ada empat ancaman dari RUU Cilaka. Pertama, upah minimum tidak diatur. Artinya, kapitalis tidak lagi mengikuti standarisasi upah yang ditetapkan pemerintah. Dengan ini, kapitalis bisa saja membayar upah buruh dengan sangat rendah. Kedua, syarat kerja kontrak diperlonggar. Ini strategi politis yang digunakan kapitalis untuk memperlemah kekuatan politik buruh. Sehingga relasi kuasa antara kapitalis terhadap buruh semakin kuat.[4] Ketiga, tidak ada denda keterlambatan pembayaran gaji. Dengan ini, kapitalis dapat menenggat pembayaran upah buruh, sekalipun sampai setahun atau bahkan lebih. Keempat, tidak ada pesangon. Perusahaan yang berhenti beroperasi seringkali berdalih krisis atau gulung tikar. Pekerja yang berhenti ataupun diberhentikan tak akan diberikan pesangon dengan adanya regulasi ini.
Dalam dimensi hukum, terdapat kejanggalan dan ironi pada RUU Cilaka. Fajar Nur Syamsi, Direktur dan Advokasi Jaringan PSHK (Pemerhati Studi Hukum dan Kebijakan), mengklaim bahwa dalam RUU Cilaka terdapat 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden dan 4 Peraturan Daerah baru demi berjalannya regulasi ini.
Selain itu, dalam RUU Cilaka terdapat Pasal 170 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-Undang. Pasal tersebut justru bertentangan dengan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011. Setali tiga uang, pada Pasal 106 dinyatakan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Presiden yang justru kontradiktif dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUS XIV.
Ia juga menambahkan bahwa RUU Cilaka telah melanggar setidaknya dua asas dalam penyusunan perundang-undangan. Pertama, asas kejelasan. Dalam RUU ini, penyantuman pasal perubahannya langsung diintegrasikan dengan pasal lama. Sehingga, menyulitkan siapapun yang membacanya. Kedua, asas dapat dilaksanakan. Pelaksana UU ini wajib dibuat sebulan setelah ditetapkan sebagaimana termaktub dalam Pasal 173 dan peraturan pelaksana yang harus dibuat dan dirubah berjumlah lebih dari 500. Padahal menurutnya, mengerjakan hal tersebut dalam jangka waktu sebulan adalah sesuatu yang tidak realistis.[5]
RUU Minerba yang baru disahkan juga tidak luput dari permasalahan. Dalam Pasal 45 dinyatakan bahwa jika terdapat mineral lain yang tergali dalam satu masa eksplorasi, maka tidak akan dikenakan royalti. Ini dapat dijadikan celah pelanggaran hukum dan eksploitasi berlebihan. Sementara itu, dalam Pasal 169 A dan B mengatur soal pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dapat memperpanjang Izin Usaha Khusus (IUPK) tanpa melalui lelang.
Anehnya, Pasal 165 yang mengatur sanksi pidana bagi tindak pidana korupsi dalam proses pertambangan dihapus begitu saja. Artinya, pemerintah memberikan perlindungan resmi bagi para koruptor untuk mencuri kue pertambangan sebanyak-banyaknya. Lebih parah lagi, dalam RUU Minerba ini tak ada satu pasal pun yang memberikan ruang bagi partisipasi rakyat, konsultasi masyarakat adat, dan hak veto untuk mengatakan ketidaksetujuan saat pertambangan datang. Pada titik inilah hak-hak demokrasi dilanggar begitu saja. Adapun praktik demokrasi yang sedang berlangsung adalah “dari kapitalis, oleh kapitalis, untuk kapitalis.”
Dalam berbagai kebijakan ini, pemerintah secara utuh mengamini postulat Bank Dunia dan IMF dengan mengurangi dan menghapus segala subsidi bagi pemenuhan hak dasar rakyat, khususnya kelas pekerja; meminimalisir peran negara dalam perekonomian; melancarkan privatisasi dan liberalisasi ekonomi.[6] Konsekuensinya, kondisi buruh kian terpuruk dan penggusuran lahan penduduk kian masif, yang mana berpotensi meningkatkan surplus populasi relatif. Proses akumulasi kapital, khususnya kapital ekstraktif, yang terus-menerus dipacu juga akan meningkatkan kerusakan ekologis yang tak terkira dampaknya.[7]
Apa Yang Harus Dilakukan?
Film ini mendesak pemerintah menerapkan program UBI (Universal Basic Income) yang dicetuskan ILO (International Labour Organization), ketimbang mengimplementasikan program kartu Prakerja. UBI merupakan perluasan dari Unemployment Benefits, di mana pemerintah wajib memberikan upah minimum (untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan) per bulan kepada seluruh warganya tanpa memandang status. Imperatif moral yang dijadikan landasan ialah: “semua orang butuh makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal tanpa terkecuali.”
Film ini juga mendesak pemerintah untuk merehabilitasi sektor kehutanan dan mengembangkan sektor pertanian, alih-alih melaksanakan kedua RUU tersebut yang tentunya akan mencaplok lahan hutan dan pertanian. Karena selain ramah lingkungan dan bebas dari konflik agraria, hal tersebut juga dapat membuka lowongan pekerjaan. Data-data pemerintah sendiri menyebut bahwa rehabilitasi hutan dengan lahan sebanyak 209 ha pada tahun 2019 telah menyerap 8,2 juta tenaga kerja.
Terkait pengembangan sektor pertanian, film ini memberikan contoh sekelompok anak muda Purbalingga menggarap lahan sawah pinjaman dengan sistem bagi hasil. Mereka memanfaatkan bahan-bahan organik untuk pupuk. Salah satu bahan organik yang dimanfaatkan ialah jerami. Selain ramah lingkungan, ia juga dapat menstimulus produktivitas pertanian. Dalam masa pandemi ini, mereka mengaku telah panen tiga kali. Sehingga, kebutuhan pokok mereka bahkan lebih dari cukup.
Apabila pemerintah bersikeras melanjutkan kedua RUU tersebut, jelaslah sudah ke arah mana ia berpihak dan dikendalikan. Bukan kabar baru jika realitas ekonomi politik kita dikendalikan oleh segelintir oligark. Mereka yang memiliki kekayaan luar biasa dan memanfaatkan instrumen politik untuk mempertahankan serta melipatgandakan kekayaannya. Berbagai kebijakan tak representatif yang kita saksikan sesungguhnya dapat dilihat dalam kerangka itu.
Di tengah wabah yang kian ganas, alih-alih berusaha sekuat tenaga menekannya, pemerintah justru gandrung membahas berbagai kebijakan yang justru merugikan mayoritas rakyat, lebih-lebih kelas pekerja. Berbagai kebijakan itu juga tak dapat dilihat terpisah dari krisis yang dialami kapitalisme saat ini, juga rentetan demi rentetan krisis yang menerpanya sebagai sebuah sistem. Sialnya, patut dicatat, setiap kapitalisme berhasil memperpanjang nafasnya dari krisis, mereka yang berada dalam kelas terbawahlah yang selalu jadi korban dan menanggung semua beban kesengsaraan.
Berbagai kebijakan ini, tak dapat dipungkiri, memperburuk kondisi mayoritas rakyat luas. Bahkan setelah pandemi ini berakhir, kita akan dibenturkan dengan kondisi yang tak kalah mengenaskan. Tentu saja, kita tidak punya pilihan lain selain melawan berbagai kebijakan tersebut. Namun yang tak boleh luput, kita juga perlu menyasar akar persoalan yang menyebabkan berbagai kebijakan itu lahir. Akar persoalan yang menyebabkan kesengsaraan yang kita alami hari ini: kemiskinan mayoritas, ketimpangan kekayaan, pengangguran, rusaknya lingkungan, merebaknya wabah, privatisasi dan ketidaksiapan fasilitas kesehatan, dan sebagainya. Singkatnya, kita harus melawan kapitalisme sebagai sebuah sistem!***
Identitas Film
Judul: Kerja, Prakerja, Dikerjai
Tahun: 2020
Genre: Dokumenter
Durasi: 52 menit
Sutradara: Sindy Febriani
Produser: Andhy Panca, Ari Trismana, Dandhy Laksono
Produksi: Watchdoc dan Greenpeace
Catatan Kaki
[1] Untuk meningkatkan nilai lebih, kapitalis tak henti-hentinya menambah kapital konstan (mesin-mesin, pabrik-pabrik, dan bahan baku). Sehingga, kapital variabel (tenaga kerja) akan menyusut. Namun, karena itu, tingkat nilai laba juga turut menyusut. Inilah kontradiksi dalam perekonomian kapitalisme. Lihat selengkapnya dalam, Dede Mulyanto, “Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Pranata Eksploitasi Kapitalistik” (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hal 112.
[2] Singkatnya, surplus populasi relatif ialah barisan pekerja yang tidak bisa terserap oleh akumulasi produktif kapital. Mereka bekerja di luar produktivitas kapital dan biasanya hidup dalam kondisi yang mengerikan. Lihat selengkapnya dalam, Muhtar Habibi, “Surplus Pekerja di Kapialisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an” (Tanggerang: Marjin Kiri, 2016) hal, 17-32.
[3] Ibid, hal.10
[4] Pemberlakuan kerja kontrak dan outsourcing pernah dilakukan pada tahun 2003 untuk mengundang investasi, Ibid 63
[5] https://tirto.id/poin-poin-masalah-ruu-cilaka-atau-cipta-kerja-menurut-pshk-ezbP
[6] Henry Bernstein, “Dinamika Kelas Dalam Kapitalisme Agraria” (Yogyakarta: Insist Press, 2015) hal, 92-93.
[7] https://indoprogress.com/2018/01/ekososialisme-atau-kiamat/
0 comments:
Post a Comment